“Lo yakin kalo Mama Delia nggak bakal curiga?” tanya Haruna seraya memakai sabuk pengaman dan sekilas melihat Ravindra yang sedang memainkan ponsel.
“Yakin, percaya sama gue. Kalo dia sampe curiga, itu salah lo,” ucap Ravindra tanpa menoleh sedikitpun, dia masih fokus dengan ponsel hingga membuat Haruna hanya berdecak, wanita itu tidak mempermasalahkan karena dia sendiri sudah lelah.
Haruna memutuskan untuk mengambil ponsel dari tas dan terkejut melihat sepuluh panggilan tak terjawab dari sang manager. Tanpa pikir panjang, wanita itu pun menelpon kembali karena takut ada hal penting.
“Halo, ada apa? Maaf, tadi ponsel gue mode silent,” tanya Haruna.
“Malem ini bukannya lo harus live? Masih ada waktu,” ucap Chasel membuat Haruna melihat jam tangan yang menunjukkan pukul sembilan malam.
“Tolong ambilin map coklat yang ada di kursi belakang.” Ravindra yang tiba-tiba bersuara membuat Haruna refleks menutup speaker ponsel dengan membulatkan matanya lebar dan menoleh. “Kenapa?” tanya lelaki itu yang tidak paham dengan kode dari Haruna.
“Na, lo di mana? Sama siapa? Kenapa gue denger suara cowok?” tanya Chasel dengan nada curiga dan membuat Haruna berdeham kecil.
“Gue lagi di jalan, sama sepupu gue,” bohong Haruna yang terus memberikan kode pada Ravindra untuk tetap diam.
“Oh, kalo gitu livenya besok pagi aja,” ucap Chasel percaya dengan Haruna.
“Oke, nggak masalah, udah dulu.” Dengan cepat wanita itu mematikan sambungan telpon dan kembali menoleh ke arah Ravindra dengan decakan kesal. “Apa lo nggak denger gue lagi telpon? Untung aja manager gue percaya!”
“Gue beneran nggak denger,” jawab Ravindra dengan wajah datar.
“Ini kita kapan pulangnya?”
Ravindra tidak menjawab, dia langsung menyalakan mesin mobil dan melaju meninggalkan halaman rumah besar itu. Haruna menyandarkan punggung sembari melihat luar jendela. Seketika ada banyak hal yang harus ia pikirkan, mulai dari karier-nya sampai perjodohan ini. “Apa gue bisa lalui semua ini?” tanyanya dari dalam hati.
“Ada yang mau gue bahas,” ucap Ravindra memecahkan keheningan.
“Apa?” tanya Haruna tanpa menoleh dan fokus melihat langit malam.
“Peraturan nikah kontrak,” jawab Ravindra membuat Haruna membenarkan posisi duduk dan menoleh menatap lelaki itu. “Gue udah bikin beberapa peraturan yang harus lo patuhi.”
“Lo nggak akan mempersulit hidup gue, kan?” curiga Haruna yang takut kalau Ravindra akan memanfaatkan perjodohan ini, apalagi lelaki itu terlihat sangat licik.
“Pertama, lo nggak perlu repot-repot masak, gue nggak mau dapur jadi berantakan. Kedua, lo nggak boleh bawa siapapun di rumah gue. Ketiga, semisal papasan di jalan, kita nggak saling kenal,” jelas Ravindra membacakan tiga peraturan yang sudah dibuat, ia pun memberikan selembar kertas pada Haruna. “Sisanya, lo baca sendiri. Kalo lo setuju, tanda tangan.”
“Kenapa lo udah bikin peraturannya? Gue bahkan belum pikirin sama sekali.”
“Gue udah tau perjodohan ini tiga hari lalu, jadi gue langsung bikin peraturan sama kontrak nikah. Kenapa? Ada masalah?”
Haruna menatapnya datar sembari mengambil kertas itu dan mulai membaca dengan teliti untuk memastikan kalau peraturan itu tidak berdampak ke depannya. “Gue nggak setuju sama point enam,” ucapnya menoleh pada Ravindra. “Jam pulang nggak boleh lebih dari jam sebelas? Tapi gue biasanya pulang jam dua pagi.”
“Gue nggak peduli, gimana pun caranya lo harus pulang sebelum jam sebelas.”
Haruna berdecak pelan, untuk apa ia menyuruhnya membaca kalau tidak bisa bernegosiasi? Wanita itu langsung menandatangani tanpa melanjutkan sisa peraturan yang belum ia baca, lalu memberikan kembali kertas itu pada Ravindra. “Oke, gue setuju.”
Selama beberapa saat, akhirnya mereka kembali ditelan oleh ketenangan. Kali ini diam mereka terasa sedikit canggung, tidak ada dari mereka yang memiliki niatan untuk berbicara, dan tidak ada dari mereka yang ingin memulai percakapan. Haruna sendiri merasa sudah membuang banyak energi hari ini, jadi dia sedang di mode hemat energi.
Selang satu jam, mereka sampai di rumah Ravindra. Begitu mobil diparkirkan, seketika Haruna segera memperhatikan sekitarnya. dia merasa was-was. Ravindra yang memperhatikan Haruna hanya bisa menggelengkan kepalanya seraya membuka pintu.
“Lo tenang aja, kawasan rumah gue sepi, nggak mungkin ada wartawan.” Nada yang diberikan Ravindra kali ini datar. Dia turun dari mobil terlebih dahulu dan segera diikuti Haruna.
“Ini serius rumah lo?” tanya Haruna yang merasa takjub melihat rumah besar milik Ravindra. Bahkan, rumah ini lebih terlihat mewah dari milik orang tuanya. Ravindra tidak menjawab, dia mulai memasukkan pin dan pintu terbuka otomatis.
Ravindra berjalan masuk terlebih dahulu, dia duduk di sofa besar dan menyandarkan tubuhnya. “Kamar lo ada di atas, pintu putih. Ada beberapa pakaian yang udah disiapin sama nyokap gue, lo bisa pake itu.”
“Kamar lo yang mana?” tanya Haruna saat melihat dua pintu yang berbeda warna.
“Pintu biru muda. Oh, karena kamar adalah kawasan privasi, lo nggak boleh masuk ke kamar gue. Paham?” ujar Ravindra seraya beranjak dari duduknya dan berjalan lebih dulu meninggalkan Haruna.
Haruna menatap punggung lelaki itu dengan helaan napas, dia merasa kalau lelaki itu sering berubah-ubah, kadang dingin, kadang datar, hal itu mengingatkannya pada seseorang. Haruna menggelengkan kepalanya cepat untuk tidak terlalu banyak berpikir. Dia pun langsung melangkahkan kakinya menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamar.
Melihat dekorasi kamar, wanita itu merasa tak menyangka akan mempunyai kamar mewah seperti ini. Dia berjalan ke arah lemari untuk melihat pakaian yang sudah disiapkan. Haruna membulatkan matanya lebar melihat pakaian tanpa lengan yang sangat terbuka dan pendek, apa ini termasuk rencana mamanya? Dia meletakkan kembali pakaian itu. “Nggak akan pernah gue pake bajunya, kalo Ravindra liat …” ucapannya terhenti karena tiba-tiba saja dia memikirkan hal yang terlalu jauh.
Haruna memutuskan untuk tidak mengganti pakaian, dia melepas tas dan merebahkan tubuh ke kasur besar itu dengan memejamkan matanya. “Gimana kalo mereka tiba-tiba minta cucu?” gumamnya yang seketika terpikirkan niat Delia menyiapkan pakaian seksi itu. Wanita itu langsung menggelengkan kepalanya dan memilih untuk tidur agar tidak memikirkan banyak hal.
***
Haruna membuka matanya perlahan saat mendengar suara ponsel berdering, tangannya bergerak meraba kasur untuk mencari keberadaan ponsel. Saat berhasil mendapatkannya, dia langsung mengangkat telpon itu tanpa membaca nama si penelpon.
“Halo, kenapa?”
“Lo kapan live? Lo harus live buat sapa penggemar lo!”
“Lima menit lagi,” jawabnya yang langsung mematikan sambungan telpon dan beranjak dari kasur. Haruna berjalan gontai menuju wastafel, ia tidak mandi dan hanya mencuci muka, juga memakai riasan tipis agar tidak terlalu pucat.
Dia mengambil ponsel lalu berjalan keluar, dia melihat pintu kamar Ravindra masih tertutup. “Dia udah bangun apa belum ya?” gumamnya. Tanpa pikir panjang lagi Haruna memulai siaran langsung di sosial media seraya berjalan menuruni anak tangga dan duduk di sofa. Wanita itu tersenyum saat melihat jumlah penonton yang mencapai dua ratus.
Namun, Haruna yang terlalu fokus tersebut tidak sadar bahwa ada seseorang yang lewat di belakangnya. Dengan posisi yang cukup dekat dengan kamera, setiap fans yang sedang menonton tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang lewat di belakang Haruna, tetapi semua yakin bahwa itu adalah seorang pria dari dada bidang yang tidak menggunakan pakaian
Sampai akhirnya dia membaca satu komentar. “Kak, lagi sama siapa? Sama pacar ya, kak? Ups!” Wanita mengangkat kedua alisnya dan langsung menoleh ke belakang. Matanya terbelalak lebar saat melihat Ravindra tidak memakai kaos dan hanya menggunakan celana pendek.
“Rav!!”
“Lo kenapa nggak pake baju?!” tanya Haruna ketika sudah mengakhiri siaran langsung dan menoleh pada Ravindra yang sedang memasak untuk sarapan.“Sorry, gue lupa kalo di rumah ini ada lo,” jawabnya tanpa menoleh dan fokus mengiris daging. Haruna yang mendengar alasan itu hanya bisa menghela napas panjang, dia juga tak bisa menyalahkan kesalahan lelaki itu karena itu sedikit masuk akal.Haruna yang tidak mempermasalahkan hal itu pun langsung berdiri dari duduknya. “Tadi nyokap bilang kalo kita berangkat jam sembilan.”“Ke mana?” tanya Ravindra sekilas melihat ke Haruna.“Butik. Lo lupa?” Ravindra yang mendengar itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya paham dan Haruna hanya menggelengkan kepala pelan lalu berjalan menaiki anak tangga untuk kembali ke kamarnya.Wanita kembali merebahkan tubuhnya dan berniat untuk tidur beberapa menit sebelum harus bersiap-siap untuk pergi ke butik. Namun, saat ia hendak memejamkan mata, suara ponsel yang tiba-tiba berdering membuatnya berdecak dan mengam
“Lo yakin kita harus ngelakuin sejauh ini?” tanya Haruna yang meragukan strategi Ravindra. Lelaki itu menoleh sekilas dengan satu anggukan.“Semakin kita romantis, gue yakin nyokap nggak akan curiga,” jawab Ravindra seraya merangkul pinggang Haruna. “Senyum,” peringatnya yang membuat wanita itu langsung tersenyum.Mereka mendekati Della dan Delia yang sudah menunggu di depan butik. Haruna pun memberikan kode pada Ravindra untuk melepas rangkulannya, tapi Ravindra menolak dengan satu decakan dan gelengan kepala.Delia yang memperhatikan hanya menggelengkan kepala dengan kekehan pelan. “Kalian belum menikah saja sudah nempel seperti ini, apalagi kalau sudah menikah? Berarti nggak salah dong kalau mama minta cucu dalam waktu dekat ini?” tanya wanita setengah baya itu yang berhasil membuat Ravindra langsung melepaskan rangkulannya.“Ma, bukannya aku udah bilang kalau aku nggak mau punya anak dalam waktu dekat ini?” tanya Ravindra yang membuat Delia tertawa kecil.“Iya, mama inget, tenang
Haruna membuka mata perlahan ketika merasakan tubuhnya yang kedinginan, dia pun meraba ke atas nakas dan mengambil remot, lalu memilih untuk mematikan AC tersebut. Saat hendak kembali terlelap, ia mendengar suara ponsel yang berdering, karena kepala yang terasa sedikit lebih berat, wanita itu memilih untuk tetap memejamkan mata dengan meraba-raba kasur mencari ponselnya.Haruna mengusap tombol hijau dan menempelkan ponsel di telinga. “Halo, kenapa malem-malem gini telpon, sih?” protesnya yang tau kalau si penelponnya adalah sang manager.“Apa lo bilang? Malem? Sekarang udah jam setengah sembilan pagi, Na! Lo ada syuting jam sepuluh, tapi sebelum itu, lo ke kantor agensi dulu,” jelas Chasel yang membuat Haruna langsung membuka matanya lebar dan melihat ke arah jam dinding. Wanita itu terlihat jelas kalau ia lupa dengan jadwal syutingnya, ini semua gara-gara pernikahannya dengan Ravindra yang dipercepat. “Halo, lo denger, kan?”“Iya, gue denger, udah dulu.” Haruna mematikan sambungan te
“Gue di mana?” tanya Haruna yang baru saja sadar dari pingsannya.Chasel yang awalnya sibuk dengan ponselnya pun menoleh dan berdiri dari duduknya dengan senyuman. “Akhirnya lo sadar juga, Na. Gue khawatir banget sama lo. Kenapa lo bisa lupa sama alergi sendiri? Lo alergi udang, Na. Kapan lo makan udang? Lo mau mati?” tanyanya yang terlihat masih khawatir dengan keadaan Haruna. “Gue udah pernah bilang kalau reaksi alergi lo nggak langsung, kenapa lo bisa lupa masalah ini? Ini bukan masalah sepele, Na!”Haruna hanya diam mendengar perkataan sang sahabat sekaligus managernya yang panjang lebar karena merasa bersalah, wanita itu sendiri memang lupa kalau dia ada alergi udang. Tidak heran kalau Chasel akan marah seperti itu. “Iya, maaf, gue beneran lupa.”“Lo kapan makan udang?” tanya Chasel kembali duduk.Haruna terdiam, dia mencoba mengingat apa yang ia makan hari ini dan kemarin. Tiba-tiba saja ingatan saat Ravindra memberikan udang terlintas. Kemarin ia memang tidak sadar memakan udan
Haruna membuka mata perlahan dan terkejut mendapati Ravindra yang duduk di sampingnya. “Lo kenapa ada di sini?”“Nyokap lo telpon gue,” jawabnya tanpa menoleh dan sibuk dengan laptop yang ada dipangkuan. Haruna yang mendengar itu hanya mengangguk-angguk dan merasa tidak heran karena sang mama memang sejak dulu tak pernah peduli dengannya.Suasana pun mendadak hening, tidak ada percakapan diantara mereka berdua. Haruna hanya diam menatap langit-langit, ia sendiri juga bingung harus berbicara apa dengan lelaki di sampingnya, apalagi Ravindra tampak sibuk. Ditambah dia tidak tau di mana letak ponselnya, mengingat tadi malam dia melempar benda itu tanpa arah.Selain masalah yang terjadi, ia juga memikirkan kapan Ravindra datang. Apakah tadi malam ia sudah datang? Mengingat lelaki itu tau dari sang mama, itu artinya ia ditelpon malam itu juga. “Apa dia lihat semuanya?” pikirnya yang teringat kalau tadi malam ia sangat kacau.Haruna melirik ke arah Ravindra, wajahnya terlihat sangat serius
“Lo yakin nggak mau di sini lebih lama? Biar gue juga tenang kalo lo beneran udah sehat,” tanya Chasel terlihat tidak setuju dengan keputusan Haruna yang ingin pulang lebih awal, apalagi sang dokter juga menyuruhnya untuk dirawat tiga hari. “Gue nggak mau di sini lama-lama, Sel. Lo tau sendiri kalo gue nggak suka di rumah sakit,” jawab Haruna yang masih sibuk dengan ponselnya. “Oh, iya, lo nggak perlu anter gue pulang.” “Kali ini gue nggak setuju, gue harus pastiin lo sampe rumah dengan selamat. Gimana kalo tiba-tiba lo pingsan di jalan? Apalagi mobil dari agensi lagi dipake dan nggak bisa jemput lo,” tutur Chasel yang terlihat khawatir pada Haruna. Haruna menunjukkan layar ponselnya dengan senyuman. “Gue udah pesen taksi online, jadi lo tenang aja. Gue nggak akan pingsan di jalan.” Chasel menghela napas panjang dan memasang raut wajah pasrah, dia benar-benar tidak bisa sepenuhnya menangani Haruna yang terkadang keras kepala. “Telpon gue kalo udah sampe, paham?” Suara ponsel yang t
Ravindra langsung memundurkan tubuh dan membenarkan posisi duduknya. Haruna yang masih terkejut hanya bisa diam tanpa mengatakan apapun, ia hanya bisa menggigit bibir bawahnya dan mengalihkan pandangan. Suasana canggung pun menghantui mereka berdua. “Sial, mana itu ciuman pertama gue!” gerutunya dari dalam hati.Selama perjalanan pulang, keduanya hanya diam, tidak ada obrolan apapun diantaranya sampai mobil terhenti di halaman rumah, Haruna pun segera turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Dia berjalan cepat untuk ke kamarnya. “Kenapa hari ini gue sial banget, sih?!”Suara ponsel yang tiba-tiba berdering membuatnya terlonjak kaget dan langsung mengambil dari saku. Haruna berdecak pelan saat melihat nama Chasel terpampang di layar. Namun, meski begitu ia segera mengangkat telpon itu.“Halo, udah sampe rumah? Kenapa lo nggak telpon gue?” “Barusan aja sampe, lumayan macet. Gue mau telpon, tapi lo duluan yang hubungi gue.”“Alasan! Sekarang lo istirahat, besok gue ke apartemen lo bua
Haruna menatap wajah Ravindra yang terlelap setelah ia berhasil memberikan obat penenang. Meski pun Ravindra tertidur seperti bayi, tangannya terus memeluk pergelangan Haruna. Wanita itu tampak pasrah meski tangan sudah terasa pegal. “Padahal kalo lo tidur … muka lo nggak keliatan galak, tapi kenapa lo selalu galak sama gue?”Suara ponsel Ravindra yang tiba-tiba berbunyi membuat wanita itu kembali kebingungan, dia ragu untuk mengambil benda itu dari saku, tapi ia ingin memastikan siapa yang menelponnya. Bagaimana kalau telpon itu penting?“Gue ambil aja deh,” ucapnya seraya mengambil ponsel itu yang ada di saku celana. “Sial, ternyata nyokapnya? Tau gitu nggak gue ambil,” sesalnya yang tak ada pilihan lain selain mengangkat telpon tersebut.“Halo, Ma, maaf, ini Haruna.”“Ravindra baik-baik saja, kan, Na?” tanya Delia dari seberang telpon dengan suara berhati-hati. Haruna lega karena dia tidak menyembunyikan masalah ini pada sang mama hingga membuatnya tak perlu berbohong.“Iya, Ma, te