Setelah membahas semua pekerjaan dengan Chasel, Haruna memilih untuk pergi ke toko buku yang tak jauh dari apartemen Ravindra. Dia sengaja mematikan ponsel agar tidak ada yang mengganggunya, termasuk Ravindra. Entah kenapa, ia sangat yakin kalau saat ini lelaki itu terus-terusan menghubunginya karena jam sudah menunjukkan pukul empat sore.Haruna tak peduli kalau Ravindra akan memakinya nanti, bahkan ia berencana untuk pulang malam sampai lelaki itu benar-benar tidur. Wanita itu menutup buku komik dan beranjak dari duduknya, ia meletakan kembali ke rak, lalu pergi keluar perpustakaan. “Mending gue ke café,” gumamnya yang melihat café ada di seberang.Namun, saat hendak melangkahkan kaki, ia seketika ingat kalau tidak membawa uang cash. “Sial, kenapa lupa bawa uang cash, sih, mana gue juga nggak bawa kartu ATM.” Haruna pun mengeluarkan ponselnya dan menyalakan kembali dengan terpaksa.“Lo sengaja menghindar dari gue?” tanya seseorang dari arah samping yang membuat refleks menoleh dan m
Hari yang sama sekali tidak ditunggu itu pada akhirnya datang juga, jelas kalau hari tersebut akan datang, dan terlihat jelas kalau Haruna dan Ravindra sendiri sama sekali tidak antusias dengan hari pernikahannya. Bahkan kalau bisa, mereka berharap kalau hari itu bisa dihilangkan saja. Sehingga ketika terbangun, mereka sudah berada di hari yang berbeda. Akan tetapi, tentu saja hal seperti itu tidak mungkin terjadi.“Kenapa nyokap lo keliatan lebih bahagia?” tanya Haruna yang mengamati raut wajah Delia dan sekilas melirik Ravindra.“Nyokap lo juga.”Haruna melihat seluruh gedung, dia lega karena semuanya berjalan sesuai dengan persyaratan yang diinginkan. Tidak ada tamu, media, ataupun pesta. Meski begitu, acara tersebut masih bisa berhasil membuat kedua belah pihak keluarga merasa sangat senang. Mereka sangat bersyukur akan pernikahan ini.Tentu saja Haruna dan Ravindra tidak termasuk ke dalam kategori tersebut. Mereka berdua sama sekali tidak senang, sampai-sampai mereka tidak bisa m
“Masih belum puas lo rebut ciuman pertama gue?!” tanya Haruna yang kembali teringat insiden itu.Dugaan lelaki itu yang benar membuatnya langsung tersenyum dan melirik sekilas ke arah Haruna dengan wajah datar. “Jadi selama ini lo nggak pernah ciuman sama siapapun? Jangan bilang … lo nggak pernah pacaran sama siapapun?”Haruna berdecak dan menatap tajam lelaki itu. “Kenapa emangnya kalo gue nggak pernah pacaran? Gue nggak kayak lo yang suka mainin hati orang!” ucapnya asal dengan senyuman seringai dan melipat kedua tangannya di depan dada.“Oh, ternyata lo diem-diem cari tau tentang gue? Lo dapet dari mana gosip itu?”“Harus banget gue kasih tau lo? Oh, lo bisa turunin gue di tepi setelah lampu merah itu,” ucap Haruna menunjuk ke arah yang ia maksud.Ravindra mengangkat satu alisnya dan menoleh menatap Haruna dari bawah sampai atas. Wanita itu yang mendadak ditatap oleh lelaki di sampingnya pun refleks langsung menyilangkan tangannya di depan dada. “Kenapa lo ngeliatin gue gitu banget
Haruna menatap semua bahan makanan yang ada di hadapannya satu persatu, dia tampak bingung harus berbuat apa. Pasalnya, ia sama sekali tidak bisa memasak. Namun, saat melihat Ravindra keluar kamar dan memperhatikan dari atas, wanita itu langsung memberikan isyarat.“Kamu jangan coba-coba minta bantuan suami mu,” peringat sang mama yang ternyata memperhatikan keduanya.“Ma, tapi—”“Apa? Jangan bilang kamu memang tidak pernah memasak?”“Haruna memang tidak pernah memasak, Ma,” ucap Ravindra yang berjalan mendekat dan membuat Haruna melotot pada lelaki itu. Dia pikir lelaki itu akan membelanya, tapi ternyata ia salah. “Itu karena aku yang melarang Haruna memasak,” lanjutnya.“Kenapa kamu melarang Haruna untuk memasak? Kamu jangan memanjakan Haruna, Rav. Sekarang dia di sini adalah istri mu, yang harus melayani dengan baik,” ujar Della memarahi Ravindra.“Ma, meskipun Haruna sekarang menjadi istri ku, tapi aku bisa memahami pekerjaan Haruna yang sangat sibuk, jadi aku tidak ingin pernikah
“Darah?” tanya Haruna yang terlihat tidak mengerti maksud Ravindra. Namun, seketika ia teringat dengan apa yang terjadi beberapa menit lalu. Dia beranjak berdiri dan melihat ke kaosnya yang dipenuhi oleh bercak darah dengan senyuman. “Oh, ini? Gue abis nolong kucing yang ketabrak.”Ravindra yang melihat itu tampak menatapnya tidak suka. “Dan lo makan tanpa mandi dulu? Atau minimal ganti baju gitu,” tanyanya yang berjalan mundur dua langkah.“Gue keburu laper.”“Tapi lo bakal bikin kotor rumah gue!”Haruna menghela napas panjang dan kembali duduk. “Iya, iya, nggak akan gue ulang.” Ravindra pun berdecih dan langsung pergi meninggalkan wanita itu tanpa berkata apapun. “Dasar iblis! Dia kayaknya nggak cuma punya dua kepribadian, tapi banyak!” kesalnya.Haruna kembali menghabiskan sisa makanannya dengan cepat dan langsung mencuci mangkok itu. Saat sudah selesai, ia baru mengamati seluruh ruangan di rumah ini yang selalu bersih. Kalau dibandingkan dengan apartemennya sangat jauh berbeda. “P
Haruna terkejut melihat banyak foto saat ia bersama dengan Ravindra, padahal dia sudah sangat berhati-hati saat keluar bersama. Entah karena ia sedang dilindungi oleh dewa atau keberuntungan sedang berpihak padanya, di foto itu wajah Ravindra tidak terlalu jelas. Wanita itu langsung mengontrol wajahnya yang panik untuk terlihat biasa saja.“Saya sudah tidak mempermasalahkan masalah mu dengan sutradara yang terjadi beberapa hari lalu, tapi ini apa? Kamu diam-diam mempunyai pacar?”Haruna beralih pada Pak Ares dengan senyuman. “Pacar? Saya tidak mempunyai pacar. Pak Ares tau sendiri kalau jadwal saya akhir-akhir ini mulai padat, saya tidak punya waktu untuk mencari pacar.”Ares menatapnya dengan tatapan tak percaya. “Kalau bukan pacar, siapa? Saya tau kalau kau anak tunggal, dan semua saudara mu ada di luar negeri, bukan?”“Dia saudara saya yang akan tinggal di sini, Pak. Kebetulan dia datang sendiri, jadi saya harus menemaninya,” jelas Haruna yang berharap kalau laki-laki setengah baya
“Na, lo kenapa?” tanya Chasel duduk di samping Haruna dan memberikan satu gelas kopi. Haruna yang sedari tadi menatap ponsel sekilas menoleh pada sang manager dengan helaan napas panjang. “Lo nggak sakit, kan?”“Sel, gue boleh tanya sesuatu?” tanya Haruna yang tidak ada pilihan lain untuk bertanya pada Chasel.“Tanya apa? Lo mau tanya kriteria cewek gue?” tanya Chasel asal dan membuat Haruna langsung berdecak dan meliriknya dengan tajam. Lelaki itu hanya tertawa seraya merangkulnya. “Bercanda. Lo masih punya waktu sepuluh menit, mau tanya apa?”“Semisal … ada cewek yang selalu bantu lo secara diem-diem, apa artinya itu cewek mulai suka sama lo?” tanya Haruna menoleh pada Chaselino dengan mengangkat satu alisnya.“Kenapa lo berpikir kalo dia suka sama gue? Gimana kalo … dia bantu gue karena merasa itu kewajibannya? Tapi tergantung juga, sih. Konteks awalnya gimana?” tanya Chasel yang membuat Haruna terdiam dan merapatkan kedua bibirnya, dia tampak memikirkan semuanya sebelum kembali be
Haruna menatap pintu besar yang tertutup rapat, ia mencoba mendorong engsel pintu itu, benar dugaannya, pintu itu sudah dikunci oleh Ravindra. Ia melihat jam pada ponsel yang menunjukkan pukul dua dini hari. “Ternyata dia nggak bercanda?” gumamnya dengan helaan napas panjang.Haruna ingin sekali menelpon Ravindra agar membukakan pintu, tapi mengingat dua pesannya yang hanya di baca saja, menandakan kalau lelaki itu masih marah dengannya. Haruna pun memilih untuk duduk di anak tangga dengan menyenderkan kepala di tembok. Kalau tau Ravindra serius dengan perkataannya, ia memilih untuk langsung pulang ke apartemen yang sudah lama tak dihuni.“Kenapa hari ini gue sial banget?” gumamnya menatap langit. Mengingat hari ini terjadi banyak hal setelah Chasel meninggalkan lokasi syuting. Mulai dari Cherly yang sengaja menamparnya, tertimpa properti, terjatuh dari tangga, sopir dari agensi yang mendadak tak bisa menjemput, sulit mendapatkan taksi. “Dan sekarang, gue harus tidur di luar.”Haruna