“Dok! Bagaimana keadaan kakak saya?!”
Eira, seorang perempuan cantik dengan rambut yang terurai tengah histeris. Pasalnya, Kakaknya yang merupakan keluarga satu-satunya yang tersisa kini tengah kritis.Sebuah kecelakaan merengut kesadaran Gilang, kakak Eira, ketika sedang membawa motor. Sayangnya, penabraknya itu pergi tanpa bertanggung jawab sama sekali.Namun, seorang laki-laki yang tak Eira kenal membawa kakaknya ke rumah sakit. Awalnya, Eira menuduh laki-laki itulah orang yang menabrak kakaknya. Namun ternyata justru laki-laki itu yang menyelamatkan kakaknya.Eira yang merasa bersalah karena sempat menuduh laki-laki itu berniat meminta maaf. Sayangnya, ia telah lebih dulu pergi tanpa pamit sama sekali.“Kakak kamu masih dalam kondisi kritis. Tapi tenang, saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkannya. Kamu bisa ke bagian administrasi untuk menyelesaikan berkas-berkas pengobatan Kakakmu,” ucap dokter tersebut seraya berlalu melewati Eira masih tampak sembab.Seraya mengusap matanya, Eira langsung pergi ke bagian administrasi dengan cepat. Namun, begitu sampai dan mengurus berkasnya, Eira terpana mendengar petugas itu berbicara,“Total biayanya 75 juta, ini termasuk tindakan yang akan dilakukan dokter pada pasien. Tapi, mbak harus melunasinya terlebih dahulu sebelum tindakan dilakukan.”‘Tu…tujuh puluh lima juta!?’ Setelah mengambil berkasnya, Eira langsung bersandar di tembok rumah sakit.‘Dari mana aku akan dapat uang sebanyak itu?!’ Air matanya seketika kembali mengalir, membanjiri pipinya. Uang itu begitu besar untuk dirinya yang hanya pegawai mini market.Namun, tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponselnya.“Nduk, jangan lupa ya, hari ini hari pertama kamu masuk kerja. Jangan terlambat atau nanti tuan muda akan marah besar! Alamatnya sudah ibu kasih tahu, kan?”Eira mengusap air matanya. Lalu, merapikan pakaiannya dan bergegas pergi. Dia hampir lupa dengan janjinya pada Bi Ela.Dalam hatinya, Eira terus menyemangati dirinya yang masih harus bekerja keras demi menyelamatkan kakaknya, keluarganya yang tersisa!***Eira berdiri di sebuah unit apartemen mewah, dia tatap kembali suasana maskulin yang begitu kentara di ruangan dengan paduan warna gelap yang menjadi dominan.Ini adalah hari pertamanya bekerja menggantikan Bu Ela. Wanita itu baru saja pergi setelah memberi tahu apa saja tugasnya dan peraturan yang berlaku selama dia bekerja.Salah satu peraturan yang menggelitik adalah, dirinya harus selalu menyiapkan makan malam dengan menu yang sudah ditentukan oleh pemilik apartemen itu. Dia juga hanya bisa berkomunikasi menggunakan not yang ditempel di depan kulkas. Eira pun harus menyelesaikan tugas dan pergi dari apartemen sebelum jam delapan malam.“Ayo kerja!” seru Eira penuh semangat, sebelum mengerjakan semua tugasnya.Tanpa terasa, sudah seminggu Eira bekerja menggantikan Bu Ela. Dia mulai terbiasa dengan kesehariannya walau rasa lelah terkadang menyerang. Menyibukkan diri adalah salah satu jalan jitu agar dirinya tak larut dalam kesedihan dan kesepian setelah kakaknya terbaring di rumah sakit dan tak kunjung sadarkan diri hingga saat ini.Namun, tampaknya kali ini tubuhnya benar-benar butuh istirahat, hingga ketika dia hendak pergi setelah menyiapkan makan malam, tiba-tiba kepalanya terasa pusing. Eira menyempatkan diri untuk duduk di sofa sambil memejamkan matanya dan berakhir dengan tertidur pulas dalam keadan duduk menyandar.Eira baru saja tersadar saat telinganya samar mendengar suara gaduh. Dia mengerjap cepat, berusaha memperjelas penglihatannya yang masih terasa samar, hingga tiba-tiba dia dikejutkan dengan sepasang paruh baya yang sedang duduk di depannya sambil terus berdebat tentang dirinya.“Maaf, saya ketiduran....” Eira segera beranjak berdiri sedikit membungkuk sambil merapihkan penampilannya.“Ah, tidak apa-apa. Harusnya kami yang minta maaf karena sudah mengganggu tidur calon mantu. Iya kan, Pah?” jawab wanita paruh baya yang masih tetap cantik. Dia merangkulnya dan mengajaknya kembali duduk di sofa.“Ca-calon mantu?” Eira melebarkan matanya, terkejut bukan main.“Emang dasar anak itu ... pantas saja dia selalu menolak kalau mau aku kenalkan gadis padanya. Ternyata dia diam-diam menyembunyikan gadis secantik ini di rumahnya. Awas saja nanti kalau dia sudah datang,” cerocos Maheswari merutuki ulah anak sulungnya yang masih saja menduda walau umurnya sudah sangat matang dan pantas untuk menikah lagi.“Pah, telepon anak itu sekarang, bilang kalau kita sudah ada di rumahnya,” sambung Maheswari lagi, kini beralih pada sang suami yang duduk di depannya.Laki-laki yang sudah menginjak umur enam puluh tahun itu pun mengangguk sambil sedikit melirik Eira, lalu mengambil ponsel pintar di saku kemudian berlalu begitu saja menuju ruangan lainnya. Sejak tadi dia tak banyak bicara, tetapi matanya terus memperhatikan wajah Eira.***“Calon mantu? Apa maksud Papah? Aku tidak memiliki hubungan dengan siapa pun, kenapa bisa kalian memiliki calon mantu?” Aryan yang sedang dalam perjalanan pulang terkejut bukan main saat mendengar tuduhan tak berdasar dari ayahnya.“Sudahlah tidak usah berbohong lagi sama kami, jelas-jelas sekarang kamu sudah ketahuan menyembunyikan anak gadis orang di rumah. Cepat pulang dan hadapi ibumu,” jawab Edrik santai.“Ibu? Apa Ibu juga ada di sana?” Aryan tampak semakin kalut. Semuanya akan bertambah rumit jika sudah berurusan dengan sang ibu. Sementara pikirannya melayang, menebak siapa yang mungkin berada di apartemennya saat ini.“Iya, dia terlihat sangat bahagia. Jadi, jangan sampai kamu mengecewakannya lagi, atau aku tidak segan mencabutmu dari posisi CEO di perusahaan,” ancam Edrik lalu memutus sambungan teleponnya begitu saja, bahkan sebelum dia mendengar jawaban dari sang anak.“Tapi, Pah ... Pah, halo!” Aryan menghembuskan napas kasar saat dirinya menyadari jika sambungan telepon sudah terputus.“Apa mereka bertemu dengan pengganti Mak Ela?” gumam Aryan. Keningnya tampak mengerut dalam lalu mengalihkan pandangannya sekejap demi melihat jam di dashboard mobilnya.“Apa dia belum pulang? Masalah apa lagi ini!” Aryan meremas kemudi hingga pembuluh darahnya terlihat menonjol, sementara kakinya menginjak pedal gas lebih dalam lagi, kini dia harus segera sampai ke rumah dan melihat apa yang sebenarnya terjadi di sana.Beberapa saat kemudian, Aryan sudah sampai di depan pintu unit apartemen miliknya. Dia segera membuka pintu menggunakan pingger print dan masuk dengan langkah lebarnya. Matanya melebar kala melihat wajah gadis yang kini sedang duduk di samping ibunya.“Kamu?” Aryan menatap tak percaya keberadaan gadis yang dia temui di rumah sakit beberapa waktu lalu.Pada saat bersamaan Eira pun menoleh menatap kedatangan Aryan. Seketika jantungnya terasa berhenti berdebar saat melihat wajah orang yang selama seminggu ini menjadi majikannya.“Bapak?” Eira refleks berdiri dengan mata melebar.“Kenapa kamu malah berdiri di sana, heh? Duduk dan jelaskan semuanya, kenapa kamu menyembunyikan hubungan kalian berdua?” cecar Maheswari sambil menatap tajam sang anak.Aryan berdehem pelan sambil berjalan menghampiri Eira dan duduk di sampingnya.“Iya, kami berdua memang memiliki hubungan,” jawab Aryan tiba-tiba.“Hah?!” Eira menjerit tertahan sambil menoleh menatap wajah Aryan dengan mata melebar. ‘Apa maksudnya? Kenapa dia berbicara seperti itu?’ “Benarkan? Gadis manis ini adalah calon mantu Ibu? Ah, ibu gak percaya kalau kamu pintar dalam memilih calon istri.” Senyum Maheswari merekah, dia peluk Eira dengan penuh kasih sayang dan rasa syukur tak terkira, hembusan napas lega pun terdengar seolah sebuah beban yang begitu berat baru saja terangkat darinya.Eira memaksakan senyumnya dalam rasa bingung bercampur takut yang kian membesar. Dia tatap wajah datar Aryan dengan sejuta pertanyaan tertahan.Setelah berbicang sebentar, Aryan meminta izin untuk mengantarkan Eira pulang mengingat malam sudah semakin larut.“Sebenarnya Bapak tidak usah mengantarkan saya seperti ini,” ujar Eira ketika keduanya sudah berada di dalam lift.Aryan menatap wajah gadis yang berdiri di sampingnya, kakinya melangkah semakin mendekat hingga memojokkan Eira. Mata tajamnya masih tak berpaling walau jelas gadis itu sudah tampak ketakutan. Hatinya masih kesal akan semua masalah yang berawal dari keteledoran Eira.“Memang semua ini karena siapa? Bukankah kamu yang lebih dulu melanggar peraturan kerja di rumahku?” tanya Aryan dengan nada suara menekan. Eira sampai merinding mendengar pertanyaan memojokan dari Aryan, dia sempat melirik wajah tegas dan dewasa dengan rambut yang sedikit berantakan di depannya sebelum kembali berpaling, menghindari beradu tatap. “Eum ... i-itu.” Bola mata Eira tampak bergerak tak menentu, dia tidak bisa menjawab pertanyaan Aryan karena semua itu memang kenyataan. Namun, dia
"Kak, bertahanlah, aku mohon....” Eira terus bergumam diiringi tetes air mata yang terus mengalir membanjiri pipinya. Dia berjalan mondar-mandir di depan koridor rumah sakit, menunggu dokter yang sedang memeriksa keadaan Gilang.Suara derit pintu terbuka mengalihkan perhatian Eira, jantungnya semakin berpacu kala melihat wajah lelah dan tak berdaya dokter jaga yang masih berdiri di depan pintu.“Bagaimana keadaan kakak saya, Dok?” tanya Eira lirih. Dalam hati dia berharap agar tak mendapat kabar buruk. Namun, kadang kenyataan memang tak sesuai dengan harapan. “Kondisi pasien semakin buruk, kita harus melakukan operasi secepatnya,” jawab dokter dengan nada hati-hati. Dia cukup tahu bagaimana selama ini Eira selalu berjuang untuk mendapatkan keringanan dari rumah sakit.Eira kembali masuk ke ruang rawat setelah mendapat beberapa penjelasan dari dokter tentang kondisi Gilang saat ini. Dia tatap wajah yang masih tertidur tenang walau baru saja menyebabkan banyak kepanikan.“Apa Kakak sed
Setelah mendapatkan cuti dari atasannya, Eira dikejutkan dengan keberadaan Aryan di depan mini market tempatnya bekerja. "Sedang apa dia di sini?" gumam Eira. Dia langkahkan kakinya menghampiri Aryan yang tengah berdiri bersandar di samping mobil.Hatinya memang masih gondok akan ucapan kasar lelaki dewasa itu, tetapi dia juga harus bersikap profesional mengingat apa yang sudah dilakukan Aryan pada Gilang."Lupakan kesombongannya, Eira. Yang terpenting adalah kesembuhan Kak Gilang," gumamnya di sela langkahnya.Aryan menegakkan tubuhnya begitu melihat kedatangan Eira. "Sudah siap?" tanya Aryan."Tapi, barang bawaanku masih di kontrakan," jawab Eira yang tahu ke mana arah pertanyaan singkat Aryan."Kamu tidak perlu mmebawa apa pun," ujar Aryan sambil berbalik dan segera masuk ke mobil."Tapi, Pak-" Eira menghentikan perkataannya dan segera berjalan cepat memutar dan menyusul Aryan."Kenakan sabuk pengaman. Kita berangkat sekarang," titah Aryan lalu mulai menginjak pedal gas. Mobil pu
Ternyata, Maheswari telah merencanakan untuk menggantikan acara ulang tahun nenek dengan pertunangan Aryan dan Eira. Bahkan nenek pun sudah mengetahuinya."Apa ini tidak terlalu membebani Eira? Walau bagaimana pun, dia belum memberi persetujuan pada sebuah pertunangan," ujar Aryan saat mereka sedang berbicara di ruang kerja sang ayah setelah makan malam. Dia berusaha menghindar dari acara dadakan yang direncanakan oleh kedua orang tuanya."Kalau dia tahu, itu namanya bukan kejutan dong?" jawab Maheswari sigap. "Lagi pulan, apa kamu tidak kasihan pada ibumu ini yang sudah sangat ingin menggendong cucu?"Aryan menghembuskan napas pelan, pundaknya tampak turun kala melihat wajah memelas Maheswari. Tenyata bukan pertunangan yang akan terjadi besaok, tetapi lamaran untuk Eira di tengah acara ulang tahun nenek. "Bukankah kalian sudah cocok?" Edrik yang sejak tadi hanya memperhatikan mulai membuka suara.Aryan mengangguk."Kalau begitu, sekarang atau nanti apa bedanya?" tanya Edrik lagi.Ar
"Tunggu! Aku tidak setuju dengan hubungan kalian!" Seorang wanita dengan lipstik merah menyala berdiri di depan pintu masuk. Napasnya tampak memburu, begitu juga raut wajahnya yang amat sangat marah."Mba Asih?" Maheswari bergumam pelan. Dia terkejut dengan kedatangan wanita paruh baya itu.Begitu juga dengan Aryan yang tampak berdiri mematung dengan tatapan yang rumit. Tak jauh berbeda para sanak saudara yang juga berada di sana.Sementara itu, Eira hanya bisa menatap bingung reaksi semua orang. Dia yang tak tahu apa-apa hanya bisa terdiam dan menyaksikan momen aneh yang sedang terjadi.Plak! Sebuah tamparan yang sangat keras mendarat tepat di pipi Aryan. Namun, laki-laki itu masih tak bereaksi. Walau wajahnya terlihat pucat pasi, dengan mata yang mulai memerah. "Kamu tidak pantas mendapatkan semua ini! Pembunuh sepertimu, harusnya menderita seumur hidup!" teriak Asih tepat di depan wajah Aryan.Deg! 'A-apa maksudnya? Pembunuh?' Eira membolakan matanya, dia tak sanggup lagi menahan
"Kamu?" Bibir tipis itu bergumam pelan. Matanya menatap Eira dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. Aryan memutari kursi taman lalu berdiri tepat di depan Eira dan mengambil alih payung."Maaf, Pak. Saya cuma takut bapak sakit karena kehujanan," gumam Eira pelan. Sempat mengerjap beberapa kali sebelum matanya dia arahkan pada sepasang sendal rumahan berwaran merah muda yang sedang dirinya pakai. Sorot tajam dari sepasang iris mata Aryan mampu membuat nyalinya menciut. Seolah kebetulan yang tak selamanya akan datang, pada saat itu juga hujan turun semakin lebat, hingga membuat tubuh keduanya tak terlindungi oleh satu payung yang dibawa Eira, sekaligus menyadarkan keduanya dari tubuh yang terpaku di tempat. "Hujan. Ayo kita masuk," ujar Aryan sambil merangkul pundak Eira, agar tubuh keduanya lebih merapat.Deg! Jantung Eira seolah terpacu hingga berdebar begitu cepat, kala tangan besar dengan rasa dingin itu menempel di lengannya yang tak terhalang oleh baju dan menariknya denga
"M-maaf, aku cuma lewat. Aku gak denger apa-apa kok," ujar Eira cepat. Karena terkejut, dia bahkan tak bisa mengendalikan dirinya hingga suaranya sedikit terbata. Aryan menelisik wajah panik Eira. Bahkan tanpa Eira menyangkal pun, dia tahu betul jika gadis itu sudah mendengar semuanya. Namun, alih-alih menegur, Aryan lebih memilih segera berlalu, meninggalkan Eira begitu saja dengan rasa bersalahnya.'Ish, ngapain sih kamu tuh jadi orang kepo banget, Ira-Ira.' Eira menggeleng lemah sambil terus menyesali perbuatannya yang tak bisa menahan rasa keingin tahuannya.Ya, dia memang tak sengaja mendengar perbincangan Aryan dan kedua orang tuanya ketika berjalan melewati kamar Maheswari dan Dedrik, karena pintu kamar yang sedikit terbuka. Tak kuasa menahan rasa penasaran, Eira malah berhenti dan menguping. Namun, kini dia berasa menyesal karena sudah bersikap lancang. ***Setelah sarapan bersama, Aryan dan Eira berpamitan untuk kembali ke rutinitas masi
"Kamu gak papa?" Aryan segera berjalan menghampiri Eira. Dia mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan Asih. Namun, dirinya tak juga menemukannya. "Ra?" Aryan harus sedikit menggoyangkan tubuh Eira agar gadis itu menyadari keberadaannya. "Bapak-" Bibir bergetar Eira bergumam lirih. Matanya perlahan bergulir hingga kini tepat menatap wajah Aryan. "Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?" tanya Aryan sambil meneliti tubuh Eira, memastikan jika gadis itu tidak memiliki luka sedikit pun. Namun, kekacauan yang dibuat Asih masih membuatnya khawatir, apa lagi dia tidak tahu di mana wanita itu berada. "Di mana Tante Asih?" Eira hanya menggeleng sebagai jawaban, tetapi matanya kembali mengedar menatap sekitar, lalu bergumam sangat lirih. "Sudah pergi." Aryan menghembuskan napas lega. Walau kini matanya menyipit melihat ada darah di kaki Eira, sepertinya terkena pecahan kaca. "Kamu terluka." Perlahan Aryan memapah tubuh Eira un
Eira menghentikan langkahnya di pintu begitu matanya melihat keberadaan Dikta yang sedang berdiri sambil berbincang dengan salah satu rekan kerjanya di tempat parkir. Dia yang sudah selesai bekerja sama sekali tak menyadari keberadaan laki-laki itu sebelumnya. Lokasinya yang berada di pojok parkir, membuat Dikta tak terlihat dari dalam minimarket.“Kenapa Bang Dikta ke sini lagi sih?” gumam Eira. Dia meringis pelan, merasa tak nyaman akan keberadaan mantan rekan kerjanya itu.Reaksi Eira berbanding terbalik dengan Dikta yang tampak langsung menatapnya dengan berbinar, bahkan senyum di bibirnya merekah. Walau enggan, demi kesopanan Eira terpaksa menemui Dikta dan menyapa. “Bang Dikta,” ujarnya yang diiringi senyum tipis dan anggukkan kepala samar.“Tuh, yang ditunggu udah dateng. Kalau gitu, gue masuk dulu,” ujar seorang lelaki yang merupakan rekan kerja Eira.“Apaan sih, Bang?” Eira merengut, tak terima dengan godaan sang rekan kerja
Eira mengerjap pelan kala sinar matahari pagi mengusik tidur lelapnya. Dia memicingkan mata sambil menatap sekitar di mana dia tertidur semalam, setelah melampiaskan kekesalannya pada Aryan yang tak kunjung kembali.Bosan menunggu, akhirnya Eira memutuskan menonton drama favoritnya hingga perlahan kesadarannya direnggut begitu saja kala lelah sudah tak lagi dapat dia tahan. Eira terlelap dalam posisi yang entah bagaimana.Mengingat itu, Eira kembali mengerucutkan bibirnya. Entah jam berapa suaminya itu kembali ke kamar? “Jangan-jangan dia malah belum balik sampai sekarang?” gumam Eira sambil melihat ke arah pintu ruang kerja yang masih tertutup rapat.Namun sesaat kemudian, perhatiannya teralihkan pada laptop miliknya yang sudah tersimpan rapi di atas meja, begitu juga dengan sisa kekesalannya yang sudah membaik. “Enggak mungkin kan kalau Pak Aryan yang membereskan semua ini?” gumam Eira. Dia duduk di ujung ranjang sambil terus menelit
Aryan tersenyum miring begitu dia menutup pintu kamarnya rapat, dia melirik ke belakang seolah bisa melihat Eira yang sedang menahan kesal di dalam sana.‘Dia pasti sedang kesal sekarang.’ Ingatan Aryan kembali pada saat dirinya baru saja sampai di restoran di dekat rumah sakit tempat Gilang dirawat. Sebenarnya dia bisa melihat Eira menemui Dikta. Namun, sayang sekali ketika itu dirinya sudah bersama klien yang ingin bekerja sama, hingga Aryan hanya bisa melihat dan membiarkannya dengan hati yang dongkol.Saat itu, sebenarnya Aryan sudah tahu semuanya. Bahkan dia mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Dikta ketuka dirinya menerima telepon di ponsel Eira. Tampaknya laki-laki tidak tahu malu itu memang tengah mendekati Eira, padahal dia sudah tahu kalau Eira telah bersuami. Wajah Aryan langsung berubah serius kala dia sudah sampai di lantai satu dan melihat keberadaan Alderia di ruang tamu. Wanita itu tampak tersenyum semringah saat melihat Aryan berjalan ke arahnya.“Ar....” Alderi
Eira menarik napas dalam lalu menghembuskannya kasar, dia sempat berhenti terlebih dahulu sebelum kembali mengetuk pintu Aryan untuk memberitahu keberadaan Alderia. Matanya melihat hujan yang semakin deras bahkan sebuah gemuruh yang cukup kencang terdengar menggelegar di ujung langit. Dia menyempatkan menutup dulu pintu menuju balkon lalu kembali ke depan ruang kerja Aryan.“Apa, Pak Aryan beneran marah padaku?” gumam Eira ketika pintu di depannya tak kunjung terbuka, padahal ini sudah ketiga kalinya dia mengetuk.“Pak, ada tamu di bawah." Eira kembali berbicara dengan sedikit berteriak, takut tak terdengar oleh Aryan. Namun, pintu tak juga terbuka. “Kayaknya gak mungkin deh kalau dia ketiduran.”“Apa aku buka aja ya.” Eira tatap gagang pintu yang tak kunjung bergerak itu. Perlahan tangannya mulai menyentuh dan mencoba menggerakkannya. “Enggak dikunci,” ujarnya pelan.“Pak Aryan, aku masuk ya,” sambungnya dengan suara yang sedikit lebih ker
“Apa yang Bapak lakukan?!” Eira melebarkan matanya kala melihat Aryan yang sudah menempelkan ponselnya di telinga sambil menyeringai. Tubuhnya gemetar ketakutan akan apa yang terjadi berikutnya jika sampai itu adalah telepon dari Dikta. Mulutnya tertutup rapat saat jari telunjuk Aryan menempel tepat di tengahnya dengan posisi yang masih sama. Hanya beberapa detik laki-laki itu seperti mendengarkan sesuatu dari seberang sana hingga akhirnya dia menjatuhkan ponselnya dan dengan gerakan cepat menempelkan kedua bibir mereka hingga tak ada kesempatan bagi Eira untuk menghindar atau menolaknya. Setelah beberapa saat sama-sama terdiam, perlahan Aryan mulai menggerakkannya. Laki-laki itu melakukannya lumayan lama, hingga mampu membuat Eira melupakan semua rasa takut, kebimbangan, dan semua masalah hidupnya untuk sesaat.“Kamu milikku ... tidak ada yang boleh memilikimu selain aku, Eira Zafran,” ujar Aryan begitu dia melepaskan bibir Eira. Napasnya yang memburu bahkan masih terdengar jelas di
“Sedang apa kamu di sini?” Aryan menatap tajam kedua orang di depannya hingga kerutan di keningnya terlihat jelas.“Arya?” Nathan tak kuasa menahan rasa terkejutnya ketika dia menyadari keberadaan sang sahabat tepat di depannya. Dia berdiri sambil tertawa hambar demi menutupi kecanggungan yang tiba-tiba menggelayuti dirinya.“Sejak kapan lo ada di sini?” tanyanya. Dia merangkul pundak Aryan seolah tak terjadi apa pun, walau nada suaranya yang bergetar tak dapat dia kendalikan. “Eira....” Suara rendah dan penuh penekanan itu dia tujukan pada gadis yang sejak tadi hanya diam dengan wajah pucat pasi, seolah baru saja terpergok tengah berselingkuh. Dia bahkan tak mengalihkan sedikit pun pandangannya pada Nathan yang kini berada di sampingnya.Eira mengedipkan matanya pelan, perlahan dia gulirkan pandangannya pada laki-laki yang sejak tadi sudah menghantui pikirannya. Beginikah rasanya jika kita ketahuan ketika sedang melakukan kesalahan? Dia
“Uhuk!” Eira terbatuk sambil mengerjap cepat, tubuhnya pun otomatis mundur dengan gerakan kaku. ‘Apa yang kamu pikirkan, Ra?’ tangannya kembali mencoba membuka pintu mobil. Namun, ternyata kembali tidak berhasil karena masih terkunci.“Tolong buka pintunya....” Akhirnya Eira kembali memberanikan diri untuk menatap wajah Aryan walau hanya sekilas, sementara tangannya masih mencoba membuka pintu berulang kali.Eira segera ke luar dan berjalan cepat masuk ke rumah sakit, begitu dia berhasil membuka pintu. Dalam hati dia terus merutuki dirinya sendiri yang sempat memikirkan hal yang tidak-tidak bersama dengan Aryan.Sementara itu, Aryan yang masih terpaku di dalam mobil dengan pikiran yang tak bisa beralih dari kejadian tadi, hanya tersenyum tipis kala dia melihat Eira yang berjalan setengah berlari menuju rumah sakit. “Kenapa dia harus bersikap malu seperti itu? Apa dia juga sempat berpikir hal yang sama denganku?”Aryan terkekeh pelan sambi
“Sayang?” Dikta menatap penuh tanya pada interaksi Eira dan Aryan. “Apa maksudnya ini, Ra? Siapa dia?” tanya Dikta sambil menatap penuh tuntutan pada Eira. Dia butuh penjelasan. “Begini, Bang. Eum....” Eira berusaha menjelaskan walau tiba-tiba saja lidahnya terasa sulit untuk digerakkan. Dia bingung harus mengatakan apa pada Dikta. Matanya melebar saat Aryan tiba-tiba maju dan berdiri tepat di tengah-tengah antara dirinya dan Dikta. “Perkenalkan, saya Aryan, suami Eira,” ujar Aryan dengan nada suara tegas dan jelas. Dia mengulurkan tangannya, meminta berjabat dengan Dikta. Seringai miring dan penuh kemenangan terlihat menghiasi wajah tampannya. Eira merengut, dia tatap wajah puas Aryan dengan hati bertanya-tanya. 'Apa maksudnya ini?'“Suami?” Dikta berusaha melihat Eira yang berada di belakang tubuh Aryan. Dia tak peduli pada tangan Aryan, yang dirinya butuhkan saat ini adalah sebuah penjelasan dari Eira langsung. “Kamu sudah menikah, Ra?”"I-itu ... aku...." Eira meringis sambil m
“Kamu benar-benar melaporkan Alderia ke polisi, Ar?” tanya Nathan. Saat ini mereka berdua sedang berada di kantor Aryan. Nathan sengaja mendatangi sahabatnya secara langsung setelah mendengar berita yang beredar tentang Alderia dari Sherin.Aryan menangguk. Dia memang tidak main-main dengan ucapannya beberapa hari lalu. Laki-laki itu tampak membungkukkan tubuhnya hingga kedua siku tangannya bertumpu di lutut bagian atas. Tatapan matanya tampak tajam menusuk pada Nathan, walau seringai di bibirnya tampak jelas.“Siapa pun yang berani mengusik ketenangan keluarga gue, gue akan tindak tegas. Lo sudah tahu pasti tentang itu kan, Than? Gue tidak pernah berubah jika itu soal keamanan dan ketenangan keluarga gue,” ujar Aryan dengan begitu ringan, seolah tanpa beban.“Gue tahu,” angguk Nathan. Namun, kini dia juga memajukan tubuhnya hingga mendekat pada Aryan, lalu melanjutkan perkataannya dengan nada yang terdengar sedikit canggung. “Tapi, apa itu tidak terlalu kejam? Walau bagaimana pun, A