“Sayang?” Dikta menatap penuh tanya pada interaksi Eira dan Aryan. “Apa maksudnya ini, Ra? Siapa dia?” tanya Dikta sambil menatap penuh tuntutan pada Eira. Dia butuh penjelasan. “Begini, Bang. Eum....” Eira berusaha menjelaskan walau tiba-tiba saja lidahnya terasa sulit untuk digerakkan. Dia bingung harus mengatakan apa pada Dikta. Matanya melebar saat Aryan tiba-tiba maju dan berdiri tepat di tengah-tengah antara dirinya dan Dikta. “Perkenalkan, saya Aryan, suami Eira,” ujar Aryan dengan nada suara tegas dan jelas. Dia mengulurkan tangannya, meminta berjabat dengan Dikta. Seringai miring dan penuh kemenangan terlihat menghiasi wajah tampannya. Eira merengut, dia tatap wajah puas Aryan dengan hati bertanya-tanya. 'Apa maksudnya ini?'“Suami?” Dikta berusaha melihat Eira yang berada di belakang tubuh Aryan. Dia tak peduli pada tangan Aryan, yang dirinya butuhkan saat ini adalah sebuah penjelasan dari Eira langsung. “Kamu sudah menikah, Ra?”"I-itu ... aku...." Eira meringis sambil m
“Uhuk!” Eira terbatuk sambil mengerjap cepat, tubuhnya pun otomatis mundur dengan gerakan kaku. ‘Apa yang kamu pikirkan, Ra?’ tangannya kembali mencoba membuka pintu mobil. Namun, ternyata kembali tidak berhasil karena masih terkunci.“Tolong buka pintunya....” Akhirnya Eira kembali memberanikan diri untuk menatap wajah Aryan walau hanya sekilas, sementara tangannya masih mencoba membuka pintu berulang kali.Eira segera ke luar dan berjalan cepat masuk ke rumah sakit, begitu dia berhasil membuka pintu. Dalam hati dia terus merutuki dirinya sendiri yang sempat memikirkan hal yang tidak-tidak bersama dengan Aryan.Sementara itu, Aryan yang masih terpaku di dalam mobil dengan pikiran yang tak bisa beralih dari kejadian tadi, hanya tersenyum tipis kala dia melihat Eira yang berjalan setengah berlari menuju rumah sakit. “Kenapa dia harus bersikap malu seperti itu? Apa dia juga sempat berpikir hal yang sama denganku?”Aryan terkekeh pelan sambi
“Sedang apa kamu di sini?” Aryan menatap tajam kedua orang di depannya hingga kerutan di keningnya terlihat jelas.“Arya?” Nathan tak kuasa menahan rasa terkejutnya ketika dia menyadari keberadaan sang sahabat tepat di depannya. Dia berdiri sambil tertawa hambar demi menutupi kecanggungan yang tiba-tiba menggelayuti dirinya.“Sejak kapan lo ada di sini?” tanyanya. Dia merangkul pundak Aryan seolah tak terjadi apa pun, walau nada suaranya yang bergetar tak dapat dia kendalikan. “Eira....” Suara rendah dan penuh penekanan itu dia tujukan pada gadis yang sejak tadi hanya diam dengan wajah pucat pasi, seolah baru saja terpergok tengah berselingkuh. Dia bahkan tak mengalihkan sedikit pun pandangannya pada Nathan yang kini berada di sampingnya.Eira mengedipkan matanya pelan, perlahan dia gulirkan pandangannya pada laki-laki yang sejak tadi sudah menghantui pikirannya. Beginikah rasanya jika kita ketahuan ketika sedang melakukan kesalahan? Dia
“Apa yang Bapak lakukan?!” Eira melebarkan matanya kala melihat Aryan yang sudah menempelkan ponselnya di telinga sambil menyeringai. Tubuhnya gemetar ketakutan akan apa yang terjadi berikutnya jika sampai itu adalah telepon dari Dikta. Mulutnya tertutup rapat saat jari telunjuk Aryan menempel tepat di tengahnya dengan posisi yang masih sama. Hanya beberapa detik laki-laki itu seperti mendengarkan sesuatu dari seberang sana hingga akhirnya dia menjatuhkan ponselnya dan dengan gerakan cepat menempelkan kedua bibir mereka hingga tak ada kesempatan bagi Eira untuk menghindar atau menolaknya. Setelah beberapa saat sama-sama terdiam, perlahan Aryan mulai menggerakkannya. Laki-laki itu melakukannya lumayan lama, hingga mampu membuat Eira melupakan semua rasa takut, kebimbangan, dan semua masalah hidupnya untuk sesaat.“Kamu milikku ... tidak ada yang boleh memilikimu selain aku, Eira Zafran,” ujar Aryan begitu dia melepaskan bibir Eira. Napasnya yang memburu bahkan masih terdengar jelas di
Eira menarik napas dalam lalu menghembuskannya kasar, dia sempat berhenti terlebih dahulu sebelum kembali mengetuk pintu Aryan untuk memberitahu keberadaan Alderia. Matanya melihat hujan yang semakin deras bahkan sebuah gemuruh yang cukup kencang terdengar menggelegar di ujung langit. Dia menyempatkan menutup dulu pintu menuju balkon lalu kembali ke depan ruang kerja Aryan.“Apa, Pak Aryan beneran marah padaku?” gumam Eira ketika pintu di depannya tak kunjung terbuka, padahal ini sudah ketiga kalinya dia mengetuk.“Pak, ada tamu di bawah." Eira kembali berbicara dengan sedikit berteriak, takut tak terdengar oleh Aryan. Namun, pintu tak juga terbuka. “Kayaknya gak mungkin deh kalau dia ketiduran.”“Apa aku buka aja ya.” Eira tatap gagang pintu yang tak kunjung bergerak itu. Perlahan tangannya mulai menyentuh dan mencoba menggerakkannya. “Enggak dikunci,” ujarnya pelan.“Pak Aryan, aku masuk ya,” sambungnya dengan suara yang sedikit lebih ker
Aryan tersenyum miring begitu dia menutup pintu kamarnya rapat, dia melirik ke belakang seolah bisa melihat Eira yang sedang menahan kesal di dalam sana.‘Dia pasti sedang kesal sekarang.’ Ingatan Aryan kembali pada saat dirinya baru saja sampai di restoran di dekat rumah sakit tempat Gilang dirawat. Sebenarnya dia bisa melihat Eira menemui Dikta. Namun, sayang sekali ketika itu dirinya sudah bersama klien yang ingin bekerja sama, hingga Aryan hanya bisa melihat dan membiarkannya dengan hati yang dongkol.Saat itu, sebenarnya Aryan sudah tahu semuanya. Bahkan dia mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Dikta ketuka dirinya menerima telepon di ponsel Eira. Tampaknya laki-laki tidak tahu malu itu memang tengah mendekati Eira, padahal dia sudah tahu kalau Eira telah bersuami. Wajah Aryan langsung berubah serius kala dia sudah sampai di lantai satu dan melihat keberadaan Alderia di ruang tamu. Wanita itu tampak tersenyum semringah saat melihat Aryan berjalan ke arahnya.“Ar....” Alderi
Eira mengerjap pelan kala sinar matahari pagi mengusik tidur lelapnya. Dia memicingkan mata sambil menatap sekitar di mana dia tertidur semalam, setelah melampiaskan kekesalannya pada Aryan yang tak kunjung kembali.Bosan menunggu, akhirnya Eira memutuskan menonton drama favoritnya hingga perlahan kesadarannya direnggut begitu saja kala lelah sudah tak lagi dapat dia tahan. Eira terlelap dalam posisi yang entah bagaimana.Mengingat itu, Eira kembali mengerucutkan bibirnya. Entah jam berapa suaminya itu kembali ke kamar? “Jangan-jangan dia malah belum balik sampai sekarang?” gumam Eira sambil melihat ke arah pintu ruang kerja yang masih tertutup rapat.Namun sesaat kemudian, perhatiannya teralihkan pada laptop miliknya yang sudah tersimpan rapi di atas meja, begitu juga dengan sisa kekesalannya yang sudah membaik. “Enggak mungkin kan kalau Pak Aryan yang membereskan semua ini?” gumam Eira. Dia duduk di ujung ranjang sambil terus menelit
Eira menghentikan langkahnya di pintu begitu matanya melihat keberadaan Dikta yang sedang berdiri sambil berbincang dengan salah satu rekan kerjanya di tempat parkir. Dia yang sudah selesai bekerja sama sekali tak menyadari keberadaan laki-laki itu sebelumnya. Lokasinya yang berada di pojok parkir, membuat Dikta tak terlihat dari dalam minimarket.“Kenapa Bang Dikta ke sini lagi sih?” gumam Eira. Dia meringis pelan, merasa tak nyaman akan keberadaan mantan rekan kerjanya itu.Reaksi Eira berbanding terbalik dengan Dikta yang tampak langsung menatapnya dengan berbinar, bahkan senyum di bibirnya merekah. Walau enggan, demi kesopanan Eira terpaksa menemui Dikta dan menyapa. “Bang Dikta,” ujarnya yang diiringi senyum tipis dan anggukkan kepala samar.“Tuh, yang ditunggu udah dateng. Kalau gitu, gue masuk dulu,” ujar seorang lelaki yang merupakan rekan kerja Eira.“Apaan sih, Bang?” Eira merengut, tak terima dengan godaan sang rekan kerja
Eira menghentikan langkahnya di pintu begitu matanya melihat keberadaan Dikta yang sedang berdiri sambil berbincang dengan salah satu rekan kerjanya di tempat parkir. Dia yang sudah selesai bekerja sama sekali tak menyadari keberadaan laki-laki itu sebelumnya. Lokasinya yang berada di pojok parkir, membuat Dikta tak terlihat dari dalam minimarket.“Kenapa Bang Dikta ke sini lagi sih?” gumam Eira. Dia meringis pelan, merasa tak nyaman akan keberadaan mantan rekan kerjanya itu.Reaksi Eira berbanding terbalik dengan Dikta yang tampak langsung menatapnya dengan berbinar, bahkan senyum di bibirnya merekah. Walau enggan, demi kesopanan Eira terpaksa menemui Dikta dan menyapa. “Bang Dikta,” ujarnya yang diiringi senyum tipis dan anggukkan kepala samar.“Tuh, yang ditunggu udah dateng. Kalau gitu, gue masuk dulu,” ujar seorang lelaki yang merupakan rekan kerja Eira.“Apaan sih, Bang?” Eira merengut, tak terima dengan godaan sang rekan kerja
Eira mengerjap pelan kala sinar matahari pagi mengusik tidur lelapnya. Dia memicingkan mata sambil menatap sekitar di mana dia tertidur semalam, setelah melampiaskan kekesalannya pada Aryan yang tak kunjung kembali.Bosan menunggu, akhirnya Eira memutuskan menonton drama favoritnya hingga perlahan kesadarannya direnggut begitu saja kala lelah sudah tak lagi dapat dia tahan. Eira terlelap dalam posisi yang entah bagaimana.Mengingat itu, Eira kembali mengerucutkan bibirnya. Entah jam berapa suaminya itu kembali ke kamar? “Jangan-jangan dia malah belum balik sampai sekarang?” gumam Eira sambil melihat ke arah pintu ruang kerja yang masih tertutup rapat.Namun sesaat kemudian, perhatiannya teralihkan pada laptop miliknya yang sudah tersimpan rapi di atas meja, begitu juga dengan sisa kekesalannya yang sudah membaik. “Enggak mungkin kan kalau Pak Aryan yang membereskan semua ini?” gumam Eira. Dia duduk di ujung ranjang sambil terus menelit
Aryan tersenyum miring begitu dia menutup pintu kamarnya rapat, dia melirik ke belakang seolah bisa melihat Eira yang sedang menahan kesal di dalam sana.‘Dia pasti sedang kesal sekarang.’ Ingatan Aryan kembali pada saat dirinya baru saja sampai di restoran di dekat rumah sakit tempat Gilang dirawat. Sebenarnya dia bisa melihat Eira menemui Dikta. Namun, sayang sekali ketika itu dirinya sudah bersama klien yang ingin bekerja sama, hingga Aryan hanya bisa melihat dan membiarkannya dengan hati yang dongkol.Saat itu, sebenarnya Aryan sudah tahu semuanya. Bahkan dia mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Dikta ketuka dirinya menerima telepon di ponsel Eira. Tampaknya laki-laki tidak tahu malu itu memang tengah mendekati Eira, padahal dia sudah tahu kalau Eira telah bersuami. Wajah Aryan langsung berubah serius kala dia sudah sampai di lantai satu dan melihat keberadaan Alderia di ruang tamu. Wanita itu tampak tersenyum semringah saat melihat Aryan berjalan ke arahnya.“Ar....” Alderi
Eira menarik napas dalam lalu menghembuskannya kasar, dia sempat berhenti terlebih dahulu sebelum kembali mengetuk pintu Aryan untuk memberitahu keberadaan Alderia. Matanya melihat hujan yang semakin deras bahkan sebuah gemuruh yang cukup kencang terdengar menggelegar di ujung langit. Dia menyempatkan menutup dulu pintu menuju balkon lalu kembali ke depan ruang kerja Aryan.“Apa, Pak Aryan beneran marah padaku?” gumam Eira ketika pintu di depannya tak kunjung terbuka, padahal ini sudah ketiga kalinya dia mengetuk.“Pak, ada tamu di bawah." Eira kembali berbicara dengan sedikit berteriak, takut tak terdengar oleh Aryan. Namun, pintu tak juga terbuka. “Kayaknya gak mungkin deh kalau dia ketiduran.”“Apa aku buka aja ya.” Eira tatap gagang pintu yang tak kunjung bergerak itu. Perlahan tangannya mulai menyentuh dan mencoba menggerakkannya. “Enggak dikunci,” ujarnya pelan.“Pak Aryan, aku masuk ya,” sambungnya dengan suara yang sedikit lebih ker
“Apa yang Bapak lakukan?!” Eira melebarkan matanya kala melihat Aryan yang sudah menempelkan ponselnya di telinga sambil menyeringai. Tubuhnya gemetar ketakutan akan apa yang terjadi berikutnya jika sampai itu adalah telepon dari Dikta. Mulutnya tertutup rapat saat jari telunjuk Aryan menempel tepat di tengahnya dengan posisi yang masih sama. Hanya beberapa detik laki-laki itu seperti mendengarkan sesuatu dari seberang sana hingga akhirnya dia menjatuhkan ponselnya dan dengan gerakan cepat menempelkan kedua bibir mereka hingga tak ada kesempatan bagi Eira untuk menghindar atau menolaknya. Setelah beberapa saat sama-sama terdiam, perlahan Aryan mulai menggerakkannya. Laki-laki itu melakukannya lumayan lama, hingga mampu membuat Eira melupakan semua rasa takut, kebimbangan, dan semua masalah hidupnya untuk sesaat.“Kamu milikku ... tidak ada yang boleh memilikimu selain aku, Eira Zafran,” ujar Aryan begitu dia melepaskan bibir Eira. Napasnya yang memburu bahkan masih terdengar jelas di
“Sedang apa kamu di sini?” Aryan menatap tajam kedua orang di depannya hingga kerutan di keningnya terlihat jelas.“Arya?” Nathan tak kuasa menahan rasa terkejutnya ketika dia menyadari keberadaan sang sahabat tepat di depannya. Dia berdiri sambil tertawa hambar demi menutupi kecanggungan yang tiba-tiba menggelayuti dirinya.“Sejak kapan lo ada di sini?” tanyanya. Dia merangkul pundak Aryan seolah tak terjadi apa pun, walau nada suaranya yang bergetar tak dapat dia kendalikan. “Eira....” Suara rendah dan penuh penekanan itu dia tujukan pada gadis yang sejak tadi hanya diam dengan wajah pucat pasi, seolah baru saja terpergok tengah berselingkuh. Dia bahkan tak mengalihkan sedikit pun pandangannya pada Nathan yang kini berada di sampingnya.Eira mengedipkan matanya pelan, perlahan dia gulirkan pandangannya pada laki-laki yang sejak tadi sudah menghantui pikirannya. Beginikah rasanya jika kita ketahuan ketika sedang melakukan kesalahan? Dia
“Uhuk!” Eira terbatuk sambil mengerjap cepat, tubuhnya pun otomatis mundur dengan gerakan kaku. ‘Apa yang kamu pikirkan, Ra?’ tangannya kembali mencoba membuka pintu mobil. Namun, ternyata kembali tidak berhasil karena masih terkunci.“Tolong buka pintunya....” Akhirnya Eira kembali memberanikan diri untuk menatap wajah Aryan walau hanya sekilas, sementara tangannya masih mencoba membuka pintu berulang kali.Eira segera ke luar dan berjalan cepat masuk ke rumah sakit, begitu dia berhasil membuka pintu. Dalam hati dia terus merutuki dirinya sendiri yang sempat memikirkan hal yang tidak-tidak bersama dengan Aryan.Sementara itu, Aryan yang masih terpaku di dalam mobil dengan pikiran yang tak bisa beralih dari kejadian tadi, hanya tersenyum tipis kala dia melihat Eira yang berjalan setengah berlari menuju rumah sakit. “Kenapa dia harus bersikap malu seperti itu? Apa dia juga sempat berpikir hal yang sama denganku?”Aryan terkekeh pelan sambi
“Sayang?” Dikta menatap penuh tanya pada interaksi Eira dan Aryan. “Apa maksudnya ini, Ra? Siapa dia?” tanya Dikta sambil menatap penuh tuntutan pada Eira. Dia butuh penjelasan. “Begini, Bang. Eum....” Eira berusaha menjelaskan walau tiba-tiba saja lidahnya terasa sulit untuk digerakkan. Dia bingung harus mengatakan apa pada Dikta. Matanya melebar saat Aryan tiba-tiba maju dan berdiri tepat di tengah-tengah antara dirinya dan Dikta. “Perkenalkan, saya Aryan, suami Eira,” ujar Aryan dengan nada suara tegas dan jelas. Dia mengulurkan tangannya, meminta berjabat dengan Dikta. Seringai miring dan penuh kemenangan terlihat menghiasi wajah tampannya. Eira merengut, dia tatap wajah puas Aryan dengan hati bertanya-tanya. 'Apa maksudnya ini?'“Suami?” Dikta berusaha melihat Eira yang berada di belakang tubuh Aryan. Dia tak peduli pada tangan Aryan, yang dirinya butuhkan saat ini adalah sebuah penjelasan dari Eira langsung. “Kamu sudah menikah, Ra?”"I-itu ... aku...." Eira meringis sambil m
“Kamu benar-benar melaporkan Alderia ke polisi, Ar?” tanya Nathan. Saat ini mereka berdua sedang berada di kantor Aryan. Nathan sengaja mendatangi sahabatnya secara langsung setelah mendengar berita yang beredar tentang Alderia dari Sherin.Aryan menangguk. Dia memang tidak main-main dengan ucapannya beberapa hari lalu. Laki-laki itu tampak membungkukkan tubuhnya hingga kedua siku tangannya bertumpu di lutut bagian atas. Tatapan matanya tampak tajam menusuk pada Nathan, walau seringai di bibirnya tampak jelas.“Siapa pun yang berani mengusik ketenangan keluarga gue, gue akan tindak tegas. Lo sudah tahu pasti tentang itu kan, Than? Gue tidak pernah berubah jika itu soal keamanan dan ketenangan keluarga gue,” ujar Aryan dengan begitu ringan, seolah tanpa beban.“Gue tahu,” angguk Nathan. Namun, kini dia juga memajukan tubuhnya hingga mendekat pada Aryan, lalu melanjutkan perkataannya dengan nada yang terdengar sedikit canggung. “Tapi, apa itu tidak terlalu kejam? Walau bagaimana pun, A