Setelah mendapatkan cuti dari atasannya, Eira dikejutkan dengan keberadaan Aryan di depan mini market tempatnya bekerja.
"Sedang apa dia di sini?" gumam Eira. Dia langkahkan kakinya menghampiri Aryan yang tengah berdiri bersandar di samping mobil.Hatinya memang masih gondok akan ucapan kasar lelaki dewasa itu, tetapi dia juga harus bersikap profesional mengingat apa yang sudah dilakukan Aryan pada Gilang."Lupakan kesombongannya, Eira. Yang terpenting adalah kesembuhan Kak Gilang," gumamnya di sela langkahnya.Aryan menegakkan tubuhnya begitu melihat kedatangan Eira."Sudah siap?" tanya Aryan."Tapi, barang bawaanku masih di kontrakan," jawab Eira yang tahu ke mana arah pertanyaan singkat Aryan."Kamu tidak perlu mmebawa apa pun," ujar Aryan sambil berbalik dan segera masuk ke mobil."Tapi, Pak-" Eira menghentikan perkataannya dan segera berjalan cepat memutar dan menyusul Aryan."Kenakan sabuk pengaman. Kita berangkat sekarang," titah Aryan lalu mulai menginjak pedal gas. Mobil pun melaju menyatu dengan lalu lintas jalanan yang sedikit padat.Aryan sempat membawa Eira ke sebuah butik terlebih dahulu untuk membawa barang pesananya yang ternyata semua keperluan Eira. Dia juga sempat menunggu cukup lama, saat Aryan harus mengadakan rapat online dadakan. Dia sudah cukup tahu bagaimana sibuknya seorang Aryan."Apa ini tidak berlebihan? Kita hanya akan pergi selama dua hari tapi Bapak membelikanku sebanyak ini?" Eira meringis melihat satu koper baju dan segala keperluan perempuan yang disiapkan Aryan untuknya."Gak usah banyak protes, lagian ini semua menggunakan uangku, jadi suka-suka saya," jawab Aryan tak acuh.Eira mendengus kesal lalu kembali duduk tegak, menikmati kepadatan jalan yang entah mengapa seolah tak pernah berkesudahan."Sudah petang, sebaiknya kita--" Aryan menoleh kala mendengar suara perut Eira yang keroncongan, dia tatap wajah gadis itu dengan raut seolah tengah bertanya, kamu lapar?"Bukan aku!" Eira mengelak, dia memang belum makan siang, hingga sejak tadi perutnya sudah sangat kelaparan."Sepertinya masih ada waktu untuk menikmati kopi dan kue manis." Aryan menatap kilas jam tangannya, lalu mengalihkan arah mobilnya menuju sebuah kafe yang melayani drive true. Dia memesan kopi untuknya, strowbery smoties dan kue tiramisu untuk Eira."Makanlah, saya rasa itu cukup untuk mengganjal rasa laparmu," ujar Aryan sambil mulai mengendarai mobilnya lagi.Eira mengangguk sambil mulai meminum strawbery semoties miliknya, di tengah rasa malu yang masih membebaninya.Aryan mengangguk puas lalu menyeruput kopi panasnya di sela menyetir. Sudut bibirnya tampak tertarik tipis, membentuk senyum samar.***Tepat menjelang makan malam, mobil yang dikendarai Aryan mulai memasuki pelataran luas sebuah rumah yang amat besar. Eira bahkan sudah dibuat takjub kala melihat pilar-pilar yang berdiri kokoh menopang bangunan benuansa klasik modern yang didominasi dengan warna putih."Selamat datang di rumah kami, calon matu," sapa Maheswari yang sejak tadi sudah menunggu kehadiran Anak dan calon mantunya di depan rumah. Dia memeluk lembut Eira yang baru saja turun dari mobil."Ayo masuk, ibu sudah masak banyak untuk menyambut kedatangan kalian," sambungnya lagi sambil merangkul pundak Eira.Namun, saat keduanya mulai memasuki rumah besar itu, Aryan dikejutkan dengan keberadaan neneknya yang baru saja ke luar dari kamar bawah."Nenek? Kok ada di sini? Bukannya harusnya kita semua yang datang ke rumah nenek untuk merayakan ulang tahun?" tanya Aryan menatap penuh tanya Maheswari, meminta penjelasan. Sementara kakinya menghampiri wanita tua itu lalu mencium tangannya."Mana mungkin aku tidak menghadiri pertunangan cucuku sendiri," jawab Nenek Rosa sambil menepuk pelan lengan Aryan. Sementara matanya kini beralih menatap gadis yang berdiri di samping Maheswari."Pertunangan? Siapa yang mau tunangan?" Aryan hampir saja meninggikan suaranya karena terkejut. Begitu juga dengan Eira yang ikut terkejut."Jadi itu calon istrimu?" Tak menghiraukan pertanyaan Aryan, nenek Rosa malah menghampiri Eira.Eira yang dihampiri oleh nenek Rosa tampak menegang. 'Pak Aryan gak pernah bilang kalau mau merayakan ulang tahun neneknya di rumah Bu Maheswari. Apa aku yang salah mengerti?'Sementara itu, nenek Rosa tampak memperhatian penampilan Eira dari ujung rambut sampai ujung kaki."Pakaiannya biasa saja, wajahnya juga gak terlalu cantik." Nenek Rosa mulai berjalan memutari Eira sambil memberikan komentar yang amat pedas. "Bentuk tubuhnya juga ... tidak menarik."Eira menelan salivanya susah payah. Walau ini hanyalah sebuah sandiwara, tetapi jantungnya bahkan sudah berdebar sangat kencang hingga telapak tangannya menjadi basah. 'Gimana kalau ketemu calon mertua beneran ya? Pura-pura aja udah gugup setengah mati kayak gini.'Nenek Rosa menggeleng miris lalu kembali mengalihkan pandangannya pada Aryan. "Lalu apa yang kamu sukai dari bocah seperti ini, Ar?""Ekhm!" Aryan berdehem cukup keras sambil mulai menghampiri Eira kemudian merangkul pundaknya tanpa ragu. "Eira adalah gadis yang memiliki hati tulus, tidak mudah menyerah, dan...."Aryan menjeda ucapannya sejenak, sementara tangannya mengambil dagu Eira agar dapat menatapnya. "Bukankah wajahnya begitu manis?"Eira tersenyum sipu. Itu tidak pura-pura, pipinya benar-benar memerah karena mulut manis Aryan."Apa lagi jika sedang tersenyum seperti ini, lihatlah dia begitu cantik dengan lesung pipinya," sambung Aryan lagi sambil mengalihkan tangannya dan mencubit pelan pipi Eira."Haish, gak usah umbar kemesraan di depanku, dasar bocah nakal!" Nenek Rosa langsung memisahkan Aryan dan Eira lalu berdiri di antara keduanya.Aryan menahan senyumnya. Dia membawa kakinya tiga langkah menjauh, memberikan ruang untuk nenek dan Eira berbincang."Sekarang giliran kamu bocah." Nenek Rosa beralih menatap penuh wajah tegang Eira. "Apa yang kamu sukai dari cucu nakalku itu? Aku dengar umur kalian terpaut sangat jauh.""Eum, itu-" Eira mencoba untuk mencari jawaban yang tepat, sembari meminta petunjuk pada Aryan melalui isyarat mata. Namun, lelaki itu malah terus menghindarinya."Aku suka laki-laki yang jauh lebih dewasa." Eira meringis, merasa ada yang salah dengan jawabannya."Astaga...." Aryan mendesah pasrah. 'Apa dia tidak bisa memujiku sedikit saja? Kenapa malah memilih kata itu sebagai alasan?'Ternyata, Maheswari telah merencanakan untuk menggantikan acara ulang tahun nenek dengan pertunangan Aryan dan Eira. Bahkan nenek pun sudah mengetahuinya."Apa ini tidak terlalu membebani Eira? Walau bagaimana pun, dia belum memberi persetujuan pada sebuah pertunangan," ujar Aryan saat mereka sedang berbicara di ruang kerja sang ayah setelah makan malam. Dia berusaha menghindar dari acara dadakan yang direncanakan oleh kedua orang tuanya."Kalau dia tahu, itu namanya bukan kejutan dong?" jawab Maheswari sigap. "Lagi pulan, apa kamu tidak kasihan pada ibumu ini yang sudah sangat ingin menggendong cucu?"Aryan menghembuskan napas pelan, pundaknya tampak turun kala melihat wajah memelas Maheswari. Tenyata bukan pertunangan yang akan terjadi besaok, tetapi lamaran untuk Eira di tengah acara ulang tahun nenek. "Bukankah kalian sudah cocok?" Edrik yang sejak tadi hanya memperhatikan mulai membuka suara.Aryan mengangguk."Kalau begitu, sekarang atau nanti apa bedanya?" tanya Edrik lagi.Ar
"Tunggu! Aku tidak setuju dengan hubungan kalian!" Seorang wanita dengan lipstik merah menyala berdiri di depan pintu masuk. Napasnya tampak memburu, begitu juga raut wajahnya yang amat sangat marah."Mba Asih?" Maheswari bergumam pelan. Dia terkejut dengan kedatangan wanita paruh baya itu.Begitu juga dengan Aryan yang tampak berdiri mematung dengan tatapan yang rumit. Tak jauh berbeda para sanak saudara yang juga berada di sana.Sementara itu, Eira hanya bisa menatap bingung reaksi semua orang. Dia yang tak tahu apa-apa hanya bisa terdiam dan menyaksikan momen aneh yang sedang terjadi.Plak! Sebuah tamparan yang sangat keras mendarat tepat di pipi Aryan. Namun, laki-laki itu masih tak bereaksi. Walau wajahnya terlihat pucat pasi, dengan mata yang mulai memerah. "Kamu tidak pantas mendapatkan semua ini! Pembunuh sepertimu, harusnya menderita seumur hidup!" teriak Asih tepat di depan wajah Aryan.Deg! 'A-apa maksudnya? Pembunuh?' Eira membolakan matanya, dia tak sanggup lagi menahan
"Kamu?" Bibir tipis itu bergumam pelan. Matanya menatap Eira dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. Aryan memutari kursi taman lalu berdiri tepat di depan Eira dan mengambil alih payung."Maaf, Pak. Saya cuma takut bapak sakit karena kehujanan," gumam Eira pelan. Sempat mengerjap beberapa kali sebelum matanya dia arahkan pada sepasang sendal rumahan berwaran merah muda yang sedang dirinya pakai. Sorot tajam dari sepasang iris mata Aryan mampu membuat nyalinya menciut. Seolah kebetulan yang tak selamanya akan datang, pada saat itu juga hujan turun semakin lebat, hingga membuat tubuh keduanya tak terlindungi oleh satu payung yang dibawa Eira, sekaligus menyadarkan keduanya dari tubuh yang terpaku di tempat. "Hujan. Ayo kita masuk," ujar Aryan sambil merangkul pundak Eira, agar tubuh keduanya lebih merapat.Deg! Jantung Eira seolah terpacu hingga berdebar begitu cepat, kala tangan besar dengan rasa dingin itu menempel di lengannya yang tak terhalang oleh baju dan menariknya denga
"M-maaf, aku cuma lewat. Aku gak denger apa-apa kok," ujar Eira cepat. Karena terkejut, dia bahkan tak bisa mengendalikan dirinya hingga suaranya sedikit terbata. Aryan menelisik wajah panik Eira. Bahkan tanpa Eira menyangkal pun, dia tahu betul jika gadis itu sudah mendengar semuanya. Namun, alih-alih menegur, Aryan lebih memilih segera berlalu, meninggalkan Eira begitu saja dengan rasa bersalahnya.'Ish, ngapain sih kamu tuh jadi orang kepo banget, Ira-Ira.' Eira menggeleng lemah sambil terus menyesali perbuatannya yang tak bisa menahan rasa keingin tahuannya.Ya, dia memang tak sengaja mendengar perbincangan Aryan dan kedua orang tuanya ketika berjalan melewati kamar Maheswari dan Dedrik, karena pintu kamar yang sedikit terbuka. Tak kuasa menahan rasa penasaran, Eira malah berhenti dan menguping. Namun, kini dia berasa menyesal karena sudah bersikap lancang. ***Setelah sarapan bersama, Aryan dan Eira berpamitan untuk kembali ke rutinitas masi
"Kamu gak papa?" Aryan segera berjalan menghampiri Eira. Dia mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan Asih. Namun, dirinya tak juga menemukannya. "Ra?" Aryan harus sedikit menggoyangkan tubuh Eira agar gadis itu menyadari keberadaannya. "Bapak-" Bibir bergetar Eira bergumam lirih. Matanya perlahan bergulir hingga kini tepat menatap wajah Aryan. "Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?" tanya Aryan sambil meneliti tubuh Eira, memastikan jika gadis itu tidak memiliki luka sedikit pun. Namun, kekacauan yang dibuat Asih masih membuatnya khawatir, apa lagi dia tidak tahu di mana wanita itu berada. "Di mana Tante Asih?" Eira hanya menggeleng sebagai jawaban, tetapi matanya kembali mengedar menatap sekitar, lalu bergumam sangat lirih. "Sudah pergi." Aryan menghembuskan napas lega. Walau kini matanya menyipit melihat ada darah di kaki Eira, sepertinya terkena pecahan kaca. "Kamu terluka." Perlahan Aryan memapah tubuh Eira un
Aryan berjalan cepat memasuki retoran tempat Maheswari dan Eira berada, dia langsung bergegas datang setelah menyelesaikan rapatnya. Sungguh, akibat keputusan ibunya yang akan langsung melamar Eira, dia sama sekali tidak bisa fokus dalam mengerjakan pekerjaannya.Semua ini terjadi karena kabar kedatangan Asih ke apartemennya yang telah sampai pada kedua orang tuanya, kini mereka mendesaknya untuk segera menikah. Padahal Aryan sudah berusaha sebaik mungkin menutupi kekacauan yang dibuat Asih. Namun, tampaknya kedua orang tuanya memiliki banyak mata yang mengawasinya di mana pun dia berada.Aryan berdiri di pintu masuk restoran sambil menetralkan napasnya yang terasa memburu. Jantungnya berdebar tak menentu entah karena apa. Pandangannya dia edarkan ke seluruh sudut, mencari keberadaan Maheswari dan Eira. Lalu, meneruskan langkahnya kala matanya telah menemukan dua orang yang dirinya cari."Ibu," sapa Aryan sambil duduk di samping Eira."Nah, kebert
"Bibi," sapa Eira begitu dia berdiri di depan Wati. Diam-diam dia melirik wanita paruh baya yang selalu bersikap arogan di depannya. Walau begitu, Eira masih berharap jika bibinya akan berubah pikiran dan kembali menerima dirinya dan Gilang sebagai keluarga. "Duduk!" titah Wati sambil menunjuk kursi di depannya menggunakan dagu.Eira mengangguk lalu duduk. "Kenapa kita bertemu di sini, Bi? Apa Bibi gak mau lihat Kak Gilang?" Wati tersenyum sinis. "Kamu pikir aku ke sini untuk menjenguk mayat hidup sepertinya? Jangan harap." "Bibi!" Tanpa sadar, Eira meninggikan suaranya. Dia tak terima jika Gilang disebut sebagai mayat hidup. "Kakakku masih hidup dan sebentar lagi dia akan sadar, tolong ingat itu, Bi!""Benarkah? Lihat saja nanti, sampai kapan dia akan bertahan dan kamu bisa mendapatkan uang untuk membiayainya," ejek Wati sambil terkekeh sinis. Eira mengepalkan tangannya, kini dirinya mulai menyesal karena telah menemui wanita jahat itu dan masih mengharapkan kebaikannya. "Kalau Bi
"Bu-bulan madu?" Eira menatap bingung Aryan dan Maheswari secara bergantian. Bukankah ini hanya sebuah pernikahan palsu, tetapi kenapa harus ada bulan madu? Bagaimana dengan pekerjaanya, terlebih dia juga masih harus mengurus Gilang."Iya, sayang. Ini adalah tiket bulan madu selama sebulan."Eira semakin terkejut kala mendengar waktu bulan madu yang sangat panjang. "Ta-tapi, Bu-" Eira semakin merasa prustasi ketika melihat Aryan yang diam saja. Jelas-jelas acara ini tidak ada dalam perjanjian, dia tidak akan mau jika harus meninggalkan Gilang dalam waktu yang lama."Terima kasih untuk hadiahnya, Bu, Papah. Tapi, apa kita bisa membicarakan semua ini nanti saja," pinta Aryan yang akhirnya membuka suara."Baiklah. Tapi, keberangkatan kalian besok pagi, jadi jangan sampai terlambat ya." Maheswari mengelus pelan pundak Eira sambil tersenyum lembut.Eira hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Dia bahkan sudah tidak berselera lagi unt
Eira menghentikan langkahnya di pintu begitu matanya melihat keberadaan Dikta yang sedang berdiri sambil berbincang dengan salah satu rekan kerjanya di tempat parkir. Dia yang sudah selesai bekerja sama sekali tak menyadari keberadaan laki-laki itu sebelumnya. Lokasinya yang berada di pojok parkir, membuat Dikta tak terlihat dari dalam minimarket.“Kenapa Bang Dikta ke sini lagi sih?” gumam Eira. Dia meringis pelan, merasa tak nyaman akan keberadaan mantan rekan kerjanya itu.Reaksi Eira berbanding terbalik dengan Dikta yang tampak langsung menatapnya dengan berbinar, bahkan senyum di bibirnya merekah. Walau enggan, demi kesopanan Eira terpaksa menemui Dikta dan menyapa. “Bang Dikta,” ujarnya yang diiringi senyum tipis dan anggukkan kepala samar.“Tuh, yang ditunggu udah dateng. Kalau gitu, gue masuk dulu,” ujar seorang lelaki yang merupakan rekan kerja Eira.“Apaan sih, Bang?” Eira merengut, tak terima dengan godaan sang rekan kerja
Eira mengerjap pelan kala sinar matahari pagi mengusik tidur lelapnya. Dia memicingkan mata sambil menatap sekitar di mana dia tertidur semalam, setelah melampiaskan kekesalannya pada Aryan yang tak kunjung kembali.Bosan menunggu, akhirnya Eira memutuskan menonton drama favoritnya hingga perlahan kesadarannya direnggut begitu saja kala lelah sudah tak lagi dapat dia tahan. Eira terlelap dalam posisi yang entah bagaimana.Mengingat itu, Eira kembali mengerucutkan bibirnya. Entah jam berapa suaminya itu kembali ke kamar? “Jangan-jangan dia malah belum balik sampai sekarang?” gumam Eira sambil melihat ke arah pintu ruang kerja yang masih tertutup rapat.Namun sesaat kemudian, perhatiannya teralihkan pada laptop miliknya yang sudah tersimpan rapi di atas meja, begitu juga dengan sisa kekesalannya yang sudah membaik. “Enggak mungkin kan kalau Pak Aryan yang membereskan semua ini?” gumam Eira. Dia duduk di ujung ranjang sambil terus menelit
Aryan tersenyum miring begitu dia menutup pintu kamarnya rapat, dia melirik ke belakang seolah bisa melihat Eira yang sedang menahan kesal di dalam sana.‘Dia pasti sedang kesal sekarang.’ Ingatan Aryan kembali pada saat dirinya baru saja sampai di restoran di dekat rumah sakit tempat Gilang dirawat. Sebenarnya dia bisa melihat Eira menemui Dikta. Namun, sayang sekali ketika itu dirinya sudah bersama klien yang ingin bekerja sama, hingga Aryan hanya bisa melihat dan membiarkannya dengan hati yang dongkol.Saat itu, sebenarnya Aryan sudah tahu semuanya. Bahkan dia mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Dikta ketuka dirinya menerima telepon di ponsel Eira. Tampaknya laki-laki tidak tahu malu itu memang tengah mendekati Eira, padahal dia sudah tahu kalau Eira telah bersuami. Wajah Aryan langsung berubah serius kala dia sudah sampai di lantai satu dan melihat keberadaan Alderia di ruang tamu. Wanita itu tampak tersenyum semringah saat melihat Aryan berjalan ke arahnya.“Ar....” Alderi
Eira menarik napas dalam lalu menghembuskannya kasar, dia sempat berhenti terlebih dahulu sebelum kembali mengetuk pintu Aryan untuk memberitahu keberadaan Alderia. Matanya melihat hujan yang semakin deras bahkan sebuah gemuruh yang cukup kencang terdengar menggelegar di ujung langit. Dia menyempatkan menutup dulu pintu menuju balkon lalu kembali ke depan ruang kerja Aryan.“Apa, Pak Aryan beneran marah padaku?” gumam Eira ketika pintu di depannya tak kunjung terbuka, padahal ini sudah ketiga kalinya dia mengetuk.“Pak, ada tamu di bawah." Eira kembali berbicara dengan sedikit berteriak, takut tak terdengar oleh Aryan. Namun, pintu tak juga terbuka. “Kayaknya gak mungkin deh kalau dia ketiduran.”“Apa aku buka aja ya.” Eira tatap gagang pintu yang tak kunjung bergerak itu. Perlahan tangannya mulai menyentuh dan mencoba menggerakkannya. “Enggak dikunci,” ujarnya pelan.“Pak Aryan, aku masuk ya,” sambungnya dengan suara yang sedikit lebih ker
“Apa yang Bapak lakukan?!” Eira melebarkan matanya kala melihat Aryan yang sudah menempelkan ponselnya di telinga sambil menyeringai. Tubuhnya gemetar ketakutan akan apa yang terjadi berikutnya jika sampai itu adalah telepon dari Dikta. Mulutnya tertutup rapat saat jari telunjuk Aryan menempel tepat di tengahnya dengan posisi yang masih sama. Hanya beberapa detik laki-laki itu seperti mendengarkan sesuatu dari seberang sana hingga akhirnya dia menjatuhkan ponselnya dan dengan gerakan cepat menempelkan kedua bibir mereka hingga tak ada kesempatan bagi Eira untuk menghindar atau menolaknya. Setelah beberapa saat sama-sama terdiam, perlahan Aryan mulai menggerakkannya. Laki-laki itu melakukannya lumayan lama, hingga mampu membuat Eira melupakan semua rasa takut, kebimbangan, dan semua masalah hidupnya untuk sesaat.“Kamu milikku ... tidak ada yang boleh memilikimu selain aku, Eira Zafran,” ujar Aryan begitu dia melepaskan bibir Eira. Napasnya yang memburu bahkan masih terdengar jelas di
“Sedang apa kamu di sini?” Aryan menatap tajam kedua orang di depannya hingga kerutan di keningnya terlihat jelas.“Arya?” Nathan tak kuasa menahan rasa terkejutnya ketika dia menyadari keberadaan sang sahabat tepat di depannya. Dia berdiri sambil tertawa hambar demi menutupi kecanggungan yang tiba-tiba menggelayuti dirinya.“Sejak kapan lo ada di sini?” tanyanya. Dia merangkul pundak Aryan seolah tak terjadi apa pun, walau nada suaranya yang bergetar tak dapat dia kendalikan. “Eira....” Suara rendah dan penuh penekanan itu dia tujukan pada gadis yang sejak tadi hanya diam dengan wajah pucat pasi, seolah baru saja terpergok tengah berselingkuh. Dia bahkan tak mengalihkan sedikit pun pandangannya pada Nathan yang kini berada di sampingnya.Eira mengedipkan matanya pelan, perlahan dia gulirkan pandangannya pada laki-laki yang sejak tadi sudah menghantui pikirannya. Beginikah rasanya jika kita ketahuan ketika sedang melakukan kesalahan? Dia
“Uhuk!” Eira terbatuk sambil mengerjap cepat, tubuhnya pun otomatis mundur dengan gerakan kaku. ‘Apa yang kamu pikirkan, Ra?’ tangannya kembali mencoba membuka pintu mobil. Namun, ternyata kembali tidak berhasil karena masih terkunci.“Tolong buka pintunya....” Akhirnya Eira kembali memberanikan diri untuk menatap wajah Aryan walau hanya sekilas, sementara tangannya masih mencoba membuka pintu berulang kali.Eira segera ke luar dan berjalan cepat masuk ke rumah sakit, begitu dia berhasil membuka pintu. Dalam hati dia terus merutuki dirinya sendiri yang sempat memikirkan hal yang tidak-tidak bersama dengan Aryan.Sementara itu, Aryan yang masih terpaku di dalam mobil dengan pikiran yang tak bisa beralih dari kejadian tadi, hanya tersenyum tipis kala dia melihat Eira yang berjalan setengah berlari menuju rumah sakit. “Kenapa dia harus bersikap malu seperti itu? Apa dia juga sempat berpikir hal yang sama denganku?”Aryan terkekeh pelan sambi
“Sayang?” Dikta menatap penuh tanya pada interaksi Eira dan Aryan. “Apa maksudnya ini, Ra? Siapa dia?” tanya Dikta sambil menatap penuh tuntutan pada Eira. Dia butuh penjelasan. “Begini, Bang. Eum....” Eira berusaha menjelaskan walau tiba-tiba saja lidahnya terasa sulit untuk digerakkan. Dia bingung harus mengatakan apa pada Dikta. Matanya melebar saat Aryan tiba-tiba maju dan berdiri tepat di tengah-tengah antara dirinya dan Dikta. “Perkenalkan, saya Aryan, suami Eira,” ujar Aryan dengan nada suara tegas dan jelas. Dia mengulurkan tangannya, meminta berjabat dengan Dikta. Seringai miring dan penuh kemenangan terlihat menghiasi wajah tampannya. Eira merengut, dia tatap wajah puas Aryan dengan hati bertanya-tanya. 'Apa maksudnya ini?'“Suami?” Dikta berusaha melihat Eira yang berada di belakang tubuh Aryan. Dia tak peduli pada tangan Aryan, yang dirinya butuhkan saat ini adalah sebuah penjelasan dari Eira langsung. “Kamu sudah menikah, Ra?”"I-itu ... aku...." Eira meringis sambil m
“Kamu benar-benar melaporkan Alderia ke polisi, Ar?” tanya Nathan. Saat ini mereka berdua sedang berada di kantor Aryan. Nathan sengaja mendatangi sahabatnya secara langsung setelah mendengar berita yang beredar tentang Alderia dari Sherin.Aryan menangguk. Dia memang tidak main-main dengan ucapannya beberapa hari lalu. Laki-laki itu tampak membungkukkan tubuhnya hingga kedua siku tangannya bertumpu di lutut bagian atas. Tatapan matanya tampak tajam menusuk pada Nathan, walau seringai di bibirnya tampak jelas.“Siapa pun yang berani mengusik ketenangan keluarga gue, gue akan tindak tegas. Lo sudah tahu pasti tentang itu kan, Than? Gue tidak pernah berubah jika itu soal keamanan dan ketenangan keluarga gue,” ujar Aryan dengan begitu ringan, seolah tanpa beban.“Gue tahu,” angguk Nathan. Namun, kini dia juga memajukan tubuhnya hingga mendekat pada Aryan, lalu melanjutkan perkataannya dengan nada yang terdengar sedikit canggung. “Tapi, apa itu tidak terlalu kejam? Walau bagaimana pun, A