"Bu-bulan madu?" Eira menatap bingung Aryan dan Maheswari secara bergantian. Bukankah ini hanya sebuah pernikahan palsu, tetapi kenapa harus ada bulan madu? Bagaimana dengan pekerjaanya, terlebih dia juga masih harus mengurus Gilang."Iya, sayang. Ini adalah tiket bulan madu selama sebulan."Eira semakin terkejut kala mendengar waktu bulan madu yang sangat panjang. "Ta-tapi, Bu-" Eira semakin merasa prustasi ketika melihat Aryan yang diam saja. Jelas-jelas acara ini tidak ada dalam perjanjian, dia tidak akan mau jika harus meninggalkan Gilang dalam waktu yang lama."Terima kasih untuk hadiahnya, Bu, Papah. Tapi, apa kita bisa membicarakan semua ini nanti saja," pinta Aryan yang akhirnya membuka suara."Baiklah. Tapi, keberangkatan kalian besok pagi, jadi jangan sampai terlambat ya." Maheswari mengelus pelan pundak Eira sambil tersenyum lembut.Eira hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Dia bahkan sudah tidak berselera lagi unt
Aryan berdiri di bawah dinginnya tetes air shower yang terus membasahi tubuhnya. Menyugar rambut basahanya, dia mendongak membiarkan wajahnya langsung terkena air sambil terus mengatur napasnya yang masih memburu. Aryan merutuki dirinya sendiri yang hampir saja terbawa oleh amarah bayangan masa lalu. Untung saja asistennnya tiba-tiba menelepon hingga getar ponsel di sakunya mampu menyadarkannya dan mencegahnya melakukan hal yang terkutuk pada Eira.Inilah salah satu alasan dia tidak lagi mau berhubungan dengan mahluk yang bernama perempuan. Dia bahkan belum dapat melupakan bagaimana sakitnya dikhianti oleh kepolosan dan kelembutan yang ternyata menyembunyikan beribu duri dan racun yang sangat mematikan. Bukan hanya dirinya, tetapi juga keluarganya yang hancur. Cukup lama Aryan berada di sana, berteman dengan dinginnya air dan rasa benci akan ketidakberdayaannya. Lelaki itu baru saja ke luar setelah merasa lebih tenang. Matanya sempat menangkap Eira yang masih terl
Eira membeku dengan lidah yang terasa kelu Napasnya bahkan tertahan karena gerakan spontan Aryan. "I-iya, Pak...." Eira mencoba menjawab dengan susah payah setelah beberapa saat. Namun, ternyata Aryan malah kembali menutup matanya dan tertidur dengan wajah tenangnya. 'Apa dia sudah tidur lagi?' Eira menyipitkan matanya, memastikan jika lelaki itu memang hanya mengigau dengan cara mengibaskan tangannya di depan wajah Aryan. "Hah, ngagetin aja. Aku kira dia bangun beneran," gumam Eira yang kini merasa lega, walau tangannya masih terjebak di genggam lelaki itu. Akhirnya, Eira memilih pasrah, dia duduk di lantai sambil bersandar di sisi ranjang. Berada dalam posisi yang sama dengan waktu yang cukup lama, membuat Eira mulai merasa bosan hingga kembali mengantuk. Tanpa sadar kelopak matanya terasa berat dan akhirnya tertutup bersamaan dengan kesadarannya yang menghilang. Eira tertidur.***Eira membuka matanya kala sinar matahir me
"Jadi mereka semua ada di pihak Ibu dan Papah?" tanya Eira, setelah dia mendengar penjelasan Aryan tentang semua pekerja yang ada di rumah itu.Eira menghembuskan napas kasar ketika matanya melihat anggukkan Aryan. "Jadi, sekarang kita harus tidur di satu kamar yang sama?" Aryan kembali mengangguk. "Bagaimana ini," keluh Eira, merutuki keputusannya yang lebih memilih rumah ini daripada berbulan madu.Aryan sempat memeperhatikan Eira yang kini tampak lebih prustasi dibanding dirinya. Sepertinya gadis itu baru mengetahui jika hidup di rumah ini, mungkin akan terasa sama seperti terpenjara, karena mereka tidak akan bisa bebas di depan para pekerja kedua orang tuanya. Merasa tak ada lagi yang harus dibicarakan, Aryan beranjak berdiri bersamaan dengan dering ponsel di sakunya. Setelah melihat nama siapa yang tertera di layar, dia segera melangkahkan kakinya dan masuk ke salah satu ruangan yang ada di sana.Sementara itu, Eira hanya melirik k
"Astaga!" Aryan segera membalik tubuhnya hingga kini memunggungi Eira yang bahkan sudah masuk kembali ke kamar mandi. Walau ini bukan pertama kalinya Aryan melihat tubuh wanita, tetapi entah mengapa terasa berbeda ketika itu Eira. "Bapak ngapain masuk ke sini? Bapak mau ngintipin aku mandi ya?!" teriak Eira dari dalam kamar mandi. Dia menyandarkan tubuhnya di balik pintu sambil memegangi dadanya yang terasa sesak akibat debar jantung yang meningkat lebih cepat dalam waktu singkat."Maaf, saya tidak bermaksud." Aryan berujar, masih sambil membelakangi pintu kamar mandi. "Saya kira kamu masih di kamar mandi....""Gak usah banyak alasan! Tetep aja, Bapak gak sopan karena udah masuk ke sini padahal aku lagi mandi!" Teriakan Eira kembali terdengar.Aryan mulai bingung, akibat terkejut dia bahkan sampai melupakan niat awal dirinya masuk ke ruang walk in closet, hingga dering ponsel milik Eira yang berada dalam genggamannya kembali terdengar."
Eira berjalan riang menuju mini market tempatnya bekerja. Setelah kemarin malam dia berusaha terus merayu Aryan agar mengizinkannya bekerja menggantikan temannya, akhirnya lelaki itu luluh juga, walau dia masih tetap harus membersihkan apartemen setelahnya. "Selamat pagi," sapanya pada rekan kerjanya yang sedang bersiap di ruang belakang.Eira menghembuskan napas pelan, dia bersyukur karena semua pekerjaannya berjalan dengan lancar hingga jam sepuluh malam gadis itu baru saja sampai di gedung apartemen Aryan."Dasar gak punya perasaan, masa dia masih aja nyuruh aku ngebersihin apartemen, padahal tau kalau aku pulang malam," gerutu Eira ketika menunggu pintu lift terbuka."Ekhm!"Tubuh Eira menegang kala telinganya mendengar suara deheman dari belakang tubuhnya yang terasa familiar. Perlahan, dia memutar lehernya hingga matanya melebar saat melihat seseorang yang berdiri tepat di belakangnya."Ba-bapak?" gumam Eira sambil meringi
"Yeah, akhirnya selesai juga." Eira menghela napas puas sambil melihat dua piring spaghetti di depannya. Segera melepas apron dan menyimpannya kembali, lalu mengambil piring spaghetti dan hendak memutar tubuh untuk berjalan menuju meja. Namun, salah satu kakinya tersandung hingga mengganggu keseimbangannya dan mengakibatkan salah satu piring lepas dari tangan.Eira berdiri kaku dengan mata melebar sepenuhnya dan mulut terbuka. Dia tatap seluruh spaghetti yang jatuh berhamburan beserta pecahan piring, lalu bergumam pelan. "Astaga...."Sementara itu, Aryan yang baru saja datang tampak menghentikan langkahnya tiba-tiba, tepat saat melihat kekacauan yang terjadi di dapur. Pandangannya beralih pada Eira. Dia hanya menatapnya dengan alis terangkat, seolah sedang bertanya walau tanpa ada kata yang terucap."Eum, ini ... maaf, saya gak sengaja menjatuhkannya," ujar Eira yang merasa canggung karena sudah melakukan kesalahan. Lagi. 'Kenapa aku ceroboh sekali sih? U
"Jangan bicara sembarangan!" Aryan menatap Eira tajam. Sebenarnya dia tidak berniat untuk mengejutkan gadis itu, hanya saja dirinya terlupa sesuatu dan tak sengaja mendengar gerutuan Eira tentangnya. Namun, saat Aryan mendengar Eira menyebutnya dingin dan tanpa ekspresi, sontak saja membuat dirinya tidak teriama. Lagi pula, siapa juga yang akan diam saja ketika mengetahuai seorang gadis yang telah mengumpatnya berulang kali. Akhirnya dia tak bisa lagi menahan mulutnya untuk memperingatkan Eira.Aryan bisa melihat wajah pucat Eira dan pandangan mata yang berubah tidak fokus. Saat ini dirinya yakin, jika gadis itu tengah ketakutan atau mungkin merasa bersalah padanya. Namun, Aryan memilih tak menanggapi, dia memilih berbalik dan masuk kembali ke ruang walk in closet. Ujung bibirnya tampak tertarik hingga menunjukan seringai tipis seiring langkah kakinya.Sementara itu, Eira hanya mampu kembali merutuki kecerobohannya yang entah mengapa selalu tak ketahuan oleh Aryan. Dia seolah tak bis
Eira menghentikan langkahnya di pintu begitu matanya melihat keberadaan Dikta yang sedang berdiri sambil berbincang dengan salah satu rekan kerjanya di tempat parkir. Dia yang sudah selesai bekerja sama sekali tak menyadari keberadaan laki-laki itu sebelumnya. Lokasinya yang berada di pojok parkir, membuat Dikta tak terlihat dari dalam minimarket.“Kenapa Bang Dikta ke sini lagi sih?” gumam Eira. Dia meringis pelan, merasa tak nyaman akan keberadaan mantan rekan kerjanya itu.Reaksi Eira berbanding terbalik dengan Dikta yang tampak langsung menatapnya dengan berbinar, bahkan senyum di bibirnya merekah. Walau enggan, demi kesopanan Eira terpaksa menemui Dikta dan menyapa. “Bang Dikta,” ujarnya yang diiringi senyum tipis dan anggukkan kepala samar.“Tuh, yang ditunggu udah dateng. Kalau gitu, gue masuk dulu,” ujar seorang lelaki yang merupakan rekan kerja Eira.“Apaan sih, Bang?” Eira merengut, tak terima dengan godaan sang rekan kerja
Eira mengerjap pelan kala sinar matahari pagi mengusik tidur lelapnya. Dia memicingkan mata sambil menatap sekitar di mana dia tertidur semalam, setelah melampiaskan kekesalannya pada Aryan yang tak kunjung kembali.Bosan menunggu, akhirnya Eira memutuskan menonton drama favoritnya hingga perlahan kesadarannya direnggut begitu saja kala lelah sudah tak lagi dapat dia tahan. Eira terlelap dalam posisi yang entah bagaimana.Mengingat itu, Eira kembali mengerucutkan bibirnya. Entah jam berapa suaminya itu kembali ke kamar? “Jangan-jangan dia malah belum balik sampai sekarang?” gumam Eira sambil melihat ke arah pintu ruang kerja yang masih tertutup rapat.Namun sesaat kemudian, perhatiannya teralihkan pada laptop miliknya yang sudah tersimpan rapi di atas meja, begitu juga dengan sisa kekesalannya yang sudah membaik. “Enggak mungkin kan kalau Pak Aryan yang membereskan semua ini?” gumam Eira. Dia duduk di ujung ranjang sambil terus menelit
Aryan tersenyum miring begitu dia menutup pintu kamarnya rapat, dia melirik ke belakang seolah bisa melihat Eira yang sedang menahan kesal di dalam sana.‘Dia pasti sedang kesal sekarang.’ Ingatan Aryan kembali pada saat dirinya baru saja sampai di restoran di dekat rumah sakit tempat Gilang dirawat. Sebenarnya dia bisa melihat Eira menemui Dikta. Namun, sayang sekali ketika itu dirinya sudah bersama klien yang ingin bekerja sama, hingga Aryan hanya bisa melihat dan membiarkannya dengan hati yang dongkol.Saat itu, sebenarnya Aryan sudah tahu semuanya. Bahkan dia mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Dikta ketuka dirinya menerima telepon di ponsel Eira. Tampaknya laki-laki tidak tahu malu itu memang tengah mendekati Eira, padahal dia sudah tahu kalau Eira telah bersuami. Wajah Aryan langsung berubah serius kala dia sudah sampai di lantai satu dan melihat keberadaan Alderia di ruang tamu. Wanita itu tampak tersenyum semringah saat melihat Aryan berjalan ke arahnya.“Ar....” Alderi
Eira menarik napas dalam lalu menghembuskannya kasar, dia sempat berhenti terlebih dahulu sebelum kembali mengetuk pintu Aryan untuk memberitahu keberadaan Alderia. Matanya melihat hujan yang semakin deras bahkan sebuah gemuruh yang cukup kencang terdengar menggelegar di ujung langit. Dia menyempatkan menutup dulu pintu menuju balkon lalu kembali ke depan ruang kerja Aryan.“Apa, Pak Aryan beneran marah padaku?” gumam Eira ketika pintu di depannya tak kunjung terbuka, padahal ini sudah ketiga kalinya dia mengetuk.“Pak, ada tamu di bawah." Eira kembali berbicara dengan sedikit berteriak, takut tak terdengar oleh Aryan. Namun, pintu tak juga terbuka. “Kayaknya gak mungkin deh kalau dia ketiduran.”“Apa aku buka aja ya.” Eira tatap gagang pintu yang tak kunjung bergerak itu. Perlahan tangannya mulai menyentuh dan mencoba menggerakkannya. “Enggak dikunci,” ujarnya pelan.“Pak Aryan, aku masuk ya,” sambungnya dengan suara yang sedikit lebih ker
“Apa yang Bapak lakukan?!” Eira melebarkan matanya kala melihat Aryan yang sudah menempelkan ponselnya di telinga sambil menyeringai. Tubuhnya gemetar ketakutan akan apa yang terjadi berikutnya jika sampai itu adalah telepon dari Dikta. Mulutnya tertutup rapat saat jari telunjuk Aryan menempel tepat di tengahnya dengan posisi yang masih sama. Hanya beberapa detik laki-laki itu seperti mendengarkan sesuatu dari seberang sana hingga akhirnya dia menjatuhkan ponselnya dan dengan gerakan cepat menempelkan kedua bibir mereka hingga tak ada kesempatan bagi Eira untuk menghindar atau menolaknya. Setelah beberapa saat sama-sama terdiam, perlahan Aryan mulai menggerakkannya. Laki-laki itu melakukannya lumayan lama, hingga mampu membuat Eira melupakan semua rasa takut, kebimbangan, dan semua masalah hidupnya untuk sesaat.“Kamu milikku ... tidak ada yang boleh memilikimu selain aku, Eira Zafran,” ujar Aryan begitu dia melepaskan bibir Eira. Napasnya yang memburu bahkan masih terdengar jelas di
“Sedang apa kamu di sini?” Aryan menatap tajam kedua orang di depannya hingga kerutan di keningnya terlihat jelas.“Arya?” Nathan tak kuasa menahan rasa terkejutnya ketika dia menyadari keberadaan sang sahabat tepat di depannya. Dia berdiri sambil tertawa hambar demi menutupi kecanggungan yang tiba-tiba menggelayuti dirinya.“Sejak kapan lo ada di sini?” tanyanya. Dia merangkul pundak Aryan seolah tak terjadi apa pun, walau nada suaranya yang bergetar tak dapat dia kendalikan. “Eira....” Suara rendah dan penuh penekanan itu dia tujukan pada gadis yang sejak tadi hanya diam dengan wajah pucat pasi, seolah baru saja terpergok tengah berselingkuh. Dia bahkan tak mengalihkan sedikit pun pandangannya pada Nathan yang kini berada di sampingnya.Eira mengedipkan matanya pelan, perlahan dia gulirkan pandangannya pada laki-laki yang sejak tadi sudah menghantui pikirannya. Beginikah rasanya jika kita ketahuan ketika sedang melakukan kesalahan? Dia
“Uhuk!” Eira terbatuk sambil mengerjap cepat, tubuhnya pun otomatis mundur dengan gerakan kaku. ‘Apa yang kamu pikirkan, Ra?’ tangannya kembali mencoba membuka pintu mobil. Namun, ternyata kembali tidak berhasil karena masih terkunci.“Tolong buka pintunya....” Akhirnya Eira kembali memberanikan diri untuk menatap wajah Aryan walau hanya sekilas, sementara tangannya masih mencoba membuka pintu berulang kali.Eira segera ke luar dan berjalan cepat masuk ke rumah sakit, begitu dia berhasil membuka pintu. Dalam hati dia terus merutuki dirinya sendiri yang sempat memikirkan hal yang tidak-tidak bersama dengan Aryan.Sementara itu, Aryan yang masih terpaku di dalam mobil dengan pikiran yang tak bisa beralih dari kejadian tadi, hanya tersenyum tipis kala dia melihat Eira yang berjalan setengah berlari menuju rumah sakit. “Kenapa dia harus bersikap malu seperti itu? Apa dia juga sempat berpikir hal yang sama denganku?”Aryan terkekeh pelan sambi
“Sayang?” Dikta menatap penuh tanya pada interaksi Eira dan Aryan. “Apa maksudnya ini, Ra? Siapa dia?” tanya Dikta sambil menatap penuh tuntutan pada Eira. Dia butuh penjelasan. “Begini, Bang. Eum....” Eira berusaha menjelaskan walau tiba-tiba saja lidahnya terasa sulit untuk digerakkan. Dia bingung harus mengatakan apa pada Dikta. Matanya melebar saat Aryan tiba-tiba maju dan berdiri tepat di tengah-tengah antara dirinya dan Dikta. “Perkenalkan, saya Aryan, suami Eira,” ujar Aryan dengan nada suara tegas dan jelas. Dia mengulurkan tangannya, meminta berjabat dengan Dikta. Seringai miring dan penuh kemenangan terlihat menghiasi wajah tampannya. Eira merengut, dia tatap wajah puas Aryan dengan hati bertanya-tanya. 'Apa maksudnya ini?'“Suami?” Dikta berusaha melihat Eira yang berada di belakang tubuh Aryan. Dia tak peduli pada tangan Aryan, yang dirinya butuhkan saat ini adalah sebuah penjelasan dari Eira langsung. “Kamu sudah menikah, Ra?”"I-itu ... aku...." Eira meringis sambil m
“Kamu benar-benar melaporkan Alderia ke polisi, Ar?” tanya Nathan. Saat ini mereka berdua sedang berada di kantor Aryan. Nathan sengaja mendatangi sahabatnya secara langsung setelah mendengar berita yang beredar tentang Alderia dari Sherin.Aryan menangguk. Dia memang tidak main-main dengan ucapannya beberapa hari lalu. Laki-laki itu tampak membungkukkan tubuhnya hingga kedua siku tangannya bertumpu di lutut bagian atas. Tatapan matanya tampak tajam menusuk pada Nathan, walau seringai di bibirnya tampak jelas.“Siapa pun yang berani mengusik ketenangan keluarga gue, gue akan tindak tegas. Lo sudah tahu pasti tentang itu kan, Than? Gue tidak pernah berubah jika itu soal keamanan dan ketenangan keluarga gue,” ujar Aryan dengan begitu ringan, seolah tanpa beban.“Gue tahu,” angguk Nathan. Namun, kini dia juga memajukan tubuhnya hingga mendekat pada Aryan, lalu melanjutkan perkataannya dengan nada yang terdengar sedikit canggung. “Tapi, apa itu tidak terlalu kejam? Walau bagaimana pun, A