Eira berjalan riang menuju mini market tempatnya bekerja. Setelah kemarin malam dia berusaha terus merayu Aryan agar mengizinkannya bekerja menggantikan temannya, akhirnya lelaki itu luluh juga, walau dia masih tetap harus membersihkan apartemen setelahnya.
"Selamat pagi," sapanya pada rekan kerjanya yang sedang bersiap di ruang belakang.Eira menghembuskan napas pelan, dia bersyukur karena semua pekerjaannya berjalan dengan lancar hingga jam sepuluh malam gadis itu baru saja sampai di gedung apartemen Aryan."Dasar gak punya perasaan, masa dia masih aja nyuruh aku ngebersihin apartemen, padahal tau kalau aku pulang malam," gerutu Eira ketika menunggu pintu lift terbuka."Ekhm!"Tubuh Eira menegang kala telinganya mendengar suara deheman dari belakang tubuhnya yang terasa familiar. Perlahan, dia memutar lehernya hingga matanya melebar saat melihat seseorang yang berdiri tepat di belakangnya."Ba-bapak?" gumam Eira sambil meringi"Yeah, akhirnya selesai juga." Eira menghela napas puas sambil melihat dua piring spaghetti di depannya. Segera melepas apron dan menyimpannya kembali, lalu mengambil piring spaghetti dan hendak memutar tubuh untuk berjalan menuju meja. Namun, salah satu kakinya tersandung hingga mengganggu keseimbangannya dan mengakibatkan salah satu piring lepas dari tangan.Eira berdiri kaku dengan mata melebar sepenuhnya dan mulut terbuka. Dia tatap seluruh spaghetti yang jatuh berhamburan beserta pecahan piring, lalu bergumam pelan. "Astaga...."Sementara itu, Aryan yang baru saja datang tampak menghentikan langkahnya tiba-tiba, tepat saat melihat kekacauan yang terjadi di dapur. Pandangannya beralih pada Eira. Dia hanya menatapnya dengan alis terangkat, seolah sedang bertanya walau tanpa ada kata yang terucap."Eum, ini ... maaf, saya gak sengaja menjatuhkannya," ujar Eira yang merasa canggung karena sudah melakukan kesalahan. Lagi. 'Kenapa aku ceroboh sekali sih? U
"Jangan bicara sembarangan!" Aryan menatap Eira tajam. Sebenarnya dia tidak berniat untuk mengejutkan gadis itu, hanya saja dirinya terlupa sesuatu dan tak sengaja mendengar gerutuan Eira tentangnya. Namun, saat Aryan mendengar Eira menyebutnya dingin dan tanpa ekspresi, sontak saja membuat dirinya tidak teriama. Lagi pula, siapa juga yang akan diam saja ketika mengetahuai seorang gadis yang telah mengumpatnya berulang kali. Akhirnya dia tak bisa lagi menahan mulutnya untuk memperingatkan Eira.Aryan bisa melihat wajah pucat Eira dan pandangan mata yang berubah tidak fokus. Saat ini dirinya yakin, jika gadis itu tengah ketakutan atau mungkin merasa bersalah padanya. Namun, Aryan memilih tak menanggapi, dia memilih berbalik dan masuk kembali ke ruang walk in closet. Ujung bibirnya tampak tertarik hingga menunjukan seringai tipis seiring langkah kakinya.Sementara itu, Eira hanya mampu kembali merutuki kecerobohannya yang entah mengapa selalu tak ketahuan oleh Aryan. Dia seolah tak bis
Beberapa saat kemudian Aryan kembali ke meja makan dengan raut wajah yang semakin kelam. "Ada sesuatu yang harus segera aku urus.""Ada apa, Ar?" Maheswari tanpak ikut khawatir."Gak apa-apa. Ibu gak usah khawatir. Tapi, aku harus segera pergi," ujar Aryan sambil menenggak kembali sisa kopinya. Lalu, beralih pada Eira sebelum melanjutkan ucapannya. "Kamu gak papa kan pergi kerja sendiri hari ini?""Iya, aku gak papa kok, Mas. Mas, gak usah khawatir," angguk Eira. Dia beranjak hendak ikut ke kamar untuk menyiapkan Aryan. Namun, lelaki itu menahannya."Kamu temani saja Ibu, aku bisa melakukannya sendiri," ujar Aryan lalu bergegas menuju ke kamar.Beberapa saat kemudian, Aryan sudah kembali dengan pakaian yang lebih rapih. Dia lebih dulu menghampiri Eira dan Maheswari untuk berpamitan. "Ibu, aku juga mau bersiap-siap dulu," pamit Eira setelah mengantar kepergian suaminya.Maheswari mengangguk sambil tersenyum lembut. Sebenarnya tadi malam dia sudah berbicara dengan Aryan mengenai pekerj
"Hai, Aryan apa kabar?" Aryan sempat terpaku sambil menatap terkejut seseorang yang kini tengah berdiri di depannya. Namun, sesaat kemudian, senyum sumringah terbit bersama dengan kakinya yang melangkah cepat."What's up, bro! Lo kapan dateng?" Aryan memeluk kilas. Wajahnya yang bisa datar kini terlihat bisa mengeluarkan ekspresi."Kemarin malam. Lo, gimana kabarnya? Katanya, lo udah nikah lagi ya?" tanya lelaki itu yang ternyata sahabat Aryan. Keduanya kini duduk di sofa."Seperti yang lo liat," jawab Aryan, walau keningnya tampak mengernyit kala mendengar pertanyaan dari sahabatnya. "Dari mana lo tau kalau gue udah nikah lagi?""Kebetulan gue dengar. Gue bersyukur akhirnya lo bisa ngelupain Alderia," ujar lelaki itu. Dia menepuk berulang pundak Aryan.Nathan oktavian, sahabat Aryan yang memutuskan untuk berkarir di luar negeri. Mereka sudah berteman sejak masa SMA dan berpisah beberapa tahun lalu karena pilihan Nathan untuk melanjutkan S2 di Canada dan akhirnya menetap di sana. Me
"Aryan!" Nathan melambaikan tangan dari depan pintu masuk restoran. Aryan tersenyum, dia lebih dulu menggandeng lengan Eira sebelum menghampiri Nathan dan menyapanya. "Kebetulan banget. Lo, juga lagi di sini?""Iya. Gue lagi ketemu sama temen-temen SMA kita, lo mau gabung?" tanya Nathan. Matanya melirik kilas pada Eira seolah memberi tanda jika dirinya ingin dikenalkan."Siapa ini, Bro? Kayaknya gak mungkin deh kalau adek, lo," tebak Nathan. Dia tersenyum pada Eira. Jika dilihat dari wajahnya, Eira pasti memiliki jarak umur yang jauh lebih muda dari pada Aryan. "Emang gak mungkin. Dia istri gue," jawab Aryan sambil melirik kilas Eira. Walau nada suaranya terdengar santai, tetapi tatapan matanya tampak begitu dingin."Halo, saya Eira, istrinya Mas Aryan." Eira mengenalkan diri sambil mengulurkan tangannya."Nathan, sahabat Aryan dari lama." Nathan menyambut uluran tangan Eira, walau itu langsung ditepis oleh sahabatnya."Giamana, mau gabung gak? Sekalian ngenalin istri, lo," tanya Nat
"Ekhm!" Aryan berdehem keras, kala menyadari isi hatinya yang malah memuji Eira. Dia kembali fokus pada penampilannya lalu beralih menuju lemari jam tangan untuk memilihnya."Saya tunggu kamu di bawah," sambung Aryan, sambil mengambil jam tangan pilihannya dan memakainya."Iya," angguk Eira. Dia hanya memoles riasan tipis agar tak terlihat lelah, terutama mata pandanya ... karena akhir-akhir ini dirinya selalu tidur terlambat.Keduanya segera berangkat menuju rumah sakit. Beberapa saat kemudian, Aryan telah berhasil menghentikan mobilnya di area parkir rumah sakit. Kini, mereka tengah berjalan beriringan menyusuri koridor rumah sakit, menuju kamar rawat Gilang.Eira tampak lebih dulu menyapa para perawat di tempat jaga sambil memberikan paper bag berisi kue yang sengaja dia beli di perjalanan. Eira sangat bersyukur karena para perawat di sana merawat Gilang dengan sangat telaten, bahkan senang hati menerima teleponnya untuk menanyakan keadaan Gila
"Sepertinya kamu juga sedang bekerja?" Aryan melihat kerumunan orang tidak jauh dari tempat mereka sekarang."Ah, aku hanya sedang merekam sesuatu." Alderia bersikap manis di depan Aryan. Dia menyelipkan rambutnya di belakang telinga, sambil tersenyum malu-malu. "Kalau begitu sebaiknya kami segera pergi." Aryan menggandeng tangan Eira, lalu melanjutkan perkataannya. "Selamat tinggal."'Selamat tinggal?' Eira sedikit bingung dengan ucapan terakhir Aryan. Namun, semua itu tak terlalu penting untuknya. Gadis itu tersenyum penuh kemenangan sambil mengikuti langkah Aryan, menuju mobil. 'Wah, gak salah sih dia jadi selebgram, ektingnya bagus banget.'"Masuk...." Aryan membuka pintu untuk Eira. "Makasih...." Walau Eira sedikit bingung dengan sikap Aryan yang sama sekali tidak bisa ditebak, dia masih bisa tersenyum manis pada Aryan sebelum benar-benar masuk ke mobil. Pertemuannya dengan Alderia pun membuat Eira mulai penasaran pada alasan perceraian Aryan dan Alderia. 'Kalau memang mereka
"To-tolong...." Aryan berguma lirih hingga hampir tak terdengar oleh Eira."Ya ampun, Pak Aryan kenapa?" Eira segera menggeser duduknya lebih dekat lagi pada Aryan. Dia Panik hingga rasanya langsung tak bisa berpikir jernih. Sementara itu, gemuruh sudah lebih jarang terdengar walau hujan masih juga turun dengan deras."Bapak...." Eira menangkup pipi Aryan dan membawanya agar bisa menatapnya penuh. Laki-laki itu terus menunduk menghindari pandangannya, bahkan sesekali menutup mata erat."Bapak sebenarnya kenapa?" Eira semakin panik kala Aryan tak juga merespon panggilannya. Namun, kini genggaman Aryan beralih pada tangan Eira. Gadis itu meringis, kala merasakan kuatnya tenaga Aryan, hingga jarinya mulai kebas."Ada apa ini sebenarnya? Bapak kenapa?" Eira mencoba fokus dan berpikir jernih. Dia mencari penyebab dari situasi Aryan. Jika itu petir, bahkan itu hanya menyambar beberapa kali di awal saja. Harusnya Aryan sudah sembuh sekarang."Hujan?" Eira melebarkan matanya sambil menatap ke
Eira menghentikan langkahnya di pintu begitu matanya melihat keberadaan Dikta yang sedang berdiri sambil berbincang dengan salah satu rekan kerjanya di tempat parkir. Dia yang sudah selesai bekerja sama sekali tak menyadari keberadaan laki-laki itu sebelumnya. Lokasinya yang berada di pojok parkir, membuat Dikta tak terlihat dari dalam minimarket.“Kenapa Bang Dikta ke sini lagi sih?” gumam Eira. Dia meringis pelan, merasa tak nyaman akan keberadaan mantan rekan kerjanya itu.Reaksi Eira berbanding terbalik dengan Dikta yang tampak langsung menatapnya dengan berbinar, bahkan senyum di bibirnya merekah. Walau enggan, demi kesopanan Eira terpaksa menemui Dikta dan menyapa. “Bang Dikta,” ujarnya yang diiringi senyum tipis dan anggukkan kepala samar.“Tuh, yang ditunggu udah dateng. Kalau gitu, gue masuk dulu,” ujar seorang lelaki yang merupakan rekan kerja Eira.“Apaan sih, Bang?” Eira merengut, tak terima dengan godaan sang rekan kerja
Eira mengerjap pelan kala sinar matahari pagi mengusik tidur lelapnya. Dia memicingkan mata sambil menatap sekitar di mana dia tertidur semalam, setelah melampiaskan kekesalannya pada Aryan yang tak kunjung kembali.Bosan menunggu, akhirnya Eira memutuskan menonton drama favoritnya hingga perlahan kesadarannya direnggut begitu saja kala lelah sudah tak lagi dapat dia tahan. Eira terlelap dalam posisi yang entah bagaimana.Mengingat itu, Eira kembali mengerucutkan bibirnya. Entah jam berapa suaminya itu kembali ke kamar? “Jangan-jangan dia malah belum balik sampai sekarang?” gumam Eira sambil melihat ke arah pintu ruang kerja yang masih tertutup rapat.Namun sesaat kemudian, perhatiannya teralihkan pada laptop miliknya yang sudah tersimpan rapi di atas meja, begitu juga dengan sisa kekesalannya yang sudah membaik. “Enggak mungkin kan kalau Pak Aryan yang membereskan semua ini?” gumam Eira. Dia duduk di ujung ranjang sambil terus menelit
Aryan tersenyum miring begitu dia menutup pintu kamarnya rapat, dia melirik ke belakang seolah bisa melihat Eira yang sedang menahan kesal di dalam sana.‘Dia pasti sedang kesal sekarang.’ Ingatan Aryan kembali pada saat dirinya baru saja sampai di restoran di dekat rumah sakit tempat Gilang dirawat. Sebenarnya dia bisa melihat Eira menemui Dikta. Namun, sayang sekali ketika itu dirinya sudah bersama klien yang ingin bekerja sama, hingga Aryan hanya bisa melihat dan membiarkannya dengan hati yang dongkol.Saat itu, sebenarnya Aryan sudah tahu semuanya. Bahkan dia mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Dikta ketuka dirinya menerima telepon di ponsel Eira. Tampaknya laki-laki tidak tahu malu itu memang tengah mendekati Eira, padahal dia sudah tahu kalau Eira telah bersuami. Wajah Aryan langsung berubah serius kala dia sudah sampai di lantai satu dan melihat keberadaan Alderia di ruang tamu. Wanita itu tampak tersenyum semringah saat melihat Aryan berjalan ke arahnya.“Ar....” Alderi
Eira menarik napas dalam lalu menghembuskannya kasar, dia sempat berhenti terlebih dahulu sebelum kembali mengetuk pintu Aryan untuk memberitahu keberadaan Alderia. Matanya melihat hujan yang semakin deras bahkan sebuah gemuruh yang cukup kencang terdengar menggelegar di ujung langit. Dia menyempatkan menutup dulu pintu menuju balkon lalu kembali ke depan ruang kerja Aryan.“Apa, Pak Aryan beneran marah padaku?” gumam Eira ketika pintu di depannya tak kunjung terbuka, padahal ini sudah ketiga kalinya dia mengetuk.“Pak, ada tamu di bawah." Eira kembali berbicara dengan sedikit berteriak, takut tak terdengar oleh Aryan. Namun, pintu tak juga terbuka. “Kayaknya gak mungkin deh kalau dia ketiduran.”“Apa aku buka aja ya.” Eira tatap gagang pintu yang tak kunjung bergerak itu. Perlahan tangannya mulai menyentuh dan mencoba menggerakkannya. “Enggak dikunci,” ujarnya pelan.“Pak Aryan, aku masuk ya,” sambungnya dengan suara yang sedikit lebih ker
“Apa yang Bapak lakukan?!” Eira melebarkan matanya kala melihat Aryan yang sudah menempelkan ponselnya di telinga sambil menyeringai. Tubuhnya gemetar ketakutan akan apa yang terjadi berikutnya jika sampai itu adalah telepon dari Dikta. Mulutnya tertutup rapat saat jari telunjuk Aryan menempel tepat di tengahnya dengan posisi yang masih sama. Hanya beberapa detik laki-laki itu seperti mendengarkan sesuatu dari seberang sana hingga akhirnya dia menjatuhkan ponselnya dan dengan gerakan cepat menempelkan kedua bibir mereka hingga tak ada kesempatan bagi Eira untuk menghindar atau menolaknya. Setelah beberapa saat sama-sama terdiam, perlahan Aryan mulai menggerakkannya. Laki-laki itu melakukannya lumayan lama, hingga mampu membuat Eira melupakan semua rasa takut, kebimbangan, dan semua masalah hidupnya untuk sesaat.“Kamu milikku ... tidak ada yang boleh memilikimu selain aku, Eira Zafran,” ujar Aryan begitu dia melepaskan bibir Eira. Napasnya yang memburu bahkan masih terdengar jelas di
“Sedang apa kamu di sini?” Aryan menatap tajam kedua orang di depannya hingga kerutan di keningnya terlihat jelas.“Arya?” Nathan tak kuasa menahan rasa terkejutnya ketika dia menyadari keberadaan sang sahabat tepat di depannya. Dia berdiri sambil tertawa hambar demi menutupi kecanggungan yang tiba-tiba menggelayuti dirinya.“Sejak kapan lo ada di sini?” tanyanya. Dia merangkul pundak Aryan seolah tak terjadi apa pun, walau nada suaranya yang bergetar tak dapat dia kendalikan. “Eira....” Suara rendah dan penuh penekanan itu dia tujukan pada gadis yang sejak tadi hanya diam dengan wajah pucat pasi, seolah baru saja terpergok tengah berselingkuh. Dia bahkan tak mengalihkan sedikit pun pandangannya pada Nathan yang kini berada di sampingnya.Eira mengedipkan matanya pelan, perlahan dia gulirkan pandangannya pada laki-laki yang sejak tadi sudah menghantui pikirannya. Beginikah rasanya jika kita ketahuan ketika sedang melakukan kesalahan? Dia
“Uhuk!” Eira terbatuk sambil mengerjap cepat, tubuhnya pun otomatis mundur dengan gerakan kaku. ‘Apa yang kamu pikirkan, Ra?’ tangannya kembali mencoba membuka pintu mobil. Namun, ternyata kembali tidak berhasil karena masih terkunci.“Tolong buka pintunya....” Akhirnya Eira kembali memberanikan diri untuk menatap wajah Aryan walau hanya sekilas, sementara tangannya masih mencoba membuka pintu berulang kali.Eira segera ke luar dan berjalan cepat masuk ke rumah sakit, begitu dia berhasil membuka pintu. Dalam hati dia terus merutuki dirinya sendiri yang sempat memikirkan hal yang tidak-tidak bersama dengan Aryan.Sementara itu, Aryan yang masih terpaku di dalam mobil dengan pikiran yang tak bisa beralih dari kejadian tadi, hanya tersenyum tipis kala dia melihat Eira yang berjalan setengah berlari menuju rumah sakit. “Kenapa dia harus bersikap malu seperti itu? Apa dia juga sempat berpikir hal yang sama denganku?”Aryan terkekeh pelan sambi
“Sayang?” Dikta menatap penuh tanya pada interaksi Eira dan Aryan. “Apa maksudnya ini, Ra? Siapa dia?” tanya Dikta sambil menatap penuh tuntutan pada Eira. Dia butuh penjelasan. “Begini, Bang. Eum....” Eira berusaha menjelaskan walau tiba-tiba saja lidahnya terasa sulit untuk digerakkan. Dia bingung harus mengatakan apa pada Dikta. Matanya melebar saat Aryan tiba-tiba maju dan berdiri tepat di tengah-tengah antara dirinya dan Dikta. “Perkenalkan, saya Aryan, suami Eira,” ujar Aryan dengan nada suara tegas dan jelas. Dia mengulurkan tangannya, meminta berjabat dengan Dikta. Seringai miring dan penuh kemenangan terlihat menghiasi wajah tampannya. Eira merengut, dia tatap wajah puas Aryan dengan hati bertanya-tanya. 'Apa maksudnya ini?'“Suami?” Dikta berusaha melihat Eira yang berada di belakang tubuh Aryan. Dia tak peduli pada tangan Aryan, yang dirinya butuhkan saat ini adalah sebuah penjelasan dari Eira langsung. “Kamu sudah menikah, Ra?”"I-itu ... aku...." Eira meringis sambil m
“Kamu benar-benar melaporkan Alderia ke polisi, Ar?” tanya Nathan. Saat ini mereka berdua sedang berada di kantor Aryan. Nathan sengaja mendatangi sahabatnya secara langsung setelah mendengar berita yang beredar tentang Alderia dari Sherin.Aryan menangguk. Dia memang tidak main-main dengan ucapannya beberapa hari lalu. Laki-laki itu tampak membungkukkan tubuhnya hingga kedua siku tangannya bertumpu di lutut bagian atas. Tatapan matanya tampak tajam menusuk pada Nathan, walau seringai di bibirnya tampak jelas.“Siapa pun yang berani mengusik ketenangan keluarga gue, gue akan tindak tegas. Lo sudah tahu pasti tentang itu kan, Than? Gue tidak pernah berubah jika itu soal keamanan dan ketenangan keluarga gue,” ujar Aryan dengan begitu ringan, seolah tanpa beban.“Gue tahu,” angguk Nathan. Namun, kini dia juga memajukan tubuhnya hingga mendekat pada Aryan, lalu melanjutkan perkataannya dengan nada yang terdengar sedikit canggung. “Tapi, apa itu tidak terlalu kejam? Walau bagaimana pun, A