Devan segera mengangkat tubuh istrinya setelah memberikan gelas yang berisi air hangat kepada Berliana. Ia akan membawa Fania ke rumah sakit terdekat dari kediaman sang ayah.Sopi pribadi Sam, sudah menunggu di depan pintu dan membukakan pintu mobil untuk mempermudah Devan masuk.“Hati-hati, Dev. Kami akan menyusul nanti,” ucap Berliana saat putranya sudah berada di dalam mobil. Devan hanya bisa mengangguk, dan tak lama mobil pun berjalan meninggalkan rumah.Sementara Sam dan Berliana bergegas masuk ke dalam dan ia akan segera menyusul putra dan menantunya itu ke rumah sakit.Di mobil, tepatnya Devan berada, hatinya begitu gelisah menatap istrinya yang masih memejamkan matanya sedari tadi. Ia sudah berusaha menepuk kedua pipinya. Namun, tetap saja Fania tidak sadarkan diri.Mobil yang membawa Devan dan juga Fania kini sudah sampai di rumah sakit terdekat. Devan segera membopong tubuh istrinya saat pintu di buka oleh sopir pribadi Sam.Devan membawa masuk Fania ke dalam rumah sakit.
“Fania hamil?” ulang Elfina dan Berliana secara bersamaan. Devan tersenyum mengangguk.Baik Elfina maupun Berliana mereka saling memandang dan terharu kali ini. Kesedihan yang mereka rasakan adalah sebuah ungkapan kebahagiaan. Dan hal ini membuat raut wajah Sam tersenyum haru.Sebab, dirinya pernah membahas masalah momongan disaat menantunya menginginkan berkarier terlebih dahulu. Namun, sekarang impian memiliki seorang cucu terkabulkan. Semua terasa seperti mimpi baginya.“Ibu mau lihat Fania, Nak. Sudah boleh dijenguk?” tanya Elfina.“Boleh, Bu. Hayo, masuk, Fania sudah menunggu kalian sedari tadi,” sahut Devan dengan membuka pintu ruangan secara lebar.Semua masuk dan menemui Fania yang kini sedang duduk di atas brankar.“Ibu, Mami?” panggil Fania tersenyum.“Selamat, Nak, kamu akan menjadi seorang ibu,” kata Elfina seraya memeluk tubuh putrinya.“Terima kasih, Bu.”“Selamat, Sayang. Mami khawatir banget saat kamu pingsan tadi. Mami kira kamu nggak cocok masakan Mami,” ujar Berlian
Elfina langsung membuang muka saat bertatapan dengan mantan suaminya cukup lama.Ia pun mengusap jejak air mata yang menetes secara tiba-tiba. Ini adalah kedua kalinya dia melihat wajah sang mantan suami. Meski kali ini wajahnya cukup sangat jelas.“Elfina? Kamu masih dengar aku?” tanya Alnando sekali lagi.“Maaf, Pah, Ibu pamit ke kamar mandi,” sahut Fania lirih. Ia tahu apa yang sedang dirasakan oleh ibunya. Namun, niat dia membuat kejutan untuk ayahnya ternyata melukai hati sang ibu. Fania merasa bersalah sudah membuat ibunya sedih. Mungkin, ini terlalu cepat memberitahu sang ayah tentang ibunya yang masih hidup.Akan tetapi, Fania hanya ingin berbagi kebahagiaan, dari dalam lubuk hatinya ia berharap kedua orang tuanya bisa bersatu kembali.Alnando mengangguk lesu. “Papah, menyusul kamu ke Paris, ya. Kamu pulang minggu depan ‘kan?” tanyanya serius.“Iya, Pah. Tapi, Papah yakin mau ke sini?” Fania berbalik tanya. Sebab, Alnando baru saja kembali beberapa hari yang lalu.“Papah seri
Shanum berteriak saat melihat Alnando tersungkur di lantai. Ia dan Angela langsung mendekat ke arah Alnando dan Iyas yang sedang mencoba membangunkan majikannya.“Suamiku kenapa, Bi?” tanya Angela. Ia mencoba menepuk pipi suaminya, namun Alnando tetap saja tidak sadar.“Ta-tadi, Tuan, mengeluh dadanya sakit, Nyonya,” terang Iyas.Angela pun hanya mengangguk. Iya bahkan tersenyum tipis saat memunggungi pembatunya itu.“Yas, mobil sudah siap,” kata Joko saat masuk ke dalam rumah. Betapa terkejutnya dia saat melihat majikan laki-lakinya terkapar di lantai tak sadarkan diri.“Tuan!” suara Joko.“Joko, cepat ke sini! Angkat suamiku ke mobil. Kita harus bawa ke rumah sakit sekarang,” pinta Angela disaat Joko melirik Iyas untuk meminta jawaban apa yang terjadi.Iyas sendiri hanya mengedipkan kedua matanya agar Joko menuruti perintah Angela terlebih dahulu.Joko akhirnya menurut. Dan ia mencoba mengangkat majikannya di bantu oleh Iyas.Setelah Alnando berada di mobil. Iyas sebenarnya hendak i
Di Jakarta, tim dokter IGD masih menangani Alnando. Dan tidak lama, pintu ruangan pun terbuka, Angela langsung berdiri, sebab, salah satu perawat memanggil pihak keluarga pasien.“Saya istrinya, Sus. Bagaimana keadaan suami saya?” tanyanya dengan wajah yang memelas.“Silakan bertanya langsung ke Dokter, Bu,” ucap perawat wanita muda. Angela pun mengangguk, lalu ia masuk ke dalam ruangan.Dokter pun menyarankan untuk duduk di kursi yang di sediakan. Dokter Lukas mulai berbicara tentang permasalahan yang terjadi kepada pasien bernama Alnando.“Maaf, Nyonya. Sepertinya tuan Alnando mengalami kesalahan mengonsumsi obat. Setelah di cek, ternyata ada kandungan obat dengan dosis yang berlebihan. Efek dari obat itu membuat tuan Alnando mengalami sesak napas, bahkan sampai hilang kesadaran,” terang dokter Lukas.Angela tersenyum tipis mendengarnya. Sementara Shanum ia tampak gelisah.“Apakah obat itu berbahaya, Dok?” tanya Shanum dengan polos. Angela yang mendengar dibuat membelalak.“Saya ras
Devan masih membeku tak menjawab pertanyaan dari istrinya. Ia pun tersenyum tipis, lalu berkata, “Bukan, Sayang. Ini dari klien,” ucap Devan terpaksa berbohong.Fania tersenyum dan lega. Ia pun tak mempertanyakan lagi.Jujur saja, Devan sengaja berbohong, karena ia tidak ingin membuat istrinya semakin bersedih jika tahu kondisi ayahnya yang semakin memburuk. Dan Devan sangat berharap setibanya ia dan rombongan di tanah air. Semoga saja, akan ada keajaiban untuk ayah mertuanya bisa cepat sadar dari masa koma.Bi Iyaslah yang sudah mengabari kondisi majikannya ke Devan saat tiba di rumah sakit. Iyas sengaja menyusul ke rumah sakit, demi memastikan kondisi majikannya baik-baik saja. Namun, ternyata saat ia sampai, saat itu Alnando sedang mengalami kejang dan kondisinya pun semakin memburuk.Iyas sangat prihatin melihat kondisi majikannya, ia juga merasa kesal kepada istri majikannya yang tampak biasa saja, saat tahu jika suaminya sendiri kondisinya semakin kritis. Bahkan Angela meminta
Fania berteriak kencang dengan mengguncangkan tubuh Alnando yang sudah terbujur kaku. Ia menengok ke arah bi Iyas yang berusaha menguatkan dirinya.“Non, yang ikhlas, ya,” ucap Iyas lirih. Dengan mengelus punggung Fania secara pelan.“Papah, ini Fania, Pah. Papah nggak lagi becanda ‘kan? Hayo, Pah, bangun ... bangun, Pah ... bangun ....,” isak Fania kencang. Tangannya tetap mengguncangkan tubuh ayahnya yang sudah tak bergerak.Elfina yang berada di balik tirai, kedua matanya sedari tadi sudah basah oleh cairan hangat yang berjatuhan. Ia tidak menyangka disaat dirinya sudah memantapkan diri untuk bertemu dengan mantan suaminya. Namun, ternyata takdir berkata lain.Sedangkan, Devan yang menunggu di luar. Dirinya mendengar suara tangis istrinya yang kencang. Membuat ia memutuskan untuk masuk ke dalam. Saat pintu ruang ICU di buka, ia melihat ibu mertuanya menangis sesenggukan.“Ibu?” panggil Devan lirih.“Dev, mas Alnando ... Dia ... dia tiada,” isak Elfina. Devan sangat syok mendengar
Angela membelalak saat mendengar suara wanita yang menghinanya. Siapa lagi kalau bukan anak tirinya yang ia benci.“Apa maksudmu? Siapa yang berakting?” sungut Angela tidak terima.“Nggak usah berpura-pura. Ini yang kamu tunggu-tunggu ‘kan? Puas kamu, sekarang Papah sudah tiada!” hardik Fania tak bisa menahan emosinya. Untung saja Devan yang mendengar keributan, ia pun masuk ke dalam ruang tengah. Lalu menjauhkan istrinya dari ibu tirinya itu.Angela langsung membuang muka saat itu juga. Ia pun mengatur ekspresi sedihnya lagi. Jangan sampai sandiwaranya terbongkar. Seperti tuduhan anak tirinya yang memang bicara benar.“Sayang, kamu bisa tahan emosi kamu dulu. Kita sedang berduka, dan banyak orang di sini,” ucap Devan mencoba menenangkan istrinya.“Tapi, gara-gara dia, Papah—,” Fania menjeda, sebab Devan menaruh jari telunjuknya di bibir sang istri.“Iya, aku paham. Tapi, kita bisa bicarakan nanti. Kalau di sini terjadi keributan, Papah pasti akan sedih kepergiannya tidak tenang. Kamu
Pagi ini sesuai rencana Fania untuk berpindah di kediaman ayahnya. Ia dan Elfina sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Alnando.“Bi Darmi, titip rumah ini, ya,” ucap Fania saat sudah di depan pintu apartemen.“Iya, Nyonya. Hati-hati di jalan,” kata Darmi dengan rasa haru. Sebab, setelah menginap di rumah Alnando. Fania dan Devan akan langsung berpindah ke Paris.“Kalo ada apa-apa atau butuh apa pun. Jangan sungkan hubungi aku atau ke istriku, ya, Bi,” pesan Devan.“Baik, Tuan.”“Kami pamit dulu, Bi Darmi.” Elfina ikut bersuara kali ini.Darmi hanya mengangguk dan tersenyum.Devan mengajak istri dan ibu mertuanya untuk berjalan ke arah lobi apartemen. Sementara di sana pak Aris sudah menunggu sedari tadi.Setelah masuk ke dalam mobil. Pak Aris melajukan mobilnya mengarah ke kediaman Alnando.Sesampainya di rumah Alnando. Mereka langsung di sambut oleh bi Iyas dan pak Joko yang sudah menunggu.“Selamat datang nyonya Elfina, non Fania dan den Devan,” kata Iyas dan Joko secara bersamaa
“Lo, tunggu sini, ya. Ingat! Jangan ke mana-mana!” Fania memberi peringatan kepada Karina. Lalu ia pergi keluar dari toko pelengkapan bayi.Fania menengok kanan kiri. Lalu netranya pun melihat ada seorang satpam mall yang sedang berjalan ke arahnya. Fania langsung mendekati satpam itu, untuk meminta bantuan.“Pak, bisa minta tolong?” tanya Fania langsung.“Iya, Mbak. Apa yang bisa saya bantu?”“Temanku mau lahiran, Pak. Apa Bapak, bisa bantuin saya siapkan mobilnya ke lobi?” titah Fania sopan.“Baik, Mbak. Akan saya bantu. Kalo boleh tahu berapa nomor plat mobilnya?” tanya Satpam itu.“Hayo, Pak. Ikut saya ke dalam, soalnya itu mobil teman saya,” sahut Fania sembari berjalan masuk ke tempat perlengkapan bayi.Satpam itu pun mengekori di belakang Fania yang masuk ke tempat di mana Karina berada. Setelah memberitahu kepada Satpam itu plat mobil Karina. Karina kini dirangkul oleh Fania untuk berjalan ke arah lobi. Untungnya tempat perlengkapan bayi ada di lantai dasar, membuat Fania tida
Setelah kepergian Elfina. Devan langsung menahan istrinya agar tidak memaksa kehendak sang ibu.“Sudah, tidak perlu kamu paksa Ibu agar mau tinggal di rumah Papah. Mungkin, ada hal yang tidak ingin Ibu beri tahu ke kamu, jadi kamu harus menjaga privasi Ibu, ya,” ucap Devan lirih. Berharap jika istrinya akan mengerti.Fania mengangguk pelan. “Iya, Mas. Kamu benar juga.”“Iya, sudah kamu mau ikut bareng aku ke toko atau mau diantar pak Aris?” tanya Devan saat sarapan selesai.“Aku ikut kamu saja, Mas.”Devan tersenyum. “Aku tunggu di bawah,” sahutnya dengan keluar ke arah pintu untuk mengambil mobil di basemen.Fania lebih dulu membereskan meja makan terlebih dahulu sebelum dia keluar. Setelah selesai, ia berjalan ke kamar ibunya untuk berpamitan.“Bu, Fania ke toko, ya,” ucapnya setelah mengetuk pintu.Tidak ada sahutan sama sekali dari kamar ibunya. Membuat hati Fania sedih kali ini. Ia merasa bersalah telah berbicara masalah untuk tinggal di rumah papahnya.Fania berjalan meninggalka
“Pak Devan?” sapa orang itu saat melihat ke arah Devan. Dia bahkan beranjak dari kursinya lalu mengulur tangan kanannya kepada Devan yang sedikit terkejut.“Anton?” panggil Devan singkat. “Kamu sudah di Jakarta berarti?” tanya Devan langsung. Karena setahu Devan, Anton waktu itu pindah ke Kalimantan.“Iya, Pak. Saya pindah ke sini lagi,” jawab Anton sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Kerja apa kamu sekarang? Kalau belum kerja, kamu bisa balik ke kantor saya lagi,” ajak Devan. Namun, dengan cepat Anton menggeleng.“Maaf, pak Devan. Bukan saya menolak rezeki, tetapi saya sudah buka usaha sendiri di sini, Pak,” sahut Anton sopan.Devan tersenyum mendengarnya. “Wah, bagus itu. Apa usahamu?”“Warung nasi padang, Pak. Itu yang seberang sana,” unjuk Anton ke warung usahanya dekat minimarket.“Oh, ya, kapan-kapan aku mampir,” ucap Devan. Ia juga bertanya tujuannya ke sini. Lalu Anton pun memberitahu tempat Angkringan yang buka hingga pagi, tempatnya memang tidak jauh dari lokasi s
Seseorang yang datang ke kantor Devan hanya tersenyum mendengar pertanyaan dari si empu ruangan yang terdengar sinis kepadanya.“Sebelumnya aku mau meminta maaf, karena sudah lancang duduk di sini. Dan tujuan kedatanganku, hanya ingin memberikan ini padamu,” kata orang itu dengan mengeluarkan satu lembar kertas undangan pernikahan ke hadapan Devan.Devan masih terdiam menatap undangan di atas mejanya. “Kau akan menikah?” tanyanya singkat.Alya mengangguk. Memang benar yang datang ke kantor saat ini adalah Alya mantan kekasihnya dulu. Orang yang dulu pernah merencanakan menjebak istrinya di apartemen milik Riko.“Ya, ada seseorang yang melamarku satu bulan yang lalu. Aku kira, tak ada salahnya aku membuka hatiku lagi untuk orang lain. Aku sudah sadar jika kita tak ditakdirkan untuk bersama,” sahut Alya.“Ya, kamu sadar juga,” ucap Devan.Alya hanya tersenyum kecut mendengar jawaban Devan padanya.“Aku minta maaf, jika aku banyak salah. Sepertinya hanya itu saja kedatanganku ke sini,” k
Satu minggu kemudian. Seusai mengikuti sidang seminggu yang lalu, Fania dan Devan seperti memulai kehidupan yang baru. Meski sebenarnya, Beni masih menjadi buronan, tetapi Devan sudah menyerahkan semua keputusan kepada pak Gunawan selaku kepala kepolisian Jakarta Selatan.Elfina sementara masih tinggal di apartemen Fania untuk sementara waktu. Dan pagi ini seperti yang sudah dijanjikan oleh Fania kepada ibu dan ibu mertuanya yaitu mengajak ke toko bunga serta keliling Jakarta. Membuat Fania dan Elfina kini dalam perjalanan menjemput Berliana di kediaman Sam.Setelah sampai, ternyata Berliana sudah menunggu di ruang tamu bersama dengan Sam yang sedang menikmati secangkir teh dengan membaca koran surat kabar.“Hai, Mami!” sapa Fania dengan mendekat ke arah ruang tamu. Lalu bersalaman dengan Sam dan juga Berliana yang kini berdiri.“Hai, Sayang. Kita langsung jalan atau kalian mau mampir di sini dulu?” tanya Berliana setelah bersalaman dengan Elfina.“Langsung jalan saja, ya, Mi. Karena
Devan menaruh ponselnya di jasnya kembali. Disaat itu pula Fania mendekat dan bertanya siapa yang menghubungi.“Pak Gunawan yang menelpon tadi, Sayang.” Devan berkata seraya mendekat ke arah istrinya.Fania hanya mengangguk meski sebenarnya dia ingin bertanya lagi, tetapi dia urungkan. Sebab, melihat ibunya yang begitu terpuruk saat ini, ia merasa kasihan. Ada sedikit rasa cemburu, kenapa ibunya begitu kehilangan Bisma dibandingkan saat ayahnya tiada.Banyak sekali yang ingin Fania ketahui, tetapi ia tidak mau membuka masa lalu ibunya kembali.“Ibu, yakin tidak apa-apa?” tanya Fania ikut berjongkok. Elfina pun mengangguk.“Benar, Nak. Ibu tak apa-apa, kok. Hayo kita pulang, sepertinya bakalan hujan,” sahut Elfina dengan menatap ke atas melihat awan yang kini sudah berubah menjadi awan gelap.Fania mengangguk. Di perjalanan menuju kediaman rumah Bisma. Elfina menatap ke arah wanita paruh baya dan ia pun berterima kasih karena sudah mau mengantarkan dirinya ke makam teman lamanya itu.“
Bab 103. Berkunjung ke rumah Bisma Devan mengangguk saat istrinya bertanya tentang dirinya yang sudah melaporkan Angela. Sebenarnya, Devan bukan hanya melaporkan Angela, tetapi dia juga melaporkan Shanum dan juga Beni. Dia ingin memberi peringatan kepada Angela agar dia sadar jika dirinya adalah otak dibalik rencana melenyapkan Alnando. “Terus, apa yang kamu katakan kepada Shanum, Mas? Apa kamu mengabulkan belas kasihnya, saat dia mengemis padamu?” tanya Fania lagi penasaran. Devan menggeleng. “Tidak, aku tidak menanggapi, Sayang. Aku sudah memperingatkan Shanum, jika dia mau memohon pun aku tidak akan pernah mencabut tuntutanku. Karena nyawa harus dibalas dengan nyawa juga!” tegas Devan. Fania tersenyum kali ini. “Baguslah, Mas. Harusnya seperti itu. Biar ibu tiriku jera juga. Aku sudah muak juga dengan sandiwara Angela,” ucap Fania. Dengan berani menyebut nama ibu tirinya kepada Devan. Devan yang mendengar dia tertawa renyah kali ini. Bukan karena mengejek, tetapi mendengar is
Jujur saja Shanum sangat syok mendengar ucapan dari pak Gunawan. Setelah itu, dia pun bertanya siapa yang melaporkan ibunya. Karena ia ingin menemui orang itu agar bisa mempertimbangkan tuntutannya kepada sang ibu.Pak Gunawan akhirnya memberitahu Shanum siapa orang yang telah melaporkan ibunya itu.Dan kini Shanum yang berada di dalam mobilnya dibuat gusar. Ia tak menduga jika yang melaporkan ibunya adalah suami adik tirinya.“Aku harus menemui Devan sekarang. Aku harus membebaskan, Mamah,” ucap Shanum. Namun, sebelum dia melajukan mobilnya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Ia melihat siapa yang telah menghubunginya.Setelah membaca nama di layar ponsel. Shanum pun segera mengangkat.“Mamah, sekarang sedang ditahan di kantor polisi. Apa kamu punya cara agar Mamah bisa bebas?” tanya Shanum setelah menyapa.“Apa? Di tahan?” tanya Beni terkejut.“Iya, ada yang diam-diam menaruh kamera pengintai di seluruh ruangan rumah, dan Mamah dinyatakan bersalah karena ada bukti yang kuat saat Mamah m