"Aku hanya menebaknya..." jelas Rama cepat.
Pak Bima yang mendengar percakapan kedua anaknya itu mengangguk. "Kukira kamu mulai diam-diam kembali belajar pada paman Nugroho..." timpalnya. Nugroho adalah seorang pejabat daerah yang juga merupakan anggota kerajaan yang menjabat sebagai menteri pertanian. Meski seorang pejabat pertanian, Nugroho tidak terlalu memiliki peran penting. Di masa itu, bidang pertanian adalah bidang pekerjaan terendah. Sedangkan bidang tertinggi ada pada menteri pertahanan, menteri perdagangan dan menteri luar-dalam kerajaan. Meskipun begitu beliau adalah salah satu anggota keluarga kerajaan yang masih menyambut ramah keluarga Adipati. Rama pemilik tubuh terdahulu menyukai belajar, meski pengetahuannya tidak terlalu mendalam. Sayangnya, dia sulit menangkap pelajaran. Namun pemilik tubuh terdahulu, tak menyerah. Dia tetap berbakti dan rajin. Untungnya, Rama yang sekarang adalah masyarakat modern yang menyukai perkebunan, peternakan dan perdagangan. Ia juga menyukai alat-alat unik pertanian. Namun Rama adalah seorang yatim-piatu yang tinggal di panti asuhan, sehingga ketika bertemu keluarga Rama Adipati. Rama menemukan kehangatan sebuah keluarga. Sesampainya di kebun cabai, pak Bima menatap muram pucuk daun yang mulai terlihat keriting. "Sepertinya bulan ini kita akan gagal panen..." lanjutnya. "Bagaimana dengan upeti yang harus kita bayarkan pak?" tanya Jaya. Meski mereka adalah anggota kerajaan, keluarga Adipati tetap harus membayar upeti kepada pejabat daerah. Karena sudah meminjam tanah daerah. Upeti yang dibayarkan adalah 20% dari penghasilan kebun. Jika ingin mendapatkan upeti 10% mereka harus membeli tanah setidaknya seluas 1 kavling. Harga tanah tidak terlalu mahal, namun pajak tahunan yang dibayar sebesar 20% untuk pertanian dan 25% untuk peternakan. Jadi banyak warga yang memilih untuk sistem pinjam dan membayar upeti sebesar 20% setiap panen, itu lebih baik daripada harus membayar upeti tahunan serta upeti hasil. "Apa kebunmu juga terkena hama kutu?" Seorang pria dengan perawakan gembul datang mendekat, wajahnya ramah. Andik Pratama, seorang pengepul dari kota Mekaragung. Pak Bima hanya bisa mengangguk muram. "Apa tidak ada cara untuk mengatasinya?" tanyanya lagi. "Kami baru kali ini fokus pada cabai, sehingga belum mengetahui cara memberantas hama ini..."jelas pak Bima lagi. "Cabai sangat langka, utusan dari timur akan datang ke kota kerajaan dan katanya menyukai masakan pedas. Sayang sekali jika kalian gagal memanennya, karena harganya pasti akan mahal..." jelas pak Andik. "Jika bisa dipanen, berapa harga yang akan paman beri perkilonya pada kami?" tanya Rama menimpali. Pak Bima dan Jaya terkejut ketika mendengar Rama bersuara, biasanya Rama yang mereka kenal adalah Rama yang pemalu. "Saat ini harga cabai sudah mencapai 2 logam emas perkilo, mungkin akan naik sampai 3 atau 4 logam emas nantinya..." jelas pak Andik. Semua orang terkejut mendengarnya, karena belum pernah ada hasil pertanian dihargai dengan logam emas. Bahkan sampai 3 atau 4 logam emas! Rama mengangguk dan menatap pohon cabai di depannya. "Ke mana aku harus menghubungi paman jika ingin menjual hasil cabai kami?" tanya Rama lagi. Semua orang yang mendengar terlihat bingung. Pak Bima dan Jaya bahkan lebih terlihat kebingungan, karena cabai mereka bisa dipastikan akan gagal panen, jadi buat apa Rama menanyakan hal yang pasti tidak akan terjadi. Namun beda hal dengan pak Andik, lelaki berumur 40an itu tersenyum. Dia suka anak muda yang memiliki semangat seperti Rama. Karena biasanya anak seumuran Rama akan pergi mengikuti ujian kerajaan untuk menjadi pejabat, sedangkan Rama. Dia terlihat akan menjadi orang besar nantinya. Andik tau hanya dengan melihat cara Rama bertanya. "Aku Andik Pratama, kamu bisa mencariku di kediaman keluarga Pratama dari Mekaragung. Dan... Siapa namamu nak?" "Aku Rama Adipati..." Andik Pratama mengangguk paham. "Aku akan berpesan pada pelayanku kalau kamu datang nanti..." kata Andik dengan senyum penuh kepercayaan pada Rama. Mekaragung adalah pusat kota Mekar. Dibawahnya menaungi 3 desa. Mekarsari,Merekah,dan Kuncup. Meski memiliki nama Mekarsari, namun desa Rama lebih tertinggal saat ini dibanding dua desa lainnya. Merekah memiliki jarak 100 km dari desa Mekarsari, mereka memiliki perdagangan rempah yang sangat besar dan terkenal sebagai pusat penyedia rempah. Kuncup berjarak 230 km, terkenal sebagai desa penghibur, kuncup sering dikunjungi karna desa ini terkenal seperti kota kecil yang memiliki pasar sabtu-minggu. Berbagai macam jenis hiburan ada di kuncup. Tempat ini dijadikan sebagai pertemuan antar pedagang dan pembeli, karna ditempat ini menyediakan banyak penginapan. Sedangkan Mekarsari dikenal sebagai desa petani. Meskipun begitu, desa Mekarsari tidak terlalu dipandang. Karna pada jaman ini, kerajaan dan pusat kota lebih menyukai makanan barat yang dikirim dari luar. Bahkan untuk bahan pertanian, kerajaan memasok persediaan dari luar. Sehingga banyak utusan luar berdatangan untuk melakukan perdagangan di kerajaan Bamaraya. Karna pejabat kota percaya, bahan pertanian barat lebih berkualitas. Menurut ingatan pemilik tubuh yang dahulu, Mekarsari bisa saja jadi desa dengan pertanian yang memadai. Namun pejabat kerajaan sudah pernah memberi bantuan dan tidak ada perkembangan terhadap desa Mekarsari. Sehingga pejabat menarik semua bantuan, para pekebun di desa ini kebanyakan petua, sedangkan hanya sedikit para pemuda yang membantu. kebanyakan dari para pemuda itu pergi merantau ke desa lainnya demi mencari pekerjaan yang layak. Meski akhirnya mereka pun kembali hanya dengan membawa hasil yang tidak cukup untuk desa mereka. "Baiklah, Paman. Terima kasih atas informasinya," kata Rama. Andik sedikit kebingungan dengan bahasa yang digunakan Rama, namun dari cara Rama mengucapkan sepertinya artinya bagus. Andik hanya tersenyum dan berlalu pergi menaiki kereta kudanya. "Hei Rama!" Pria tua yang dikenal sebagai paman Suli menghampiri Rama. Dia adalah pemilik kebun cabai yang juga terkena hama kutu. "Apa kamu tau cara mengatasi hama kutu ini?" tanyanya lagi dengan sorot mata penuh harapan. Rama tersenyum. "Aku akan memikirkannya nanti paman, lagipula cabai ini masih masa pertumbuhan..." kata Rama menenangkan. "Kamu adalah seorang pelajar dan keluarga kerajaan, aku harap kamu setidaknya bisa menyelesaikan masalah ini..." kata paman Suli sambil memegang tangan Rama. "Akan aku kabari paman..."jelas Rama. "Ramaaa... Ramaaa... kamu ini memang keluarga kerajaan, tapi omonganmu itu seperti memberi harapan pada orang lain." Bromo Susanto, tetangga kebun Rama yang juga menanam cabai. "Nanti kalau kamu tidak bisa menyelesaikan masalah ini, kamu hanya akan dianggap si mulut besar," lanjutnya, sinis. "Saya ini sudah menanam cabai selama setahun, belum pernah saya temukan solusi untuk memberantas hama kutu!" Jarwo, tetangga kebun yang juga menanam cabai ikut menimpali, "Kalian yang baru menanam cabai sekali ini sudah menemukan solusinya?! Itu jelas kebohongan!!" Semua orang yamg ada disitu mulai berbisik menghina, meremehkan dan menatap tak percaya ke arah Rama. Namun tidak berani terang-terangan mengatai Rama dan keluarganya. Rama hanya tersenyum maklum. "Paman, jika aku menemukan solusinya... aku akan memberitahu kalian." jelas Rama. Sulit untuk berdebat dengan para petua desa. Lagipula, wajar mereka tidak percaya. Sayangnya, mereka hanya tidak tau jika Rama memiliki onshop yang akan membantunya. Ketika para petua mulai kembali ke kebunnya, Pak Bima dan Jaya lantas mendekat dan setengah berbisik pada Rama. "Kamu tau caranya Ram?" tanya Jaya. Rama mengangguk yakin. "Memang kamu tau dari mana?" tanya Pak Bima ikutan. "Dari sini..." kata Rama menunjuk layar notifikasi yang orang lain tidak bisa melihatnya. Pak Bima dan Jaya menatap ruang kosong di telunjuk Rama kemudian langsung menyikutnya. Mereka merasa Rama memang hanya asal bicara tadi. "Udah pak, tinggalin aja dia di kebun!!!" kata Jaya. "Nanti ibumu marah... " lanjut Pak Bima, padahal Jaya hanya bercanda pada kata-katanya. "Cih!" Jaya mengejek Rama. "Hahaha.... mengapa kalian tidak percaya?!" Sepanjang perjalanan Rama menggoda pak Bima dan Jaya, meminta untuk percaya padanya. Namun mereka hanya membalas Rama dengan ejekan ringan. Mereka tidak tahu saja, bahwa Rama sudah mulai memproses pembelian di onshop....[Selamat datang di onshop] Saat ini Rama sedang sendirian di kamarnya, pintu kamar sudah ia kunci. Jaya sedang pergi jaga malam bergantian dengan warga lainnya. Pak Bima di kamar dengan ibu Sri. Ini saat yang tepat untuk Rama membedah onshop. Menurut informasi yang Rama dapatkan, 1 logam emas setara dengan 2 juta Rupih, 1 logam perak setara 200 ribu Rupih, 1 logam perunggu setara 20 ribu Rupih. Nilai mata uang di zaman ini lebih besar karna lebih murni dibanding zaman modern yang sudah terkena inflasi. Rama memasukkan 1 logam perunggu ke dalam gambar token di onshop. Seketika terlihat nominal 20 ribu Rupih. Rama tersenyum puas dan membayar 5 Rupih untuk harga brownies tadi pagi. 'Lebih baik tidak berhutang' pikirnya. Rama memandangi kotak Brownies dan seketika robot mungil kembali muncul. [Anda bisa membuang sampah ke kotak sampah daur ulang, satu sampah dihargai 1 rupih] Rama langsung tersenyum puas dan mengklik gambar kotak sampah, memasukkan kotak brownies ke dalam gambar
Pagi ini cerah seperti biasa, semua warga desa memulai rutinitasnya. Ada yang mencuci di sungai, pergi ke kebun dan bekerja di rumah para pejabat. Tadi pagi saat dirumah, Rama sudah menyiapkan insektisida dan perekat yang ia beli di onshop, tak lupa pula membeli semprot manual 10 liter. Penampilan Rama terlihat mencolok dengan menggendong semprot manual itu. Rama mulai menyemprot daun cabe dari bawah keatas, karna hama kutu biasa berada di bawah daun, maka Rama memakai semprotan yang mengeluarkan air seperti embun. Para warga berkumpul di sekitar kebun pak Bima. Menatap kagum, bingung dan pikiran lainnya, karna apa yang Rama gunakan belum pernah mereka lihat sebelumnya. Pak Bima dan Jaya mulai membersihkan rumput-rumput liar disekitar tanaman cabai. Sementara Rama mulai menyisiri tanaman cabai dan menyemprotnya. Ketika ingin menyemprot tanaman cabai dengan insektisida, Rama harus melakukannya di pagi hari atau di sore hari, disaat matahari belum terasa panas. Selesai menyemprot tan
"Waaaaahhhh!! Enak sekali..." kata Jaya penuh semangat ketika mencoba nasi goreng yang dibuat Rama. "Masakan ini kaya akan bumbu, bahkan ada telur dan suiran ayam." kata pak Bima ikut berkomentar. "Enak sekali nakk... kapan kamu menyiapkan semua ini?" tanya ibu Sri juga. Rama hanya tersenyum ketika keluarganya menikmati masakan sederhana yang ia buat. Padahal nasi gorengnya dibuat dengan bumbu kemasan. Sepulang dari sungai, Rama langsung mengeluarkan kompor gas kecil dan memasak nasi goreng, menggoreng telur dan menyuir ayam goreng. Kemudian ditambah dengan bawang goreng. Semua dibeli di onshop! Semua terasa mudah dengan onshop, kendalanya token Rama di onshop mulai menipis. Rama berpikir akan membeli beberapa sabun dan shampo sachet untuk dijual dan mengisi token onshopnya. "Apa nama masakan ini Ram?" tanya Jaya. "Nasi goreng spesial" Jelas Rama. "Ini... Nasi?" Tanya ibu dengan raut wajah kaget. "Nasi yang cuma para pejabat tinggi yang bisa memakannya?" Tanya Jaya me
"Baiklah, aku akan mencatat siapa saja yang memesan barang. Seminggu lagi aku akan berangkat ke desa kuncup..." jelas Rama. Rama mulai mengeluarkan buku kecil dan bolpoin, para warga kebingungan dengan barang yang dipakai Rama karena barang-barang itu terlihat menakjubkan dan ajaib. Namun, mereka menahan rasa penasaran mereka. Saat ini, yang terpenting adalah cairan ajaib yang dimiliki Rama! "Aku..." "Aku juga..." Satu persatu warga desa mulai mengangkat tangan dan mengatakan keinginannya. "Tuan Muda Rama, pupuk apa yang tadi kamu pakai?" Tanya pak Jarwo. "Itu pupuk untuk merangsang pembuahan, membuatnya berkualitas dan produksinya melimpah." jelas Rama. Meski terkadang warga desa kebingungan dengan perkataan Rama. Mereka tetap mengangguk, sepertinya apa yang Rama ucapkan adalah kata-kata para keluarga kerajaan yang terpelajar saja. "Aku pesan itu juga ya Tuan Muda Rama..." sambung pak Jarwo. "Aku juga..." kata pak Bromo dan warga lainnya pun mulai mengerumuni Rama. **
Kembali ke desa Mekarsari. Kebun milik pak Bima dan pak Suli sudah mulai bisa dipanen 2 hari lagi. Sedangkan milik petani lain juga sudah bisa dipanen sekitar seminggu kemudian. Rama menjual beberapa bahan insektisida, pestisida dan pupuk. Ada yang berbahan organik maupun sintetis. "Nah ini sabun yang aku janjikan..." Selesai dari kebun, Rama mulai membagikan beberapa sabun batangan kepada para penduduk desa yang ingin pergi ke sungai. "Ini beneran gratis Tuan Muda?" "Waah, anakku akan semakin cantik kalau memakai sabun ini." "Terima kasih Tuan Muda Rama." Penduduk desa bergantian mengucapkan pujian dan terima kasih kepada Rama. Semua kini memandang Rama dengan takjub, masalah pertanian mereka terselesaikan, Rama juga membagikan sabun batangan secara gratis pada mereka. Siapa yang tidak menyukai barang gratis, bahkan bantuan Rama terhadap kebun-kebun yang terkena hama sangat membantu. Tadinya warga mengira mereka akan kembali terlilit hutan dan upeti jika kali ini kembali meng
"Tuan muda Rama, aku akan ikut bersamamu ke kota. Aku tidak ingin kamu menanggung hutangku... Kamu sudah membantu hasil panenku agar tidak gagal." Pak Suli mendekati Rama ketika pak Arya dan pengawalnya berlalu pergi. "Aku bersyukur jika paman bisa ikut...tapi tak apa jika aku yang menanggung hutangnya, karna ini ideku..." jelas Rama lagi. Pak Suli langsung bersujud dan meneteskan airmata. Rama sudah menolongnya memberantas hama, memberikan pupuk untuk cabainya dan kini bersedia menanggung hutangnya. Entah bagaimana pak Suli dan keluarganya akan membalas kebaikan Rama. "Nak, sebaiknya kita bersiap berangkat, karna jika terlambat maka cabai kita akan mengalami penurunan kualitas." ajak pak Bima. "Bapak di desa saja sama ibu, biar Jaya dan Rama yang berangkat." Jelas Jaya, Rama langsung mengangguk setuju. "Betul, lebih baik Bapak jaga ibu di rumah... Biar kita yang berangkat." "Kalian bisa memakai kereta kudaku, agar bisa cepat sampai..." jelas pak Wijaya. "kebetulan aku jug
"Tuan Muda, aku akan menginap di penginapan Melati. Karna berada di jalan utama, akan mudah untuk menemukannya," jelas pak Wijaya dengan hormat pada akhirnya. "Baiklah, ketika urusan di sini selesai, aku akan langsung menyusul kalian." "Tuan Muda Rama, tolong jaga dirimu..." kata pak Suli juga. Rama mengangguk dan tersenyum meyakinkan. Pak Wijaya dan pak Suli masuk kedalam kereta kuda dan berlalu. "Jadi kalian belum makan?" Rama kembali fokus kepada Alan dan adik-adiknya. Alan mengangguk takut. "Dimana kalian tinggal?" tanya Jaya. Alan menunjuk ke arah perkampungan pinggir jalan, Rama menatap perkampungan itu nanar. Beberapa kemah didirikan, berdinding kan pelepah daun dan atap jerami. Rama mengisyaratkan Alan untuk menuntunnya. Jaya menatap ragu namun tetap mengikuti Rama dan Alan, ketiga adik Alan mengikuti mereka dengan tertatih. Tapi ketika mereka akan masuk, beberapa pemuda yang sama kurusnya namun terlihat masih mempunyai tenaga menghentikan mereka. "Kalian jangan ma
"BRAK!!!" Seseorang terlempar keluar dari penginapan. Hampir saja mengenai Rama dan Jaya yang akan masuk ke penginapan. Untungnya Jaya yang memang menguasai bela diri langsung menahan tubuh Rama ke belakang. Padahal Rama modern juga lebih peka, meskipun ia hanya mengikuti silat sampai sabuk hijau. "Uhuk!" Pak Petra yang terlempar itu mengeluarkan darah, meskipun tidak banyak namun tubuhnya mengalami luka dalam. Semua orang memandang tanpa berbuat apapun, lalu Rama juga melihat pak Wijaya dan pak Suli di dalam tanpa berbuat apapun. 'Apa yang sebenarnya terjadi? ' "Bush!" Surya seorang bangsawan, menyiram Petra dengan semangkok sup sayur. "Coba kamu rasakan, apakah masakanmu ini layak untuk aku makan?!" katanya lagi dengan sebelah kaki yang kini berada di dada pak Petra. "Uhuk!! Maa... Maafkan aku Tuan Muda Surya!! Aku mohon... Beri aku kesempatan." "Duk!!" Pak Petra langsung berlutut ketika Surya melepaskan kakinya di dada pak Petra. "Waktumu hanya sampai besok!" katanya kemu