Namun, suasana hati Winda hanya bertahan beberapa detik sebelum dia menutup pintu dan melemparkan dirinya ke tempat tidur Hengky lagi. Winda menikmati sisa aroma tubuh Hengky yang segar di kasurnya.Winda merasa masih agak mengantuk, jadi dia menarik selimutnya dan segera tertidur lagi. Winda tidur sampai hampir tengah hari ketika dia tiba-tiba terbangun oleh suara dering telepon.Winda memandang telepon dengan heran. Dia berguling ke sisi tempat tidur, dan memeriksa kembali sebelum yakin bahwa itu adalah panggilan dari kantor polisi.Winda segera menjawab telepon, menempelkan headset ke telinganya. "Halo, ini Winda. Ada yang bisa saya bantu?"Sebuah suara laki-laki dari seberang sana menjawab, "Halo, Bu Winda. Saya polisi, dari Polres, nama saya Galih."Winda bertanya, "Pak Galih, ada yang bisa saya bantu?"Galih menjelaskan, "Begini, Bu Winda. Apa Anda mengenal Yuna? Dia bilang ingin bertemu sama Ibu sebelum memberikan keterangan lengkap tentang kasus ini. Bisa datang ke rumah sakit
Galih tertegun sejenak sebelum akhirnya dia mengulurkan tangan seraya berkata, “Halo, Bu Winda.”Winda tersenyum dan menyambut tangan Galih. Kemudian dia langsung berkata ke pokok permasalahan yang ingin dibahasnya, “Apa sekarang saya bisa bertemu dengan Yuna?”“Bisa, kok,” jawab Galih sambil mengulurkan tangannya untuk membuka pintu bangsal.Kemudian dia melangkah masuk dan berbalik ke arah Winda seraya berkata, “Waktu berkunjung hanya ada 20 menit. Berdasarkan peraturan, saya harus berada di tempat bersama Ibu selama kalian berdua mengobrol.”Winda mengangguk setuju lalu mengikuti Galih masuk ke area bangsal di mana Yuna ditempatkan di bagian bangsal mandiri. Winda berjalan masuk ke dalam area bangsal dan menemukan ada seseorang yang sedang berbaring di atas ranjang dengan tubuh yang dibalut kain kasa. Sepertinya orang itu mengalami luka yang cukup parah. Yuna langsung menoleh ketika mendengar ada orang yang datang menghampiri bangsalnya. Matanya sesaat terpaku ke arah Winda yang d
“Kalau begitu, kamu harus mati bersamaku!” seru Yuna sambil tersenyum sadis dan hendak menikam Winda dengan pisau buah di tangannya. Galih bergegas menghampiri Yuna lalu mencengkeram dan memutar tangannya ke belakang. Pisau yang digenggamnya langsung terlepas dan terjatuh di atas lantai. Kemudian Galih menekan tubuh Yuna ke atas lantai. “Lepaskan!” seru Yuna berusaha memberontak.Kemudian dia kembali berteriak, “Winda, aku nggak akan melepaskanmu, sekalipun aku mati dan jadi hantu!”“Kalau begitu, aku tunggu sampai kamu mati,” balas Winda acuh tak acuh. Kemudian Winda mengalihkan pandangannya ke arah Galih dan berkata, “Pak Galih, saya akan pergi kalau memang tidak ada hal lain lagi yang perlu dibicarakan.”Yuna langsung tampak gelisah dan terus memberontak setelah mendengar Winda akan pergi begitu saja. Luka-lukanya yang masih dalam masa pengobatan kembali terbuka dan kembali mengalirkan darah yang merembes ke perban yang menutup lukanya. Namun, anehnya Yuna tidak terlihat sakit de
Martin membuang wajahnya lalu memuntahkan ampas apel yang dimakannya. Dia juga melemparkan sisa apel yang sempat dia gigit tadi ke dalam tempat sampah. Kemudian dia menatap sinis ke arah Yanwar dengan tatapan penuh kebencian seraya berkata, “Memangnya kamu pikir siapa kamu sampai berani menyebut ibuku!”Yanwar benar-benar terkejut dengan tatapan penuh kebencian yang diperlihatkan Martin kepadanya sampai membuat Yanwar jatuh terduduk di atas sofa. Kemarahan yang bergejolak di dalam hatinya seketika menghilang tidak berbekas. Namun, kebencian di mata Martin justru terlihat semakin ganas setelah melihat Yanwar diam dan tidak bisa berkata-kata. “Ngomong, dong! Kenapa diam saja? Kenapa? Kamu malu, ya!” seru Martin sinis. Yanwar menatapnya dengan ekspresi campur aduk lalu berkata, “Nak ....”“Jangan panggil aku kayak gitu!” seru Martin penuh amarah. Kemudian dia berdiri dan menunjuk Yanwar seraya berkata, “Kamu nggak berhak manggil aku begitu!”Raut wajah Yanwar terlihat sedih dan menye
“Aku salah mengajarmu,” ujar Yanwar dengan raut wajah lelah dan tatapan redup. Martin menyeka darah yang muncul di sudut mulutnya lalu menatap Yanwar dengan tatapan dingin seraya berkata, “Apa ini masih belum cukup buat kamu? Kamu boleh menamparku lagi kalau masih belum cukup.”Ekspresi wajah Yanwar terlihat dipenuhi dengan rasa sakit. Dia buru-buru meraih lengan Martin lalu berkata dengan nada memohon, “Martin, Papa mohon jangan lakukan hal seperti ini lagi, oke? Papa minta maaf sama kamu atas semua kesalahan Papa. Semua kesalahan Papa nggak ada hubungannya sama Winda. Kamu jangan lagi ....”Martin mengibaskan lengannya agar Yanwar melepaskan genggamannya di lengan Martin, lalu Martin berkata dengan nada sinis, “Kamu memohon sama aku kayak gini pastinya bukan karena Winda, kan? Aku yakin, semua ini pasti karena Winda adalah anak dari perempuan itu. Kamu sakit hati banget karena itu? Asal kamu tahu saja ya, aku semakin nggak mau lepasin perempuan itu karena tingkahmu ini.”Yanwar tida
Dita dan Sekar sedang mengobrol sambil tersenyum ketika mereka melihat Pak Doni menghampiri mereka dengan tergopoh-gopoh. Senyuman di wajah kedua perempuan itu seketika memudar lalu berkata, “Pak Doni, kamu kan sudah tua, tapi kenapa tingkahmu masih begitu ceroboh?”“Bu Sekar, tadi ada seseorang yang menaruh surat ini di depan pintu,” ujar Doni sambil menyerahkan surat itu kepada Sekar. Sekar langsung mengerutkan keningnya lalu berkata, “Surat yang nggak jelas asal-usulnya, ya? Kalau begitu, kamu langsung buka saja.”“Baik, Bu Sekar,” jawab Doni lalu membuka amplop itu dan mengeluarkan sebuah flash disk dari dalamnya. Kemudian Sekar menoleh ke arah Dita dan berkata, “Cepat, ambil komputer.”Dita terlihat enggan untuk menuruti perintah ibunya. Namun, dia tetap berjalan ke lantai atas untuk mengambil laptop.“Kamu tahu siapa yang menaruhnya di depan pintu?” tanya Sekar. Doni menggelengkan kepala lalu berkata, “Saya tidak bisa melihat orang itu dengan jelas karena langit sudah gelap. T
Hengky sedang berjalan menuju lantai atas ketika dia menerima telepon dari nomor rumah keluarganya. “Hengky, kamu lagi di rumah?” tanya Dita dari balik telepon.Hengky langsung mengerutkan keningnya seraya berkata, “Ya.”“Nenek suruh kamu dan Winda untuk datang ke sini sekarang. Jadi, kamu cepat ya datang ke sini, ya,” ujar Dita. Hengky langsung menghentikan langkahnya lalu melihat arloji di tangannya ketika mendengar perkataan Dita. Sekarang sudah pukul 9 malam. Kenapa nenek masih saja menyuruhnya untuk ke sana?Hengky kembali mengerutkan keningnya lalu bertanya, “Sekarang sudah malam. Ada masalah apa sampai nenek minta kami berdua ke sana?” “Itu ....” Dita sempat ingin menjelaskan semuanya kepada Hengky. Namun, dia langsung mengurungkan niatnya ketika teringat dengan sikap Hengky yang sangat melindungi Winda. Jadi, Dita pun berkata, “Nenek nggak bilang apa-apa. Mungkin dia kangen sama kamu. Jadi, kamu cepat ya ke sini.”“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Hengky curiga dengan s
Winda benar-benar terkejut dengan video yang dilihatnya di dalam laptop. Kejadian ini sudah berlalu sehari yang lalu. Selain itu, informasi tentang kejadian ini juga berhasil diredam oleh pihak penyelenggara, jadi Winda benar-benar tidak menyangka kalau keluarga Pranoto bisa menerima dan menyaksikan video ini. Winda tidak berani mengangkat kepalanya untuk menatap Sekar. Winda memilih untuk berbalik guna meminta bantuan Hengky. Namun, apa yang didapatkannya justru tatapan dingin yang membekukan dari mata Hengky.Winda terkejut ketika melihat tatapan penuh rasa curiga dari mata Hengky. Akhirnya Winda berniat untuk membuka mulutnya sambil mengerutkan kening tanpa sadar. Namun, Hengky tiba-tiba mengalihkan pandangannya dari Winda.“Itu cuma kecelakaan saja. Bukan masalah besar,” ujar Hengky tenang sebelum Winda sempat membuka mulutnya. Winda terlihat bingung sambil menatap ke arah Hengky yang masih memasang wajah dingin. Dia tidak mengeti apa maksud dari tatapan dingin suaminya. Apa mung