Martin membuang wajahnya lalu memuntahkan ampas apel yang dimakannya. Dia juga melemparkan sisa apel yang sempat dia gigit tadi ke dalam tempat sampah. Kemudian dia menatap sinis ke arah Yanwar dengan tatapan penuh kebencian seraya berkata, “Memangnya kamu pikir siapa kamu sampai berani menyebut ibuku!”Yanwar benar-benar terkejut dengan tatapan penuh kebencian yang diperlihatkan Martin kepadanya sampai membuat Yanwar jatuh terduduk di atas sofa. Kemarahan yang bergejolak di dalam hatinya seketika menghilang tidak berbekas. Namun, kebencian di mata Martin justru terlihat semakin ganas setelah melihat Yanwar diam dan tidak bisa berkata-kata. “Ngomong, dong! Kenapa diam saja? Kenapa? Kamu malu, ya!” seru Martin sinis. Yanwar menatapnya dengan ekspresi campur aduk lalu berkata, “Nak ....”“Jangan panggil aku kayak gitu!” seru Martin penuh amarah. Kemudian dia berdiri dan menunjuk Yanwar seraya berkata, “Kamu nggak berhak manggil aku begitu!”Raut wajah Yanwar terlihat sedih dan menye
“Aku salah mengajarmu,” ujar Yanwar dengan raut wajah lelah dan tatapan redup. Martin menyeka darah yang muncul di sudut mulutnya lalu menatap Yanwar dengan tatapan dingin seraya berkata, “Apa ini masih belum cukup buat kamu? Kamu boleh menamparku lagi kalau masih belum cukup.”Ekspresi wajah Yanwar terlihat dipenuhi dengan rasa sakit. Dia buru-buru meraih lengan Martin lalu berkata dengan nada memohon, “Martin, Papa mohon jangan lakukan hal seperti ini lagi, oke? Papa minta maaf sama kamu atas semua kesalahan Papa. Semua kesalahan Papa nggak ada hubungannya sama Winda. Kamu jangan lagi ....”Martin mengibaskan lengannya agar Yanwar melepaskan genggamannya di lengan Martin, lalu Martin berkata dengan nada sinis, “Kamu memohon sama aku kayak gini pastinya bukan karena Winda, kan? Aku yakin, semua ini pasti karena Winda adalah anak dari perempuan itu. Kamu sakit hati banget karena itu? Asal kamu tahu saja ya, aku semakin nggak mau lepasin perempuan itu karena tingkahmu ini.”Yanwar tida
Dita dan Sekar sedang mengobrol sambil tersenyum ketika mereka melihat Pak Doni menghampiri mereka dengan tergopoh-gopoh. Senyuman di wajah kedua perempuan itu seketika memudar lalu berkata, “Pak Doni, kamu kan sudah tua, tapi kenapa tingkahmu masih begitu ceroboh?”“Bu Sekar, tadi ada seseorang yang menaruh surat ini di depan pintu,” ujar Doni sambil menyerahkan surat itu kepada Sekar. Sekar langsung mengerutkan keningnya lalu berkata, “Surat yang nggak jelas asal-usulnya, ya? Kalau begitu, kamu langsung buka saja.”“Baik, Bu Sekar,” jawab Doni lalu membuka amplop itu dan mengeluarkan sebuah flash disk dari dalamnya. Kemudian Sekar menoleh ke arah Dita dan berkata, “Cepat, ambil komputer.”Dita terlihat enggan untuk menuruti perintah ibunya. Namun, dia tetap berjalan ke lantai atas untuk mengambil laptop.“Kamu tahu siapa yang menaruhnya di depan pintu?” tanya Sekar. Doni menggelengkan kepala lalu berkata, “Saya tidak bisa melihat orang itu dengan jelas karena langit sudah gelap. T
Hengky sedang berjalan menuju lantai atas ketika dia menerima telepon dari nomor rumah keluarganya. “Hengky, kamu lagi di rumah?” tanya Dita dari balik telepon.Hengky langsung mengerutkan keningnya seraya berkata, “Ya.”“Nenek suruh kamu dan Winda untuk datang ke sini sekarang. Jadi, kamu cepat ya datang ke sini, ya,” ujar Dita. Hengky langsung menghentikan langkahnya lalu melihat arloji di tangannya ketika mendengar perkataan Dita. Sekarang sudah pukul 9 malam. Kenapa nenek masih saja menyuruhnya untuk ke sana?Hengky kembali mengerutkan keningnya lalu bertanya, “Sekarang sudah malam. Ada masalah apa sampai nenek minta kami berdua ke sana?” “Itu ....” Dita sempat ingin menjelaskan semuanya kepada Hengky. Namun, dia langsung mengurungkan niatnya ketika teringat dengan sikap Hengky yang sangat melindungi Winda. Jadi, Dita pun berkata, “Nenek nggak bilang apa-apa. Mungkin dia kangen sama kamu. Jadi, kamu cepat ya ke sini.”“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Hengky curiga dengan s
Winda benar-benar terkejut dengan video yang dilihatnya di dalam laptop. Kejadian ini sudah berlalu sehari yang lalu. Selain itu, informasi tentang kejadian ini juga berhasil diredam oleh pihak penyelenggara, jadi Winda benar-benar tidak menyangka kalau keluarga Pranoto bisa menerima dan menyaksikan video ini. Winda tidak berani mengangkat kepalanya untuk menatap Sekar. Winda memilih untuk berbalik guna meminta bantuan Hengky. Namun, apa yang didapatkannya justru tatapan dingin yang membekukan dari mata Hengky.Winda terkejut ketika melihat tatapan penuh rasa curiga dari mata Hengky. Akhirnya Winda berniat untuk membuka mulutnya sambil mengerutkan kening tanpa sadar. Namun, Hengky tiba-tiba mengalihkan pandangannya dari Winda.“Itu cuma kecelakaan saja. Bukan masalah besar,” ujar Hengky tenang sebelum Winda sempat membuka mulutnya. Winda terlihat bingung sambil menatap ke arah Hengky yang masih memasang wajah dingin. Dia tidak mengeti apa maksud dari tatapan dingin suaminya. Apa mung
Sekar menunjukkan raut wajah kesal lalu berkata, “Hengky, kamu ini benar-benar ceroboh. Gimana Nenek bisa hidup kalau sampai terjadi hal buruk sama kamu?”“Apa perempuan ini jauh lebih penting daripada dirimu sendiri? Berani sekali kamu mempertaruhkan nyawamu demi dia?” lanjut Nenek sambil menunjuk Winda. Sekar masih terus mengingat bagaimana takutnya dia ketika Hengky kecelakaan saat itu. Jadi, bagaimana mungkin Sekar bisa menerima masalah ini dengan tenang?Adi Pranoto yang sejak tadi duduk terdiam di atas sofa tiba-tiba bangkit dan berkata, “Hengky, ikut Kakek.”Hengky langsung melirik ke arah Winda sebelum dia pergi. Winda mengira kalau Hengky khawatir dengan keadaannya, jadi dia tersenyum dan berkata, “Aku baik-baik saja.”Kemudian Hengky mengalihkan tatapan dinginnya dan pergi ke lantai atas begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Winda. Nenek tetap menatap Winda dengan tatapan kesal dan jijik setelah kedua laki-laki itu pergi ke lantai atas. “Jangan kamu pikir
“Tinggalkan Hengky sekarang kalau kamu masih punya hati nurani,” ujar Nenek penuh tekad. “Nenek, aku nggak akan bercerai dari Hengky,” balas Winda tegas. “Keputusan bukan ada di tanganmu lagi,” ujar Nenek dengan raut wajah penuh amarah. Winda langsung tersenyum lalu berkata, “Masalah ini adalah masalah di antara aku dan Hengky. Jadi, kami berdua yang akan memutuskannya.”Nenek tidak mau kalah, jadi dia pun berkata dengan nada dingin, “Tapi Hengky adalah cucu Nenek. Jadi, dia harus dengar perkataan Nenek!”“Nenek nggak bisa lagi seenaknya mengambil keputusan sendiri. Aku ngerti kok kalau Nenek marah dan mau menghukumku karena aku tahu semua ini memang salahku. Tapi aku nggak akan setuju untuk bercerai apa pun yang terjadi,” ujar Winda.“Aku bersedia bercerai dengannya kalau Hengky bilang sendiri dia nggak bisa mencintaiku seumur hidupnya dan ingin mengakhiri hubungan kami. Jika tidak, kita nggak perlu lagi membahas masalah ini,” lanjut Winda setelah sempat terdiam selama beberapa saa
“Kamu adalah penerus keluarga Pranoto. Semua keputusan yang kamu ambil akan berkaitan dengan masa depan keluarga Pranoto ke depannya. Jadi, kamu harus lebih berhati-hati dalam bertindak. Kamu boleh punya perasaan, tapi jangan sampai terbawa perasaanmu sendiri,” jelas Kakek berusaha mengingatkan cucunya. Hengky hanya mengangguk seraya berkata, “Baik, Kek! Aku pulang dulu kalau sudah nggak ada lagi yang mau dibicarakan.”“Menginap di sini saja malam ini,” ujar Adi. “Nggak perlu,” jawab Hengky ketus. “Baiklah, kalau begitu,” ujar Adi tanpa berusaha memaksa Hengky karena dia tahu bagaimana temperamen cucunya itu.Kemudian Hengky mengangguk lalu berbalik dan pergi menuju pintu ruang kerja. “Hengky,” panggil Adi tiba-tiba.Hengky langsung menghentikan langkahnya. Kemudian Adi menghampiri Hengky dan menepuk pundaknya seraya berkata, “Kamu adalah penerusku yang paling berharga dan menjanjikan. Kakek tahu kalau kamu jauh lebih baik dari ayahmu. Kakek harap kamu nggak akan terjerat dengan s