Hengky meletakkan tubuh Winda di kasur dengan gerakan sangat lembut. Setelah melepaskan sepatu perempuan itu, dia menyelimuti tubuh Winda. Tiba-tiba terdengar suara erangan Winda yang cukup kecil dan keningnya tampak berkerut. Seakan-akan tidurnya tidak tenang.Hengky mengulurkan tangannya dan mengelus kening perempuan itu dengan lembut. Tidak terlihat jelas emosi di balik mata lelaki itu karena cahaya yang sangat minim. Dia menunduk dan menatap Winda selama satu menitan. Mendadak Winda bergerak dan Hengky bergegas menarik tangannya sambil mundur.Melihat Winda yang masih tertidur, Hengky menunduk lagi untuk memasukkan tangan perempuan itu ke dalam selimut. Setelah itu dia mematikan lampu dan berjalan keluar dari kamar. Begitu terdengar suara pintu tertutup, Winda membuka kedua kelopak matanya.Dia duduk dan menatap barang-barang milik Hengky yang ada di kamar ini sudah diambil. Karena kurang seseorang di dalam sini, kamar tersebut terasa sangat kosong dan sepi. Sebuah perasaan kecewa
Bi Citra melihat kondisi Winda yang nyaris tersungkur itu dengan raut khawatir dan bertanya, “Pak Doni antar beberapa orang katanya mau tinggal di sini untuk membantu Ibu dan Bapak. Katanya ini semua instruksi dari Nyonya. Bapak juga sudah setuju.”“Hengky nggak ada?”“Sekarang sudah hampir jam sepuluh. Pak Hengky sudah berangkat pagi-pagi sekali.”Winda memijat keningnya dengan raut lelah sambil berkata, “Orangnya tinggal saja dulu, Bi Citra saja yang atur.”“Baik, Bu,” kata Bi Citra. Dia melirik Winda sekilas dan bertanya dengan raut tidak tenang, “Saya lihat Ibu sangat kesakitan sekali. Mau saya telepon Dokter Willy? Biar beliau periksa keadaan Ibu.”Winda memang merasa tidak enak, tetapi dia tidak ingin hal kecil ini merepotkan Willy. Dia menggelengkan kepala dan dengan lemas berkata, “Nggak perlu, Bi Citra ambilin minum saja dan juga obat demam. Setelah minum obat dan tidur, seharusnya akan baikan.”Terlalu banyak yang terjadi akhir-akhir ini sehingga Winda menyimpan beban pikiran
“Bukannya ini cuma demam? Kenapa kamu harus telepon Den Hengky? Dia juga bukan dokter, yang ada malah tambah panik saja dan nggak membantu. Den Hengky juga sangat sibuk, kalau dia tertular bagaimana? Kamu ini harus banyak berpikir panjang, pantas saja Nyonya nggak tenang dan minta kami datang menjaga Den Hengky.”Meski Bi Citra memiliki sifat yang sabar dan baik, dia tetap tidak terima dan wajahnya menggelap.“Ucapan kamu benar-benar keterlaluan sekali. Bagaimana pun Ibu dan Bapak adalah majikan di rumah ini. Kita sebagai penerima gaji nggak boleh milih-milih,” kata Bi Citra.Kalau bukan karena pelayan yang bernama Yanti ini diutus oleh Sekar dan pasti dekat dengan perempuan tua itu, Bi Citra sudah pasti marah padanya. Dari pagi tadi, Yanti terus mencari-cari kesalahan. Semuanya salah dan tidak sesuai dengan apa yang perempuan itu inginkan.Kalau bukan karena Bi Citra menahannya, mungkin dari pagi Yanti sudah naik ke lantai atas untuk memanggil Winda. Yanti melipat kedua lengannya depa
Winda memegang tangga dan berdiri di ujung tangga sambil menatap pemandangan di hadapannya dengan kening berkerut. Wajah kedua perempuan di depannya ini tampak merah. Di lantai juga terdapat vas bunga dan gelas yang pecah. Selain itu baju mereka berdua terlihat berantakan. Jelas sekali keduanya baru saja berantem hebat.Dia terbangun karena suara berisik di lantai bawah. Begitu turun, dia langsung mendapati pemandangan keduanya yang tengah berantem. Bi Citra langsung bungkam ketika melihat Winda muncul.Wajah Bi Citra terlihat pucat pasi dan sedikit malu sambil bertanya, “Bu, kami membangunkan Ibu?”Bi Citra tidak enak karena kondisi rumah menjadi berantakan. Akan tetapi dia juga tidak ingin mengatakan bahwa Yanti tidak sopan pada dirinya. Yanti sendiri terlihat lebih tidak peduli karena dia utusan dari Sekar, Winda tidak akan berani melakukan sesuatu pada dirinya.“Wah, Non Winda akhirnya bangun,” kata Yanti sambil memeluk lengan. Dengan nada sinis dia berkata, “Non lihat mereka, ngga
“Kamu sedang mengancam saya?” tanya Winda sambil tersenyum dingin. Dia menuruni anak tangga dan berdiri di hadapan Yanti. Matanya memancarkan sorot tajam dan dingin.Meski dia sedang sakit dan terlihat lemah, aura perempuan itu sangat kuat. Yanti yang gemuk dan pendek hanya setinggi setengah kepala Winda saja. Dia dibuat keringat dingin karena tatapan perempuan itu.“Non Winda, sebelum saya datang Nyonya sudah berpesan kalau saya harus memantau Non agar Non Winda bisa menjadi Nyonya Pranoto yang baik. Kalau Non Winda nggak bisa mencapai tahap sesuai kualifikasi, Nyonya nggak akan puas dan kemungkinan pernikahan Non Winda dan Den Hengky dipertaruhkan.”“Dipertaruhkan? Mau memaksaku cerai? Kalimat ini sudah saya dengar dari awal menikah sampai detik ini. Tapi aku sampai sekarang masih menjadi istrinya Hengky, bukan? Nenek minta kamu datang untuk menjaga saya dan Hengky, bukan minta kamu berbuat onar.”Wajah Yanti berubah keruh dalam seketika. Dia ingin membalas tetapi tatapan Winda membu
Winda juga tidak takut Yanti mengadu domba dirinya dengan Nenek. Dia hanya tidak ingin Hengky berada di posisi sulit. Selama orang-orang ini bersikap tahu batasan dan tidak membuat onar, dia juga tidak menolak untuk menerima mereka di sini.Bi Citra menghela napas dan berkata, “Kalau begitu setidaknya Pak Hengky dikabari tentang Ibu demam. Saya lihat Ibu nggak mendingan meski sudah makan obat, justru panasnya semakin meningkat. Nggak boleh dibiarkan begini terus.”Winda mengeluarkan termometer dari dalam laci dan mengukur suhu tubuhnya. Dia menunduk dan melihat angka 38 yang tertera di sana. Pantas saja dia merasa kepalanya berat sekali. Bi Citra mendekat dan berkata,“Bu, saya telepon Dokter Willy untuk datang, ya?”Winda menyimpan termometer dan menggeleng sambil berkata, “Nggak perlu peduliin saya, Bi Citra lanjut kerja saja. Saya istirahat sebentar dulu.”“Ibu dari kemarin malam nggak makan sama sekali. Bagaimana kalau makan sedikit dulu baru tidur? Saya siapkan sekarang juga,” taw
Baru saja terlintas pemikiran seperti itu, Winda buru-buru mengenyahkannya dan menepis pemikiran tersebut. Ayahnya hanya sayang dengan Luna saja. Pasti ini hanya halusinasinya saja.“Aku nggak apa-apa. Tadi sudah makan obat dan sekarang sudah mendingan.” Winda meletakkan gelasnya dan memijat keningnya.“Pa, ada apa mencariku?” tanya Winda.Dengan khawatir James bertanya, “Suara kamu terdengar lemas. Sebaiknya periksa ke dokter saja. jangan ditunggu lagi. Atau Papa panggil dokter ke sana juga boleh.”Gerakan Winda terhenti seketika. Sorot matanya terlihat sangat terkejut. Kenapa James tiba-tiba perhatian dengannya?“Pa, aku sungguh baik-baik saja. Papa cari aku untuk membicarakan tentang akuisisi Gunawan Group?”Biasanya ayahnya menghubunginya karena Winda melakukan sesuatu yang membuat lelaki itu murka. James telepon untuk memberikan dia pelajaran saja. Hari ini ayahnya tidak marah dan kemungkinan ada sesuatu yang serius hendak dibicarakan.Di antara mereka tidak ada hal penting lagi s
Winda menangkap nada mencari tahu dari balik ucapan ayahnya. Dia tidak marah dan hanya dengan suara tegas berkata, “Pa, aku tahu dulu aku kekanak-kanakan dan sering melakukan sesuatu yang menyakiti kalian. Sekarang aku sudah mengerti siapa orang yang baik denganku dan juga tulus. Papa tenang saja, aku nggak akan ada hubungan apa-apa dengan Jefri.”Sekarang yang dia inginkan selain balas dendam adalah bersikap baik dengan Hengky. Dia ingin memperbaiki semua kesalahannya yang lalu. James terkejut mendengar ucapan tersebut. Dia tidak berani percaya kalau kalimat itu keluar dari mulut anaknya yang pembangkang ini.Beberapa tahun terakhir, kedua ayah dan anak itu tidak pernah berbicara dengan baik-baik. Winda menyimpan dendam padanya karena kematian ibunya dan tidak ingin memaafkan James. Ditambah keduanya kerap ribut karena masalah Jefri. Apa pun yang dikatakan oleh James, putrinya tidak akan pernah sadar.Awalnya James pikir Winda akan cerai dengan Hengky demi Jefri. Ternyata sekarang per
Hengky mengerti maksud Winda, tapi dia berpura-pura bersikap dingin dan membalas, “Kamu sudah nggak sabar mau ketemu dia? Aku kasih tahu, ya, kamu nggak akan pergi ke mana pun sampai kamu sembuh!”Kata-kata itu bagaikan belati dingin yang menancap jantungnya. Dia menatap Hengky dengan penuh rasa kecewa dan berkata, “Hengky, kamu jelas-jelas tahu aku cuma ….”“Cuma apa? Kamu baik-baik saja di sini. Aku nggak mau kejadian tadi terulang lagi!”“Aku ….”Winda ingin mengatakan sesuatu, tapi melihat tatapan Hengky yang begitu dingin, dia menelan kembali kata-katanya. Hengky pun hanya menatapnya sekilas, tapi ketika dia hendak pergi, dia merasakan hawa dingin yang menempel ke tangannya dari tangan Winda.“Bisa, nggak, kamu jangan pergi dulu?”Kehangatan yang terpancar dari telapak tangan Hengky menyapu bersih hawa dingin yang ada di tubuhnya. Hengky menoleh dan melihat tangan mereka yang sedang saling bertautan, lalu dia beralih melihat tatapan mata Winda yang sedang memohon kepadanya. Ucapan
Ketika baru saja keluar dari lift rumah sakit, Hengky melihat sudah ada kerumunan orang yang berdiri di depan kamar Winda. Mereka semua tampak lega melihat kedatangannya.Dokter segera menyambutnya dan berkata, “Pak Hengky datang juga akhirnya. Bu Winda mengurung diri di kamar. Lukanya harus cepat diobati.”“Oke, aku ngerti,” jawab Hengky, lalu dia bergegas mengetuk pintu kamar dan berkata, “Winda, ini aku, buka pintunya.”Perlahan Winda mengangkat kepalanya saat mendengar suara Hengky. Dari matanya tebersit ekspresi kebahagiaan dan turun dari ranjangnya untuk membuka kunci pintu. Mata Winda langsung memerah ketika dia melihat sosok yang tak asing baginya di balik pintu. Dia pun langsung melemparkan tubuhnya sendiri ke dalam pelukannya.Namun Hengky tidak membalas pelukannya. Dia hanya menatap sinis Winda dan menegurnya, “Winda, ngapain lagi kamu?”“Tadi aku mimpi kamu kena tembak tepat di jantung …. Hengky, aku takut.”Tubuh Hengky sempat bergidik sesaat dan detak jantungnya mulai ber
“Bu Winda balik ke ranjang dulu. Sebentar lagi dokter datang,” kata si pengawal dengan kepala basah kuyup akibat keringat dingin.Walau begitu, Winda hanya menggelengkan kepalanya dan berulang kali berkata, “Aku mau ketemu Hengky!”“Tapi Pak Hengky lagi nggak di rumah sakit. Ibu ….”Sebelum pengawal itu selesai berbicara, dokter dan perawat yang sedang bertugas datang ke kamarnya Winda.“Ada apa?” tanya si dokter. Lantas, dokter melihat ada bercak darah di lantai, serta tangan Winda yang bersimbah darah. Dokter pun segera berkata, “Ada apa, Bu Winda? Kenapa jarum infusnya dicabut?”Si perawat juga menghampiri Winda dan berkata, “Bu, ayo saya bantu naik lagi ke ranjang. Saya balut dulu lukanya.”Tanpa melakukan perlawanan, Winda mengikuti arahan si perawat untuk diantar kembali ke ranjang. Si perawat pun merasa lega, tapi ketika dia baru ingin membalut lukanya, tiba-tiba Winda menghindar dan dengan matanya yang merah menatap si pengawal, “Aku mau ketemu Hengky. Kalau dia nggak datang, a
Hengky menggerakkan bola matanya sekilas dan kembali berkata kepada Winda dengan sinis, “Kalaupun aku mat, aku tetap nggak mau kamu nolong aku.”Raut wajah Winda langsung pucat mendengar itu. Matanya mulai memerah dan dia hendak membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Winda sudah tidak bisa lagi menahan tangisannya. Melihat mata Winda memerah, Hengky jadi merasa gusar dan berpesan kepadanya untuk cukup beristirahat saja. Kemudian Hengky pun berbalik dan keluar dari kamarnya Winda.Winda ingin menahan Hengky untuk tetap berada di sisinya, tapi pintu sudah tertutup rapat sebelum dia sempat berbicara. Kini suasana di kamar jadi tenang. Winda masih tak bisa menahan luapan perasaan dan air mata pun mengalir deras. Dia menggigit bibirnya sendiri dengan keras untuk meredam suara tangisannya, dan menelan semua emosi itu sendirian.Hengky yang baru menutup pintu juga berhenti di depan dan melihat ke dalam melalui kaca kecil. Dia dengan jelas melihat Winda menangis, tapi dia tidak mengeluar
“Kenapa bisa jadi begini …,” ujar Winda terkejut. Dia mengira dengan kuasa yang dimiliki keluarga Pranoto, mencari seseorang bukanlah hal yang sulit, lagi pula orang yang dicari juga begitu terkenal,rasanya mustahil tak ditemukan.“Ada seseorang yang hapus semua jejaknya sebelum aku mulai nyari. Semua petunjuk yang ada dipatahkan sama dia,” kata Hengky.Kalau saja pada saat itu Winda tidak menyadari ada sesuatu yang aneh pada mobil itu, mungkin sekarang Hengky …. Sudahlah, Winda tidak mau memikirkannya lebih jauh, dia takut kehilangan Hengky.Mobil Jeep hitam itu tidak mengikuti mereka sampai ke bandara. Mobil itu tiba-tiba muncul dan langsung menodongkan pistol ke arah Hengky tanpa ragu, yang jelas berarti mereka dari awal sudah ada niat untuk membunuhnya. Pertanyaannya, sebenarnya siapa yang bisa melakukan itu?Winda merasa misteri ini jadi makin dalam saja, dan lagi setiap kejadian selalu ada hubungannya dengan dia dan juga Hengky. Winda belum mengalami ini di kehidupan sebelumnya.
“Bu Winda, sungguh baik secara kamu sudah terbangun,” ujar Fran melangkah masuk dengan terkejut dan mengulurkan tangannya untuk memeriksa Winda. Dia yang melihat ruangan penuh dengan orang asing, wajahnya menjadi geram dan mengulang, “Aku ingin bertemu dengan Hengky, gimana keadaan dia?”Dokter Fran terdiam sejenak dan berkata, “Pak Hengky tidak terluka. Aku sudah menyuruh perawat untuk memanggil ....”Sebelum Dokter Fran sempat menyelesaikan perkataannya, Hengky dan Santo bergegas datang ke ruangan itu. Melihat Winda yang sudah terbangun, wajah Hengky terlihat tenang, akan tetapi beban di hatinya langsung hilang.“Pak Hengky, Nyonya Winda sedang mencarimu,” ujar Fran.Tertutupi oleh orang-orang di sekitar, Winda tidak dapat melihat Hengky. Dia ingin sekali melihatnya dengan mata kepalanya sendiri kalau pria itu baik-baik saja, jadi dia memaksa mengangkat badannya untuk duduk di ranjang.Tetapi luka di tubuhnya terlalu menyakitkan, hingga membuat dia kliyengan ketika bergerak. Ketika d
Santo terlihat tertekan dan berkata, “Mereka selalu selangkah lebih cepat dibanding kita dan bisa melenyapkan semua bukti. Kalau mereka bukan yang mengetahui kita dengan baik, tidak mungkin mereka bisa melakukannya dengan rapi.”Hengky menjawab dengan dingin, “Biarkan Howard melanjutkan investigasinya!”“Pak Hengky ....” Santo sejenak ragu-ragu lalu berkata, “Sekarang di luar negeri tidak aman, dan juga tidak menjamin kalau mereka tidak akan menyerangmu lagi. Apa mungkin kamu ingin aku persiapkan pesawat khusus untuk memulangkan kamu ke kampung halaman?”Walaupun dia tahu kalau kondisi istrinya tidak bisa bergerak, kekuatan dari pihak lawan sangatlah besar dan sepertinya tidak menjamin keselamatan mereka jika tinggal lebih lama di Fontana.Santo di lain sisi tidak memikirkan hal itu, tugas dia hanya untuk menjamin keamanan dari Hengky. Urusan yang lainnya bisa ditunda terlebih dahulu.“Tidak perlu,” tegas Hengky menolak. Dia menoleh untuk melihat Winda yang masih terbaring di ruang pe
“Aku bisa bantu menghapus masalah ini, tapi kamu lebih baik lebih jujur ke aku. Kalau kamu membuat masalah sekecil apa pun, kamu mati sendiri saja nanti,” jawab Kakek, setelah selesai bicara dia langsung mematikan teleponnya.Pria itu tersenyum menyeringai sambil mengunci layar teleponan, lalu dia menyimpan teleponnya ke dalam sakunya.Joji yang melihatnya langsung bertanya, “Gimana? Kakek berkenan untuk membantu?”“Dia harus bantu walaupun dia juga tidak berkenan membantu kita. Karena dia lebih takut kalau aku ketangkap Hengky daripada diriku sendiri. Selama aku menyimpan rahasia dia balik kejadian hari itu, Kakek harus tetab membantuku menyelesaikan ekor masalah ini,” jawab pria itu menyeringai.Mendengar itu Joji mendesau dengan lega, lalu mengembalikan senapannya ke pria itu dan berkata, “Bagaimanapun juga kita harus tetap berhati-hati untuk sekarang ini. Meskipun dengan bantuan kakek, kita juga tidak boleh menganggap enteng masalah ini.”“Aku mau menghubungi Winda secara langsung,
Joji merasa pesimis dengan rencana pria itu. Dia belum belum pernah berhubungan dengan Hengky secara langsung, jadinya dia tidak tahu betapa menakutkan orang itu. Jika Hengky mengetahui kalau ini merupakan perbuatan mereka, sepertinya Hengky tidak akan melepaskan mereka, walaupun dengan bantuan Kakek juga.“Kita diskusikan masalah ini nanti. Sekarang, paling penting yaitu menyelesaikan masalah ini dulu,” ujar Joji.“Oke, aku akan menelpon kakek sekarang,” jawab pria itu mengambil telepon seluler dari kantongnya dan segera menelepon kakek dari buku kontak pada telepon.Teleponnya berdering selama kurang lebih sepuluh detik sebelum diangkat. Suara yang berat dan penuh keagungan terdengar dari teleponnya dan dari suaranya dia merendahkan suaranya dan berkata dengan ketidakpuasan, “Bukannya aku sudah bilang untuk tidak meneleponku jika tidak ada urusan yang penting?”Pria itu menyeringai, matanya terlintas penuh dengan kebencian dan menjawab, “Kalau ga ada urusan penting, tentu aku nggak a