Bi Citra melihat kondisi Winda yang nyaris tersungkur itu dengan raut khawatir dan bertanya, “Pak Doni antar beberapa orang katanya mau tinggal di sini untuk membantu Ibu dan Bapak. Katanya ini semua instruksi dari Nyonya. Bapak juga sudah setuju.”“Hengky nggak ada?”“Sekarang sudah hampir jam sepuluh. Pak Hengky sudah berangkat pagi-pagi sekali.”Winda memijat keningnya dengan raut lelah sambil berkata, “Orangnya tinggal saja dulu, Bi Citra saja yang atur.”“Baik, Bu,” kata Bi Citra. Dia melirik Winda sekilas dan bertanya dengan raut tidak tenang, “Saya lihat Ibu sangat kesakitan sekali. Mau saya telepon Dokter Willy? Biar beliau periksa keadaan Ibu.”Winda memang merasa tidak enak, tetapi dia tidak ingin hal kecil ini merepotkan Willy. Dia menggelengkan kepala dan dengan lemas berkata, “Nggak perlu, Bi Citra ambilin minum saja dan juga obat demam. Setelah minum obat dan tidur, seharusnya akan baikan.”Terlalu banyak yang terjadi akhir-akhir ini sehingga Winda menyimpan beban pikiran
“Bukannya ini cuma demam? Kenapa kamu harus telepon Den Hengky? Dia juga bukan dokter, yang ada malah tambah panik saja dan nggak membantu. Den Hengky juga sangat sibuk, kalau dia tertular bagaimana? Kamu ini harus banyak berpikir panjang, pantas saja Nyonya nggak tenang dan minta kami datang menjaga Den Hengky.”Meski Bi Citra memiliki sifat yang sabar dan baik, dia tetap tidak terima dan wajahnya menggelap.“Ucapan kamu benar-benar keterlaluan sekali. Bagaimana pun Ibu dan Bapak adalah majikan di rumah ini. Kita sebagai penerima gaji nggak boleh milih-milih,” kata Bi Citra.Kalau bukan karena pelayan yang bernama Yanti ini diutus oleh Sekar dan pasti dekat dengan perempuan tua itu, Bi Citra sudah pasti marah padanya. Dari pagi tadi, Yanti terus mencari-cari kesalahan. Semuanya salah dan tidak sesuai dengan apa yang perempuan itu inginkan.Kalau bukan karena Bi Citra menahannya, mungkin dari pagi Yanti sudah naik ke lantai atas untuk memanggil Winda. Yanti melipat kedua lengannya depa
Winda memegang tangga dan berdiri di ujung tangga sambil menatap pemandangan di hadapannya dengan kening berkerut. Wajah kedua perempuan di depannya ini tampak merah. Di lantai juga terdapat vas bunga dan gelas yang pecah. Selain itu baju mereka berdua terlihat berantakan. Jelas sekali keduanya baru saja berantem hebat.Dia terbangun karena suara berisik di lantai bawah. Begitu turun, dia langsung mendapati pemandangan keduanya yang tengah berantem. Bi Citra langsung bungkam ketika melihat Winda muncul.Wajah Bi Citra terlihat pucat pasi dan sedikit malu sambil bertanya, “Bu, kami membangunkan Ibu?”Bi Citra tidak enak karena kondisi rumah menjadi berantakan. Akan tetapi dia juga tidak ingin mengatakan bahwa Yanti tidak sopan pada dirinya. Yanti sendiri terlihat lebih tidak peduli karena dia utusan dari Sekar, Winda tidak akan berani melakukan sesuatu pada dirinya.“Wah, Non Winda akhirnya bangun,” kata Yanti sambil memeluk lengan. Dengan nada sinis dia berkata, “Non lihat mereka, ngga
“Kamu sedang mengancam saya?” tanya Winda sambil tersenyum dingin. Dia menuruni anak tangga dan berdiri di hadapan Yanti. Matanya memancarkan sorot tajam dan dingin.Meski dia sedang sakit dan terlihat lemah, aura perempuan itu sangat kuat. Yanti yang gemuk dan pendek hanya setinggi setengah kepala Winda saja. Dia dibuat keringat dingin karena tatapan perempuan itu.“Non Winda, sebelum saya datang Nyonya sudah berpesan kalau saya harus memantau Non agar Non Winda bisa menjadi Nyonya Pranoto yang baik. Kalau Non Winda nggak bisa mencapai tahap sesuai kualifikasi, Nyonya nggak akan puas dan kemungkinan pernikahan Non Winda dan Den Hengky dipertaruhkan.”“Dipertaruhkan? Mau memaksaku cerai? Kalimat ini sudah saya dengar dari awal menikah sampai detik ini. Tapi aku sampai sekarang masih menjadi istrinya Hengky, bukan? Nenek minta kamu datang untuk menjaga saya dan Hengky, bukan minta kamu berbuat onar.”Wajah Yanti berubah keruh dalam seketika. Dia ingin membalas tetapi tatapan Winda membu
Winda juga tidak takut Yanti mengadu domba dirinya dengan Nenek. Dia hanya tidak ingin Hengky berada di posisi sulit. Selama orang-orang ini bersikap tahu batasan dan tidak membuat onar, dia juga tidak menolak untuk menerima mereka di sini.Bi Citra menghela napas dan berkata, “Kalau begitu setidaknya Pak Hengky dikabari tentang Ibu demam. Saya lihat Ibu nggak mendingan meski sudah makan obat, justru panasnya semakin meningkat. Nggak boleh dibiarkan begini terus.”Winda mengeluarkan termometer dari dalam laci dan mengukur suhu tubuhnya. Dia menunduk dan melihat angka 38 yang tertera di sana. Pantas saja dia merasa kepalanya berat sekali. Bi Citra mendekat dan berkata,“Bu, saya telepon Dokter Willy untuk datang, ya?”Winda menyimpan termometer dan menggeleng sambil berkata, “Nggak perlu peduliin saya, Bi Citra lanjut kerja saja. Saya istirahat sebentar dulu.”“Ibu dari kemarin malam nggak makan sama sekali. Bagaimana kalau makan sedikit dulu baru tidur? Saya siapkan sekarang juga,” taw
Baru saja terlintas pemikiran seperti itu, Winda buru-buru mengenyahkannya dan menepis pemikiran tersebut. Ayahnya hanya sayang dengan Luna saja. Pasti ini hanya halusinasinya saja.“Aku nggak apa-apa. Tadi sudah makan obat dan sekarang sudah mendingan.” Winda meletakkan gelasnya dan memijat keningnya.“Pa, ada apa mencariku?” tanya Winda.Dengan khawatir James bertanya, “Suara kamu terdengar lemas. Sebaiknya periksa ke dokter saja. jangan ditunggu lagi. Atau Papa panggil dokter ke sana juga boleh.”Gerakan Winda terhenti seketika. Sorot matanya terlihat sangat terkejut. Kenapa James tiba-tiba perhatian dengannya?“Pa, aku sungguh baik-baik saja. Papa cari aku untuk membicarakan tentang akuisisi Gunawan Group?”Biasanya ayahnya menghubunginya karena Winda melakukan sesuatu yang membuat lelaki itu murka. James telepon untuk memberikan dia pelajaran saja. Hari ini ayahnya tidak marah dan kemungkinan ada sesuatu yang serius hendak dibicarakan.Di antara mereka tidak ada hal penting lagi s
Winda menangkap nada mencari tahu dari balik ucapan ayahnya. Dia tidak marah dan hanya dengan suara tegas berkata, “Pa, aku tahu dulu aku kekanak-kanakan dan sering melakukan sesuatu yang menyakiti kalian. Sekarang aku sudah mengerti siapa orang yang baik denganku dan juga tulus. Papa tenang saja, aku nggak akan ada hubungan apa-apa dengan Jefri.”Sekarang yang dia inginkan selain balas dendam adalah bersikap baik dengan Hengky. Dia ingin memperbaiki semua kesalahannya yang lalu. James terkejut mendengar ucapan tersebut. Dia tidak berani percaya kalau kalimat itu keluar dari mulut anaknya yang pembangkang ini.Beberapa tahun terakhir, kedua ayah dan anak itu tidak pernah berbicara dengan baik-baik. Winda menyimpan dendam padanya karena kematian ibunya dan tidak ingin memaafkan James. Ditambah keduanya kerap ribut karena masalah Jefri. Apa pun yang dikatakan oleh James, putrinya tidak akan pernah sadar.Awalnya James pikir Winda akan cerai dengan Hengky demi Jefri. Ternyata sekarang per
“Iya, sudah baikan. Siapa yang datang?” tanya Winda sambil tersenyum tipis.Tidak banyak orang yang tahu dia tinggal di sini, siapa yang akan mencarinya? Jangan-jangan ….Sebersit perasaan tidak enak tiba-tiba menyerang Winda. Bi Citra sendiri tidak merasakan keanehan perempuan itu dan menjawab, “Seorang lelaki berusia 20-an tahun. Katanya dia dari keluarga Gunawan.”Tiba-tiba Bi Citra tersadar akan sesuatu dan dia melirik Winda sekilas sambil berkata, “Saya bilang sama dia Ibu sedang nggak enak badan dan minta dia pulang saja. Tapi dia bilang masalah ini sangat penting sekali dan harus ketemu Ibu.”Bi Citra belum pernah bertemu dengan Jefri, tetapi dia pernah mendengar nama lelaki itu. Mungkin karena cukup lama tidak mendengar Winda menyebut nama itu lagi, Bi Citra tidak menyadarinya. Hingga tadi ketika dia melihat Winda, dia baru teringat kalau lelaki itu bukannya orang yang disukai oleh majikannya?Kenapa Jefri bisa datang ke rumah?Ekspresi Bi Citra terlihat aneh. Bagaimana kalau H