Hengky mengepakkan tangannya dengan ekspresi keruh. Dia seperti berusaha keras mencoba menahan emosinya. Setiap kata Anton diucapkan penuh penekanan, “Kamu juga nggak boleh lupa, dulu-“Tok!Terdengar sesuatu yang menabrak pintu dari luar sana. Ucapan Anton terhenti dan dengan kening berkerut dia berseru, “Siapa yang di luar?! Cepat masuk!”Di luar pintu, Winda mengusap keningnya sambil menahan rintihan. Dia tersentak ketika mendengar suara seruan Anton. Ketika dia hendak kabur, tiba-tiba pintu terbuka.“Bukannya aku minta kamu tetap di kamar dan jangan kabur sembarangan? Kenapa kamu nggak mendengarkan?!” kata Hengky dengan suara dingin.Winda memutar tubuhnya dengan perlahan dan mengulas senyum lebar ke arah lelaki itu. Matanya melirik ke dalam ruangan dan melihat sosok ayah mertuanya yang melangkah ke arahnya. Dia mendekatkan tubuh ke arah Hengky sambil berbisik, “Aku hanya khawatir denganmu. Aku takut Papa menghukummu lagi makanya datang untuk melihat.”Awalnya Winda ingin diam di k
Untungnya tadi dia tidak menguping, jika tidak pasti akan ketahuan langsung oleh Hengky.“Papa nggak mempersulit kamu, kan?” tanya Winda dengan hati-hati sambil memperhatikan raut lelaki itu.Hengky meliriknya dan berkata, “Ini bukan sesuatu yang harus kamu khawatirkan.”“Aku ….”Hengky tidak mendengarkan ucapan dia dan langsung berjalan. Winda langsung membungkam dan mengikuti langkah lelaki itu. Keduanya menuruni tangga dalam diam. Begitu Sekar melihat Hengky, dia hendak bicara tetapi rautnya menggelap ketika melihat sosok Winda di belakangnya.Winda mencoba mengabaikannya dan tetap mengikuti langkah Hengky dari belakang.“Hengky, bagaimana luka di tubuhmu? Mau panggil dokter untuk periksa?” tanya dia dengan perhatian.“Nggak perlu, Nenek. Aku nggak apa-apa,” kata Hengky dengan suara lembut dan raut yang tidak lagi terlihat dingin.“Luka kamu waktu kecelakaan kemarin saja masih belum sembuh total, tambah lagi dari papa kamu,” kata Sekar dengan emosi yang kembali memuncak. Dia melirik
Perempuan itu tidak peduli dan hanya mendelik Winda dengan dingin sambil menarik lengannya dan berkata, “Nggak perlu kamu yang ikut campur!”Hengky hanya melirik sekilas ke arah Winda sambil tersenyum miring. Tanpa menunggu perempuan itu menjawab, Hengky mengalihkan pandangannya lagi dan pergi dari sana. Sekar yang tidak ingin melihat Winda juga ikut berbalik menaiki tangga.Vivi bangkit dari sofa dan langsung menghampiri Winda sambil berkata, “Sukurin!”Winda menyentil kening perempuan itu dan berkata, “Anak gadis kok mulutnya begitu racun!”Gadis itu mengusap kepalanya dan berkata, “Kamu berani memukulku?! Aku aduin ke Nenek dan minta Nenek usir kamu!”“Anak kecil!” dengus Winda.Melihat raut emosi Vivi membuat Winda berkata, “Nenek juga nggak suka sama aku, jadi sama aja kalau kamu mau mengadukan apa pun. Terserah kamu.”“Kamu!” Vivi menunjuk perempuan itu tanpa bisa berkata apa-apa.Winda tidak bisa menahan dirinya untuk mencubit pipi gadis itu ketika melihat ekspresi marah Vivi. D
Melihat sikap mereka berdua membuat Vivi bergidik ngeri. Sekarang dia curiga apakah Winda sudah meracuni kakak sepupunya? Hengky yang begitu dingin bisa bersikap perhatian dengan seseorang?Hanya kebentur biasa saja dan sedikit memerah. Bahkan tidak ada benjolan atau luka, apakah harus begitu berlebihan?“Kak, harus segi-“Hengky meliriknya dan berkata, “Lanjutkan saja kegiatanmu, jangan di sini jadi pajangan!”Vivi menelan kata-katanya kembali. Ternyata dia memang dianggap pengganggu di sini dan tidak seharusnya berada di sini. Gadis itu menghentakkan kakinya dan berbalik pergi.Hati Winda terasa menghangat. Awalnya dia pikir Hengky meninggalkannya karena dia terlalu bawel. Ternyata lelaki itu ke dapur untuk merebus telur.“Kamu nggak marah sama aku?”Hengky hanya berdeham saja. Mata Winda seketika berbinar cerah. Dia melonjak dan langsung memeluk lelaki itu sambil mendaratkan kecupan di wajah Hengky.“Aku tahu suamiku paling baik!”Hengky membelalakkan matanya dan bersikap pura-pura
Hengky menulikan telinganya dan berjalan lurus dengan raut dingin. Dengan cepat Winda menjawab, “Pak Doni, tolong bilang sama Nenek kalau kami ada urusan dan pergi dulu.”Setelah itu Winda bergegas mengejar Hengky.“Hengky! Tunggu sebentar”! seru Winda dari belakang.Lelaki itu tidak menghentikan langkahnya dan terus melangkah menuju mobil yang diparkir di bagian depan gerbang. Winda berlari dengan cepat dan menghalangi lelaki itu sambil berkata, “Kamu kenapa sih? Memangnya aku salah bicara apa?”“Minggir!” sahut lelaki itu dengan dingin.Winda seketika emosi. Semua perasaannya yang baik tadi langsung sirna tak tersisa. Dia menatap wajah menggelap lelaki itu sambil berkata, “Hengky, memangnya nggak bisa dibicarakan baik-baik!? Kenapa kamu harus selalu seperti ini? Aku nggak mengerti kamu marah karena apa!”Baginya, setiap Hengky marah pasti dengan alasan yang tidak jelas. Winda sudah bersikap sangat hati-hati sekali, dia tetap tidak tahu kalimatnya yang mana yang memicu emosi lelaki it
Hengky meletakkan tubuh Winda di kasur dengan gerakan sangat lembut. Setelah melepaskan sepatu perempuan itu, dia menyelimuti tubuh Winda. Tiba-tiba terdengar suara erangan Winda yang cukup kecil dan keningnya tampak berkerut. Seakan-akan tidurnya tidak tenang.Hengky mengulurkan tangannya dan mengelus kening perempuan itu dengan lembut. Tidak terlihat jelas emosi di balik mata lelaki itu karena cahaya yang sangat minim. Dia menunduk dan menatap Winda selama satu menitan. Mendadak Winda bergerak dan Hengky bergegas menarik tangannya sambil mundur.Melihat Winda yang masih tertidur, Hengky menunduk lagi untuk memasukkan tangan perempuan itu ke dalam selimut. Setelah itu dia mematikan lampu dan berjalan keluar dari kamar. Begitu terdengar suara pintu tertutup, Winda membuka kedua kelopak matanya.Dia duduk dan menatap barang-barang milik Hengky yang ada di kamar ini sudah diambil. Karena kurang seseorang di dalam sini, kamar tersebut terasa sangat kosong dan sepi. Sebuah perasaan kecewa
Bi Citra melihat kondisi Winda yang nyaris tersungkur itu dengan raut khawatir dan bertanya, “Pak Doni antar beberapa orang katanya mau tinggal di sini untuk membantu Ibu dan Bapak. Katanya ini semua instruksi dari Nyonya. Bapak juga sudah setuju.”“Hengky nggak ada?”“Sekarang sudah hampir jam sepuluh. Pak Hengky sudah berangkat pagi-pagi sekali.”Winda memijat keningnya dengan raut lelah sambil berkata, “Orangnya tinggal saja dulu, Bi Citra saja yang atur.”“Baik, Bu,” kata Bi Citra. Dia melirik Winda sekilas dan bertanya dengan raut tidak tenang, “Saya lihat Ibu sangat kesakitan sekali. Mau saya telepon Dokter Willy? Biar beliau periksa keadaan Ibu.”Winda memang merasa tidak enak, tetapi dia tidak ingin hal kecil ini merepotkan Willy. Dia menggelengkan kepala dan dengan lemas berkata, “Nggak perlu, Bi Citra ambilin minum saja dan juga obat demam. Setelah minum obat dan tidur, seharusnya akan baikan.”Terlalu banyak yang terjadi akhir-akhir ini sehingga Winda menyimpan beban pikiran
“Bukannya ini cuma demam? Kenapa kamu harus telepon Den Hengky? Dia juga bukan dokter, yang ada malah tambah panik saja dan nggak membantu. Den Hengky juga sangat sibuk, kalau dia tertular bagaimana? Kamu ini harus banyak berpikir panjang, pantas saja Nyonya nggak tenang dan minta kami datang menjaga Den Hengky.”Meski Bi Citra memiliki sifat yang sabar dan baik, dia tetap tidak terima dan wajahnya menggelap.“Ucapan kamu benar-benar keterlaluan sekali. Bagaimana pun Ibu dan Bapak adalah majikan di rumah ini. Kita sebagai penerima gaji nggak boleh milih-milih,” kata Bi Citra.Kalau bukan karena pelayan yang bernama Yanti ini diutus oleh Sekar dan pasti dekat dengan perempuan tua itu, Bi Citra sudah pasti marah padanya. Dari pagi tadi, Yanti terus mencari-cari kesalahan. Semuanya salah dan tidak sesuai dengan apa yang perempuan itu inginkan.Kalau bukan karena Bi Citra menahannya, mungkin dari pagi Yanti sudah naik ke lantai atas untuk memanggil Winda. Yanti melipat kedua lengannya depa