Senyum di sudut bibir Winda perlahan membeku ketika melihat wajah dingin Hengky. Namun, Winda tak berkata apa pun.Saat melihat senyum di wajah WInda perlahan menghilang, Hengky refleks mengernyitkan dahi. Dia melihat bibir tipis Winda yang perlahan turun, hendak menghibur. Akan tetapi Winda malah membelakanginya. “Aku tahu sekarang,” ujar Winda serak, pelan. Jika bukan karena jaraknya dan Hengky terlalu dekat, mungkin Hengky tidak akan bisa mendengar suara Winda. Hengky berpikir sejenak, kemudian berkata dengan nada yang lebih bersahabat, “Sebaiknya kamu nggak macam-macam dulu dalam waktu dekat. Jangan sampai ada berita apa-apa. Kalau nggak, akan susah jelasinnya sama kakek.”Kalimat Hengky bukan hanya tidak menghibur Winda, justru membuat Winda merasa Hengky masih saja tidak mempercayainya perkara masalah di restoran hari ini. Winda merasa Hengky sedang memberinya peringatan. Winda menggeser tubuhnya, menghadapkan kepalanya ke arah jendela agar Hengky tidak bisa melihat matanya ya
“Pak Hengky nggak peduli sama Bu Winda mungkin karena dia peduli sama Bu Winda karena hari ini ketemu Jefri … Di hati Pak Hengky pasti ada Bu Winda,” hibur Santo. Winda kikuk. Dia dengan setengah hati tersenyum. “Mudah-mudahan saja,” jawabnya pelan. Winda sudah tidak bisa membedakan apakah Hengky betul-betul tak peduli, atau terlalu peduli hingga membuatnya marah pada Winda sampai saat ini, atau … mungkin cemburu.Raut wajah Winda seketika berubah. “Bu Winda bayangin saja. Pas kecelakaan waktu itu, Pak Hengky benar-benar berencana merelakan nyawanya untuk menolong Ibu. Di kondisi seperti itu, Pak Hengky nggak ragu-ragu buat milih nabrak mobil itu. Masa Bu Winda masih nggak ngerti?”Tanpa perintah Hengky, Santo tidak berani berbicara terlalu banyak. Namun, dia tak tahan ….Santo mengubur kembali niatnya dalam hati, tidak berbicara lebih banyak. Dia mengangguk ke arah Winda, kemudian berkata, “Bu, sudah malam. Bu Winda istirahat saja. Saya pergi dulu.”Setelah mengatakannya, Santo be
Senyum Winda seketika pudar saat niatnya disiram air dingin oleh Hengky. “Aku ….”Baru saja Winda mengucapkan satu kata, tiba-tiba Hengky dengan wajah serius menarik tangannya, menundukkan kepala, dan melihat telapak tangannya.Suara Winda terhenti, dia juga menundukkan kepala dan melihat. Winda melihat sedikit bercak darah merembes di tempat yang dibalut perban ...Winda menoleh ke arah Hengky dengan sangat kaku. Dia melihat wajah menyeramkan Hengky yang seperti hendak memakan orang, kemudian berkata, “Nggak perlu repot-repot. Aku obati sendiri nanti.”Winda masih ingat kalimat Hengky yang bilang bahwa dia merepotkan saat di mobil tadi.Hengky menjawab dingin, “Kurasa kamu memang belum cukup kesakitan. Sudah luka begini masih saja nggak mau diam.”Winda menatap Hengky sambil mengerutkan bibirnya, dia berkata dengan suara pelan, “Aku ‘kan khawatir sama kamu. Kamu minum banyak gitu, khawatir perutmu nggak enak.”Hengky kehilangan ibunya saat masih kecil. Dia dirawat oleh sang ayah hing
Winda mengerutkan kening saat mendengar kalimat usiran Hengky yang kesekian kalinya. Dengan berat hati, Winda menjawab, “Em” pendek. Kemudian, dengan lemah Winda berjalan ke arah pintu. Baru saja Winda memegang gagang pintu, suara Hengky kembali terdengar, “Tunggu.”Mata Winda seketika bersinar kembali. Dia segera menarik tangannya dari gagang pintu, kemudian berbalik badan dengan tatapan mata secerah mentari pagi. “Sayang, nggak tega ya ngusir aku pergi?”Hengky memelototi Winda sejenak, kemudian mengalihkan pandangan matanya. Hengky mengambil kotak obat dari dalam lemari dan meletakkannya di atas meja. “Sini, diobatin dulu.”Senyum bahagia di wajah Winda tak bisa di sembunyikan. Sudut bibirnya terangkat bahagia. Winda tahu Hengky tak akan meninggalkannya begitu saja. Winda segera mendekat, kemudian duduk. Matanya menatap wajah Hengky tanpa berkedip. Winda tak rela memindahkan tatapan matanya. “Lihat apa?” ujar Hengky tak sabar, “Sini tangannya.”Winda mengulurkan tangannya, kem
Suara gadis itu menyayat telinga, membuat Winda merasa sakit kepala, pandangan menjadi kabur. Saat ia membuka mata kembali, adegan seketika berubah.Luna hilang, di sekitar tercium bau bensin. Lidah-lidah api seolah ingin melahap segalanya, semakin berkobar. Winda terjatuh lemas di tanah hingga kemudian dia melihat seseorang nekat masuk ke dalam kobaran api."Hengky …," gumam Winda.Saat kesadarannya mulai pudar, ia merasakan Hengky memeluknya dalam dekapan tubuh Hengky. Tubuh Hengky sudah terbakar, tapi Hengky seakan tidak merasakannya dan semakin menggenggam erat tubuh Winda.Sebelum kehilangan kesadaran sepenuhnya, ia melihat balok-balok tumbang, dan Hengky berbisik di telinganya, "Jangan takut, aku di sini bersamamu ...."Suara lelaki itu, penuh kelembutan yang tak pernah Winda dengar sebelumnya.Winda membuka mata sekali lagi, tapi hanya melihat kegelapan. Hanya tempatnya berdiri saat itu yang bersinar.Dalam kegelapan, Hengky perlahan berjalan ke arah cahaya. Winda tersenyum. Nam
Hengky sebenarnya ingin mendorong Winda pergi, tapi saat mereka berpelukan, dia merasakan Winda menggigil. Detak jantung Winda terdengar begitu jelas di malam yang hening. Emosi gelisah itu tampaknya bisa menyebar, bahkan Hengky bisa merasakannya.Hengky ragu sejenak, lalu menurunkan kepalanya dan menempelkannya pada dahi Winda. Dia merasakan keringat lengket dan kulitnya yang dingin.Merasakan suhu tubuh Hengky yang hangat, hati Winda menjadi lebih tenang, tapi dia tidak mau melepaskan pelukannya, seolah bila dia melepasnya, Hengky akan menghilang seperti dalam mimpi.“Hengky,” panggilnya dengan suara serak.Hengky menahan bibirnya, lalu setelah beberapa detik berkata dengan pelan, “Aku di sini.”Suara itu seperti penenang. Winda seketika merasa lebih lega, pelukannya pun sedikit melonggar.Hengky perlahan berdiri, melihat Winda penuh keringat, sampai lehernya pun basah. Hengky bertanya dengan pelan, “Mimpi buruk?”Winda mengangguk, mata tak berkedip menatap wajah Hengky, tangannya m
Ketika diingatkan oleh Hengky, Winda baru menyadari bahwa piyamanya sudah basah kuyup karena keringat. Dengan AC yang menyala di kamar, jika Winda tidur semalaman dengan kondisi seperti itu, dia pasti akan masuk angin keesokan harinya.Dalam hati terasa hangat, Winda menerima pakaian itu, sambil berkata, “Aku mandi dulu ya, kamu jangan pergi.”“Hmm,” sahut Hengky singkat.Setelah mendapat jawaban, Winda dengan tenang memasuki kamar mandi dengan piyama di tangannya. Ketika suara air terdengar dari kamar mandi, Hengky menoleh ke arah tempat tidur, ragu-ragu sejenak tapi dia memutuskan untuk tetap tinggal.Winda khawatir Hengky akan pergi saat dia mandi. Ia cepat-cepat keluar setelah membersihkan diri sebentar. Saat keluar dari kamar mandi, Winda hampir terpeleset jatuh.“Kenapa buru-buru?” suara Hengky terdengar dari atas kepala Winda, telapak tangan lebar Hengky menopang lengan Winda, menstabilkannya.Suara itu seperti obat penenang, Winda menegakkan tubuhnya, menatap Hengky dengan mata
Selesai berbicara, Winda malah menggosok-gosok leher Hengky dengan kepalanya, mencium wangi sejuk dari tubuhnya, lalu dengan puas menutup mata. Dua orang itu saling menempel, membuat Hengky merasakan gelombang panas yang tiba-tiba menyergapnya, hasratnya seolah terbangkitkan, dan rasa kantuknya hilang begitu saja.Apalagi di bagian tubuh tertentu, mulai terasa ....“Turun, deh,” kata Hengky dengan nada sedikit keras dan kesal.“Nggak mau,” jawab Winda. Makin dekat ia merapat, hembusan napasnya yang hangat langsung menyapu sisi leher pria itu. Dia bisa merasakan dirinya jadi semakin panas, emosinya seperti ombak besar.“Sudah aku bilang, turun!” Suara Hengky terdengar berbeda, ada sedikit nada rendah penuh nafsu, tapi juga kesal.Winda menyadari sesuatu. Dia mengangkat kepalanya, melihat mata Hengky yang gelap bak malam yang misterius. Dengan cepat, tangan Winda meraba ke bawah selimut, langsung menemukan bagian sensitif Hengky. Namun, sebelum Winda bisa melakukan apapun, Hengky dengan
Hengky mengerti maksud Winda, tapi dia berpura-pura bersikap dingin dan membalas, “Kamu sudah nggak sabar mau ketemu dia? Aku kasih tahu, ya, kamu nggak akan pergi ke mana pun sampai kamu sembuh!”Kata-kata itu bagaikan belati dingin yang menancap jantungnya. Dia menatap Hengky dengan penuh rasa kecewa dan berkata, “Hengky, kamu jelas-jelas tahu aku cuma ….”“Cuma apa? Kamu baik-baik saja di sini. Aku nggak mau kejadian tadi terulang lagi!”“Aku ….”Winda ingin mengatakan sesuatu, tapi melihat tatapan Hengky yang begitu dingin, dia menelan kembali kata-katanya. Hengky pun hanya menatapnya sekilas, tapi ketika dia hendak pergi, dia merasakan hawa dingin yang menempel ke tangannya dari tangan Winda.“Bisa, nggak, kamu jangan pergi dulu?”Kehangatan yang terpancar dari telapak tangan Hengky menyapu bersih hawa dingin yang ada di tubuhnya. Hengky menoleh dan melihat tangan mereka yang sedang saling bertautan, lalu dia beralih melihat tatapan mata Winda yang sedang memohon kepadanya. Ucapan
Ketika baru saja keluar dari lift rumah sakit, Hengky melihat sudah ada kerumunan orang yang berdiri di depan kamar Winda. Mereka semua tampak lega melihat kedatangannya.Dokter segera menyambutnya dan berkata, “Pak Hengky datang juga akhirnya. Bu Winda mengurung diri di kamar. Lukanya harus cepat diobati.”“Oke, aku ngerti,” jawab Hengky, lalu dia bergegas mengetuk pintu kamar dan berkata, “Winda, ini aku, buka pintunya.”Perlahan Winda mengangkat kepalanya saat mendengar suara Hengky. Dari matanya tebersit ekspresi kebahagiaan dan turun dari ranjangnya untuk membuka kunci pintu. Mata Winda langsung memerah ketika dia melihat sosok yang tak asing baginya di balik pintu. Dia pun langsung melemparkan tubuhnya sendiri ke dalam pelukannya.Namun Hengky tidak membalas pelukannya. Dia hanya menatap sinis Winda dan menegurnya, “Winda, ngapain lagi kamu?”“Tadi aku mimpi kamu kena tembak tepat di jantung …. Hengky, aku takut.”Tubuh Hengky sempat bergidik sesaat dan detak jantungnya mulai ber
“Bu Winda balik ke ranjang dulu. Sebentar lagi dokter datang,” kata si pengawal dengan kepala basah kuyup akibat keringat dingin.Walau begitu, Winda hanya menggelengkan kepalanya dan berulang kali berkata, “Aku mau ketemu Hengky!”“Tapi Pak Hengky lagi nggak di rumah sakit. Ibu ….”Sebelum pengawal itu selesai berbicara, dokter dan perawat yang sedang bertugas datang ke kamarnya Winda.“Ada apa?” tanya si dokter. Lantas, dokter melihat ada bercak darah di lantai, serta tangan Winda yang bersimbah darah. Dokter pun segera berkata, “Ada apa, Bu Winda? Kenapa jarum infusnya dicabut?”Si perawat juga menghampiri Winda dan berkata, “Bu, ayo saya bantu naik lagi ke ranjang. Saya balut dulu lukanya.”Tanpa melakukan perlawanan, Winda mengikuti arahan si perawat untuk diantar kembali ke ranjang. Si perawat pun merasa lega, tapi ketika dia baru ingin membalut lukanya, tiba-tiba Winda menghindar dan dengan matanya yang merah menatap si pengawal, “Aku mau ketemu Hengky. Kalau dia nggak datang, a
Hengky menggerakkan bola matanya sekilas dan kembali berkata kepada Winda dengan sinis, “Kalaupun aku mat, aku tetap nggak mau kamu nolong aku.”Raut wajah Winda langsung pucat mendengar itu. Matanya mulai memerah dan dia hendak membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Winda sudah tidak bisa lagi menahan tangisannya. Melihat mata Winda memerah, Hengky jadi merasa gusar dan berpesan kepadanya untuk cukup beristirahat saja. Kemudian Hengky pun berbalik dan keluar dari kamarnya Winda.Winda ingin menahan Hengky untuk tetap berada di sisinya, tapi pintu sudah tertutup rapat sebelum dia sempat berbicara. Kini suasana di kamar jadi tenang. Winda masih tak bisa menahan luapan perasaan dan air mata pun mengalir deras. Dia menggigit bibirnya sendiri dengan keras untuk meredam suara tangisannya, dan menelan semua emosi itu sendirian.Hengky yang baru menutup pintu juga berhenti di depan dan melihat ke dalam melalui kaca kecil. Dia dengan jelas melihat Winda menangis, tapi dia tidak mengeluar
“Kenapa bisa jadi begini …,” ujar Winda terkejut. Dia mengira dengan kuasa yang dimiliki keluarga Pranoto, mencari seseorang bukanlah hal yang sulit, lagi pula orang yang dicari juga begitu terkenal,rasanya mustahil tak ditemukan.“Ada seseorang yang hapus semua jejaknya sebelum aku mulai nyari. Semua petunjuk yang ada dipatahkan sama dia,” kata Hengky.Kalau saja pada saat itu Winda tidak menyadari ada sesuatu yang aneh pada mobil itu, mungkin sekarang Hengky …. Sudahlah, Winda tidak mau memikirkannya lebih jauh, dia takut kehilangan Hengky.Mobil Jeep hitam itu tidak mengikuti mereka sampai ke bandara. Mobil itu tiba-tiba muncul dan langsung menodongkan pistol ke arah Hengky tanpa ragu, yang jelas berarti mereka dari awal sudah ada niat untuk membunuhnya. Pertanyaannya, sebenarnya siapa yang bisa melakukan itu?Winda merasa misteri ini jadi makin dalam saja, dan lagi setiap kejadian selalu ada hubungannya dengan dia dan juga Hengky. Winda belum mengalami ini di kehidupan sebelumnya.
“Bu Winda, sungguh baik secara kamu sudah terbangun,” ujar Fran melangkah masuk dengan terkejut dan mengulurkan tangannya untuk memeriksa Winda. Dia yang melihat ruangan penuh dengan orang asing, wajahnya menjadi geram dan mengulang, “Aku ingin bertemu dengan Hengky, gimana keadaan dia?”Dokter Fran terdiam sejenak dan berkata, “Pak Hengky tidak terluka. Aku sudah menyuruh perawat untuk memanggil ....”Sebelum Dokter Fran sempat menyelesaikan perkataannya, Hengky dan Santo bergegas datang ke ruangan itu. Melihat Winda yang sudah terbangun, wajah Hengky terlihat tenang, akan tetapi beban di hatinya langsung hilang.“Pak Hengky, Nyonya Winda sedang mencarimu,” ujar Fran.Tertutupi oleh orang-orang di sekitar, Winda tidak dapat melihat Hengky. Dia ingin sekali melihatnya dengan mata kepalanya sendiri kalau pria itu baik-baik saja, jadi dia memaksa mengangkat badannya untuk duduk di ranjang.Tetapi luka di tubuhnya terlalu menyakitkan, hingga membuat dia kliyengan ketika bergerak. Ketika d
Santo terlihat tertekan dan berkata, “Mereka selalu selangkah lebih cepat dibanding kita dan bisa melenyapkan semua bukti. Kalau mereka bukan yang mengetahui kita dengan baik, tidak mungkin mereka bisa melakukannya dengan rapi.”Hengky menjawab dengan dingin, “Biarkan Howard melanjutkan investigasinya!”“Pak Hengky ....” Santo sejenak ragu-ragu lalu berkata, “Sekarang di luar negeri tidak aman, dan juga tidak menjamin kalau mereka tidak akan menyerangmu lagi. Apa mungkin kamu ingin aku persiapkan pesawat khusus untuk memulangkan kamu ke kampung halaman?”Walaupun dia tahu kalau kondisi istrinya tidak bisa bergerak, kekuatan dari pihak lawan sangatlah besar dan sepertinya tidak menjamin keselamatan mereka jika tinggal lebih lama di Fontana.Santo di lain sisi tidak memikirkan hal itu, tugas dia hanya untuk menjamin keamanan dari Hengky. Urusan yang lainnya bisa ditunda terlebih dahulu.“Tidak perlu,” tegas Hengky menolak. Dia menoleh untuk melihat Winda yang masih terbaring di ruang pe
“Aku bisa bantu menghapus masalah ini, tapi kamu lebih baik lebih jujur ke aku. Kalau kamu membuat masalah sekecil apa pun, kamu mati sendiri saja nanti,” jawab Kakek, setelah selesai bicara dia langsung mematikan teleponnya.Pria itu tersenyum menyeringai sambil mengunci layar teleponan, lalu dia menyimpan teleponnya ke dalam sakunya.Joji yang melihatnya langsung bertanya, “Gimana? Kakek berkenan untuk membantu?”“Dia harus bantu walaupun dia juga tidak berkenan membantu kita. Karena dia lebih takut kalau aku ketangkap Hengky daripada diriku sendiri. Selama aku menyimpan rahasia dia balik kejadian hari itu, Kakek harus tetab membantuku menyelesaikan ekor masalah ini,” jawab pria itu menyeringai.Mendengar itu Joji mendesau dengan lega, lalu mengembalikan senapannya ke pria itu dan berkata, “Bagaimanapun juga kita harus tetap berhati-hati untuk sekarang ini. Meskipun dengan bantuan kakek, kita juga tidak boleh menganggap enteng masalah ini.”“Aku mau menghubungi Winda secara langsung,
Joji merasa pesimis dengan rencana pria itu. Dia belum belum pernah berhubungan dengan Hengky secara langsung, jadinya dia tidak tahu betapa menakutkan orang itu. Jika Hengky mengetahui kalau ini merupakan perbuatan mereka, sepertinya Hengky tidak akan melepaskan mereka, walaupun dengan bantuan Kakek juga.“Kita diskusikan masalah ini nanti. Sekarang, paling penting yaitu menyelesaikan masalah ini dulu,” ujar Joji.“Oke, aku akan menelpon kakek sekarang,” jawab pria itu mengambil telepon seluler dari kantongnya dan segera menelepon kakek dari buku kontak pada telepon.Teleponnya berdering selama kurang lebih sepuluh detik sebelum diangkat. Suara yang berat dan penuh keagungan terdengar dari teleponnya dan dari suaranya dia merendahkan suaranya dan berkata dengan ketidakpuasan, “Bukannya aku sudah bilang untuk tidak meneleponku jika tidak ada urusan yang penting?”Pria itu menyeringai, matanya terlintas penuh dengan kebencian dan menjawab, “Kalau ga ada urusan penting, tentu aku nggak a