Kemudian Hengky mengeluarkan kotak obat dari sisinya lalu mengeluarkan alkohol dan kapas. “Sini tanganmu,” ujar Hengky.Winda mengulurkan tangannya dengan ragu sambil melirik Hengky. Raut wajah Hengky suram ketika melihat darah di telapak tangan Winda. Kemudian dia menuangkan alkohol ke telapak tangan istrinya itu. Wajah Winda seketika berubah pucat karena merasakan rasa sakit yang amat sangat setelah Hengky menuangkan alkohol ke telapak tangannya. Winda juga terlihat mengeluarkan keringat dingin. “Aduh ... sakit!” teriak Winda tidak dapat menahan rasa sakit yang dirasakannya sambil berusaha menarik tangannya kembali. Hengky memegang tangan Winda dengan erat sambil menyeka telapak tangan Winda sedikit demi sedikit dengan kapas. “Kamu pantas mendapatkannya. Tahan sebentar!” seru Hengky penuh emosi.Saat ini cahaya dingin di mata Hengky sudah mulai memudar, meskipun nada suaranya tetap terdengar dingin dan ketus. Namun, sayang Winda tidak menyadarinya karena sejak tadi dia terus me
Senyum di sudut bibir Winda perlahan membeku ketika melihat wajah dingin Hengky. Namun, Winda tak berkata apa pun.Saat melihat senyum di wajah WInda perlahan menghilang, Hengky refleks mengernyitkan dahi. Dia melihat bibir tipis Winda yang perlahan turun, hendak menghibur. Akan tetapi Winda malah membelakanginya. “Aku tahu sekarang,” ujar Winda serak, pelan. Jika bukan karena jaraknya dan Hengky terlalu dekat, mungkin Hengky tidak akan bisa mendengar suara Winda. Hengky berpikir sejenak, kemudian berkata dengan nada yang lebih bersahabat, “Sebaiknya kamu nggak macam-macam dulu dalam waktu dekat. Jangan sampai ada berita apa-apa. Kalau nggak, akan susah jelasinnya sama kakek.”Kalimat Hengky bukan hanya tidak menghibur Winda, justru membuat Winda merasa Hengky masih saja tidak mempercayainya perkara masalah di restoran hari ini. Winda merasa Hengky sedang memberinya peringatan. Winda menggeser tubuhnya, menghadapkan kepalanya ke arah jendela agar Hengky tidak bisa melihat matanya ya
“Pak Hengky nggak peduli sama Bu Winda mungkin karena dia peduli sama Bu Winda karena hari ini ketemu Jefri … Di hati Pak Hengky pasti ada Bu Winda,” hibur Santo. Winda kikuk. Dia dengan setengah hati tersenyum. “Mudah-mudahan saja,” jawabnya pelan. Winda sudah tidak bisa membedakan apakah Hengky betul-betul tak peduli, atau terlalu peduli hingga membuatnya marah pada Winda sampai saat ini, atau … mungkin cemburu.Raut wajah Winda seketika berubah. “Bu Winda bayangin saja. Pas kecelakaan waktu itu, Pak Hengky benar-benar berencana merelakan nyawanya untuk menolong Ibu. Di kondisi seperti itu, Pak Hengky nggak ragu-ragu buat milih nabrak mobil itu. Masa Bu Winda masih nggak ngerti?”Tanpa perintah Hengky, Santo tidak berani berbicara terlalu banyak. Namun, dia tak tahan ….Santo mengubur kembali niatnya dalam hati, tidak berbicara lebih banyak. Dia mengangguk ke arah Winda, kemudian berkata, “Bu, sudah malam. Bu Winda istirahat saja. Saya pergi dulu.”Setelah mengatakannya, Santo be
Senyum Winda seketika pudar saat niatnya disiram air dingin oleh Hengky. “Aku ….”Baru saja Winda mengucapkan satu kata, tiba-tiba Hengky dengan wajah serius menarik tangannya, menundukkan kepala, dan melihat telapak tangannya.Suara Winda terhenti, dia juga menundukkan kepala dan melihat. Winda melihat sedikit bercak darah merembes di tempat yang dibalut perban ...Winda menoleh ke arah Hengky dengan sangat kaku. Dia melihat wajah menyeramkan Hengky yang seperti hendak memakan orang, kemudian berkata, “Nggak perlu repot-repot. Aku obati sendiri nanti.”Winda masih ingat kalimat Hengky yang bilang bahwa dia merepotkan saat di mobil tadi.Hengky menjawab dingin, “Kurasa kamu memang belum cukup kesakitan. Sudah luka begini masih saja nggak mau diam.”Winda menatap Hengky sambil mengerutkan bibirnya, dia berkata dengan suara pelan, “Aku ‘kan khawatir sama kamu. Kamu minum banyak gitu, khawatir perutmu nggak enak.”Hengky kehilangan ibunya saat masih kecil. Dia dirawat oleh sang ayah hing
Winda mengerutkan kening saat mendengar kalimat usiran Hengky yang kesekian kalinya. Dengan berat hati, Winda menjawab, “Em” pendek. Kemudian, dengan lemah Winda berjalan ke arah pintu. Baru saja Winda memegang gagang pintu, suara Hengky kembali terdengar, “Tunggu.”Mata Winda seketika bersinar kembali. Dia segera menarik tangannya dari gagang pintu, kemudian berbalik badan dengan tatapan mata secerah mentari pagi. “Sayang, nggak tega ya ngusir aku pergi?”Hengky memelototi Winda sejenak, kemudian mengalihkan pandangan matanya. Hengky mengambil kotak obat dari dalam lemari dan meletakkannya di atas meja. “Sini, diobatin dulu.”Senyum bahagia di wajah Winda tak bisa di sembunyikan. Sudut bibirnya terangkat bahagia. Winda tahu Hengky tak akan meninggalkannya begitu saja. Winda segera mendekat, kemudian duduk. Matanya menatap wajah Hengky tanpa berkedip. Winda tak rela memindahkan tatapan matanya. “Lihat apa?” ujar Hengky tak sabar, “Sini tangannya.”Winda mengulurkan tangannya, kem
Suara gadis itu menyayat telinga, membuat Winda merasa sakit kepala, pandangan menjadi kabur. Saat ia membuka mata kembali, adegan seketika berubah.Luna hilang, di sekitar tercium bau bensin. Lidah-lidah api seolah ingin melahap segalanya, semakin berkobar. Winda terjatuh lemas di tanah hingga kemudian dia melihat seseorang nekat masuk ke dalam kobaran api."Hengky …," gumam Winda.Saat kesadarannya mulai pudar, ia merasakan Hengky memeluknya dalam dekapan tubuh Hengky. Tubuh Hengky sudah terbakar, tapi Hengky seakan tidak merasakannya dan semakin menggenggam erat tubuh Winda.Sebelum kehilangan kesadaran sepenuhnya, ia melihat balok-balok tumbang, dan Hengky berbisik di telinganya, "Jangan takut, aku di sini bersamamu ...."Suara lelaki itu, penuh kelembutan yang tak pernah Winda dengar sebelumnya.Winda membuka mata sekali lagi, tapi hanya melihat kegelapan. Hanya tempatnya berdiri saat itu yang bersinar.Dalam kegelapan, Hengky perlahan berjalan ke arah cahaya. Winda tersenyum. Nam
Hengky sebenarnya ingin mendorong Winda pergi, tapi saat mereka berpelukan, dia merasakan Winda menggigil. Detak jantung Winda terdengar begitu jelas di malam yang hening. Emosi gelisah itu tampaknya bisa menyebar, bahkan Hengky bisa merasakannya.Hengky ragu sejenak, lalu menurunkan kepalanya dan menempelkannya pada dahi Winda. Dia merasakan keringat lengket dan kulitnya yang dingin.Merasakan suhu tubuh Hengky yang hangat, hati Winda menjadi lebih tenang, tapi dia tidak mau melepaskan pelukannya, seolah bila dia melepasnya, Hengky akan menghilang seperti dalam mimpi.“Hengky,” panggilnya dengan suara serak.Hengky menahan bibirnya, lalu setelah beberapa detik berkata dengan pelan, “Aku di sini.”Suara itu seperti penenang. Winda seketika merasa lebih lega, pelukannya pun sedikit melonggar.Hengky perlahan berdiri, melihat Winda penuh keringat, sampai lehernya pun basah. Hengky bertanya dengan pelan, “Mimpi buruk?”Winda mengangguk, mata tak berkedip menatap wajah Hengky, tangannya m
Ketika diingatkan oleh Hengky, Winda baru menyadari bahwa piyamanya sudah basah kuyup karena keringat. Dengan AC yang menyala di kamar, jika Winda tidur semalaman dengan kondisi seperti itu, dia pasti akan masuk angin keesokan harinya.Dalam hati terasa hangat, Winda menerima pakaian itu, sambil berkata, “Aku mandi dulu ya, kamu jangan pergi.”“Hmm,” sahut Hengky singkat.Setelah mendapat jawaban, Winda dengan tenang memasuki kamar mandi dengan piyama di tangannya. Ketika suara air terdengar dari kamar mandi, Hengky menoleh ke arah tempat tidur, ragu-ragu sejenak tapi dia memutuskan untuk tetap tinggal.Winda khawatir Hengky akan pergi saat dia mandi. Ia cepat-cepat keluar setelah membersihkan diri sebentar. Saat keluar dari kamar mandi, Winda hampir terpeleset jatuh.“Kenapa buru-buru?” suara Hengky terdengar dari atas kepala Winda, telapak tangan lebar Hengky menopang lengan Winda, menstabilkannya.Suara itu seperti obat penenang, Winda menegakkan tubuhnya, menatap Hengky dengan mata