Winda mungkin tidak akan bisa mencintai laki-laki lain setelah melihat ketulusan cinta seorang Hengky yang rela mati demi Winda tepat sebelum Winda mati. Sekarang di hatinya hanya ada Hengky seorang. Namun, Hengky tidak mau mempercayainya. Hati Hengky terasa sakit ketika melihat wajah sedih Winda. Namun, raut wajahnya tetap dingin dan tidak berubah sedikit pun.“Winda, jangan coba-coba menipuku. Kamu harus bersikap jujur kalau mau dia selamat! Kamu ngerti, kan?” ancam Hengky dengan tatapan mata dingin. Winda tiba-tiba menundukkan kepalanya lalu tersenyum. Kemudian dia memegang wajah Hengky dan mencium bibirnya sambil berjinjit. Ciuman lembut di bibirnya menghalangi semua kata-kata yang akan dilontarkan oleh Hengky. Dia membuka matanya lebar-lebar dan memandang Winda dengan jantung yang berdetak sangat cepat. Dia tidak suka ketika dirinya tidak bisa mengendalikan perasaannya sendiri. Hengky mendorong Winda sampai perempuan itu jatuh ke atas kasur yang empuk. Hengky menggunakan sedik
Suara ‘ding’ menandakan mereka sudah sampai di lantai tujuan mereka. Hengky menatap Winda lalu berjalan keluar dari lift.Winda mengikuti Hengky di belakangnya sambil terus memegangi tangannya yang sakit. Walaupun Hengky terus bersikap dingin padanya, dia tahu kalau Hengky masih mengkhawatirkannya. Mereka tidak bisa berjalan bersama karena mereka tidak ingin ada orang yang memotret dan menyebarkan rumor yang tidak baik bagi Winda. Winda adalah seorang publik figur dan dia juga sedang terlibat banyak rumor yang kurang baik akhir-akhir ini. Jadi, mereka memutuskan untuk tidak terlihat bersama di depan umum. Santo sudah mengikuti Hengky selama bertahun-tahun. Jadi, dia mengerti bagaimana kebiasaan atasannya itu. Winda melihat Santo memarkir mobil di pinggir jalan ketika mereka berdua keluar dari klub malam. Winda melihat ke sekelilingnya lalu bergegas mengikuti Hengky setelah merasa tidak ada orang lain di sekitar mereka. Kemudian dia memegang lengan Hengky setelah berhasil mengejar su
Kemudian Hengky mengeluarkan kotak obat dari sisinya lalu mengeluarkan alkohol dan kapas. “Sini tanganmu,” ujar Hengky.Winda mengulurkan tangannya dengan ragu sambil melirik Hengky. Raut wajah Hengky suram ketika melihat darah di telapak tangan Winda. Kemudian dia menuangkan alkohol ke telapak tangan istrinya itu. Wajah Winda seketika berubah pucat karena merasakan rasa sakit yang amat sangat setelah Hengky menuangkan alkohol ke telapak tangannya. Winda juga terlihat mengeluarkan keringat dingin. “Aduh ... sakit!” teriak Winda tidak dapat menahan rasa sakit yang dirasakannya sambil berusaha menarik tangannya kembali. Hengky memegang tangan Winda dengan erat sambil menyeka telapak tangan Winda sedikit demi sedikit dengan kapas. “Kamu pantas mendapatkannya. Tahan sebentar!” seru Hengky penuh emosi.Saat ini cahaya dingin di mata Hengky sudah mulai memudar, meskipun nada suaranya tetap terdengar dingin dan ketus. Namun, sayang Winda tidak menyadarinya karena sejak tadi dia terus me
Senyum di sudut bibir Winda perlahan membeku ketika melihat wajah dingin Hengky. Namun, Winda tak berkata apa pun.Saat melihat senyum di wajah WInda perlahan menghilang, Hengky refleks mengernyitkan dahi. Dia melihat bibir tipis Winda yang perlahan turun, hendak menghibur. Akan tetapi Winda malah membelakanginya. “Aku tahu sekarang,” ujar Winda serak, pelan. Jika bukan karena jaraknya dan Hengky terlalu dekat, mungkin Hengky tidak akan bisa mendengar suara Winda. Hengky berpikir sejenak, kemudian berkata dengan nada yang lebih bersahabat, “Sebaiknya kamu nggak macam-macam dulu dalam waktu dekat. Jangan sampai ada berita apa-apa. Kalau nggak, akan susah jelasinnya sama kakek.”Kalimat Hengky bukan hanya tidak menghibur Winda, justru membuat Winda merasa Hengky masih saja tidak mempercayainya perkara masalah di restoran hari ini. Winda merasa Hengky sedang memberinya peringatan. Winda menggeser tubuhnya, menghadapkan kepalanya ke arah jendela agar Hengky tidak bisa melihat matanya ya
“Pak Hengky nggak peduli sama Bu Winda mungkin karena dia peduli sama Bu Winda karena hari ini ketemu Jefri … Di hati Pak Hengky pasti ada Bu Winda,” hibur Santo. Winda kikuk. Dia dengan setengah hati tersenyum. “Mudah-mudahan saja,” jawabnya pelan. Winda sudah tidak bisa membedakan apakah Hengky betul-betul tak peduli, atau terlalu peduli hingga membuatnya marah pada Winda sampai saat ini, atau … mungkin cemburu.Raut wajah Winda seketika berubah. “Bu Winda bayangin saja. Pas kecelakaan waktu itu, Pak Hengky benar-benar berencana merelakan nyawanya untuk menolong Ibu. Di kondisi seperti itu, Pak Hengky nggak ragu-ragu buat milih nabrak mobil itu. Masa Bu Winda masih nggak ngerti?”Tanpa perintah Hengky, Santo tidak berani berbicara terlalu banyak. Namun, dia tak tahan ….Santo mengubur kembali niatnya dalam hati, tidak berbicara lebih banyak. Dia mengangguk ke arah Winda, kemudian berkata, “Bu, sudah malam. Bu Winda istirahat saja. Saya pergi dulu.”Setelah mengatakannya, Santo be
Senyum Winda seketika pudar saat niatnya disiram air dingin oleh Hengky. “Aku ….”Baru saja Winda mengucapkan satu kata, tiba-tiba Hengky dengan wajah serius menarik tangannya, menundukkan kepala, dan melihat telapak tangannya.Suara Winda terhenti, dia juga menundukkan kepala dan melihat. Winda melihat sedikit bercak darah merembes di tempat yang dibalut perban ...Winda menoleh ke arah Hengky dengan sangat kaku. Dia melihat wajah menyeramkan Hengky yang seperti hendak memakan orang, kemudian berkata, “Nggak perlu repot-repot. Aku obati sendiri nanti.”Winda masih ingat kalimat Hengky yang bilang bahwa dia merepotkan saat di mobil tadi.Hengky menjawab dingin, “Kurasa kamu memang belum cukup kesakitan. Sudah luka begini masih saja nggak mau diam.”Winda menatap Hengky sambil mengerutkan bibirnya, dia berkata dengan suara pelan, “Aku ‘kan khawatir sama kamu. Kamu minum banyak gitu, khawatir perutmu nggak enak.”Hengky kehilangan ibunya saat masih kecil. Dia dirawat oleh sang ayah hing
Winda mengerutkan kening saat mendengar kalimat usiran Hengky yang kesekian kalinya. Dengan berat hati, Winda menjawab, “Em” pendek. Kemudian, dengan lemah Winda berjalan ke arah pintu. Baru saja Winda memegang gagang pintu, suara Hengky kembali terdengar, “Tunggu.”Mata Winda seketika bersinar kembali. Dia segera menarik tangannya dari gagang pintu, kemudian berbalik badan dengan tatapan mata secerah mentari pagi. “Sayang, nggak tega ya ngusir aku pergi?”Hengky memelototi Winda sejenak, kemudian mengalihkan pandangan matanya. Hengky mengambil kotak obat dari dalam lemari dan meletakkannya di atas meja. “Sini, diobatin dulu.”Senyum bahagia di wajah Winda tak bisa di sembunyikan. Sudut bibirnya terangkat bahagia. Winda tahu Hengky tak akan meninggalkannya begitu saja. Winda segera mendekat, kemudian duduk. Matanya menatap wajah Hengky tanpa berkedip. Winda tak rela memindahkan tatapan matanya. “Lihat apa?” ujar Hengky tak sabar, “Sini tangannya.”Winda mengulurkan tangannya, kem
Suara gadis itu menyayat telinga, membuat Winda merasa sakit kepala, pandangan menjadi kabur. Saat ia membuka mata kembali, adegan seketika berubah.Luna hilang, di sekitar tercium bau bensin. Lidah-lidah api seolah ingin melahap segalanya, semakin berkobar. Winda terjatuh lemas di tanah hingga kemudian dia melihat seseorang nekat masuk ke dalam kobaran api."Hengky …," gumam Winda.Saat kesadarannya mulai pudar, ia merasakan Hengky memeluknya dalam dekapan tubuh Hengky. Tubuh Hengky sudah terbakar, tapi Hengky seakan tidak merasakannya dan semakin menggenggam erat tubuh Winda.Sebelum kehilangan kesadaran sepenuhnya, ia melihat balok-balok tumbang, dan Hengky berbisik di telinganya, "Jangan takut, aku di sini bersamamu ...."Suara lelaki itu, penuh kelembutan yang tak pernah Winda dengar sebelumnya.Winda membuka mata sekali lagi, tapi hanya melihat kegelapan. Hanya tempatnya berdiri saat itu yang bersinar.Dalam kegelapan, Hengky perlahan berjalan ke arah cahaya. Winda tersenyum. Nam