1991Di ruangan remang-remang, seorang gadis tengah terikat. Dengan mata di tutup oleh kain. Rambut pendek sebahunya berminyak. Tanda ia tak keramas beberapa hari. Aroma minyak tanah terendus di hidungnya, sepanjang ia di ruangan itu. Jika menangis suaranya menggema.Bahkan, langkah kaki dan gesekan besi di lantai semen saja juga menggema saat ini. Punggung gadis itu menegang. Isakannya berhenti. Dia berusaha menggerakkan tubuhnya."Hei.. Hei.. jangan bergerak. Nanti tubuhmu sakit."Suara seorang lelaki terdengar. Si pemilik langkah kaki."Le-lepaskan aku. To-tolong.""Hmm.. melepaskanmu? Kenapa? Kenapa aku harus melepaskanmu?""A-aku tidak mengenal siapa kau. Dan, aku tidak tahu, kenapa kau menculikku.""Hehe. Aku juga tidak tahu siapa dirimu.""Lalu, kenapa kau menculikku?!""Emm, karena kau menjengkelkan?""Apa?""Rima.. Rima.. Rima... Itu, namamu, kan? Berkat teman-temanmu.. aku jadi mengetahui namamu.""Temanku?""Mereka sedang mencari keberadaanmu. Ah, mereka selalu saja ikut ca
1989Sudah 4 bulan sejak Haris masuk ke SMU 991. Siswa paling tampan. Predikat yang di sandangnya. Pun, itu juga tak membuat Haris memiliki banyak teman. Karena, dia pendiam dan pemalu. Ke mana-mana selalu sendiri. Di kelas sekalipun. Kursinya ada di sudut. Paling belakang.Banyak siswi yang mendekatinya. Memberinya cokelat. Mengajaknya pulang bersama. Memberinya surat. Yang membuat dirinya di jauhi oleh para siswa.Well, setidaknya sebelum rumor itu tersebar.Haris Saputra. Dia anak orang kaya.Dalam sekejap, dia memiliki banyak kawan."Ris.. ada film baru di bioskop! Kita berangkat sepulang sekolah, ya? Kau yang traktir.""Ris.. ada restoran luar negeri baru membuka cabang di pusat kota. Hari sabtu kita ke sana, ya? Kau yang bayar.""Ris.. hari minggu aku ada kencan. Boleh pinjam motormu, kan? Sekalian, pinjam 30 ribu, ya? Ah, bensin penuh, kan?"Haris tidak pernah mempermasalahkan itu. Ia menganggap itu semua adalah bantuan dari teman untuk teman. Meskipun, setiap ke bioskop dia y
Sarapan sudah selesai di buat oleh Hara. Pagi ini, ia di bantu oleh Selly. Seperti biasa, Mila dengan girang menyambut makanan dari Hara, yang di pikirnya adalah semua makanan itu favorit dia.Pada kenyataannya, Mila memang suka makan. Tidak pernah pilih-pilih. Rendi meneguk air di gelas kaca. Selly mengambil sepotong ayam goreng. Hara memilih telur mata sapi. Telur ayam yang di beri nama mata sapi. Entah siapa yang memberi nama itu. Bahkan, sapi saja tidak bertelur.Diara tengah berada di dapur, sementara Darel menyeruput sedikit kopi hitamnya."Kau tidur di sini semalam?" tanya Rendi pada Darel."Ya. Sudah terlalu larut, saat aku mengantarkan Diara kemari. Dan, aku tidak enak badan. Jadi, aku memutuskan menginap. Lagipula, banyak kamar di sini. Dan, ini rumah adikku.""Wah, pertanyaanku singkat. Tapi, kau menjawabnya panjang lebar.""Kenapa sampai selarut itu? Apa Tuan Haris mencoba mengintimidasinya?" tanya Hara."Tidak. Justru, aku berkawan dengannya sekarang," sahut Diara. Membaw
Mila yang baru saja masuk ke dalam kamar, segera terbelalak melihat Hara tersungkur di lantai."HARA!" pekiknya. Berlari mendekati Hara. Membantunya berdiri.Pipinya merah. Akibat pukulan Rendi."Kau tak puas dengan melukai hati Diara. Sekarang, kau melukai fisiknya! Hah?!""Rendi.. bukan seperti itu," kata Diara. Mendekati Rendi."Kau jangan membelanya lagi. Aku sudah cukup muak dengan laki-laki brengsek ini!""Beraninya kau memukul suamiku?! Kau di sini cuma menumpang!""Ya, aku di sini bukan siapa-siapa! Tapi, aku tidak peduli! Siapapun yang berani menyakiti Diara, harus berhadapan denganku!"Hara mendengus."Benar dugaanku, eh? Kau menyukai Diara.""Lantas, kenapa kalau aku menyukai dirinya? Dia.. bukan milik siapa-siapa. Kau, juga tidak berhak melarang siapapun untuk menyukainya sekarang!""AKU MASIH SUAMINYA! MASIH SAH DALAM AGAMA! KAU YANG MENJADI SAKSINYA WAKTU ITU!""KAU MASIH BERANGGAPAN DIA ADALAH ISTRIMU?!""Ya! AKU MASIH SUAMI DIARA! AKU MASIH SANGAT MENCINTAINYA!""Kau!
"Iya. Aku Mi-" "Mila, bisa kau tunggu di luar sebentar? Aku ingin bicara dengan Bu Lia." "Mau membicarakan apa?" "Tunggu saja di luar. Tanpa ada pertanyaan." Mila berdecak kesal. Berdiri. Menghentakkan kaki ke lantai. Berulang. Lalu, keluar dari ruangan. "Apa benar dia-" ""Iya. Dia Ajeng. Anak dari Bibi Sinta—sahabat Ayah." "Ah.. sudah besar ternyata." "Sudah puluhan tahun yang lalu. Tentu saja, dia sudah besar." Bu Lia tersenyum. "Lantas, tujuanmu datang kemari untuk apa? Tak mungkin, untuk menunjukkan gadis itu padaku, kan?" Darel mendesah panjang. Tangannya bergumul. "Tadinya, aku ingin memberitahu dia. Soal identitas aslinya. Kalau dia, bukanlah anak dari Ayah dan Ibu." "Lalu, kau membatalkannya karena merasa kasihan?" "Salah satunya itu." "Yang lain?" Darel mendesah panjang. "Aku sudah lelah dijadikan tameng untuk adikku—yang bahkan Ibuku saja tidak melahirkannya. Setiap terjadi apa-apa dengan Mila, selalu aku yang di marahi oleh Ayah. Masalah-mas
Darel dan Mila baru saja tiba di rumah Haris. Sepanjang perjalanan, keduanya saling diam. Hening. Agaknya canggung. Itu yang di rasakan Darel."Ada apa kau ingin pulang? Rindu pada Ayah? Atau, Rindu pada Ibu?" tanya Darel. Sembari melepas sabuk pengaman.Mila mendengus."Untuk apa aku rindu pada orang tuamu?"Mila turun setelah mengatakan itu. Meninggalkan Darel yang masih tertegun mendengarnya. Bergegas ia turun, berlari dan meraih lengan Mila."Mila.. kau.. mendengar semuanya?""Mendengar apa?" tanya Mila. Wajahnya nampak kesal, ketika menengok pada Darel."Percakapanku dengan Bu Lia."Mila hanya diam. Tatapannya tajam. Menghempaskan tangan Darel. Berjalan masuk. Pergi ke lantai 2. Menuju ruangan Haris.Sebelumnya, saat di panti asuhan.. Mila sengaja tidak menutup pintu rapat-rapat. Untuk menguping pembicaraan Darel dan Bu Lia."Mila! Mila! Berhenti dulu. Dengarkan aku."Panggilan Darel belasan kali pun tak menghentikan langkahnya, yang penuh amarah. Membuka pintu ruangan Haris deng
Ranti. Gadis manis yang tak banyak bicara. Tak banyak tersenyum. Pun, susah untuk bahagia. Ia sulit untuk berkawan. Karena terlalu takut di hakimi atas hidupnya, yang tumbuh tanpa seorang Ayah.Satu-satunya yang dapat memahami keadaannya adalah Tomi. Kemana Ranti pergi, selalu ada Tomi. Ibaratnya Ranti sepatu kanan. Tomi sepatu kiri.Ranti seringkali menangis dalam kesendiriannya. Dan, hampir setiap hari ingin melukai dirinya. Agar dia pergi dari dunia.Toh, Ibunya juga tidak akan peduli. Mungkin, dia akan menari bahagia. Setidaknya itu yang di pikirkannya.Peringatan hari Ayah dan hari Ibu.. adalah hari yang sangat di benci olehnya. Picingan ejekan yang di lempar kawan-kawan sekelasnya, membuat nyalinya semakin menciut. Mengepalkan tangan, untuk menahan tangis.Tetapi, selalu saja ada pahlawan hebat yang menghiburnya. Menjadi tamengnya."Ranti!" panggil Tomi, yang berlari dari kejauhan.Melihat Ranti duduk di kantin seorang diri. Dengan meja yang kosong. "Hari ini, kau tidak makan
Pukul 15.00 saat ini. Langit mendadak mendung. Dalam hitungan detik hujan turun. Farel dan Ranti yang baru saja dari warung makan di mana jaraknya sekitar 50 meter dari toko kaset Farel.. harus berlari untuk menghindari air hujan.Cukup basah kuyup seragam Ranti dan pakaian Farel."Aduh, kau bisa masuk angin nanti," kata Farel. Begitu keduanya sudah di dalam toko."Tidak apa-apa. Sudah biasa.""Sudah biasa masuk angin?""Ya begitulah. Lebih baik, aku langsung pulang saja.""Hujan masih deras. Tunggu reda. Nanti aku antar kau pulang. Ada pakaian kering di dalam. Kau ganti pakaian dulu saja.""Ah, tidak perlu. Aku pakai ini saja.""Ranti.. kau bisa sakit. Sekarang hujan pertama di bulan ini. Tubuh kita juga perlu penyesuaian. Cepatlah, ganti baju.""Baiklah."Ranti berjalan ke arah pintu yang ada di sebelah meja kasir.Toko kaset Farel ini memang menyambung dengan rumah huniannya. Saat masuk ke dalam pintu sebelah meja kasir, akan di sambut dengan gudang penyimpanan barang. Kemudian, se