Mila yang baru saja masuk ke dalam kamar, segera terbelalak melihat Hara tersungkur di lantai."HARA!" pekiknya. Berlari mendekati Hara. Membantunya berdiri.Pipinya merah. Akibat pukulan Rendi."Kau tak puas dengan melukai hati Diara. Sekarang, kau melukai fisiknya! Hah?!""Rendi.. bukan seperti itu," kata Diara. Mendekati Rendi."Kau jangan membelanya lagi. Aku sudah cukup muak dengan laki-laki brengsek ini!""Beraninya kau memukul suamiku?! Kau di sini cuma menumpang!""Ya, aku di sini bukan siapa-siapa! Tapi, aku tidak peduli! Siapapun yang berani menyakiti Diara, harus berhadapan denganku!"Hara mendengus."Benar dugaanku, eh? Kau menyukai Diara.""Lantas, kenapa kalau aku menyukai dirinya? Dia.. bukan milik siapa-siapa. Kau, juga tidak berhak melarang siapapun untuk menyukainya sekarang!""AKU MASIH SUAMINYA! MASIH SAH DALAM AGAMA! KAU YANG MENJADI SAKSINYA WAKTU ITU!""KAU MASIH BERANGGAPAN DIA ADALAH ISTRIMU?!""Ya! AKU MASIH SUAMI DIARA! AKU MASIH SANGAT MENCINTAINYA!""Kau!
"Iya. Aku Mi-" "Mila, bisa kau tunggu di luar sebentar? Aku ingin bicara dengan Bu Lia." "Mau membicarakan apa?" "Tunggu saja di luar. Tanpa ada pertanyaan." Mila berdecak kesal. Berdiri. Menghentakkan kaki ke lantai. Berulang. Lalu, keluar dari ruangan. "Apa benar dia-" ""Iya. Dia Ajeng. Anak dari Bibi Sinta—sahabat Ayah." "Ah.. sudah besar ternyata." "Sudah puluhan tahun yang lalu. Tentu saja, dia sudah besar." Bu Lia tersenyum. "Lantas, tujuanmu datang kemari untuk apa? Tak mungkin, untuk menunjukkan gadis itu padaku, kan?" Darel mendesah panjang. Tangannya bergumul. "Tadinya, aku ingin memberitahu dia. Soal identitas aslinya. Kalau dia, bukanlah anak dari Ayah dan Ibu." "Lalu, kau membatalkannya karena merasa kasihan?" "Salah satunya itu." "Yang lain?" Darel mendesah panjang. "Aku sudah lelah dijadikan tameng untuk adikku—yang bahkan Ibuku saja tidak melahirkannya. Setiap terjadi apa-apa dengan Mila, selalu aku yang di marahi oleh Ayah. Masalah-mas
Darel dan Mila baru saja tiba di rumah Haris. Sepanjang perjalanan, keduanya saling diam. Hening. Agaknya canggung. Itu yang di rasakan Darel."Ada apa kau ingin pulang? Rindu pada Ayah? Atau, Rindu pada Ibu?" tanya Darel. Sembari melepas sabuk pengaman.Mila mendengus."Untuk apa aku rindu pada orang tuamu?"Mila turun setelah mengatakan itu. Meninggalkan Darel yang masih tertegun mendengarnya. Bergegas ia turun, berlari dan meraih lengan Mila."Mila.. kau.. mendengar semuanya?""Mendengar apa?" tanya Mila. Wajahnya nampak kesal, ketika menengok pada Darel."Percakapanku dengan Bu Lia."Mila hanya diam. Tatapannya tajam. Menghempaskan tangan Darel. Berjalan masuk. Pergi ke lantai 2. Menuju ruangan Haris.Sebelumnya, saat di panti asuhan.. Mila sengaja tidak menutup pintu rapat-rapat. Untuk menguping pembicaraan Darel dan Bu Lia."Mila! Mila! Berhenti dulu. Dengarkan aku."Panggilan Darel belasan kali pun tak menghentikan langkahnya, yang penuh amarah. Membuka pintu ruangan Haris deng
Ranti. Gadis manis yang tak banyak bicara. Tak banyak tersenyum. Pun, susah untuk bahagia. Ia sulit untuk berkawan. Karena terlalu takut di hakimi atas hidupnya, yang tumbuh tanpa seorang Ayah.Satu-satunya yang dapat memahami keadaannya adalah Tomi. Kemana Ranti pergi, selalu ada Tomi. Ibaratnya Ranti sepatu kanan. Tomi sepatu kiri.Ranti seringkali menangis dalam kesendiriannya. Dan, hampir setiap hari ingin melukai dirinya. Agar dia pergi dari dunia.Toh, Ibunya juga tidak akan peduli. Mungkin, dia akan menari bahagia. Setidaknya itu yang di pikirkannya.Peringatan hari Ayah dan hari Ibu.. adalah hari yang sangat di benci olehnya. Picingan ejekan yang di lempar kawan-kawan sekelasnya, membuat nyalinya semakin menciut. Mengepalkan tangan, untuk menahan tangis.Tetapi, selalu saja ada pahlawan hebat yang menghiburnya. Menjadi tamengnya."Ranti!" panggil Tomi, yang berlari dari kejauhan.Melihat Ranti duduk di kantin seorang diri. Dengan meja yang kosong. "Hari ini, kau tidak makan
Pukul 15.00 saat ini. Langit mendadak mendung. Dalam hitungan detik hujan turun. Farel dan Ranti yang baru saja dari warung makan di mana jaraknya sekitar 50 meter dari toko kaset Farel.. harus berlari untuk menghindari air hujan.Cukup basah kuyup seragam Ranti dan pakaian Farel."Aduh, kau bisa masuk angin nanti," kata Farel. Begitu keduanya sudah di dalam toko."Tidak apa-apa. Sudah biasa.""Sudah biasa masuk angin?""Ya begitulah. Lebih baik, aku langsung pulang saja.""Hujan masih deras. Tunggu reda. Nanti aku antar kau pulang. Ada pakaian kering di dalam. Kau ganti pakaian dulu saja.""Ah, tidak perlu. Aku pakai ini saja.""Ranti.. kau bisa sakit. Sekarang hujan pertama di bulan ini. Tubuh kita juga perlu penyesuaian. Cepatlah, ganti baju.""Baiklah."Ranti berjalan ke arah pintu yang ada di sebelah meja kasir.Toko kaset Farel ini memang menyambung dengan rumah huniannya. Saat masuk ke dalam pintu sebelah meja kasir, akan di sambut dengan gudang penyimpanan barang. Kemudian, se
Sepeda onthel Tomi terparkir di luar lapangan basket, tempat biasa ia bermain bola oranye itu.Lapangan yang dibuat oleh pemerintah kota setempat. Untuk umum. Letaknya dekat dengan balai kota."Kau ingin bermain basket, tapi tak membawa bola?" tanya Ranti. Berjalan di belakang Tomi."Bolanya sebentar lagi datang kemari," jawab Tomi."Bolanya.. datang sendiri?"Tomi mengangguk."Hei, Tomi!" Seorang gadis berjalan mendekati Tomi dan Ranti. Membawa bola basket. Memakai seragam basket. Rambut kuncir kuda. Alis tebal. Kumis tipis sekali. Hidung besar sedikit mancung. Bibir tebal di bagian bawah. Tingginya hampir sama dengan Tomi. Ranti jadi kelihatan pendek di dekat keduanya."Wah, tumben sekali kau mengajak seorang perempuan?""Ah.. kebetulan tadi, dia main ke rumahku. Kau juga tahu, kan? Siapa dia?"Gadis itu menatap Ranti dengan kernyitan."Hei, kau Ranti, kan? Yang sering di hujat karena tak punya Ayah?"Ranti diam. Mulai mengepalkan jemarinya. Gadis itu menepuk lengan Ranti."Jangan
Sejak pertengkarannya dengan Haris.. Darel tidak pulang ke rumah. Ia bisa saja memakai uang di kartu debitnya untuk menyewa kamar di hotel atau membeli rumah. Namun, ia lebih memilih untuk ikut Diara tinggal di studio. Dia tidak ingin memakai sepeser pun uang yang ia dapatkan dari upah di perusahaan Ayahnya.Malam saat pertengkaran sebelumnya, Darel memberikan kunci studio pada Diara. Namun, dengan syarat Darel ikut tinggal di studio."Kau yakin?" tanya Diara. Begitu mereka ada di depan gedung studio.Darel mendesah panjang."Entah. Aku jalani saja dulu.""Dengar.. di sini memang ada kamar untuk istirahat. Tapi, tidak semewah di rumahmu. Tidak ada Bibi yang akan menyajikan sarapan atau makan malam untukmu.""Aku sudah mempersiapkan mental untuk itu.""Kau yakin?"Darel lagi-lagi mendesah."Harus berapa kali aku mengatakannya?""Baiklah. Ikuti aku."Diara membuka gembok dan rantai yang menutup pintu Studio. Membuangnya jauh-jauh kemudian."Eh? Kenapa kau membuangnya?" tanya Darel."Aga
Mi dalam kemasan cup sudah dibawa masing-masing anggota, yang kini berjumlah 11 orang. Darel termasuk. Duduk di lantai panggung. Melingkar.Semua makan dengan lahap. Kecuali, Darel. Ia hanya memandangi mi dan mereka secara bergantian."Kenapa kau tak makan?" tanya Diara, yang ada di ujung lain. Di depan Darel."Kau yakin ini sarapan? Ini sangat tidak sehat. Sebagai warga Indonesia, sarapan pokok adalah nasi dan lauk. Juga, jus atau susu hangat. Ini tidak akan memberi kalian tenaga."Penjelasan yang 100 persen benar itu, membuat seluruh anggota melempar picingan tajam pada Darel, yang kini hanya bisa menundukkan kepala. Lantas, berdeham gugup."Cepat makan," kata Diara.Darel mulai mengambil mi menggunakan garpu plastik, meniupnya. Dan, menyeruputnya."Hm? Ini..""Kenapa? Enak, kan?" tanya Evan, yang duduk di sebelah kirinya."Seingat ku.. rasanya tidak seperti ini. Kenapa ini rasanya hambar?""Kapan terakhir kau makan mi?""Waktu aku kecil.""Hei, itu sudah lama sekali. Memang, begitu