Sejak pertengkarannya dengan Haris.. Darel tidak pulang ke rumah. Ia bisa saja memakai uang di kartu debitnya untuk menyewa kamar di hotel atau membeli rumah. Namun, ia lebih memilih untuk ikut Diara tinggal di studio. Dia tidak ingin memakai sepeser pun uang yang ia dapatkan dari upah di perusahaan Ayahnya.Malam saat pertengkaran sebelumnya, Darel memberikan kunci studio pada Diara. Namun, dengan syarat Darel ikut tinggal di studio."Kau yakin?" tanya Diara. Begitu mereka ada di depan gedung studio.Darel mendesah panjang."Entah. Aku jalani saja dulu.""Dengar.. di sini memang ada kamar untuk istirahat. Tapi, tidak semewah di rumahmu. Tidak ada Bibi yang akan menyajikan sarapan atau makan malam untukmu.""Aku sudah mempersiapkan mental untuk itu.""Kau yakin?"Darel lagi-lagi mendesah."Harus berapa kali aku mengatakannya?""Baiklah. Ikuti aku."Diara membuka gembok dan rantai yang menutup pintu Studio. Membuangnya jauh-jauh kemudian."Eh? Kenapa kau membuangnya?" tanya Darel."Aga
Mi dalam kemasan cup sudah dibawa masing-masing anggota, yang kini berjumlah 11 orang. Darel termasuk. Duduk di lantai panggung. Melingkar.Semua makan dengan lahap. Kecuali, Darel. Ia hanya memandangi mi dan mereka secara bergantian."Kenapa kau tak makan?" tanya Diara, yang ada di ujung lain. Di depan Darel."Kau yakin ini sarapan? Ini sangat tidak sehat. Sebagai warga Indonesia, sarapan pokok adalah nasi dan lauk. Juga, jus atau susu hangat. Ini tidak akan memberi kalian tenaga."Penjelasan yang 100 persen benar itu, membuat seluruh anggota melempar picingan tajam pada Darel, yang kini hanya bisa menundukkan kepala. Lantas, berdeham gugup."Cepat makan," kata Diara.Darel mulai mengambil mi menggunakan garpu plastik, meniupnya. Dan, menyeruputnya."Hm? Ini..""Kenapa? Enak, kan?" tanya Evan, yang duduk di sebelah kirinya."Seingat ku.. rasanya tidak seperti ini. Kenapa ini rasanya hambar?""Kapan terakhir kau makan mi?""Waktu aku kecil.""Hei, itu sudah lama sekali. Memang, begitu
7 hari sebelum penculikan"Rama.. Kau tahu betapa aku sangat mencintaimu. Aku, aku hampir gila karena berita kecelakaan mu itu," ucap Mila yang tengah berlakon dengan Hara."Rama? Sepertinya, kau salah orang. Aku bukan Rama.""Apa? Tidak.. kau adalah Rama. Kau Rama-ku. Kenapa kau seperti ini?!""Namaku bukan Rama. Sebenarnya siapa kau?""Ini aku. Sarah. Kau tidak ingat padaku? Apa kau hilang ingatan?""Aku tidak mengenal seseorang bernama Sarah. Kau benar-benar salah orang, Nona."Mila tiba-tiba mendekati Hara. Dan, mencium bibir Hara. Semua anggota yang menunggu giliran berlakon, terbelalak melihatnya."CUT!" teriak Diara. Berjalan ke atas panggung, dengan membawa naskah di tangan kanan.Mila menghentikan ciumannya."Mila! Sudah aku ingatkan berulang kali! Tidak ada adegan ciuman di bagian ini," lanjut Diara. Mendesah singkat. Tangan kirinya ditekuk di pinggang."Oh, benarkah? Maaf, Aku tidak tahan melihat bibir suamiku yang seksi ini.""Wah.. dia benar-benar gadis gila," kata Selly
"Kita hidup hanya sekali. Dan, untuk diri kita sendiri. Jangan mau diperumit orang lain," kata Rendi."Itu.. kata-katamu saat kita pertama kali bertemu, kan? Kau ingat?" lanjut Rendi.Diara tersenyum."Tentu aku ingat. Dari semua anggota teater.. penampilan yang paling menyedihkan dulu.""Hmm.. ingin menyangkal, tapi itu benar. Yang pasti, aku cuma ingin mengingatkan saja. Kau.. setegas itu dulu. Kau selalu mengucapkan kata-kata itu setiap kita akan mulai latihan. Membuat aku dan yang lain menjadi bangga akan diri kita sendiri. Kau takkan membiarkan siapapun menghalangi jalanmu. Dimana Diara yang dulu?"Diara mendesah panjang."Kau benar. Diara yang dulu... Sudah menghilang. Entah sejak kapan.""Kenapa orang kaya selalu menjengkelkan?""Sebenarnya, bukan hanya orang kaya. Bahkan, orang-orang miskin seperti kita juga banyak yang menjengkelkan. Tapi, entah kenapa.. mereka yang memiliki banyak uang, berlagak mengatur semua yang dilakukan oleh orang di bawahnya.""Karena mereka merasa ber
1991Sebelum Diara melakukan perjalanan waktuHampir setiap hari Tomi datang ke rumah Ranti. Berharap sahabatnya itu sudah pulang ke rumah. Ini hari yang ke-20 Ranti pergi dari rumah. Tak ada yang tahu alasan dia pergi. Hanya saja, ada sedikit keanehan pada dirinya, saat hari kelulusan."Hei, Sayang.. kau tak ingin tanda tangan di seragamku?" tanya Sinta. Menunjukkan punggungnya.Ranti tersenyum. Dan, menandatangani seragam Sinta menggunakan spidol hitam. Euforia kelulusan terjadi di semua SMA di kota ini. Pun, juga ada yang bersedih karena tak lulus. Dan, harus mengulang 1 tahun lagi.Ada 2 orang kawan sekelas Ranti yang tidak lulus sekolah. Terlihat, ia hanya duduk lemas di depan kelas. Sementara, beberapa yang lain melompat kegirangan. Beberapa lagi saling mencoret seragam. Beberapa lagi, berpelukan sedih. Karena, akan melepas masa putih abu-abu."Wah, rasanya baru kemarin kita ujian Ebtanas," kata Tomi, yang seragam putihnya sudah penuh dengan coretan."Iya. Rasanya kepalaku yang
2 Hari Sebelum Pernikahan Haris"Menikah? Aku baru saja di terima di ICL. Ayah tahu, kan? Betapa sulitnya masuk ke kampus itu?"Haris dan Ayahnya tengah berdebat di ruang kerja Sang Ayah."Setelah menikah, kau masih bisa melanjutkan kuliah di sana.""Tapi, aku masih terlalu muda untuk menikah. Bukankah, ini juga terlalu cepat?""Ayah dan Ibu dulu juga menikah muda. Dan, lihat.. Ayah masih bisa sukses, kan?"Haris mendesah singkat."Tapi.. aku berbeda denganmu. Aku tidak mau menikah muda. Aku akan menikah di saat aku sudah siap.""Jadi, kau ingin membantah perintahku? Kau sudah bisa mandiri?"Haris terdiam. Mendesah panjang."Kenapa.. aku tidak bisa hidup sesuai dengan keinginanku?""Hidup sesuai keinginanmu?"Ayah Haris mendengus."Selama kau tinggal bersamaku.. kau harus hidup sesuai keinginanku. Itu.. yang dilakukan Kakekmu padaku.""Tapi, aku bukan Ayah.""Tapi, kau anakku. Kalau kau tidak ikuti peraturanku.. kau tidak bisa tinggal di sini.""Tapi, kenapa harus menikah? Aku belum s
1992"Kau di mana? Ini hari minggu. Tak mungkin kau ada di kantor, kan?"Sekar tengah menelepon Haris."Aku ada urusan dengan Tomi. Ada apa?""Kau.. sedang mencari Ranti lagi?""Bukan urusanmu.""Tentu saja urusanku. Kau suamiku!""Sudah aku katakan sejak awal, kan? Sekalipun kita terikat dalam pernikahan.. aku tidak bisa berperan menjadi suamimu.""Sebenarnya, ada apa kau meneleponku?"Sekar menghela napas panjang."Aku ingin makan mi pedas yang ada di dekat kantormu. Kata orang-orang ini yang di sebut ngidam.""Bilang Pak Doni. Biar dia mengantarmu.""Tapi, aku ingin makan denganmu.""Jangan manja! Biar aku hubungi Pak Doni.""Manja? Bukan aku yang ingin itu sebenarnya. Tapi, anakmu.""Kau baru hamil 4 bulan. Bahkan, perutmu saja belum membesar. Sudah! Aku sibuk!"Haris memutus telepon. Meninggalkan Sekar yang termenung, dengan tangan kanan masih memegang telepon yang berbentuk seperti kalkulator, namun lebih ramping. Dengan antena ujung hitam, yang dapat ditarik memanjang. Layar ke
Ada sebuah istilah tentang Langit dan Lautan ; Jangan berharap setinggi langit, kalau tak mau jatuh sakit ke dalam lautan. Dalam hidup, manusia selalu berekspektasi tinggi soal indahnya kekompakan keluarga, senangnya mendapat pekerjaan dengan lingkungan yang hangat— atasan yang super baik, atau bahagianya saling mencintai dengan pasangan.Tapi.. manusia terkadang lupa—jika, hidup bukan hanya tentang kebahagiaan. Juga, soal pengorbanan, kesedihan, dan carut marutnya. Realitanya, banyak orang tua yang berpisah. Membuat sang anak tumbuh dengan trauma mendalam. Banyak perusahaan yang tidak memanusiakan pegawainya. Mereka di tuntut sempurna dalam pekerjaan—namun, tidak pernah di apresiasi. Bahkan, upahnya sangat kecil.Juga, cinta yang bertepuk sebelah tangan. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari cinta yang tak berbalas. Ada yang mengatakan, jika lebih baik hidup dengan seseorang yang kita cintai. Ada juga yang bilang, menua lah bersama orang yang mencintaimu. Tidak. Itu salah besar. Jau