2 Hari Sebelum Pernikahan Haris"Menikah? Aku baru saja di terima di ICL. Ayah tahu, kan? Betapa sulitnya masuk ke kampus itu?"Haris dan Ayahnya tengah berdebat di ruang kerja Sang Ayah."Setelah menikah, kau masih bisa melanjutkan kuliah di sana.""Tapi, aku masih terlalu muda untuk menikah. Bukankah, ini juga terlalu cepat?""Ayah dan Ibu dulu juga menikah muda. Dan, lihat.. Ayah masih bisa sukses, kan?"Haris mendesah singkat."Tapi.. aku berbeda denganmu. Aku tidak mau menikah muda. Aku akan menikah di saat aku sudah siap.""Jadi, kau ingin membantah perintahku? Kau sudah bisa mandiri?"Haris terdiam. Mendesah panjang."Kenapa.. aku tidak bisa hidup sesuai dengan keinginanku?""Hidup sesuai keinginanmu?"Ayah Haris mendengus."Selama kau tinggal bersamaku.. kau harus hidup sesuai keinginanku. Itu.. yang dilakukan Kakekmu padaku.""Tapi, aku bukan Ayah.""Tapi, kau anakku. Kalau kau tidak ikuti peraturanku.. kau tidak bisa tinggal di sini.""Tapi, kenapa harus menikah? Aku belum s
1992"Kau di mana? Ini hari minggu. Tak mungkin kau ada di kantor, kan?"Sekar tengah menelepon Haris."Aku ada urusan dengan Tomi. Ada apa?""Kau.. sedang mencari Ranti lagi?""Bukan urusanmu.""Tentu saja urusanku. Kau suamiku!""Sudah aku katakan sejak awal, kan? Sekalipun kita terikat dalam pernikahan.. aku tidak bisa berperan menjadi suamimu.""Sebenarnya, ada apa kau meneleponku?"Sekar menghela napas panjang."Aku ingin makan mi pedas yang ada di dekat kantormu. Kata orang-orang ini yang di sebut ngidam.""Bilang Pak Doni. Biar dia mengantarmu.""Tapi, aku ingin makan denganmu.""Jangan manja! Biar aku hubungi Pak Doni.""Manja? Bukan aku yang ingin itu sebenarnya. Tapi, anakmu.""Kau baru hamil 4 bulan. Bahkan, perutmu saja belum membesar. Sudah! Aku sibuk!"Haris memutus telepon. Meninggalkan Sekar yang termenung, dengan tangan kanan masih memegang telepon yang berbentuk seperti kalkulator, namun lebih ramping. Dengan antena ujung hitam, yang dapat ditarik memanjang. Layar ke
Ada sebuah istilah tentang Langit dan Lautan ; Jangan berharap setinggi langit, kalau tak mau jatuh sakit ke dalam lautan. Dalam hidup, manusia selalu berekspektasi tinggi soal indahnya kekompakan keluarga, senangnya mendapat pekerjaan dengan lingkungan yang hangat— atasan yang super baik, atau bahagianya saling mencintai dengan pasangan.Tapi.. manusia terkadang lupa—jika, hidup bukan hanya tentang kebahagiaan. Juga, soal pengorbanan, kesedihan, dan carut marutnya. Realitanya, banyak orang tua yang berpisah. Membuat sang anak tumbuh dengan trauma mendalam. Banyak perusahaan yang tidak memanusiakan pegawainya. Mereka di tuntut sempurna dalam pekerjaan—namun, tidak pernah di apresiasi. Bahkan, upahnya sangat kecil.Juga, cinta yang bertepuk sebelah tangan. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari cinta yang tak berbalas. Ada yang mengatakan, jika lebih baik hidup dengan seseorang yang kita cintai. Ada juga yang bilang, menua lah bersama orang yang mencintaimu. Tidak. Itu salah besar. Jau
2024Saat Diara dan Sekar berbincang"Wajahmu.. sangat mirip sekali dengannya.""Dengan siapa?"Hening untuk sesaat. Dan,"Ranti—wanita yang sangat di cintai Haris. Aku.. melihatnya saat dia meregang nyawa ketika itu."Mata Diara melebar."Apa??"Sekar menangis. Berlutut di hadapan Diara."Maafkan aku. Aku benar-benar sangat takut ketika itu. Aku melihat Ranti berusaha untuk melepaskan diri dari jerat tali itu. Aku ingin membantunya. Tapi.. di sisi lain, aku.. aku berharap dia mati."Sekar terisak. Menundukkan kepala. Sementara, Diara bingung harus bagaimana meresponnya. Marah? Tentu, ingin. Tapi.. siapapun yang ada di posisi Sekar, juga akan bereaksi seperti itu. Ingin menolong tapi takut. Sedih? Rasanya.. itu sudah tidak bisa di lakukan. Mengingat, Diara tak pernah dekat dengan Ibunya. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah mendesah panjang. Terkejut? Pasti."Karena itu? Kondisimu menjadi seperti ini? Kau.. merasa bersalah tidak dapat menyelamatkan Ibuku?"Sekar berhenti menangi
1991Saat Hari KelulusanUsai menghabiskan waktu bersama 3 temannya, Ranti pulang dan mulai mengemasi barangnya. Dengan air mata yang menetes.Koper cokelat milik Maya pun dibawanya. Naik bus di hari senja. Tatapan nanar nya melihat ke arah luar. Sesekali mengusap pipinya yang basah.Orang-orang pulang kerja. Ibu dan anak yang baru keluar dari toko mainan. Seorang Bapak pedagang bakso mendorong gerobaknya. Warung pecel lele yang menata meja. Dan, seorang pengamen yang baru saja naik ke bus. Mulai memainkan gitarnya.Semua itu.. membuat tangisan Ranti yang tanpa suara semakin menyakitkan."Kenapa.. Kenapa Tuhan? Kenapa aku tidak bisa hidup normal seperti yang lain? Kenapa kau terus memberiku cobaan? Aku.. tidak sanggup."Bahkan, sampai dia tiba di tempat tujuan pun masih sedikit terisak. Ia turun di persimpangan jalan. Dan, berjalan ke arah kirinya. Menapaki jalanan masuk ke permukiman, yang tidak beraspal.Tepat di ujung jalan, sedikit belok ke kanan—ada sebuah rumah dengan halaman lu
Esok paginya, Ranti bangun terlebih dahulu. Dan, terkejut bukan main melihat dirinya telanjang bulat. Bersama Haris di sebelahnya. Dengan kondisi yang sama. Degup jantungnya berdetak cepat. Tubuhnya gemetar. Bola matanya melihat tak tentu arah. Kacau pikirannya. Kalut hatinya. Dia tak ingat apapun kejadian kemarin. Terakhir yang di ingatnya hanyalah dia makan buah kecubung—lalu, kepalanya terasa pusing. Pandangannya berputar. Dan, berhalusinasi. Ia mendorong udara keluar dari mulut. Berusaha menenangkan diri. Namun, sangat sulit di lakukan. Memukul ranjang berulang kali. Membuat Haris menggeliat. Dan, Ranti pun berpura-pura tidur. Haris mendesis. "Kepalaku sakit," gumamnya. Ia turun dari ranjang. Dan, tersandung oleh bajunya sendiri. Membuat alisnya berkerut. Mengambil bajunya. Dan, menjerit. Lantas, segera menutup mulutnya dengan kedua tangan. Tersadar, jika dirinya telanjang. Reaksi yang sama dengan Ranti, di lakukan olehnya.Ia menengok pada Ranti yang masih telanjang dan memej
4 Hari Sebelum PenculikanDiara menatap dirinya dari cermin. Diam untuk sepersekian detik. Memperhatikan setiap jengkal wajahnya."Darel.. sangat mirip dengan Haris. Lalu, apakah aku mirip dengan Darel dan Haris?" gumamnya."Hmm.. sedikit mirip dari telinganya. Hei, telinga? Di mana-mana bentuknya hampir sama. Lalu.. apakah aku mirip dengan Hara?"Diara mengangkat satu alisnya."Banyak yang mengatakan aku mirip dengannya. Tapi, bukankah itu berarti dia memang jodohku? Hah? Jodoh apanya! Sekarang saja, dia sudah menikah dengan gadis brengsek itu.""Tapi.. kalau memang wajah pria bernama Farel itu mirip dengan Hara.. itu berarti Hara adalah anak Ayahku? Dan, yang artinya.."Diara terkesiap."Aku dan Hara adalah saudara? Wah, itu benar-benar plot twist ; alur yang tak terduga dalam hidupku.""DIARA! Kau ini sedang apa di kamar mandi?! Lama sekali!" pekik Mila dari luar. Mengetuk pintu dengan beringas.Diara mendesis."Gadis itu.. selalu membuat hidupku tidak tenang."Diara membuka pintu,
"Rel.. memangnya, rumah barumu sebesar apa? Sampai, kau mengajak kami untuk tinggal di sana?" tanya Selly. Duduk di sebelah Darel, yang tengah mengemudi.Diara dan Rendi ada di kursi belakang."Tidak juga. Sedikit kecil. Tapi.. aku tidak suka sendirian.""Lebih tepatnya, kau takut, kan?" sindir Rendi.Darel melirik Rendi dari kaca spion tengah."Hei, memangnya ada yang tidak takut hantu? Semua pasti takut hantu," ujar Darel."Aku tidak takut." Rendi menyombongkan diri.Dan, segera di patahkan oleh Selly."Rendi sangat penakut. Bahkan, saat melihat bayangannya sendiri di malam hari, ia terkejut.""Hah? Sungguh? Haha.""Hei, kapan aku begitu?! Kau ini ada-ada saja!""Wah, kau menolak lupa? Mau aku ceritakan lagi?""Berisik!" seru Rendi.Membuat Darel dan Selly tertawa. Tapi, tidak dengan Diara yang sejak tadi diam."Diara? Kenapa sejak tadi kau diam saja? Tidak enak badan?" tanya Darel."Tidak. Dia sedang memikirkan Hara, tentu saja," sahut Selly."Hei, kenapa kau masih memikirkan dia?
Diara melebarkan mata. Tersenyum gembira."Kita sahabat?""Heh? Kau, sudah tak ingin berteman denganku? Wah.. keterlaluan sekali. Mentang-mentang, kau baru saja memenangkan penghargaan Sutradara terbaik, kau jadi melupakanku."Diara memeluk Selly erat-erat."Mana mungkin, aku bisa melupakanmu. Susah dan senang, kita selalu bersama.""Well, benar juga. Aku bisa sampai di titik ini, juga karena dirimu dan teatermu."Diara melepaskan pelukan."Lalu, ada urusan apa kau kemari? Juga, Darel.. kenapa kau di sini?""Aku ada rapat pembacaan naskah. Tapi, Diara.. kenapa kau bisa kenal dengan kekasihku?""Kekasihmu? Kalian.. berpacaran? Bagaimana bisa? Seharusnya, aku yang mempertemukan kalian. Wah, kalau memang sudah takdirnya, jodoh pun tak dapat di rubah.""Kau ini bicara apa?""Sayang.. kau kenal Diara?" lanjut Selly."Tidak. Apa.. kita pernah bertemu sebelumnya? Aku lihat-lihat, wajahmu juga tidak asing bagiku.""Hehe. Mungkin, kau tidak kenal denganku. Tapi.. aku sangat mengenalmu. Terutam
1983 "Dian! Cepat!" Dian yang sedikit ragu, akhirnya berlari ke arah Sonia. Di saat yang sama, Tomi mendobrak pintu. Dan, mengacungkan senjata."BERHENTI! LEMPARKAN PISAU ITU KE SAMPING. DAN, ANGKAT TANGAN KALIAN!"Dian yang panik, segera melempar pisau. Dan, bergerak sesuai perintah."Itu juga berlaku untukmu, pria brengsek! kata Tomi pada Kardi."Wah.. Tomi terlihat keren. Seandainya, aku perempuan.. aku akan menikahinya," celetuk Haris.Membuat Diara mengerutkan dahi. Menatapnya heran. Sementara, Kardi melepaskan Sonia."Kalian berdua, merapat ke tembok. Dan, jangan pernah menengok ke belakang!" perintah Tomi.Setelah itu, Diara segera menghampiri Sonia."Kau, baik-baik saja?"Sonia yang masih syok, hanya bisa mengangguk."Farel.. Anakku.""Farel? Dia ada di mana?"Sonia menunjuk ke lantai atas. Diara bergegas ke lantai atas. Membuka pintu kamar. Terlihat, Farel tengah berdiri dengan badan gemetar, di sebelah pintu. Diara berlutut di depannya."Semuanya sudah berakhir, Farel. Ka
"Sudah berapa tahun kita tak bertemu?" tanya Haris. Duduk di sofa tunggal. Sementara, Tomi dan Diara duduk di sofa panjang. Di sebelah kirinya. "Entahlah. Mungkin sudah 30 tahun lebih? Sejak, kau menikah kita sudah tidak pernah bertemu," kata Tomi. Haris mengangguk. "Lalu, bagaimana kau tahu alamat rumahku? Apa.. kau memakai kekuatanmu menjadi Kepala Polisi, untuk melacak keberadaan ku?" Diara terbelalak. "Ayah, menjadi Kepala Polisi sekarang?" bisik Diara. "Oh.. Ayah belum cerita padamu?" "Wah.. keren sekali." Haris berdeham. Membuat Diara dan Tomi menatapnya. "Ah.. Diara yang memberitahu." Haris menatap Diara. "Dia.. anak Ranti?" Diara mendengus. Lalu, terkekeh. "Ayolah. Tidak perlu berpura-pura. Aku tahu.. kau mengingat semuanya." "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti," kata Haris. "Kau masih ingin berbohong? Kau ingin aku percaya? Kau, tidak mengingat segalanya? Oh, Ayolah. Pertama kali, kau melihatku dan Ayahku tadi, kau tidak terkejut. Dulu kalian bersah
1992Tomi tengah menggendong Diara, yang tengah menangis karena sakit. Badannya demam sudah 2 hari. Mengayun tubuhnya, agar Diara segera tertidur. Butuh kerja keras selama 20 menit, untuk membuat Diara tidur."Dia sudah tidur?" tanya Ranti. Baru saja selesai mencuci baju."Iya. Baru saja.""Berikan padaku."Diara terbangun, ketika Ranti menyentuh tangannya. Seketika, menangis. Tomi mulai mengayun tubuhnya lagi."Biar aku saja," kata Tomi.Ranti mendesah singkat."Maaf, jadi merepotkan mu.""Hei, dia juga anakku. Kenapa harus mengatakan seperti itu.""Tapi, tetap saja..""Ingat, Ranti. Dia adalah anakku. Bukan anak orang kaya itu. Jadi.. jangan pernah sebutkan nama itu di depan Diara atau di depanku. Kau mengerti?"Ranti mengangguk paham.Keduanya menikah, saat usia kandungan Ranti masih 10 minggu. Tomi bergegas memberitahu orang tuanya, untuk segera meminang Ranti. Namun, Tomi juga menjelaskan kondisi Ranti. Cukup terkejut dengan itu, tapi, Tomi menjelaskan dengan baik. Dengan berat
2024Diara, Haris, dan Ranti saling berhadapan."Semuanya sudah berakhir, Bu. Kami.. berhasil menangkap Farel."Ranti tersenyum. Mendekati Diara. Menggenggam kedua tangannya."Kau sudah bekerja keras. Terima kasih, Diara.""Sekarang, Ibu bisa kembali ke sana dengan tenang. Jalani hidupmu yang sebelumnya hancur, karena laki-laki itu. Dan.. coba perbaiki hubunganmu dengan Nenek. Kau hanya perlu bersikap manis. Sesekali, makan bersama dengannya."Ranti mengangguk."Aku akan melakukan itu."Mata Ranti berkaca-kaca. Memeluk Diara."Maafkan Ibu, Diara. Selama ini, kau hidup dengan sangat tersiksa.""Tidak, Bu. Aku sudah cukup bahagia, bersama Bu Lia dan teman-temanku. Sampai jumpa di masa depan, Bu.""Kita bertemu lagi di masa kecilmu, ya? Ibu.. akan selalu ada di sampingmu sekarang."Setelahnya, Haris mengantarkan Ranti kembali ke masanya.Sekarang.. semuanya, akan baik-baik saja, kan?**"Ibu? Ibu? Di mana kau? Ibu?? Aku berhasil mengubahnya. Ibu?!"Diara berdiri di dapur, dengan terengah
Beberapa Jam Sebelum PenangkapanDiara dan yang lain kembali ke markas. Baru saja, selesai mengobati luka Haris dan Sinta."Hei, ada apa dengan Tomi?" tanya Haris pada Sinta. Tomi nampak lesu. Duduk di sudut. Sementara, Diara membereskan kotak obat."Laki-laki yang hampir menabrak ku tadi adalah kekasih Ranti," bisik Sinta."APA?" Haris nyaris berteriak."Pelan kan suaramu!""Tunggu.. jadi.. Ranti selingkuh dari Tomi?""Aku juga tidak tahu. Tapi, dari pengamatanku.. sepertinya, laki-laki tadi adalah kekasih pertama Ranti.""Jadi.. Tomi yang menjadi selingkuhannya?""Hmm, sepertinya tidak juga.""Lalu, bagaimana ceritanya? Kau ini, kalau bicara jangan sepotong demi sepotong. Menjengkelkan sekali."Sinta berdecak kesal. Lalu, berdeham."Ini menurutku.. cinta Tomi bertepuk sebelah tangan. Dan, mereka sebenarnya tidak pernah ada hubungan. Hanya saja, Tomi menganggap Ranti menerima cintanya. Kau tahu, kan? Ranti itu sangat baik hati. Dia.. tidak tega untuk mengatakan pada Tomi, jika ia su
Diara berada di markas DMA bersama yang lain. Mengulang kejadian, di saat mereka membahas kasus Rima. "Rima-""Anak kelas 2. IPA. Rambut keriting. Kulit sawo matang. Tinggi 145 senti. Menghilang 7 hari yang lalu. Saat perjalanan pulang sekolah," sahut Diara. Memotong kalimat Tomi."Yap. Betul kata Ranti.""Orang tuanya sudah melapor. Namun, polisi belum menemukan petunjuk. Karena, si pelaku tidak meninggalkan jejak," jelas Diara.Tomi mendengus."Terima kasih, Sayang. Kau menjelaskan dengan sangat sempurna."Diara menggerakkan dua alisnya ke atas."Tidak ada saksi?" Sinta bertanya.Tomi menggeleng. Dan, Diara mendesah singkat."Kali ini, kalimatku akan cukup panjang," gumamnya, dengan nada lelah."Dia menghilang saat pulang sekolah. Itu sekitar pukul 13.00. Di sekitar jam itu kemungkinan jalanan sepi. Tapi, tidak menutup kemungkinan ada pemakai jalan yang lewat," ulas Diara. Lalu, mendesah panjang."Oh, bisakah kita segera pergi ke lokasinya? Tak jauh dari sini, kan? Haris ada 2 moto
Ketika manusia akan bertemu dengan ajalnya, maka.. akan di putarkan kisah hidupnya dari sejak ia di lahirkan, hingga di detik akhir hidupnya.Banyak manusia akan sangat menyesali perbuatannya semasa hidup. Tapi, juga akan banyak yang bersyukur dengan hidup yang ia jalani.Termasuk, manusia yang bergelar Ibu. Perjalanannya menjadi seorang Ibu, akan kembali di putar di hadapannya. Saat, berusaha untuk hamil. Lalu, mendapat kabar jika rahimnya sudah terisi malaikat kecil. Menjaganya sepenuh hati. Sampai, janin membesar dan sehat sempurna. Dan, ketika tiba janin tersebut di lahirkan. Bertaruh nyawa. Setengah mati. Menggendong bayinya pertama kali. Menyusui. Terjaga di setiap malam. Dia nikmati sendiri. Melihat senyuman pertama bayinya. Merasakan genggaman tangan mungil bayinya. Hingga, ia tumbuh besar. Kasih sayangnya, tak akan pernah pupus.Gambaran itu yang juga di lihat Ranti di sisa-sisa nafasnya, saat nyawanya hampir menghilang. Tersenyum dengan kesakitan. Tetesan air matanya untuk
"Haris.. kita perlu bicara," kata Sekar. Berdiri, agak jauh di belakangnya.Haris meletakkan kembali gagang telepon. Berbalik badan. Menatap Sekar lamat-lamat."Oh.. ada apa?"Sekar mendengus."Ada apa katamu? Dari mana saja kau?""Aku ada urusan.""Sangat penting urusanmu? Sampai, kau membiarkan Ayah dan Ibuku, menunggu di Restoran berjam-jam lamanya?"Haris tercengang. Menahan napas 1 detik."Ah.. maafkan aku. Aku.. lupa.""Lupa katamu? Tadi pagi, aku sudah mengingatkanmu, kan?""Iya. Aku minta maaf. Aku benar-benar lupa. Nanti, biar aku menelepon Ayah dan Ibu, hm?"Sekar mendesah kesal."Kau.. masih berusaha mencari Ranti? Itu alasanmu tak datang tadi?"Haris diam. Menundukkan kepala."Kau tidak bisa menjawab? Yang artinya.. kau memang sengaja tidak datang tadi, karena tengah mencari Ranti. Kau sangat tega sekali, Haris."Haris membasahi bibirnya. Berjalan mendekat pada Sekar."Sungguh.. maafkan aku. Bagaimana, aku bisa menebus kesalahanku?"Sekar mengerutkan dahi."Kau.. benar Har