1991Saat Hari KelulusanUsai menghabiskan waktu bersama 3 temannya, Ranti pulang dan mulai mengemasi barangnya. Dengan air mata yang menetes.Koper cokelat milik Maya pun dibawanya. Naik bus di hari senja. Tatapan nanar nya melihat ke arah luar. Sesekali mengusap pipinya yang basah.Orang-orang pulang kerja. Ibu dan anak yang baru keluar dari toko mainan. Seorang Bapak pedagang bakso mendorong gerobaknya. Warung pecel lele yang menata meja. Dan, seorang pengamen yang baru saja naik ke bus. Mulai memainkan gitarnya.Semua itu.. membuat tangisan Ranti yang tanpa suara semakin menyakitkan."Kenapa.. Kenapa Tuhan? Kenapa aku tidak bisa hidup normal seperti yang lain? Kenapa kau terus memberiku cobaan? Aku.. tidak sanggup."Bahkan, sampai dia tiba di tempat tujuan pun masih sedikit terisak. Ia turun di persimpangan jalan. Dan, berjalan ke arah kirinya. Menapaki jalanan masuk ke permukiman, yang tidak beraspal.Tepat di ujung jalan, sedikit belok ke kanan—ada sebuah rumah dengan halaman lu
Esok paginya, Ranti bangun terlebih dahulu. Dan, terkejut bukan main melihat dirinya telanjang bulat. Bersama Haris di sebelahnya. Dengan kondisi yang sama. Degup jantungnya berdetak cepat. Tubuhnya gemetar. Bola matanya melihat tak tentu arah. Kacau pikirannya. Kalut hatinya. Dia tak ingat apapun kejadian kemarin. Terakhir yang di ingatnya hanyalah dia makan buah kecubung—lalu, kepalanya terasa pusing. Pandangannya berputar. Dan, berhalusinasi. Ia mendorong udara keluar dari mulut. Berusaha menenangkan diri. Namun, sangat sulit di lakukan. Memukul ranjang berulang kali. Membuat Haris menggeliat. Dan, Ranti pun berpura-pura tidur. Haris mendesis. "Kepalaku sakit," gumamnya. Ia turun dari ranjang. Dan, tersandung oleh bajunya sendiri. Membuat alisnya berkerut. Mengambil bajunya. Dan, menjerit. Lantas, segera menutup mulutnya dengan kedua tangan. Tersadar, jika dirinya telanjang. Reaksi yang sama dengan Ranti, di lakukan olehnya.Ia menengok pada Ranti yang masih telanjang dan memej
4 Hari Sebelum PenculikanDiara menatap dirinya dari cermin. Diam untuk sepersekian detik. Memperhatikan setiap jengkal wajahnya."Darel.. sangat mirip dengan Haris. Lalu, apakah aku mirip dengan Darel dan Haris?" gumamnya."Hmm.. sedikit mirip dari telinganya. Hei, telinga? Di mana-mana bentuknya hampir sama. Lalu.. apakah aku mirip dengan Hara?"Diara mengangkat satu alisnya."Banyak yang mengatakan aku mirip dengannya. Tapi, bukankah itu berarti dia memang jodohku? Hah? Jodoh apanya! Sekarang saja, dia sudah menikah dengan gadis brengsek itu.""Tapi.. kalau memang wajah pria bernama Farel itu mirip dengan Hara.. itu berarti Hara adalah anak Ayahku? Dan, yang artinya.."Diara terkesiap."Aku dan Hara adalah saudara? Wah, itu benar-benar plot twist ; alur yang tak terduga dalam hidupku.""DIARA! Kau ini sedang apa di kamar mandi?! Lama sekali!" pekik Mila dari luar. Mengetuk pintu dengan beringas.Diara mendesis."Gadis itu.. selalu membuat hidupku tidak tenang."Diara membuka pintu,
"Rel.. memangnya, rumah barumu sebesar apa? Sampai, kau mengajak kami untuk tinggal di sana?" tanya Selly. Duduk di sebelah Darel, yang tengah mengemudi.Diara dan Rendi ada di kursi belakang."Tidak juga. Sedikit kecil. Tapi.. aku tidak suka sendirian.""Lebih tepatnya, kau takut, kan?" sindir Rendi.Darel melirik Rendi dari kaca spion tengah."Hei, memangnya ada yang tidak takut hantu? Semua pasti takut hantu," ujar Darel."Aku tidak takut." Rendi menyombongkan diri.Dan, segera di patahkan oleh Selly."Rendi sangat penakut. Bahkan, saat melihat bayangannya sendiri di malam hari, ia terkejut.""Hah? Sungguh? Haha.""Hei, kapan aku begitu?! Kau ini ada-ada saja!""Wah, kau menolak lupa? Mau aku ceritakan lagi?""Berisik!" seru Rendi.Membuat Darel dan Selly tertawa. Tapi, tidak dengan Diara yang sejak tadi diam."Diara? Kenapa sejak tadi kau diam saja? Tidak enak badan?" tanya Darel."Tidak. Dia sedang memikirkan Hara, tentu saja," sahut Selly."Hei, kenapa kau masih memikirkan dia?
Ketika Di Rumah Mila "Kau mau kemana? Kenapa menyeret kopermu begitu?" tanya Hara. Menghalangi langkah Diara, saat di lantai bawah. "Aku akan keluar dari rumah ini." "Kenapa?" "Hanya ingin pindah saja." "Kenapa?" Diara mendengus. "Kau serius? Ingin mendengarkan alasanku?" "Ya. Kenapa?" "Aku tidak tahan melihatmu dengan Mila." Hara mendesah singkat. "Lantas, kau mau tinggal di mana?" "Di rumah Darel. Bersama Rendi dan Selly." "Tidak. Aku tidak mengizinkanmu." "Memangnya, kau si-" Kalimat Diara terputus, karena Hara tiba-tiba mencium bibirnya dengan singkat. Lantas, menggandeng tangan Diara. Mengajaknya masuk ke kamar yang di huni Darel—ketika itu, sedang kosong. Hara mengunci pintu. "Apa yang kau lakukan?" "Aku tidak tahan lagi, Ra. Aku sangat merindukanmu. Aku juga tersiksa dengan ini semua." "Tidak usah berpura-pura. Kau menikmati ini semua. Bahkan, kau bisa tidur sekamar dengan Mila." "Apa kau tahu? Aku benar-benar tidur seranjang dengannya?" "Haruskah aku tahu
"Kau ini memang laki-laki yang misterius," kata Selly."Banyak yang bilang begitu memang."Perut Darel bergemuruh setelah itu."Kau, lapar? Aku juga. Di kulkas, tidak ada makanan?""Aku belum sempat belanja. Tapi.. seingat ku ada mi instan di rak dapur atas.""Oh, benarkah? Biar aku periksa."Keduanya lalu pergi ke dapur, yang ada di ujung lorong. Pintu-pintu kamar utama, saling berdampingan, setelah tangga. Sementara, 2 kamar tamu, ada di seberangnya. Di tengah-tengah di letakkan sofa dan karpet di bawahnya. Di depan sofa ada sebuah TV.Dan, tepat di sebelah meja TV, terdapat lorong pendek, yang menuju dapur. Juga, kamar mandi untuk para tamu. Karena, hanya kamar utama, yang memiliki kamar mandi dalam.Selly berjinjit untuk membuka rak, yang ada di atas kompor. Namun, tetap saja tak sampai. Hingga, Darel berdiri tepat di belakangnya, untuk membukanya.Selly cukup terkejut akan itu, sampai takut untuk berbalik."Oh.. ada," kata Darel.Mengambil 2 bungkus mi instan kuah."Tapi.. aku ti
Darel, Diara, Rendi dan Selly baru saja keluar dari Hotel. Berdiri saling berdampingan. Di detik selanjutnya, mereka saling tukar pandang. Lalu, tersenyum. Dan.. menjerit kegirangan. Melakukan TOS.3 orang sponsor yang di jamu oleh mereka, memberi respon positif. Dan, tertarik untuk memberi sponsor pada teater mereka. 3 orang pemberi sponsor itu adalah teman kuliah Darel, yang sudah sukses—memiliki perusahaan masing-masing."Tapi.. waktu kita tidak banyak. Hanya 3 hari. Apakah bisa kita menyelesaikan naskah, membuat desain untuk panggung dan membeli alat-alatnya?" tanya Diara."Jangan lupa latihan," tambah Rendi."Kalian urus saja soal naskah dan latihan. Sisanya, biar aku yang mengatur.""Wah.. teman kayaku ini memang tidak perlu di ragukan lagi. Terbaik."Selly memberi dua jempol pada Darel, yang mengepalkan tangan. Mengarahkan pada Selly, yang juga mengepalkan tangan. Melakukan TOS kepalan tangan."Lalu, ide ceritanya? Itu idemu. Kau harus menyelesaikannya," tanya Diara."Aku serah
Banyak yang mengatakan, jika kita terlalu bahagia akan sesuatu—maka, kesedihan juga akan datang secepat kilat. Rendi terbelalak. Tubuhnya gemetar. Merasakan lembutnya bibir Diara di bibirnya.Pipinya semu. Tersenyum bodoh. Dan, mematung, sekalipun Diara sudah mengakhiri aksinya. Namun, tidak dengan Hara. Kepalan amarah yang sudah di siapkan sejak tadi.. mendarat di pipi Rendi. Hingga, membuat Rendi jatuh terjerembab di karpet. Masih tetap. Dengan senyum bodohnya.Hara berjalan pergi. Turun ke lantai bawah. Mila mengikutinya."Kau cemburu?" tanya Mila. Berdiri di belakang Hara. Di lantai 1."Jangan memulai pertengkaran denganku. Pergi."Mila berdeham gugup."Kau.. ingin balas dendam, kan? Aku bisa membantumu."Hara berbalik badan."Apa maksudmu?""Sekarang.. kau benci dengannya, kan? Aku.. bisa membantumu, untuk sedikit menakut-nakutinya.""Apa yang bisa kau lakukan?""Kalau kau setuju, untuk melakukannya pada Diara—aku akan memberitahumu.""Tunggu. Diara? Bukan Rendi?""Kau ingin bal