"Rel.. memangnya, rumah barumu sebesar apa? Sampai, kau mengajak kami untuk tinggal di sana?" tanya Selly. Duduk di sebelah Darel, yang tengah mengemudi.Diara dan Rendi ada di kursi belakang."Tidak juga. Sedikit kecil. Tapi.. aku tidak suka sendirian.""Lebih tepatnya, kau takut, kan?" sindir Rendi.Darel melirik Rendi dari kaca spion tengah."Hei, memangnya ada yang tidak takut hantu? Semua pasti takut hantu," ujar Darel."Aku tidak takut." Rendi menyombongkan diri.Dan, segera di patahkan oleh Selly."Rendi sangat penakut. Bahkan, saat melihat bayangannya sendiri di malam hari, ia terkejut.""Hah? Sungguh? Haha.""Hei, kapan aku begitu?! Kau ini ada-ada saja!""Wah, kau menolak lupa? Mau aku ceritakan lagi?""Berisik!" seru Rendi.Membuat Darel dan Selly tertawa. Tapi, tidak dengan Diara yang sejak tadi diam."Diara? Kenapa sejak tadi kau diam saja? Tidak enak badan?" tanya Darel."Tidak. Dia sedang memikirkan Hara, tentu saja," sahut Selly."Hei, kenapa kau masih memikirkan dia?
Ketika Di Rumah Mila "Kau mau kemana? Kenapa menyeret kopermu begitu?" tanya Hara. Menghalangi langkah Diara, saat di lantai bawah. "Aku akan keluar dari rumah ini." "Kenapa?" "Hanya ingin pindah saja." "Kenapa?" Diara mendengus. "Kau serius? Ingin mendengarkan alasanku?" "Ya. Kenapa?" "Aku tidak tahan melihatmu dengan Mila." Hara mendesah singkat. "Lantas, kau mau tinggal di mana?" "Di rumah Darel. Bersama Rendi dan Selly." "Tidak. Aku tidak mengizinkanmu." "Memangnya, kau si-" Kalimat Diara terputus, karena Hara tiba-tiba mencium bibirnya dengan singkat. Lantas, menggandeng tangan Diara. Mengajaknya masuk ke kamar yang di huni Darel—ketika itu, sedang kosong. Hara mengunci pintu. "Apa yang kau lakukan?" "Aku tidak tahan lagi, Ra. Aku sangat merindukanmu. Aku juga tersiksa dengan ini semua." "Tidak usah berpura-pura. Kau menikmati ini semua. Bahkan, kau bisa tidur sekamar dengan Mila." "Apa kau tahu? Aku benar-benar tidur seranjang dengannya?" "Haruskah aku tahu
"Kau ini memang laki-laki yang misterius," kata Selly."Banyak yang bilang begitu memang."Perut Darel bergemuruh setelah itu."Kau, lapar? Aku juga. Di kulkas, tidak ada makanan?""Aku belum sempat belanja. Tapi.. seingat ku ada mi instan di rak dapur atas.""Oh, benarkah? Biar aku periksa."Keduanya lalu pergi ke dapur, yang ada di ujung lorong. Pintu-pintu kamar utama, saling berdampingan, setelah tangga. Sementara, 2 kamar tamu, ada di seberangnya. Di tengah-tengah di letakkan sofa dan karpet di bawahnya. Di depan sofa ada sebuah TV.Dan, tepat di sebelah meja TV, terdapat lorong pendek, yang menuju dapur. Juga, kamar mandi untuk para tamu. Karena, hanya kamar utama, yang memiliki kamar mandi dalam.Selly berjinjit untuk membuka rak, yang ada di atas kompor. Namun, tetap saja tak sampai. Hingga, Darel berdiri tepat di belakangnya, untuk membukanya.Selly cukup terkejut akan itu, sampai takut untuk berbalik."Oh.. ada," kata Darel.Mengambil 2 bungkus mi instan kuah."Tapi.. aku ti
Darel, Diara, Rendi dan Selly baru saja keluar dari Hotel. Berdiri saling berdampingan. Di detik selanjutnya, mereka saling tukar pandang. Lalu, tersenyum. Dan.. menjerit kegirangan. Melakukan TOS.3 orang sponsor yang di jamu oleh mereka, memberi respon positif. Dan, tertarik untuk memberi sponsor pada teater mereka. 3 orang pemberi sponsor itu adalah teman kuliah Darel, yang sudah sukses—memiliki perusahaan masing-masing."Tapi.. waktu kita tidak banyak. Hanya 3 hari. Apakah bisa kita menyelesaikan naskah, membuat desain untuk panggung dan membeli alat-alatnya?" tanya Diara."Jangan lupa latihan," tambah Rendi."Kalian urus saja soal naskah dan latihan. Sisanya, biar aku yang mengatur.""Wah.. teman kayaku ini memang tidak perlu di ragukan lagi. Terbaik."Selly memberi dua jempol pada Darel, yang mengepalkan tangan. Mengarahkan pada Selly, yang juga mengepalkan tangan. Melakukan TOS kepalan tangan."Lalu, ide ceritanya? Itu idemu. Kau harus menyelesaikannya," tanya Diara."Aku serah
Banyak yang mengatakan, jika kita terlalu bahagia akan sesuatu—maka, kesedihan juga akan datang secepat kilat. Rendi terbelalak. Tubuhnya gemetar. Merasakan lembutnya bibir Diara di bibirnya.Pipinya semu. Tersenyum bodoh. Dan, mematung, sekalipun Diara sudah mengakhiri aksinya. Namun, tidak dengan Hara. Kepalan amarah yang sudah di siapkan sejak tadi.. mendarat di pipi Rendi. Hingga, membuat Rendi jatuh terjerembab di karpet. Masih tetap. Dengan senyum bodohnya.Hara berjalan pergi. Turun ke lantai bawah. Mila mengikutinya."Kau cemburu?" tanya Mila. Berdiri di belakang Hara. Di lantai 1."Jangan memulai pertengkaran denganku. Pergi."Mila berdeham gugup."Kau.. ingin balas dendam, kan? Aku bisa membantumu."Hara berbalik badan."Apa maksudmu?""Sekarang.. kau benci dengannya, kan? Aku.. bisa membantumu, untuk sedikit menakut-nakutinya.""Apa yang bisa kau lakukan?""Kalau kau setuju, untuk melakukannya pada Diara—aku akan memberitahumu.""Tunggu. Diara? Bukan Rendi?""Kau ingin bal
Pukul 04.00 sekarang. Sayup-sayup mata Diara terbuka. Mengerutkan alis. Lantas, terkejut. Melihat Rendi, tidur di sebelahnya. Dengan menghadap Diara.Diara mencoba mengubah posisi. Menghadap ke arah satu lagi. Juga, terkejut. Ada Hara yang masih tidur. Menghadap Diara.Diara menggigit bibir bawahnya. Sedikit kesal. Ketika ingin berbalik arah lagi, Hara membuka matanya, yang masih sayu. Membuat Diara berhenti bergerak.Hara tersenyum."Diara.. Sayangku.. Wah.. sudah berapa lama aku tak melihatmu," ucapnya dengan suara parau.Lagi. Diara mengerutkan alisnya."Maafkan aku, Sayangku.. untuk saat ini, aku tidak bisa menolong mu. Mungkin.. aku akan terus menyakitimu. Tapi, percayalah.. jauh di dalam sini.. aku masih dan akan tetap mencintaimu. Tunggu sebentar lagi—aku.. akan segera keluar dari tempat ini."Hara kembali tersenyum. Membelai pipi Diara. Lantas, kembali terpejam.Diara masih tertegun. Air matanya menggenang di dalam. Mengingat, nada lembut dari Hara yang belakangan ini—tak pern
Ini adalah hari terakhir mereka latihan. Bergeser ke studio. Dan, segera tercengang dengan suasana studio, yang sangat berbeda. Layar LED seluas hati Diara yang lapang, terpasang di panggung. Gunanya untuk menampilkan video atau pun teks dari narator ; suara imajiner yang diasumsikan sedang menceritakan kisah kepada penonton. Beberapa properti juga sudah di siapkan di belakang panggung. Juga, kostum mereka. Bahkan, panggung yang sebelumnya, hanya selebar 10 langkah kaki saja, kini sudah semakin luas."Wah.. ini benar studio kita?" ucap Selly dengan kagum."Benar-benar keren!" puji Rendi."Well, tidak buruk juga," kata Reyhan."Wah.. ini sangat di luar ekspetasi ku. Terima kasih, Darel," kata Diara."Kau harus membuat pertunjukan ini sukses."Diara mengangguk."Aku akan berusaha dengan keras.""Eh, lalu, bagaimana dengan promosinya? Kau sudah membuat brosur?" lanjut Diara."Tentu saja, sudah. Aku sudah memerintahkan anak buahku untuk membagikannya. Dan, lihat ini,"Darel menunjukkan l
Diara tengah berada di belakang panggung. Memeriksa properti yang akan di pakai hari ini. "Semuanya sudah siap. Hah, semoga lancar hari ini." Diara menilik jam tangan di pergelangan tangan kirinya. "Ah, 15 menit lagi pertunjukan akan di mulai." Diara melangkah kemudian, di saat yang sama terdengar suara benda terjatuh dari arah belakangnya. Diara menengok ke belakang. Tak ada siapapun. Lantas, ia kembali berjalan. Dan, suaranya terdengar lagi. Di detik selanjutnya, Diara berputar arah. Mencari sumber suara. Alih-alih menemukan benda yang terjatuh, ia bertemu dengan seorang laki-laki, yang berpakaian hitam. Dengan wajah tertutup masker hitam. "Siapa kau?!" Laki-laki itu hanya diam. Namun, berjalan pelan, mendekati Diara. Membuat yang didekati, melangkah mundur. "SIAPA KAU?!" Diara melihat tangan kiri laki-laki itu membawa sebuah palu. Melihat nyawanya terancam, Diara segera berlari. Tapi, langkah laki-laki itu lebih cepat. Ia berhasil menjambak rambut Diara. Membuat
Diara melebarkan mata. Tersenyum gembira."Kita sahabat?""Heh? Kau, sudah tak ingin berteman denganku? Wah.. keterlaluan sekali. Mentang-mentang, kau baru saja memenangkan penghargaan Sutradara terbaik, kau jadi melupakanku."Diara memeluk Selly erat-erat."Mana mungkin, aku bisa melupakanmu. Susah dan senang, kita selalu bersama.""Well, benar juga. Aku bisa sampai di titik ini, juga karena dirimu dan teatermu."Diara melepaskan pelukan."Lalu, ada urusan apa kau kemari? Juga, Darel.. kenapa kau di sini?""Aku ada rapat pembacaan naskah. Tapi, Diara.. kenapa kau bisa kenal dengan kekasihku?""Kekasihmu? Kalian.. berpacaran? Bagaimana bisa? Seharusnya, aku yang mempertemukan kalian. Wah, kalau memang sudah takdirnya, jodoh pun tak dapat di rubah.""Kau ini bicara apa?""Sayang.. kau kenal Diara?" lanjut Selly."Tidak. Apa.. kita pernah bertemu sebelumnya? Aku lihat-lihat, wajahmu juga tidak asing bagiku.""Hehe. Mungkin, kau tidak kenal denganku. Tapi.. aku sangat mengenalmu. Terutam
1983 "Dian! Cepat!" Dian yang sedikit ragu, akhirnya berlari ke arah Sonia. Di saat yang sama, Tomi mendobrak pintu. Dan, mengacungkan senjata."BERHENTI! LEMPARKAN PISAU ITU KE SAMPING. DAN, ANGKAT TANGAN KALIAN!"Dian yang panik, segera melempar pisau. Dan, bergerak sesuai perintah."Itu juga berlaku untukmu, pria brengsek! kata Tomi pada Kardi."Wah.. Tomi terlihat keren. Seandainya, aku perempuan.. aku akan menikahinya," celetuk Haris.Membuat Diara mengerutkan dahi. Menatapnya heran. Sementara, Kardi melepaskan Sonia."Kalian berdua, merapat ke tembok. Dan, jangan pernah menengok ke belakang!" perintah Tomi.Setelah itu, Diara segera menghampiri Sonia."Kau, baik-baik saja?"Sonia yang masih syok, hanya bisa mengangguk."Farel.. Anakku.""Farel? Dia ada di mana?"Sonia menunjuk ke lantai atas. Diara bergegas ke lantai atas. Membuka pintu kamar. Terlihat, Farel tengah berdiri dengan badan gemetar, di sebelah pintu. Diara berlutut di depannya."Semuanya sudah berakhir, Farel. Ka
"Sudah berapa tahun kita tak bertemu?" tanya Haris. Duduk di sofa tunggal. Sementara, Tomi dan Diara duduk di sofa panjang. Di sebelah kirinya. "Entahlah. Mungkin sudah 30 tahun lebih? Sejak, kau menikah kita sudah tidak pernah bertemu," kata Tomi. Haris mengangguk. "Lalu, bagaimana kau tahu alamat rumahku? Apa.. kau memakai kekuatanmu menjadi Kepala Polisi, untuk melacak keberadaan ku?" Diara terbelalak. "Ayah, menjadi Kepala Polisi sekarang?" bisik Diara. "Oh.. Ayah belum cerita padamu?" "Wah.. keren sekali." Haris berdeham. Membuat Diara dan Tomi menatapnya. "Ah.. Diara yang memberitahu." Haris menatap Diara. "Dia.. anak Ranti?" Diara mendengus. Lalu, terkekeh. "Ayolah. Tidak perlu berpura-pura. Aku tahu.. kau mengingat semuanya." "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti," kata Haris. "Kau masih ingin berbohong? Kau ingin aku percaya? Kau, tidak mengingat segalanya? Oh, Ayolah. Pertama kali, kau melihatku dan Ayahku tadi, kau tidak terkejut. Dulu kalian bersah
1992Tomi tengah menggendong Diara, yang tengah menangis karena sakit. Badannya demam sudah 2 hari. Mengayun tubuhnya, agar Diara segera tertidur. Butuh kerja keras selama 20 menit, untuk membuat Diara tidur."Dia sudah tidur?" tanya Ranti. Baru saja selesai mencuci baju."Iya. Baru saja.""Berikan padaku."Diara terbangun, ketika Ranti menyentuh tangannya. Seketika, menangis. Tomi mulai mengayun tubuhnya lagi."Biar aku saja," kata Tomi.Ranti mendesah singkat."Maaf, jadi merepotkan mu.""Hei, dia juga anakku. Kenapa harus mengatakan seperti itu.""Tapi, tetap saja..""Ingat, Ranti. Dia adalah anakku. Bukan anak orang kaya itu. Jadi.. jangan pernah sebutkan nama itu di depan Diara atau di depanku. Kau mengerti?"Ranti mengangguk paham.Keduanya menikah, saat usia kandungan Ranti masih 10 minggu. Tomi bergegas memberitahu orang tuanya, untuk segera meminang Ranti. Namun, Tomi juga menjelaskan kondisi Ranti. Cukup terkejut dengan itu, tapi, Tomi menjelaskan dengan baik. Dengan berat
2024Diara, Haris, dan Ranti saling berhadapan."Semuanya sudah berakhir, Bu. Kami.. berhasil menangkap Farel."Ranti tersenyum. Mendekati Diara. Menggenggam kedua tangannya."Kau sudah bekerja keras. Terima kasih, Diara.""Sekarang, Ibu bisa kembali ke sana dengan tenang. Jalani hidupmu yang sebelumnya hancur, karena laki-laki itu. Dan.. coba perbaiki hubunganmu dengan Nenek. Kau hanya perlu bersikap manis. Sesekali, makan bersama dengannya."Ranti mengangguk."Aku akan melakukan itu."Mata Ranti berkaca-kaca. Memeluk Diara."Maafkan Ibu, Diara. Selama ini, kau hidup dengan sangat tersiksa.""Tidak, Bu. Aku sudah cukup bahagia, bersama Bu Lia dan teman-temanku. Sampai jumpa di masa depan, Bu.""Kita bertemu lagi di masa kecilmu, ya? Ibu.. akan selalu ada di sampingmu sekarang."Setelahnya, Haris mengantarkan Ranti kembali ke masanya.Sekarang.. semuanya, akan baik-baik saja, kan?**"Ibu? Ibu? Di mana kau? Ibu?? Aku berhasil mengubahnya. Ibu?!"Diara berdiri di dapur, dengan terengah
Beberapa Jam Sebelum PenangkapanDiara dan yang lain kembali ke markas. Baru saja, selesai mengobati luka Haris dan Sinta."Hei, ada apa dengan Tomi?" tanya Haris pada Sinta. Tomi nampak lesu. Duduk di sudut. Sementara, Diara membereskan kotak obat."Laki-laki yang hampir menabrak ku tadi adalah kekasih Ranti," bisik Sinta."APA?" Haris nyaris berteriak."Pelan kan suaramu!""Tunggu.. jadi.. Ranti selingkuh dari Tomi?""Aku juga tidak tahu. Tapi, dari pengamatanku.. sepertinya, laki-laki tadi adalah kekasih pertama Ranti.""Jadi.. Tomi yang menjadi selingkuhannya?""Hmm, sepertinya tidak juga.""Lalu, bagaimana ceritanya? Kau ini, kalau bicara jangan sepotong demi sepotong. Menjengkelkan sekali."Sinta berdecak kesal. Lalu, berdeham."Ini menurutku.. cinta Tomi bertepuk sebelah tangan. Dan, mereka sebenarnya tidak pernah ada hubungan. Hanya saja, Tomi menganggap Ranti menerima cintanya. Kau tahu, kan? Ranti itu sangat baik hati. Dia.. tidak tega untuk mengatakan pada Tomi, jika ia su
Diara berada di markas DMA bersama yang lain. Mengulang kejadian, di saat mereka membahas kasus Rima. "Rima-""Anak kelas 2. IPA. Rambut keriting. Kulit sawo matang. Tinggi 145 senti. Menghilang 7 hari yang lalu. Saat perjalanan pulang sekolah," sahut Diara. Memotong kalimat Tomi."Yap. Betul kata Ranti.""Orang tuanya sudah melapor. Namun, polisi belum menemukan petunjuk. Karena, si pelaku tidak meninggalkan jejak," jelas Diara.Tomi mendengus."Terima kasih, Sayang. Kau menjelaskan dengan sangat sempurna."Diara menggerakkan dua alisnya ke atas."Tidak ada saksi?" Sinta bertanya.Tomi menggeleng. Dan, Diara mendesah singkat."Kali ini, kalimatku akan cukup panjang," gumamnya, dengan nada lelah."Dia menghilang saat pulang sekolah. Itu sekitar pukul 13.00. Di sekitar jam itu kemungkinan jalanan sepi. Tapi, tidak menutup kemungkinan ada pemakai jalan yang lewat," ulas Diara. Lalu, mendesah panjang."Oh, bisakah kita segera pergi ke lokasinya? Tak jauh dari sini, kan? Haris ada 2 moto
Ketika manusia akan bertemu dengan ajalnya, maka.. akan di putarkan kisah hidupnya dari sejak ia di lahirkan, hingga di detik akhir hidupnya.Banyak manusia akan sangat menyesali perbuatannya semasa hidup. Tapi, juga akan banyak yang bersyukur dengan hidup yang ia jalani.Termasuk, manusia yang bergelar Ibu. Perjalanannya menjadi seorang Ibu, akan kembali di putar di hadapannya. Saat, berusaha untuk hamil. Lalu, mendapat kabar jika rahimnya sudah terisi malaikat kecil. Menjaganya sepenuh hati. Sampai, janin membesar dan sehat sempurna. Dan, ketika tiba janin tersebut di lahirkan. Bertaruh nyawa. Setengah mati. Menggendong bayinya pertama kali. Menyusui. Terjaga di setiap malam. Dia nikmati sendiri. Melihat senyuman pertama bayinya. Merasakan genggaman tangan mungil bayinya. Hingga, ia tumbuh besar. Kasih sayangnya, tak akan pernah pupus.Gambaran itu yang juga di lihat Ranti di sisa-sisa nafasnya, saat nyawanya hampir menghilang. Tersenyum dengan kesakitan. Tetesan air matanya untuk
"Haris.. kita perlu bicara," kata Sekar. Berdiri, agak jauh di belakangnya.Haris meletakkan kembali gagang telepon. Berbalik badan. Menatap Sekar lamat-lamat."Oh.. ada apa?"Sekar mendengus."Ada apa katamu? Dari mana saja kau?""Aku ada urusan.""Sangat penting urusanmu? Sampai, kau membiarkan Ayah dan Ibuku, menunggu di Restoran berjam-jam lamanya?"Haris tercengang. Menahan napas 1 detik."Ah.. maafkan aku. Aku.. lupa.""Lupa katamu? Tadi pagi, aku sudah mengingatkanmu, kan?""Iya. Aku minta maaf. Aku benar-benar lupa. Nanti, biar aku menelepon Ayah dan Ibu, hm?"Sekar mendesah kesal."Kau.. masih berusaha mencari Ranti? Itu alasanmu tak datang tadi?"Haris diam. Menundukkan kepala."Kau tidak bisa menjawab? Yang artinya.. kau memang sengaja tidak datang tadi, karena tengah mencari Ranti. Kau sangat tega sekali, Haris."Haris membasahi bibirnya. Berjalan mendekat pada Sekar."Sungguh.. maafkan aku. Bagaimana, aku bisa menebus kesalahanku?"Sekar mengerutkan dahi."Kau.. benar Har