1991Sebelum Diara melakukan perjalanan waktuHampir setiap hari Tomi datang ke rumah Ranti. Berharap sahabatnya itu sudah pulang ke rumah. Ini hari yang ke-20 Ranti pergi dari rumah. Tak ada yang tahu alasan dia pergi. Hanya saja, ada sedikit keanehan pada dirinya, saat hari kelulusan."Hei, Sayang.. kau tak ingin tanda tangan di seragamku?" tanya Sinta. Menunjukkan punggungnya.Ranti tersenyum. Dan, menandatangani seragam Sinta menggunakan spidol hitam. Euforia kelulusan terjadi di semua SMA di kota ini. Pun, juga ada yang bersedih karena tak lulus. Dan, harus mengulang 1 tahun lagi.Ada 2 orang kawan sekelas Ranti yang tidak lulus sekolah. Terlihat, ia hanya duduk lemas di depan kelas. Sementara, beberapa yang lain melompat kegirangan. Beberapa lagi saling mencoret seragam. Beberapa lagi, berpelukan sedih. Karena, akan melepas masa putih abu-abu."Wah, rasanya baru kemarin kita ujian Ebtanas," kata Tomi, yang seragam putihnya sudah penuh dengan coretan."Iya. Rasanya kepalaku yang
2 Hari Sebelum Pernikahan Haris"Menikah? Aku baru saja di terima di ICL. Ayah tahu, kan? Betapa sulitnya masuk ke kampus itu?"Haris dan Ayahnya tengah berdebat di ruang kerja Sang Ayah."Setelah menikah, kau masih bisa melanjutkan kuliah di sana.""Tapi, aku masih terlalu muda untuk menikah. Bukankah, ini juga terlalu cepat?""Ayah dan Ibu dulu juga menikah muda. Dan, lihat.. Ayah masih bisa sukses, kan?"Haris mendesah singkat."Tapi.. aku berbeda denganmu. Aku tidak mau menikah muda. Aku akan menikah di saat aku sudah siap.""Jadi, kau ingin membantah perintahku? Kau sudah bisa mandiri?"Haris terdiam. Mendesah panjang."Kenapa.. aku tidak bisa hidup sesuai dengan keinginanku?""Hidup sesuai keinginanmu?"Ayah Haris mendengus."Selama kau tinggal bersamaku.. kau harus hidup sesuai keinginanku. Itu.. yang dilakukan Kakekmu padaku.""Tapi, aku bukan Ayah.""Tapi, kau anakku. Kalau kau tidak ikuti peraturanku.. kau tidak bisa tinggal di sini.""Tapi, kenapa harus menikah? Aku belum s
1992"Kau di mana? Ini hari minggu. Tak mungkin kau ada di kantor, kan?"Sekar tengah menelepon Haris."Aku ada urusan dengan Tomi. Ada apa?""Kau.. sedang mencari Ranti lagi?""Bukan urusanmu.""Tentu saja urusanku. Kau suamiku!""Sudah aku katakan sejak awal, kan? Sekalipun kita terikat dalam pernikahan.. aku tidak bisa berperan menjadi suamimu.""Sebenarnya, ada apa kau meneleponku?"Sekar menghela napas panjang."Aku ingin makan mi pedas yang ada di dekat kantormu. Kata orang-orang ini yang di sebut ngidam.""Bilang Pak Doni. Biar dia mengantarmu.""Tapi, aku ingin makan denganmu.""Jangan manja! Biar aku hubungi Pak Doni.""Manja? Bukan aku yang ingin itu sebenarnya. Tapi, anakmu.""Kau baru hamil 4 bulan. Bahkan, perutmu saja belum membesar. Sudah! Aku sibuk!"Haris memutus telepon. Meninggalkan Sekar yang termenung, dengan tangan kanan masih memegang telepon yang berbentuk seperti kalkulator, namun lebih ramping. Dengan antena ujung hitam, yang dapat ditarik memanjang. Layar ke
Ada sebuah istilah tentang Langit dan Lautan ; Jangan berharap setinggi langit, kalau tak mau jatuh sakit ke dalam lautan. Dalam hidup, manusia selalu berekspektasi tinggi soal indahnya kekompakan keluarga, senangnya mendapat pekerjaan dengan lingkungan yang hangat— atasan yang super baik, atau bahagianya saling mencintai dengan pasangan.Tapi.. manusia terkadang lupa—jika, hidup bukan hanya tentang kebahagiaan. Juga, soal pengorbanan, kesedihan, dan carut marutnya. Realitanya, banyak orang tua yang berpisah. Membuat sang anak tumbuh dengan trauma mendalam. Banyak perusahaan yang tidak memanusiakan pegawainya. Mereka di tuntut sempurna dalam pekerjaan—namun, tidak pernah di apresiasi. Bahkan, upahnya sangat kecil.Juga, cinta yang bertepuk sebelah tangan. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari cinta yang tak berbalas. Ada yang mengatakan, jika lebih baik hidup dengan seseorang yang kita cintai. Ada juga yang bilang, menua lah bersama orang yang mencintaimu. Tidak. Itu salah besar. Jau
2024Saat Diara dan Sekar berbincang"Wajahmu.. sangat mirip sekali dengannya.""Dengan siapa?"Hening untuk sesaat. Dan,"Ranti—wanita yang sangat di cintai Haris. Aku.. melihatnya saat dia meregang nyawa ketika itu."Mata Diara melebar."Apa??"Sekar menangis. Berlutut di hadapan Diara."Maafkan aku. Aku benar-benar sangat takut ketika itu. Aku melihat Ranti berusaha untuk melepaskan diri dari jerat tali itu. Aku ingin membantunya. Tapi.. di sisi lain, aku.. aku berharap dia mati."Sekar terisak. Menundukkan kepala. Sementara, Diara bingung harus bagaimana meresponnya. Marah? Tentu, ingin. Tapi.. siapapun yang ada di posisi Sekar, juga akan bereaksi seperti itu. Ingin menolong tapi takut. Sedih? Rasanya.. itu sudah tidak bisa di lakukan. Mengingat, Diara tak pernah dekat dengan Ibunya. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah mendesah panjang. Terkejut? Pasti."Karena itu? Kondisimu menjadi seperti ini? Kau.. merasa bersalah tidak dapat menyelamatkan Ibuku?"Sekar berhenti menangi
1991Saat Hari KelulusanUsai menghabiskan waktu bersama 3 temannya, Ranti pulang dan mulai mengemasi barangnya. Dengan air mata yang menetes.Koper cokelat milik Maya pun dibawanya. Naik bus di hari senja. Tatapan nanar nya melihat ke arah luar. Sesekali mengusap pipinya yang basah.Orang-orang pulang kerja. Ibu dan anak yang baru keluar dari toko mainan. Seorang Bapak pedagang bakso mendorong gerobaknya. Warung pecel lele yang menata meja. Dan, seorang pengamen yang baru saja naik ke bus. Mulai memainkan gitarnya.Semua itu.. membuat tangisan Ranti yang tanpa suara semakin menyakitkan."Kenapa.. Kenapa Tuhan? Kenapa aku tidak bisa hidup normal seperti yang lain? Kenapa kau terus memberiku cobaan? Aku.. tidak sanggup."Bahkan, sampai dia tiba di tempat tujuan pun masih sedikit terisak. Ia turun di persimpangan jalan. Dan, berjalan ke arah kirinya. Menapaki jalanan masuk ke permukiman, yang tidak beraspal.Tepat di ujung jalan, sedikit belok ke kanan—ada sebuah rumah dengan halaman lu
Esok paginya, Ranti bangun terlebih dahulu. Dan, terkejut bukan main melihat dirinya telanjang bulat. Bersama Haris di sebelahnya. Dengan kondisi yang sama. Degup jantungnya berdetak cepat. Tubuhnya gemetar. Bola matanya melihat tak tentu arah. Kacau pikirannya. Kalut hatinya. Dia tak ingat apapun kejadian kemarin. Terakhir yang di ingatnya hanyalah dia makan buah kecubung—lalu, kepalanya terasa pusing. Pandangannya berputar. Dan, berhalusinasi. Ia mendorong udara keluar dari mulut. Berusaha menenangkan diri. Namun, sangat sulit di lakukan. Memukul ranjang berulang kali. Membuat Haris menggeliat. Dan, Ranti pun berpura-pura tidur. Haris mendesis. "Kepalaku sakit," gumamnya. Ia turun dari ranjang. Dan, tersandung oleh bajunya sendiri. Membuat alisnya berkerut. Mengambil bajunya. Dan, menjerit. Lantas, segera menutup mulutnya dengan kedua tangan. Tersadar, jika dirinya telanjang. Reaksi yang sama dengan Ranti, di lakukan olehnya.Ia menengok pada Ranti yang masih telanjang dan memej
4 Hari Sebelum PenculikanDiara menatap dirinya dari cermin. Diam untuk sepersekian detik. Memperhatikan setiap jengkal wajahnya."Darel.. sangat mirip dengan Haris. Lalu, apakah aku mirip dengan Darel dan Haris?" gumamnya."Hmm.. sedikit mirip dari telinganya. Hei, telinga? Di mana-mana bentuknya hampir sama. Lalu.. apakah aku mirip dengan Hara?"Diara mengangkat satu alisnya."Banyak yang mengatakan aku mirip dengannya. Tapi, bukankah itu berarti dia memang jodohku? Hah? Jodoh apanya! Sekarang saja, dia sudah menikah dengan gadis brengsek itu.""Tapi.. kalau memang wajah pria bernama Farel itu mirip dengan Hara.. itu berarti Hara adalah anak Ayahku? Dan, yang artinya.."Diara terkesiap."Aku dan Hara adalah saudara? Wah, itu benar-benar plot twist ; alur yang tak terduga dalam hidupku.""DIARA! Kau ini sedang apa di kamar mandi?! Lama sekali!" pekik Mila dari luar. Mengetuk pintu dengan beringas.Diara mendesis."Gadis itu.. selalu membuat hidupku tidak tenang."Diara membuka pintu,