Sarapan sudah selesai di buat oleh Hara. Pagi ini, ia di bantu oleh Selly. Seperti biasa, Mila dengan girang menyambut makanan dari Hara, yang di pikirnya adalah semua makanan itu favorit dia.Pada kenyataannya, Mila memang suka makan. Tidak pernah pilih-pilih. Rendi meneguk air di gelas kaca. Selly mengambil sepotong ayam goreng. Hara memilih telur mata sapi. Telur ayam yang di beri nama mata sapi. Entah siapa yang memberi nama itu. Bahkan, sapi saja tidak bertelur.Diara tengah berada di dapur, sementara Darel menyeruput sedikit kopi hitamnya."Kau tidur di sini semalam?" tanya Rendi pada Darel."Ya. Sudah terlalu larut, saat aku mengantarkan Diara kemari. Dan, aku tidak enak badan. Jadi, aku memutuskan menginap. Lagipula, banyak kamar di sini. Dan, ini rumah adikku.""Wah, pertanyaanku singkat. Tapi, kau menjawabnya panjang lebar.""Kenapa sampai selarut itu? Apa Tuan Haris mencoba mengintimidasinya?" tanya Hara."Tidak. Justru, aku berkawan dengannya sekarang," sahut Diara. Membaw
Mila yang baru saja masuk ke dalam kamar, segera terbelalak melihat Hara tersungkur di lantai."HARA!" pekiknya. Berlari mendekati Hara. Membantunya berdiri.Pipinya merah. Akibat pukulan Rendi."Kau tak puas dengan melukai hati Diara. Sekarang, kau melukai fisiknya! Hah?!""Rendi.. bukan seperti itu," kata Diara. Mendekati Rendi."Kau jangan membelanya lagi. Aku sudah cukup muak dengan laki-laki brengsek ini!""Beraninya kau memukul suamiku?! Kau di sini cuma menumpang!""Ya, aku di sini bukan siapa-siapa! Tapi, aku tidak peduli! Siapapun yang berani menyakiti Diara, harus berhadapan denganku!"Hara mendengus."Benar dugaanku, eh? Kau menyukai Diara.""Lantas, kenapa kalau aku menyukai dirinya? Dia.. bukan milik siapa-siapa. Kau, juga tidak berhak melarang siapapun untuk menyukainya sekarang!""AKU MASIH SUAMINYA! MASIH SAH DALAM AGAMA! KAU YANG MENJADI SAKSINYA WAKTU ITU!""KAU MASIH BERANGGAPAN DIA ADALAH ISTRIMU?!""Ya! AKU MASIH SUAMI DIARA! AKU MASIH SANGAT MENCINTAINYA!""Kau!
"Iya. Aku Mi-" "Mila, bisa kau tunggu di luar sebentar? Aku ingin bicara dengan Bu Lia." "Mau membicarakan apa?" "Tunggu saja di luar. Tanpa ada pertanyaan." Mila berdecak kesal. Berdiri. Menghentakkan kaki ke lantai. Berulang. Lalu, keluar dari ruangan. "Apa benar dia-" ""Iya. Dia Ajeng. Anak dari Bibi Sinta—sahabat Ayah." "Ah.. sudah besar ternyata." "Sudah puluhan tahun yang lalu. Tentu saja, dia sudah besar." Bu Lia tersenyum. "Lantas, tujuanmu datang kemari untuk apa? Tak mungkin, untuk menunjukkan gadis itu padaku, kan?" Darel mendesah panjang. Tangannya bergumul. "Tadinya, aku ingin memberitahu dia. Soal identitas aslinya. Kalau dia, bukanlah anak dari Ayah dan Ibu." "Lalu, kau membatalkannya karena merasa kasihan?" "Salah satunya itu." "Yang lain?" Darel mendesah panjang. "Aku sudah lelah dijadikan tameng untuk adikku—yang bahkan Ibuku saja tidak melahirkannya. Setiap terjadi apa-apa dengan Mila, selalu aku yang di marahi oleh Ayah. Masalah-mas
Darel dan Mila baru saja tiba di rumah Haris. Sepanjang perjalanan, keduanya saling diam. Hening. Agaknya canggung. Itu yang di rasakan Darel."Ada apa kau ingin pulang? Rindu pada Ayah? Atau, Rindu pada Ibu?" tanya Darel. Sembari melepas sabuk pengaman.Mila mendengus."Untuk apa aku rindu pada orang tuamu?"Mila turun setelah mengatakan itu. Meninggalkan Darel yang masih tertegun mendengarnya. Bergegas ia turun, berlari dan meraih lengan Mila."Mila.. kau.. mendengar semuanya?""Mendengar apa?" tanya Mila. Wajahnya nampak kesal, ketika menengok pada Darel."Percakapanku dengan Bu Lia."Mila hanya diam. Tatapannya tajam. Menghempaskan tangan Darel. Berjalan masuk. Pergi ke lantai 2. Menuju ruangan Haris.Sebelumnya, saat di panti asuhan.. Mila sengaja tidak menutup pintu rapat-rapat. Untuk menguping pembicaraan Darel dan Bu Lia."Mila! Mila! Berhenti dulu. Dengarkan aku."Panggilan Darel belasan kali pun tak menghentikan langkahnya, yang penuh amarah. Membuka pintu ruangan Haris deng
Ranti. Gadis manis yang tak banyak bicara. Tak banyak tersenyum. Pun, susah untuk bahagia. Ia sulit untuk berkawan. Karena terlalu takut di hakimi atas hidupnya, yang tumbuh tanpa seorang Ayah.Satu-satunya yang dapat memahami keadaannya adalah Tomi. Kemana Ranti pergi, selalu ada Tomi. Ibaratnya Ranti sepatu kanan. Tomi sepatu kiri.Ranti seringkali menangis dalam kesendiriannya. Dan, hampir setiap hari ingin melukai dirinya. Agar dia pergi dari dunia.Toh, Ibunya juga tidak akan peduli. Mungkin, dia akan menari bahagia. Setidaknya itu yang di pikirkannya.Peringatan hari Ayah dan hari Ibu.. adalah hari yang sangat di benci olehnya. Picingan ejekan yang di lempar kawan-kawan sekelasnya, membuat nyalinya semakin menciut. Mengepalkan tangan, untuk menahan tangis.Tetapi, selalu saja ada pahlawan hebat yang menghiburnya. Menjadi tamengnya."Ranti!" panggil Tomi, yang berlari dari kejauhan.Melihat Ranti duduk di kantin seorang diri. Dengan meja yang kosong. "Hari ini, kau tidak makan
Pukul 15.00 saat ini. Langit mendadak mendung. Dalam hitungan detik hujan turun. Farel dan Ranti yang baru saja dari warung makan di mana jaraknya sekitar 50 meter dari toko kaset Farel.. harus berlari untuk menghindari air hujan.Cukup basah kuyup seragam Ranti dan pakaian Farel."Aduh, kau bisa masuk angin nanti," kata Farel. Begitu keduanya sudah di dalam toko."Tidak apa-apa. Sudah biasa.""Sudah biasa masuk angin?""Ya begitulah. Lebih baik, aku langsung pulang saja.""Hujan masih deras. Tunggu reda. Nanti aku antar kau pulang. Ada pakaian kering di dalam. Kau ganti pakaian dulu saja.""Ah, tidak perlu. Aku pakai ini saja.""Ranti.. kau bisa sakit. Sekarang hujan pertama di bulan ini. Tubuh kita juga perlu penyesuaian. Cepatlah, ganti baju.""Baiklah."Ranti berjalan ke arah pintu yang ada di sebelah meja kasir.Toko kaset Farel ini memang menyambung dengan rumah huniannya. Saat masuk ke dalam pintu sebelah meja kasir, akan di sambut dengan gudang penyimpanan barang. Kemudian, se
Sepeda onthel Tomi terparkir di luar lapangan basket, tempat biasa ia bermain bola oranye itu.Lapangan yang dibuat oleh pemerintah kota setempat. Untuk umum. Letaknya dekat dengan balai kota."Kau ingin bermain basket, tapi tak membawa bola?" tanya Ranti. Berjalan di belakang Tomi."Bolanya sebentar lagi datang kemari," jawab Tomi."Bolanya.. datang sendiri?"Tomi mengangguk."Hei, Tomi!" Seorang gadis berjalan mendekati Tomi dan Ranti. Membawa bola basket. Memakai seragam basket. Rambut kuncir kuda. Alis tebal. Kumis tipis sekali. Hidung besar sedikit mancung. Bibir tebal di bagian bawah. Tingginya hampir sama dengan Tomi. Ranti jadi kelihatan pendek di dekat keduanya."Wah, tumben sekali kau mengajak seorang perempuan?""Ah.. kebetulan tadi, dia main ke rumahku. Kau juga tahu, kan? Siapa dia?"Gadis itu menatap Ranti dengan kernyitan."Hei, kau Ranti, kan? Yang sering di hujat karena tak punya Ayah?"Ranti diam. Mulai mengepalkan jemarinya. Gadis itu menepuk lengan Ranti."Jangan
Sejak pertengkarannya dengan Haris.. Darel tidak pulang ke rumah. Ia bisa saja memakai uang di kartu debitnya untuk menyewa kamar di hotel atau membeli rumah. Namun, ia lebih memilih untuk ikut Diara tinggal di studio. Dia tidak ingin memakai sepeser pun uang yang ia dapatkan dari upah di perusahaan Ayahnya.Malam saat pertengkaran sebelumnya, Darel memberikan kunci studio pada Diara. Namun, dengan syarat Darel ikut tinggal di studio."Kau yakin?" tanya Diara. Begitu mereka ada di depan gedung studio.Darel mendesah panjang."Entah. Aku jalani saja dulu.""Dengar.. di sini memang ada kamar untuk istirahat. Tapi, tidak semewah di rumahmu. Tidak ada Bibi yang akan menyajikan sarapan atau makan malam untukmu.""Aku sudah mempersiapkan mental untuk itu.""Kau yakin?"Darel lagi-lagi mendesah."Harus berapa kali aku mengatakannya?""Baiklah. Ikuti aku."Diara membuka gembok dan rantai yang menutup pintu Studio. Membuangnya jauh-jauh kemudian."Eh? Kenapa kau membuangnya?" tanya Darel."Aga
Diara melebarkan mata. Tersenyum gembira."Kita sahabat?""Heh? Kau, sudah tak ingin berteman denganku? Wah.. keterlaluan sekali. Mentang-mentang, kau baru saja memenangkan penghargaan Sutradara terbaik, kau jadi melupakanku."Diara memeluk Selly erat-erat."Mana mungkin, aku bisa melupakanmu. Susah dan senang, kita selalu bersama.""Well, benar juga. Aku bisa sampai di titik ini, juga karena dirimu dan teatermu."Diara melepaskan pelukan."Lalu, ada urusan apa kau kemari? Juga, Darel.. kenapa kau di sini?""Aku ada rapat pembacaan naskah. Tapi, Diara.. kenapa kau bisa kenal dengan kekasihku?""Kekasihmu? Kalian.. berpacaran? Bagaimana bisa? Seharusnya, aku yang mempertemukan kalian. Wah, kalau memang sudah takdirnya, jodoh pun tak dapat di rubah.""Kau ini bicara apa?""Sayang.. kau kenal Diara?" lanjut Selly."Tidak. Apa.. kita pernah bertemu sebelumnya? Aku lihat-lihat, wajahmu juga tidak asing bagiku.""Hehe. Mungkin, kau tidak kenal denganku. Tapi.. aku sangat mengenalmu. Terutam
1983 "Dian! Cepat!" Dian yang sedikit ragu, akhirnya berlari ke arah Sonia. Di saat yang sama, Tomi mendobrak pintu. Dan, mengacungkan senjata."BERHENTI! LEMPARKAN PISAU ITU KE SAMPING. DAN, ANGKAT TANGAN KALIAN!"Dian yang panik, segera melempar pisau. Dan, bergerak sesuai perintah."Itu juga berlaku untukmu, pria brengsek! kata Tomi pada Kardi."Wah.. Tomi terlihat keren. Seandainya, aku perempuan.. aku akan menikahinya," celetuk Haris.Membuat Diara mengerutkan dahi. Menatapnya heran. Sementara, Kardi melepaskan Sonia."Kalian berdua, merapat ke tembok. Dan, jangan pernah menengok ke belakang!" perintah Tomi.Setelah itu, Diara segera menghampiri Sonia."Kau, baik-baik saja?"Sonia yang masih syok, hanya bisa mengangguk."Farel.. Anakku.""Farel? Dia ada di mana?"Sonia menunjuk ke lantai atas. Diara bergegas ke lantai atas. Membuka pintu kamar. Terlihat, Farel tengah berdiri dengan badan gemetar, di sebelah pintu. Diara berlutut di depannya."Semuanya sudah berakhir, Farel. Ka
"Sudah berapa tahun kita tak bertemu?" tanya Haris. Duduk di sofa tunggal. Sementara, Tomi dan Diara duduk di sofa panjang. Di sebelah kirinya. "Entahlah. Mungkin sudah 30 tahun lebih? Sejak, kau menikah kita sudah tidak pernah bertemu," kata Tomi. Haris mengangguk. "Lalu, bagaimana kau tahu alamat rumahku? Apa.. kau memakai kekuatanmu menjadi Kepala Polisi, untuk melacak keberadaan ku?" Diara terbelalak. "Ayah, menjadi Kepala Polisi sekarang?" bisik Diara. "Oh.. Ayah belum cerita padamu?" "Wah.. keren sekali." Haris berdeham. Membuat Diara dan Tomi menatapnya. "Ah.. Diara yang memberitahu." Haris menatap Diara. "Dia.. anak Ranti?" Diara mendengus. Lalu, terkekeh. "Ayolah. Tidak perlu berpura-pura. Aku tahu.. kau mengingat semuanya." "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti," kata Haris. "Kau masih ingin berbohong? Kau ingin aku percaya? Kau, tidak mengingat segalanya? Oh, Ayolah. Pertama kali, kau melihatku dan Ayahku tadi, kau tidak terkejut. Dulu kalian bersah
1992Tomi tengah menggendong Diara, yang tengah menangis karena sakit. Badannya demam sudah 2 hari. Mengayun tubuhnya, agar Diara segera tertidur. Butuh kerja keras selama 20 menit, untuk membuat Diara tidur."Dia sudah tidur?" tanya Ranti. Baru saja selesai mencuci baju."Iya. Baru saja.""Berikan padaku."Diara terbangun, ketika Ranti menyentuh tangannya. Seketika, menangis. Tomi mulai mengayun tubuhnya lagi."Biar aku saja," kata Tomi.Ranti mendesah singkat."Maaf, jadi merepotkan mu.""Hei, dia juga anakku. Kenapa harus mengatakan seperti itu.""Tapi, tetap saja..""Ingat, Ranti. Dia adalah anakku. Bukan anak orang kaya itu. Jadi.. jangan pernah sebutkan nama itu di depan Diara atau di depanku. Kau mengerti?"Ranti mengangguk paham.Keduanya menikah, saat usia kandungan Ranti masih 10 minggu. Tomi bergegas memberitahu orang tuanya, untuk segera meminang Ranti. Namun, Tomi juga menjelaskan kondisi Ranti. Cukup terkejut dengan itu, tapi, Tomi menjelaskan dengan baik. Dengan berat
2024Diara, Haris, dan Ranti saling berhadapan."Semuanya sudah berakhir, Bu. Kami.. berhasil menangkap Farel."Ranti tersenyum. Mendekati Diara. Menggenggam kedua tangannya."Kau sudah bekerja keras. Terima kasih, Diara.""Sekarang, Ibu bisa kembali ke sana dengan tenang. Jalani hidupmu yang sebelumnya hancur, karena laki-laki itu. Dan.. coba perbaiki hubunganmu dengan Nenek. Kau hanya perlu bersikap manis. Sesekali, makan bersama dengannya."Ranti mengangguk."Aku akan melakukan itu."Mata Ranti berkaca-kaca. Memeluk Diara."Maafkan Ibu, Diara. Selama ini, kau hidup dengan sangat tersiksa.""Tidak, Bu. Aku sudah cukup bahagia, bersama Bu Lia dan teman-temanku. Sampai jumpa di masa depan, Bu.""Kita bertemu lagi di masa kecilmu, ya? Ibu.. akan selalu ada di sampingmu sekarang."Setelahnya, Haris mengantarkan Ranti kembali ke masanya.Sekarang.. semuanya, akan baik-baik saja, kan?**"Ibu? Ibu? Di mana kau? Ibu?? Aku berhasil mengubahnya. Ibu?!"Diara berdiri di dapur, dengan terengah
Beberapa Jam Sebelum PenangkapanDiara dan yang lain kembali ke markas. Baru saja, selesai mengobati luka Haris dan Sinta."Hei, ada apa dengan Tomi?" tanya Haris pada Sinta. Tomi nampak lesu. Duduk di sudut. Sementara, Diara membereskan kotak obat."Laki-laki yang hampir menabrak ku tadi adalah kekasih Ranti," bisik Sinta."APA?" Haris nyaris berteriak."Pelan kan suaramu!""Tunggu.. jadi.. Ranti selingkuh dari Tomi?""Aku juga tidak tahu. Tapi, dari pengamatanku.. sepertinya, laki-laki tadi adalah kekasih pertama Ranti.""Jadi.. Tomi yang menjadi selingkuhannya?""Hmm, sepertinya tidak juga.""Lalu, bagaimana ceritanya? Kau ini, kalau bicara jangan sepotong demi sepotong. Menjengkelkan sekali."Sinta berdecak kesal. Lalu, berdeham."Ini menurutku.. cinta Tomi bertepuk sebelah tangan. Dan, mereka sebenarnya tidak pernah ada hubungan. Hanya saja, Tomi menganggap Ranti menerima cintanya. Kau tahu, kan? Ranti itu sangat baik hati. Dia.. tidak tega untuk mengatakan pada Tomi, jika ia su
Diara berada di markas DMA bersama yang lain. Mengulang kejadian, di saat mereka membahas kasus Rima. "Rima-""Anak kelas 2. IPA. Rambut keriting. Kulit sawo matang. Tinggi 145 senti. Menghilang 7 hari yang lalu. Saat perjalanan pulang sekolah," sahut Diara. Memotong kalimat Tomi."Yap. Betul kata Ranti.""Orang tuanya sudah melapor. Namun, polisi belum menemukan petunjuk. Karena, si pelaku tidak meninggalkan jejak," jelas Diara.Tomi mendengus."Terima kasih, Sayang. Kau menjelaskan dengan sangat sempurna."Diara menggerakkan dua alisnya ke atas."Tidak ada saksi?" Sinta bertanya.Tomi menggeleng. Dan, Diara mendesah singkat."Kali ini, kalimatku akan cukup panjang," gumamnya, dengan nada lelah."Dia menghilang saat pulang sekolah. Itu sekitar pukul 13.00. Di sekitar jam itu kemungkinan jalanan sepi. Tapi, tidak menutup kemungkinan ada pemakai jalan yang lewat," ulas Diara. Lalu, mendesah panjang."Oh, bisakah kita segera pergi ke lokasinya? Tak jauh dari sini, kan? Haris ada 2 moto
Ketika manusia akan bertemu dengan ajalnya, maka.. akan di putarkan kisah hidupnya dari sejak ia di lahirkan, hingga di detik akhir hidupnya.Banyak manusia akan sangat menyesali perbuatannya semasa hidup. Tapi, juga akan banyak yang bersyukur dengan hidup yang ia jalani.Termasuk, manusia yang bergelar Ibu. Perjalanannya menjadi seorang Ibu, akan kembali di putar di hadapannya. Saat, berusaha untuk hamil. Lalu, mendapat kabar jika rahimnya sudah terisi malaikat kecil. Menjaganya sepenuh hati. Sampai, janin membesar dan sehat sempurna. Dan, ketika tiba janin tersebut di lahirkan. Bertaruh nyawa. Setengah mati. Menggendong bayinya pertama kali. Menyusui. Terjaga di setiap malam. Dia nikmati sendiri. Melihat senyuman pertama bayinya. Merasakan genggaman tangan mungil bayinya. Hingga, ia tumbuh besar. Kasih sayangnya, tak akan pernah pupus.Gambaran itu yang juga di lihat Ranti di sisa-sisa nafasnya, saat nyawanya hampir menghilang. Tersenyum dengan kesakitan. Tetesan air matanya untuk
"Haris.. kita perlu bicara," kata Sekar. Berdiri, agak jauh di belakangnya.Haris meletakkan kembali gagang telepon. Berbalik badan. Menatap Sekar lamat-lamat."Oh.. ada apa?"Sekar mendengus."Ada apa katamu? Dari mana saja kau?""Aku ada urusan.""Sangat penting urusanmu? Sampai, kau membiarkan Ayah dan Ibuku, menunggu di Restoran berjam-jam lamanya?"Haris tercengang. Menahan napas 1 detik."Ah.. maafkan aku. Aku.. lupa.""Lupa katamu? Tadi pagi, aku sudah mengingatkanmu, kan?""Iya. Aku minta maaf. Aku benar-benar lupa. Nanti, biar aku menelepon Ayah dan Ibu, hm?"Sekar mendesah kesal."Kau.. masih berusaha mencari Ranti? Itu alasanmu tak datang tadi?"Haris diam. Menundukkan kepala."Kau tidak bisa menjawab? Yang artinya.. kau memang sengaja tidak datang tadi, karena tengah mencari Ranti. Kau sangat tega sekali, Haris."Haris membasahi bibirnya. Berjalan mendekat pada Sekar."Sungguh.. maafkan aku. Bagaimana, aku bisa menebus kesalahanku?"Sekar mengerutkan dahi."Kau.. benar Har