Ghazanvar yang tengah melamun membayangkan Zaviya seketika terhenyak saat menyadari kalau mobilnya nyaris menghantam mobil dari arah berlawanan.
“Abaaaaang!” Aruna-sang adik yang duduk di sampingnya berseru terkejut karena saat membuka mata dari tidur ayamnya tiba-tiba melihat mobil dari arah berlawanan hendak menabrak mobil mereka. Itu yang Aruna tangkap oleh indra penglihatannya dan dia percayai. Ghazanvar refleks membanting stir ke kiri dan berhasil menginjak rem tepat waktu sehingga mobilnya berhenti di bahu jalan yang tekstur tanahnya berkerikil. Ghazanvar dan Aruna sang adik langsung menoleh ke belakang mencari tahu apa yang terjadi melalui kaca jendela belakang setelah mendengar suara kencang dari hantaman sesuatu dari arah belakang. Meski saat itu hari beranjak malam dengan pencahayaan minim di tambah hujan rintik-rintik tapi mereka masih bisa melihat mobil yang tadi dihindari Ghazanvar menabrak pembatas jalan kemudian lompat ke jurang. “Abaaaang.” Aruna panik, tangannya menepuk-nepuk lengan berotot sang kakak dengan pandangan masih terpaku ke arah belakang. Ghazanvar sontak membuka seatbelt kemudian turun dari mobil, dia berlari menuju bibir jurang tempat mobil tadi melompat. Duar!!!! Sebuah ledakan terdengar sampai Ghazanvar harus berjongkok dan melindungi kepalanya menggunakan kedua tangan karena apinya tersembur sampai ke jalan. “Abaaaaaang!” Aruna yang baru saja turun menjerit ikut berjongkok karena beberapa puing dari komponen mobil terlempar ke jalan dampak dari ledakan. Setelah dirasa tidak ada benda yang beterbangan lagi Aruna berlari memeluk sang kakak. “Abaaaang, ayo kita lapor Polisi … kasian mereka.” Aruna menangis di dada Ghazanvar yang tubuhnya bergetar dan matanya basah karena dia menganggap kalau kecelakaan ini adalah murni kesalahannya. Jalanan saat itu sangat sepi, mereka sudah sampai di Sukabumi tidak jauh dari Pondok Pesantren yang menjadi tujuan mereka yang berada di pelosok desa. “Abaaaaang … telepon papi cepetan.” Aruna mengguncang lengan Ghazanvar karena sang kakak malah termenung. “Aruna, Abang yang menyebabkan mobil itu jatuh ke jurang.” Ghazanvar melirih. *** “Pi … Abang nabrak mobil, eh ….” Ghazanvar meringis sembari memegang kepalanya sementara satu tangan memegang ponsel yang menepel di telinga. Tapi Ghazanvar juga tidak yakin dengan dugaannya tersebut. “Apa?” Papi Arkana terdengar terkejut di ujung panggilan telepon sampai mami yang sedang memakai skin care di depan meja rias mendekat pada papi yang duduk di tepi ranjang. “Kenapa?” tanya mami pada papi, keningnya mengkerut dalam. “Abang … itu … mobil orang masuk ke jurang gara-gara Abang,” sambung Ghazanvar mencoba memberitahu apa yang dia yakini. “Gimana ceritanya kok bisa? Kamu sama Aruna enggak apa-apa, kan? Kamu ngantuk ya! Kata Mami juga pakai supir, kamu enggak nurut …,” cecar mami Zara setelah merebut ponsel dari tangan papi dan mengubah panggilan tersebut menjadi mode loudspeaker. Sekarang Aruna yang merebut ponsel dari tangan sang kakak dan mengubahnya menjadi mode loudspeaker karena mendengar suara sang mami yang cempreng mencecar Ghazanvar. “Mami, tadi pas tikungan tajam mobil abang sama mobil dari arah berlawanan hampir tabrakan terus mereka sama-sama menghindar, abang berhasil membawa mobil kami ke bahu jalan tapi mobil itu malah lompat ke jurang.” Aruna menjelaskan apa yang dia lihat. Ghazanvar terdiam, dia tampak bingung karena merasa tadi melamun sambil mengemudi dan tanpa sadar mengambil jalan arah berlawanan sehingga nyaris tabrakan. “Pi … Mi, Abang tadi ngelamun … kayanya Abang yang salah.” Ghazanvar mengaku. “Enggak Abang, Aaruna liat sendiri—“ Kalimat Aruna terjeda. “Kamu cuma mau belain Abang, Aruna.” Ghazanvar menatap teduh adiknya yang kemudian menangis meraung memeluk Ghazanvar. “Cepet kamu pergi dari sana!” titah papi Arkana. “Jangan, kamu harus tanggung jawab!” serobot mami Zara tidak setuju sembari mendelik tajam pada papi. “Miiii, kasian Abang.” Aruna mengerang sambil menangis. “Ghazanvar akan masuk penjara, Mi.” Papi mengingatkan. “Apa ada saksi?” Mami sedang mencari solusi. “Enggak ada Mi, orang- orang baru datang setelah beberapa menit mobil korban meledak … kita ada di tengah hutan, Mi.” Suara Ghazanvar masih bergetar. “Kamu udah hubungi Polisi?” Gantian papi Arkana bertanya. “Sudah, Pi … Abang akan bicara yang sebenarnya sama Polisi.” Suara Ghazanvar mengecil di akhir kalimat. “Kamu jangan katakan apapun sampai Papi datang, kita ketemu di kantor Polisi.” *** Ghazanvar sama sekali tidak merasa senang saat orang-orang memuji sikap heroiknya yang berpikir kalau dia sengaja menghentikan kendaraan untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan mobil nahas itu lalu melaporkannya kepada yang berwajib. Polisi juga mengucapkan Terimakasih kepada Ghazanvar padahal dia sudah mengatakan kronologis kejadian bagaimana sampai mobil itu melompat ke jurang tapi tanpa memberitahu kalau sebenarnya saat itu dia sedang melamun. Mereka berpikir kalau itu adalah kecelakaan tunggal aebab tidak ada sedikitpun lecet di mobil SUV mewah yang dikemudikan Ghazanvar. Namun sayang mereka semua salah mengira karena sesungguhnya Ghazanvar masih merasa kalau dirinya lah yang bertanggungjawab atas kecelakaan tersebut karena mengemudi sambil melamun sehingga stir oleng ke kanan kemudian mobil korban dari arah berlawanan berusaha menghindar yang mengakibatkan masuk jurang. Ghazanvar membenci dirinya sendiri yang tidak berani mengatakan yang sebenarnya kalau dia sedang melamun sambil mengemudi. Bibirnya kelu, wajahnya pucat, dia seperti orang linglung. Setelah dilakukan evakuasi yang berjalan lancar dan cepat, diketahui kalau korban yang ada di dalam mobil nahas itu berjumlah dua orang dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan berusia paruh baya. Jasad korban langsung dibawa ke Rumah Sakit yang jaraknya tidak jauh dari kantor Polisi. “Bang, hey!” tegur mami melambaikan tangannya di depan Ghazanvar. Mami dan papi sudah selesai bicara dengan Kapolres. “Sepertinya anak Bapak dan Ibu masih syok atas kecelakaan tersebut,” kata Kapolres yang mengantar mami dan papi ke area depan kantor. Padahal Ghazanvar sering berkelahi dan entah berapa orang yang nyawanya dia habisi dalam setiap perkelahian. Namun mereka adalah orang jahat, beda kasus dengan korban kecelakaan ini yang sama sekali tidak Ghazanvar kenal. Aruna memeluk Ghazanvar dari samping, dia sedih melihat sang kakak yang terguncang. Tadi dia juga memberikan kesaksian yang menguatkan kalau sang kakak tidak bersalah, kakaknya tidak boleh sampai masuk penjara. “Saya mendapat info kalau keluarga korban ingin berterimakasih, apakah Bapak dan Ibu beserta Ghazanvar dan Aruna bersedia datang ke rumah sakit? Letaknya tidak jauh, ada di sebelah kantor ini.” Kapolres menyampaikan pesan dari anggotanya yang ada di rumah sakit. “Oh … boleh … boleh.” Mami menyetujui agar dugaan tentang Ghazanvar yang berjasa melaporkan kejadian tersebut lebih meyakinkan. Ghazanvar melirik sang mami bersama gelengan kepala samar dibalas mami Zara dengan tatapan memaksa Ghazanvar untuk menghadapi semua ini. Akhirnya mereka semua pergi ke rumah sakit diantar salah satu petugas Polisi. “Pak Eka, Pak Cecep dan Pak Rukmana … ini adalah Ghazanvar, orang yang pertama kali melihat kejadian tersebut dan yang melaporkannya kepada kami.” Mata Ghazanvar membulat setelah petugas Polisi yang mengantar mereka berujar demikian. “Oh saya Pak Eka, kakak dari korban perempuan dalam kecelakaan itu … Terimakasih sudah melaporkan kejadian ini ya, Dek!” Seorang pria paruh baya tinggi kurus mengulurkan tangan. Pria itu sangat berterimakasih tapi tampak berlebihan. “Cecep,” kata pria paruh baya lainnya saat bersalaman dengan Ghazanvar. “Saya Rukmana … kakak dari Pak Agus Rijadi yang mengemudi mobil itu.” Beliau berujar lugas penuh wibawa. Ghazanvar menyalami mereka tanpa bersuara hanya senyum simpul yang dia paksakan di bibirnya. Tok… Tak … Tok … Tak … Suara hentakan sepatu ke lantai terdengar mendekat mengambil alih perhatian mereka. Dari jauh mereka semua melihat seorang gadis berlari mendekat dengan raut panik dan cemas. “Paman … mana ibu sama bapak?” Gadis cantik itu bertanya saat langkahnya sudah hampir dekat. Pria paruh baya bernama Cecep tiba-tiba menangis kemudian meraung sembari perlahan menjauh mungkin di antara keluarga yang lain dia yang paling peka, tidak tega memberitahu berita duka ini kepada gadis cantik yang Ghazanvar duga adalah putri dari korban kecelakaan. Dan saat itu hati Ghazanvar kian diliputi perasaan bersalah.Ghazanvar Nawasena Gunadhya tidak pernah mengenal kata kecewa lantaran apa yang dia inginkan selama hidupnya pasti akan didapatkan dengan mudah mengingat dia adalah seorang anak Konglomerat dan cicit dari salah satu orang terkaya di Asia Tenggara.Hanya menjentikan jari saja, apa yang dia inginkan tersaji di depan mata namun sayang, keserakahannya membawa Ghazanvar pada perasaan bernama cinta terlarang.Dia mencintai seorang wanita bernama Zaviya yang merupakan istri dari sepupunya sendiri.Awalnya Ghazanvar hanya memuji kecantikan dan sikap menggemaskan Zaviya namun lama-lama perasaan memuji itu berubah menjadi cinta.Dia tahu kalau pernikahan sang sepupu yang bernama Svarga dengan Zaviya adalah perjodohan, dia juga bisa menilai kalau Svarga tidak mencintai Zaviya sehingga harapan muncul di hatinya.Ghazanvar sampai bersedia menunggu jandanya Zaviya.Mungkin Tuhan ingin memberikan sebuah pelajaran kepada Ghazanvar agar tidak serakah karena ternyata justru benih cinta hadir di antara
Plak! Sebuah pensil mendarat di kening Ghazanvar membuat pria itu terhenyak kembali dari lamunannya.Percakapan terakhirnya dengan Zaviya di Bandung tempo hari selalu berkelebat dibenak Ghazanvar menikam kian dalam hati Ghazanvar yang sudah babak belur.“Kamu kalau enggak niat rapat keluar saja!” hardik kakek Narendra geram, beliau adalah orang yang bertanggung jawab melempar pinsil ke kening Ghazanvar barusan.Pasalnya saat ini Ghazanvar sedang berada di tengah-tengah meeting bersama Komisaris Utama yaitu sang Kakek guna mempertanggungjawabkan laporan kinerja perusahaannya selama satu tahun terakhir.Di sana banyak pimpinan tertinggi dari perusahaan yang tergabung dalam AG Group- yang merupakan kerajaan bisnis milik keluarganya. Kebanyakan pimpinan dari perusahaan yang berada di bawah payung AG Group adalah para sepupunya sendiri termasuk Svarga dan beberapa orang lain tapi memiliki kemampuan untuk menjalankan bisnis dan tentunya bisa dipercaya.Semua orang yang duduk mengelilingi
Seorang pria tampan menoleh ke belakang membuat tatapan mereka bertemu.Afifah tersenyum manis di balas senyum manis yang sama oleh pria itu.“Ayang!” seru seorang gadis dari tengah aula dan pria dengan senyum manis tadi segera saja mengalihkan pandangannya ke depan.“Yaaaa, ada monyetnya.” Afifah bergumam.Naraya mulai latihan menari jaipong, sebuah tarian yang tidak pernah bisa Afifah kuasai tapi melihat bagaimana Naraya menari seolah setiap gerakannya sangat mudah.Jemari-jemari Naraya yang lentik, gerakan pinggulnya, pundak dan kepalanya yang seirama selalu berhasil membuat Afifah terkagum-kagum termasuk kakak angkatan Naraya yang sedang melatih.Pria muda bernama Khafi itu selalu menjadikan Naraya contoh agar bisa mengambil kesempatan menyentuh pinggang, pundak dan bagian tubuh Naraya lainnya yang kebetulan gerakan tersebut harus dilakukan.Afifah berdecak kesal, menatap malas Khafi yang kini sedang mengaitkan tangannya di pinggang Naraya.“Menang banyak doi,” gumam Afifah menata
“Mau sampe kapan kamu kaya gini?” Anasera menggeser gelas berisi minuman beralkohol pesanan Ghazanvar ke hadapan pria itu.Gadis cantik pemilik bar and lounge ini sampai turun tangan melayani Ghazanvar lantaran tidak bergerak dari kursinya semenjak sore tadi tanpa memesan apapun.Ghazanvar menengadahkan kepala bersama hembusan napas jengah.“Kamu punya tutorial bunuh diri tapi enggak sakit? Terus punya kenalan orang dalam di akhirat, biar aku nanti bisa masuk Surga?” Pertanyaan Ghazanvar yang diucapkan dengan ekspresi serius itu membuat Anasera mendengkus.“Gila! Gara-gara cewek kamu bisa kaya gini, biasanya cewek-cewek yang rela mati demi kamu.” Anasera menyindir sembari melengos masuk ke dalam kitchen mengecek pekerjaan karyawannya di sana.Mengenal Ghazanvar sedari lahir tentu membuat Anasera memahami pria itu namun sepertinya Anasera merasa asing dengan Ghazanvar yang sekarang karena pria itu tidak pernah benar-benar jatuh cinta seperti yang dia alami sekarang.Dan sayangnya pria
“Tumben ayah sama bunda dateng,” sapa Arkana-papi dari Ghazanvar yang baru saja tiba di rumah menyapa kedua orang tuanya yang sedang duduk di ruang tamu.“Kami mau bicara tentang Ghaza.” Nenek Aura memberitahu alasan mereka datang malam-malam begini, raut wajah beliau tampak cemas.“Ghaza kenapa?” Arkana yang sudah duduk di samping istrinya dengan tangan terentang di sepanjang pundak mami Zara pun balas bertanya.Mami Zara menoleh ke samping, menatap sebal pada papi Arkana yang tidak peka padahal beberapa waktu terakhir, Ghazanvar menjadi topik pembicaraan mereka sebelum tidur lantaran sikap Ghazanvar yang murung dan lebih suka menyendiri.“Oooh si Ghaza yang akhir-akhir ini suka ngelamun itu?” Papi Arkana akhirnya mengerti.“Itu mah gara-gara patah hati, kata dia sih Zaviya kasih ultimatum kalau dia enggak akan pernah jatuh cinta sama Ghaza … jadi kaya gitu tuh anak,” sambung papi Arkana santai kaya di pantai.“Enggak bisa dibiarin, Kana! Perusahaan berantakan gara-gara dia enggak fo
“Kalau kata saya sih mending kamu suruh Nay berhenti kuliah dan nikah sama si Surawijaya itu … hutang-hutang kamu lunas, kamu dan suami kamu akan ditanggung hidupnya … belum lagi si Surawijaya punya kenalan orang dalem … suami kamu bisa ditempatin di tempat bagus atau naik jabatan di pemerintah.” Paman Eka-kakak laki-laki dari ibu Hernita mencetuskan ide gila.“Kang, aku sama bapaknya Nay minjem uang ke si Surawijaya itu untuk kuliah Nay … ya masa aku harus suruh Nay berhenti kuliah dan menikah sama si aki-aki tua bangka itu? Aku aja kalau disuruh nikah sama dia, enggak mau!” Ibu Hernita sewot menanggapi ide sang kakak.“Ya trus mau gimana? Saya enggak bisa bantu, saya juga punya hutang sama si Surawijaya.” Paman Eka mengisap rokoknya dalam-dalam kemudian mengembuskan ke udara.“Saya ke sini bukan minta bantuan Akang, saya mau nagih hutang Akang bekas ke Arab Saudi kemarin jadi TKI … sekarang saya lagi butuh banget, Kang.” Ibu Hernita mengesah, dia hampir menangis karena tidak tahu ha
Hari jum’at tepatnya, Ghazanvar sengaja meninggalkan kantor lebih awal.Dia menjemput Aruna ke kampusnya yang merupakan kampus Negri terbaik di Indonesia.Hanya Aruna dari kelima anak papi Arkana dan mami Zara yang tidak kuliah di Luar Negri karena papi tidak mengijinkan.Memiliki satu anak perempuan di antara empat anak laki-laki membuat papi Arkana sangat overprotective terhadap Aruna.Jalanan kota Jakarta saat itu masih cukup lengang hingga mobil SUV mewah Ghazanvar tiba di kota Depok di mana kampus Aruna berada.Ghazanvar turun dari mobil, menutup pintu lalu menyandarkan setengah bobot tubuhnya pada sisi mobil lantas dengan cara paling cool dia membuka kaca mata hitamnya.Nyaris semua mahasiswi yang ada disekitar sana histeris melihat pria tampan bak aktor Korea dengan segala pesona dan kharisma berdiri di samping ‘tunggangan’ eksclusivenya.“Abaaaaang!” Aruna berseru memanggil Ghazanvar.Gadis mungil itu melambaikan tangan dari jauh dan Ghazanvar langsung menangkap sosok cantik t
Ghazanvar tidak tahu harus berbuat apa, hati nuraninya memaku kedua kaki agar tetap tinggal dan menghadapi apa yang terjadi.Namun logikanya memerintahkan agar Ghazanvar pergi dan melupakan kejadian ini karena jika sampai dia masuk penjara maka nama baik Gunadhya akan tercemar.Suara berisik datang dari arah kanan membuat jantung Ghazanvar berdetak kencang.“Paaaak, tolong Pak!” Tiba-tiba Aruna berteriak setelah melepas pelukan.“Aruna!” Ghazanvar berseru panik.“Paaak! Tolong itu tadi saya sama Abang saya liat mobil melompat ke jurang terus terbakar Pak! Tolong Pak, kasian mereka!” Aruna berlari menghampiri beberapa warga yang mulai berdatangan.“Ada apa?” Tanya salah satu pria.“Apa yang terjadi?” Pria lain ikut bertanya.“Tenang dulu, Dek … tenang dulu.” Salah seorang pria paruh baya berujar demikian karena Aruna bicara sambil menangis jadi tidak terdengar jelas kata-katanya.Aruna menarik tangan pria paruh baya itu mendekat ke arah Ghazanvar yang masih berdiri di bibir jurang yang
Naraya menderapkan langkah menyusuri jalan setapak menuju kelas berikutnya.“Nay!” Suara berat seorang pria membut langkahnya berhenti, dia lantas menoleh ke asal suara.“Stop di situ!” Naraya berseru sambil mengangkat tangan.Langkah Khafi seketika terhenti, wajah tampan itu pun melongo bingung.“Mas Khafi chat aja, jangan deket-deket Nay dulu … nanti suami Nay marah, Nay lagi banyak pikiran enggak mau ditambah berantem sama abang juga.” Kedua alis Khafi terangkat hanya bisa diam membeku sembari menatap punggung Naraya yang dengan cepat menjauh.Ada gejolak di dada Naraya rasanya ingin marah-marah.Naraya tidak mengerti, ingin menangis juga sebenarnya tapi lebih besar perasaan ingin marah-marah, entah kenapa, Naraya juga bingung.Dia tidak bicara dengan teman-temannya selama kelas berikutnya berlangsung sampai akhirnya kelas berakhir kemudian Naraya pergi ke parkiran.“Awas aja ya kalau sampai abang Ghaza belum sampe, Nay pulang sendiri …,” ancamnya sembari misuh-misuh.Na
“Lho Nay, mau ke mana?” Ghazanvar yang baru saja keluar dari kamar mandi bertanya dengan kening berkerut tidak suka melihat Naraya memakai pakaian untuk kuliah berupa kemeja dan celana jeans.“Mau kuliah, Bang.” Naraya menjawab sembari menyisir rambut panjangnya tanpa berani menatap mata sang suami.“Tapi kamu ‘kan kemarin malam masih lemes sampai aku gendong dari mobil ke kamar … ijin dulu lah Nay sehari,” pinta Ghazanvar baik-baik demi kesehatan Naraya dan janin yang ada di dalam perutnya.“Enggak bisa Bang, sekarang ada ujian praktek menari—“ Kalimat Naraya terhenti teringat ucapan papi Arkana saat di Singapura.Dia menunduk menatap perutnya yang masih rata kemudian mengusap lembut di sana.“Naaay … gimana kalau kamu cuti dulu sampai melahirkan?” bujuk Ghazanvar, kedua tangannya terulur memeluk Naraya dari belakang.Dia juga ikut mengusap perut Naraya menggunakan kedua telapak tangannya yang besar.Banyak kecupan Ghazanvar berikan di belakang kepala Naraya.“Aku sayang kamu
“An …,” panggil Arnawarma lembut sembari menurunkan sleting gaun Anasera.“Hem?” Anasera mendengung sebagai respon.“Kita buat yang kaya di perutnya Nay, yuk!” bujuknya seperti anak kecil.Anasera terkekeh, membalikan tubuhnya kemudian mendongak menatap sang suami yang tinggi menjulang di depannya.“Kamu enggak bosen? Tiap malam kita bercinta, sampai malam sebelum akad nikah aja kamu menyusup ke kamar aku untuk bercinta … tadi malam juga kita bercinta.” Anasera melapisi sisi wajah Arnawarma.Dan kenapa Anasera baru benar-benar menyadari kalau Arnawarma sangat tampan, bahkan menurut Anasera, Arnawarma paling tampan di antara adik-adik dan kakaknya.“Enggak lah masa bosen.” Arnawarma menurunkan gaun Anasera dari pundaknya.Kini hanya tersisa celana kain berenda menutup bagian inti Anasera sedangkan dua bagian menyembul di dadanya menggantung tampak seksi.Arnawarma meremat lembut salah satu bagian itu dengan sorot mata teduh.“Nawa.” Jemari ramping Anasera membuka satu persatu
Sekembalinya dari rumah sakit, Ghazanvar langsung membawa Naraya ke kamar, tidak kembali ke pesta yang saat itu belum berakhir.Naraya langsung berbaring di ranjang karena tubuhnya terasa lemas sekali.Dia berbaring miring, menekuk kakinya dengan tangan pengusap perut.Tiba-tiba air mata Naraya menetes lagi, dadanya bergemuruh mengakibatkan sesak dan dia mulai terisak.“Sayaaang.” Ghazanvar yang sedang menanggalkan tuxedonya bergegas mendekat.“Are you oke?” Ghazanvar naik ke atas ranjang memeluk Naraya.“Nay enggak apa-apa tapi enggak tahu kenapa ingin nangis.” Naraya bicara di antara isak tangis.“Ingin nangisnya karena apa? Aku salah apa, sayang?” “Enggak, Abang enggak salah … Nay, inget sama ibu dan Bapak.” Ghazanvar memberikan kecupan di puncak kepala Naraya lantas mengeratkan pelukan.“Mereka pergi sebelum sempat melihat cucunya,” sambung Naraya terisak.Ghazanvar mengerti apa yang Naraya rasakan. “Nanti kita datang ke pemakaman kedua orang tua kamu setelah anak kit
Naraya terpana begitu masuk ke dalam Ballroom yang disulap seperti hutan peri.Banyak bunga, pohon-pohon artifisial serta lampu warna-warni.“Bro!“ Radeva merangkul pundak Ghazanvar.“Dari mana, Dev?” tanya Ghazanvar terkejut.“Abis telepon Ipeh.” Radeva menggerakan tangannya yang memegang handphone.“Ini kayanya si Ana berusaha keras banget nutupin jati diri dia yang sebenarnya.” Radeva berpendapat sembari memindai seluruh ruangan Ballroom.“Kenapa? Gara-gara tema dekornya fairythopia?” Ghazanvar menebak dan Radeva menganggukan kepalanya sebagai respon.“Gimana kalau ide tema ini idenya si Nawa?” ujar Ghazanvar lantas tergelak.“Bisa jadi sih! Si Ana ‘kan sukanya warna item dengan tema serba minimalis … enggak kaya pesta ulang tahun anak cewek umur tujuh tahun gini.” Ghazanvar tertawa lagi menanggapi.Lalu suara MC terdengar membuka acara, satu persatu tamu undangan mulai berdatangan.MC yang menggunakan bahas Inggris itu memberi instruksi agar para tamu membuat sebuah li
Ghazanvar berdecak lidah kesal saat melihat Naraya berjalan mendekat.Istrinya tampak cantik sekali mengenakan gaun untuk resepsi pernikahan Arnawarma dan Anasera.“Nay, ah … kamu kenapa cantik-cantik banget sih!” seru Ghazanvar dengan tampang tidak suka.“Ih, kok Abang gitu … istrinya cantik malah protes.” Sebagai seorang perempuan, Aruna tidak suka dengan sikap kasar sang kakak kepada istrinya di depan banyaknya sepupu mereka.“Nanti kalau banyak yang terpesona terus mau ngerebut dia dari Abang, gimana?” Ghazanvar mengungkapkan alasannya.“Kata cowok yang pernah berusaha ngerebut istri dari adik sepupunya sendiri,” celetuk Narashima santai dengan tatapan fokus pada gadgetnya karena sedang main game.Semua lantas tergelak menertawakan Ghazanvar membuat pria itu merotasi bola matanya dan raut wajah Naraya yang tadi menegang pun perlahan melembut.“Duduk, Nay.” Reyzio bangkit dari samping Ghazanvar memberi tempat untuk Naraya.Seluruh Gunadhya sedang berkumpul di lobby sebuah h
“Nay … seriusan aku enggak tahu kalau papi nyumbang buat acara ini.” Ghazanvar membuka pembicaraan setelah beberapa menit semenjak mereka masuk ke dalam mobil—Naraya bungkam seribu bahasa.“Sebenarnya Nay enggak masalah, Bang … cuma Nay khawatir orang-orang bergosip kalau Nay bisa selalu mewakili kampus karena mertuanya penyumbang terbesar setiap acara di kampus.” Naraya terdengar menggerutu, bibirnya mengerucut dengan wajah ditekuk.“Nanti aku bilang sama papi ya untuk enggak selalu andil, tapi kayanya pihak kampus yang ngajuin proposal duluan ke papi … sekarang papi sama Rektornya ‘kan bestian, teman golf.”Naraya menoleh menatap suaminya. “Oh ya?” Kedua alis wanita yang memiliki mata seperti almond itu terangkat.Setelah untuk yang pertama kalinya papi Arkana dan papanya Khafi bertemu di kantor Polisi karena urusan sang putra yang berkelahi dan setelah itu mereka jadi akrab.“Iya sayang … ya masa sama bestie enggak royal,” kata Ghazanvar lagi kemudian tertawa.“Ya kalau git
Ghazanvar sengaja tidak masuk kantor untuk melakukan gladi di kampus Naraya, tapi bukan berarti pria itu tidak bekerja—Ghazanvar masih bertanggung jawab pada pekerjaannya dengan membawa MacBook dan mengerjakan apa yang biasa dia kerjakan di kantor dari kampus Naraya atau lebih tepatnya Aula utama tempat pentas seni akan berlangsung besok.Sesekali matanya mengawasi interaksi antara Naraya dengan Khafi, mereka tampak akrab sekali.Ghazanvar jadi kesal dan dia tidak mau repot-repot menutupi ekspresi benci di wajahnya untuk Khafi.Lihat saja bagaimana tajamnya tatap mata Ghazanvar tertuju pada Khafi saat netra mereka tidak sengaja bersirobok.“Abang Ghaazaaa.” Afifah datang membawa satu cup kopi untuk Ghazanvar.“Ini buat Abang,” katanya manis sekali.“Waaah, curiga nih pasti kamu mau nanya-tanya tentang Radeva ya!” tebak Ghazanvar membuat Afifah menyengir lebar.Ghazanvar tertawa karena tebakannya benar sampai berhasil mengambil alih perhatian Naraya dan Khafi yang berada di atas
Pria itu bangkit dari kursi. “An … aku lewati satu malam dan satu hari tanpa kamu … dan ternyata aku enggak bisa.” Detik berikutnya Anasera berlari ke arah Arnawarma lantas memeluk pria itu erat. Anasera menangis di dada Arnawarma, dia pikir telah kehilangan pria itu. “Maafin aku ya, aku terlalu egois …,” kata Arnawarma padahal yang salah Anasera. Anasera menggelengkan kepala. “Aku yang salah.” Suara Anasera teredam dada Arnawarma. “Enggak sayang, aku yang salah.” Arnawarma bersikeras. Anasera mendongak demi menatap wajah tampan sang tunangan. “Aku yang salah, aku enggak bisa kasih tahu kamu keberadaan aku kemarin.” “Iya enggak apa-apa, harusnya aku percaya sama kamu … jadi aku yang salah.” Arnawarma memaksa. “Ih … enggak Nawa, aku yang salah.” Mereka berdua jadi rebutan menjadi orang yang bersalah dalam masalah ini. Lalu keduanya tertawa, Arnawarma memeluk Anasera kembali,