Share

Perjalanan Menuju Cinta
Perjalanan Menuju Cinta
Penulis: Erna Azura

Prolog

Ghazanvar yang tengah melamun membayangkan Zaviya seketika terhenyak saat menyadari kalau mobilnya nyaris menghantam mobil dari arah berlawanan.

“Abaaaaang!” Aruna-sang adik yang duduk di sampingnya berseru terkejut karena saat membuka mata dari tidur ayamnya tiba-tiba melihat mobil dari arah berlawanan hendak menabrak mobil mereka.

Itu yang Aruna tangkap oleh indra penglihatannya dan dia percayai.

Ghazanvar refleks membanting stir ke kiri dan berhasil menginjak rem tepat waktu sehingga mobilnya berhenti di bahu jalan yang tekstur tanahnya berkerikil.

Ghazanvar dan Aruna sang adik langsung menoleh ke belakang mencari tahu apa yang terjadi melalui kaca jendela belakang setelah mendengar suara kencang dari hantaman sesuatu dari arah belakang.

Meski saat itu hari beranjak malam dengan pencahayaan minim di tambah hujan rintik-rintik tapi mereka masih bisa melihat mobil yang tadi dihindari Ghazanvar menabrak pembatas jalan kemudian lompat ke jurang.

“Abaaaang.” Aruna panik, tangannya menepuk-nepuk lengan berotot sang kakak dengan pandangan masih terpaku ke arah belakang.

Ghazanvar sontak membuka seatbelt kemudian turun dari mobil, dia berlari menuju bibir jurang tempat mobil tadi melompat.

Duar!!!!

Sebuah ledakan terdengar sampai Ghazanvar harus berjongkok dan melindungi kepalanya menggunakan kedua tangan karena apinya tersembur sampai ke jalan.

“Abaaaaaang!” Aruna yang baru saja turun menjerit ikut berjongkok karena beberapa puing dari komponen mobil terlempar ke jalan dampak dari ledakan.

Setelah dirasa tidak ada benda yang beterbangan lagi Aruna berlari memeluk sang kakak. “Abaaaang, ayo kita lapor Polisi … kasian mereka.”

Aruna menangis di dada Ghazanvar yang tubuhnya bergetar dan matanya basah karena dia menganggap kalau kecelakaan ini adalah murni kesalahannya.

Jalanan saat itu sangat sepi, mereka sudah sampai di Sukabumi tidak jauh dari Pondok Pesantren yang menjadi tujuan mereka yang berada di pelosok desa.

“Abaaaaang … telepon papi cepetan.” Aruna mengguncang lengan Ghazanvar karena sang kakak malah termenung.

“Aruna, Abang yang menyebabkan mobil itu jatuh ke jurang.” Ghazanvar melirih.

***

“Pi … Abang nabrak mobil, eh ….”

Ghazanvar meringis sembari memegang kepalanya sementara satu tangan memegang ponsel yang menepel di telinga.

Tapi Ghazanvar juga tidak yakin dengan dugaannya tersebut.

“Apa?” Papi Arkana terdengar terkejut di ujung panggilan telepon sampai mami yang sedang memakai skin care di depan meja rias mendekat pada papi yang duduk di tepi ranjang.

“Kenapa?” tanya mami pada papi, keningnya mengkerut dalam.

“Abang … itu … mobil orang masuk ke jurang gara-gara Abang,” sambung Ghazanvar mencoba memberitahu apa yang dia yakini.

“Gimana ceritanya kok bisa? Kamu sama Aruna enggak apa-apa, kan? Kamu ngantuk ya! Kata Mami juga pakai supir, kamu enggak nurut …,” cecar mami Zara setelah merebut ponsel dari tangan papi dan mengubah panggilan tersebut menjadi mode loudspeaker.

Sekarang Aruna yang merebut ponsel dari tangan sang kakak dan mengubahnya menjadi mode loudspeaker karena mendengar suara sang mami yang cempreng mencecar Ghazanvar.

“Mami, tadi pas tikungan tajam mobil abang sama mobil dari arah berlawanan hampir tabrakan terus mereka sama-sama menghindar, abang berhasil membawa mobil kami ke bahu jalan tapi mobil itu malah lompat ke jurang.” Aruna menjelaskan apa yang dia lihat.

Ghazanvar terdiam, dia tampak bingung karena merasa tadi melamun sambil mengemudi dan tanpa sadar mengambil jalan arah berlawanan sehingga nyaris tabrakan.

“Pi … Mi, Abang tadi ngelamun … kayanya Abang yang salah.” Ghazanvar mengaku.

“Enggak Abang, Aaruna liat sendiri—“ Kalimat Aruna terjeda.

“Kamu cuma mau belain Abang, Aruna.” Ghazanvar menatap teduh adiknya yang kemudian menangis meraung memeluk Ghazanvar.

“Cepet kamu pergi dari sana!” titah papi Arkana.

“Jangan, kamu harus tanggung jawab!” serobot mami Zara tidak setuju sembari mendelik tajam pada papi.

“Miiii, kasian Abang.” Aruna mengerang sambil menangis.

“Ghazanvar akan masuk penjara, Mi.” Papi mengingatkan.

“Apa ada saksi?” Mami sedang mencari solusi.

“Enggak ada Mi, orang- orang baru datang setelah beberapa menit mobil korban meledak … kita ada di tengah hutan, Mi.” Suara Ghazanvar masih bergetar.

“Kamu udah hubungi Polisi?” Gantian papi Arkana bertanya.

“Sudah, Pi … Abang akan bicara yang sebenarnya sama Polisi.” Suara Ghazanvar mengecil di akhir kalimat.

“Kamu jangan katakan apapun sampai Papi datang, kita ketemu di kantor Polisi.”

***

Ghazanvar sama sekali tidak merasa senang saat orang-orang memuji sikap heroiknya yang berpikir kalau dia sengaja menghentikan kendaraan untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan mobil nahas itu lalu melaporkannya kepada yang berwajib.

Polisi juga mengucapkan Terimakasih kepada Ghazanvar padahal dia sudah mengatakan kronologis kejadian bagaimana sampai mobil itu melompat ke jurang tapi tanpa memberitahu kalau sebenarnya saat itu dia sedang melamun.

Mereka berpikir kalau itu adalah kecelakaan tunggal aebab tidak ada sedikitpun lecet di mobil SUV mewah yang dikemudikan Ghazanvar.

Namun sayang mereka semua salah mengira karena sesungguhnya Ghazanvar masih merasa kalau dirinya lah yang bertanggungjawab atas kecelakaan tersebut karena mengemudi sambil melamun sehingga stir oleng ke kanan kemudian mobil korban dari arah berlawanan berusaha menghindar yang mengakibatkan masuk jurang.

Ghazanvar membenci dirinya sendiri yang tidak berani mengatakan yang sebenarnya kalau dia sedang melamun sambil mengemudi.

Bibirnya kelu, wajahnya pucat, dia seperti orang linglung.

Setelah dilakukan evakuasi yang berjalan lancar dan cepat, diketahui kalau korban yang ada di dalam mobil nahas itu berjumlah dua orang dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan berusia paruh baya.

Jasad korban langsung dibawa ke Rumah Sakit yang jaraknya tidak jauh dari kantor Polisi.

“Bang, hey!” tegur mami melambaikan tangannya di depan Ghazanvar.

Mami dan papi sudah selesai bicara dengan Kapolres.

“Sepertinya anak Bapak dan Ibu masih syok atas kecelakaan tersebut,” kata Kapolres yang mengantar mami dan papi ke area depan kantor.

Padahal Ghazanvar sering berkelahi dan entah berapa orang yang nyawanya dia habisi dalam setiap perkelahian.

Namun mereka adalah orang jahat, beda kasus dengan korban kecelakaan ini yang sama sekali tidak Ghazanvar kenal.

Aruna memeluk Ghazanvar dari samping, dia sedih melihat sang kakak yang terguncang.

Tadi dia juga memberikan kesaksian yang menguatkan kalau sang kakak tidak bersalah, kakaknya tidak boleh sampai masuk penjara.

“Saya mendapat info kalau keluarga korban ingin berterimakasih, apakah Bapak dan Ibu beserta Ghazanvar dan Aruna bersedia datang ke rumah sakit? Letaknya tidak jauh, ada di sebelah kantor ini.” Kapolres menyampaikan pesan dari anggotanya yang ada di rumah sakit.

“Oh … boleh … boleh.” Mami menyetujui agar dugaan tentang Ghazanvar yang berjasa melaporkan kejadian tersebut lebih meyakinkan.

Ghazanvar melirik sang mami bersama gelengan kepala samar dibalas mami Zara dengan tatapan memaksa Ghazanvar untuk menghadapi semua ini.

Akhirnya mereka semua pergi ke rumah sakit diantar salah satu petugas Polisi.

“Pak Eka, Pak Cecep dan Pak Rukmana … ini adalah Ghazanvar, orang yang pertama kali melihat kejadian tersebut dan yang melaporkannya kepada kami.”

Mata Ghazanvar membulat setelah petugas Polisi yang mengantar mereka berujar demikian.

“Oh saya Pak Eka, kakak dari korban perempuan dalam kecelakaan itu … Terimakasih sudah melaporkan kejadian ini ya, Dek!” Seorang pria paruh baya tinggi kurus mengulurkan tangan.

Pria itu sangat berterimakasih tapi tampak berlebihan.

“Cecep,” kata pria paruh baya lainnya saat bersalaman dengan Ghazanvar.

“Saya Rukmana … kakak dari Pak Agus Rijadi yang mengemudi mobil itu.” Beliau berujar lugas penuh wibawa.

Ghazanvar menyalami mereka tanpa bersuara hanya senyum simpul yang dia paksakan di bibirnya.

Tok…

Tak …

Tok …

Tak …

Suara hentakan sepatu ke lantai terdengar mendekat mengambil alih perhatian mereka.

Dari jauh mereka semua melihat seorang gadis berlari mendekat dengan raut panik dan cemas.

“Paman … mana ibu sama bapak?” Gadis cantik itu bertanya saat langkahnya sudah hampir dekat.

Pria paruh baya bernama Cecep tiba-tiba menangis kemudian meraung sembari perlahan menjauh mungkin di antara keluarga yang lain dia yang paling peka, tidak tega memberitahu berita duka ini kepada gadis cantik yang Ghazanvar duga adalah putri dari korban kecelakaan.

Dan saat itu hati Ghazanvar kian diliputi perasaan bersalah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status