Ghazanvar Nawasena Gunadhya tidak pernah mengenal kata kecewa lantaran apa yang dia inginkan selama hidupnya pasti akan didapatkan dengan mudah mengingat dia adalah seorang anak Konglomerat dan cicit dari salah satu orang terkaya di Asia Tenggara.
Hanya menjentikan jari saja, apa yang dia inginkan tersaji di depan mata namun sayang, keserakahannya membawa Ghazanvar pada perasaan bernama cinta terlarang. Dia mencintai seorang wanita bernama Zaviya yang merupakan istri dari sepupunya sendiri. Awalnya Ghazanvar hanya memuji kecantikan dan sikap menggemaskan Zaviya namun lama-lama perasaan memuji itu berubah menjadi cinta. Dia tahu kalau pernikahan sang sepupu yang bernama Svarga dengan Zaviya adalah perjodohan, dia juga bisa menilai kalau Svarga tidak mencintai Zaviya sehingga harapan muncul di hatinya. Ghazanvar sampai bersedia menunggu jandanya Zaviya. Mungkin Tuhan ingin memberikan sebuah pelajaran kepada Ghazanvar agar tidak serakah karena ternyata justru benih cinta hadir di antara Svarga dan Zaviya. Ghazanvar mulai resah, Svarga dan Zaviya tidak boleh saling mencintai. Hubungannya dengan Svarga pun memburuk sampai terlibat perkelahian. Dan siapa yang bisa menentang takdir Tuhan? Ghazanvar semakin hancur saat mengetahui Zaviya tengah mengandung anaknya Svarga. Saat itu di Villa keluarganya yang terletak di Bandung dalam rangka merayakan kelahiran anak dari sepupunya yang bernama Davanka—seluruh keluarganya memberikan ucapan selamat kepada Svarga dan Zaviya yang akan menyusul Davanka menjadi sepasang orang tua. Ghazanvar mencoba untuk membujuk Zaviya namun ultimatum dari perempuan itu yang malah dia dapatkan. FLASHBACK ON Langkah Zaviya sampai di belakang Villa, dia menemukan Ghazanvar sedang merokok di sana. Sebenarnya Zaviya mau langsung pergi saja tapi Ghazanvar kadung mengetahui keberadaannya jadi Zaviya sempatkan untuk menghampiri Ghazanvar sebentar. “Kenapa enggak gabung sama yang lain, Kak?” Zaviya bertanya basa-basi, pura-pura tidak tahu kalau Ghazanvar pernah mengungkapkan cinta kepadanya di depan Svarga. “Zaviya ….” Ghazanvar mematikan rokoknya. “Aku peluk kamu boleh?” Tanpa segan Ghazanvar meminta ijin membuat Zaviya mundur beberapa langkah. Pria itu seperti bercanda tapi sorot matanya begitu sendu seakan tersiksa oleh rindu yang besar. “Kak … enggak boleh, Kak Ghaza itu kakak sepupunya Svarga … suami aku.” Zaviya mengingatkan siapa tahu Ghazanvar lupa. “Tapi Svarga enggak mencintai kamu, Zaviya … kamu bisa minta cerai dari Svarga dan aku yang akan bahagiakan kamu … aku mencintai kamu.” Ghazanvar serius sekali ketika mengatakannya. “Enggak Kak, Svarga mencintai aku … aku tahu karena aku yang merasakannya,” sanggah Zaviya membela Svarga. Terdengar dengkusan tawa meledek Ghazanvar yang telah mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Terimakasih karena mencintai aku, Kak ... tapi maaf, aku hanya mencintai Svarga.” Zaviya memberi penekanan diakhir kalimat. “Bohong! Kamu bertahan karena kamu lagi hamil, kan?” tebak Ghazanvar membuat pupil mata Zaviya melebar. Ghazanvar terlalu peka, dia bisa mengetahui isi hati seseorang hanya dengan menatap mata atau melihat gerak-geriknya saja. “Enggak … aku mencintai Svarga sepenuh hati aku … kalau enggak, aku pasti menerima cinta Kak Ghaza tapi dari awal enggak aku lakukan meski Kak Ghaza perhatian dan pengertian karena aku hanya mencintai Svarga jadi aku mohon, Kak … aku mohon, berhenti mencintai aku … cari perempuan lain yang lebih baik dari aku yang mencintai Kak Ghaza juga … dan baikan sama Svarga, kalian sepupu dekat … enggak baik kalau terus diem-dieman ….” Ghazanvar enggan menatap Zaviya lagi, dia sedang merasakan patah hati yang hebat. “Apapun yang terjadi dengan rumah tanggaku dan Svarga ke depannya … aku enggak akan pernah mencintai Kak Ghaza,” tegas Zaviya dengan suara rendah. Zaviya mundur beberapa langkah kemudian pergi meninggalkan Ghazanvar yang hatinya tengah terluka parah. FLASHBACK OFFPlak! Sebuah pensil mendarat di kening Ghazanvar membuat pria itu terhenyak kembali dari lamunannya.Percakapan terakhirnya dengan Zaviya di Bandung tempo hari selalu berkelebat dibenak Ghazanvar menikam kian dalam hati Ghazanvar yang sudah babak belur.“Kamu kalau enggak niat rapat keluar saja!” hardik kakek Narendra geram, beliau adalah orang yang bertanggung jawab melempar pinsil ke kening Ghazanvar barusan.Pasalnya saat ini Ghazanvar sedang berada di tengah-tengah meeting bersama Komisaris Utama yaitu sang Kakek guna mempertanggungjawabkan laporan kinerja perusahaannya selama satu tahun terakhir.Di sana banyak pimpinan tertinggi dari perusahaan yang tergabung dalam AG Group- yang merupakan kerajaan bisnis milik keluarganya. Kebanyakan pimpinan dari perusahaan yang berada di bawah payung AG Group adalah para sepupunya sendiri termasuk Svarga dan beberapa orang lain tapi memiliki kemampuan untuk menjalankan bisnis dan tentunya bisa dipercaya.Semua orang yang duduk mengelilingi
Seorang pria tampan menoleh ke belakang membuat tatapan mereka bertemu.Afifah tersenyum manis di balas senyum manis yang sama oleh pria itu.“Ayang!” seru seorang gadis dari tengah aula dan pria dengan senyum manis tadi segera saja mengalihkan pandangannya ke depan.“Yaaaa, ada monyetnya.” Afifah bergumam.Naraya mulai latihan menari jaipong, sebuah tarian yang tidak pernah bisa Afifah kuasai tapi melihat bagaimana Naraya menari seolah setiap gerakannya sangat mudah.Jemari-jemari Naraya yang lentik, gerakan pinggulnya, pundak dan kepalanya yang seirama selalu berhasil membuat Afifah terkagum-kagum termasuk kakak angkatan Naraya yang sedang melatih.Pria muda bernama Khafi itu selalu menjadikan Naraya contoh agar bisa mengambil kesempatan menyentuh pinggang, pundak dan bagian tubuh Naraya lainnya yang kebetulan gerakan tersebut harus dilakukan.Afifah berdecak kesal, menatap malas Khafi yang kini sedang mengaitkan tangannya di pinggang Naraya.“Menang banyak doi,” gumam Afifah menata
“Mau sampe kapan kamu kaya gini?” Anasera menggeser gelas berisi minuman beralkohol pesanan Ghazanvar ke hadapan pria itu.Gadis cantik pemilik bar and lounge ini sampai turun tangan melayani Ghazanvar lantaran tidak bergerak dari kursinya semenjak sore tadi tanpa memesan apapun.Ghazanvar menengadahkan kepala bersama hembusan napas jengah.“Kamu punya tutorial bunuh diri tapi enggak sakit? Terus punya kenalan orang dalam di akhirat, biar aku nanti bisa masuk Surga?” Pertanyaan Ghazanvar yang diucapkan dengan ekspresi serius itu membuat Anasera mendengkus.“Gila! Gara-gara cewek kamu bisa kaya gini, biasanya cewek-cewek yang rela mati demi kamu.” Anasera menyindir sembari melengos masuk ke dalam kitchen mengecek pekerjaan karyawannya di sana.Mengenal Ghazanvar sedari lahir tentu membuat Anasera memahami pria itu namun sepertinya Anasera merasa asing dengan Ghazanvar yang sekarang karena pria itu tidak pernah benar-benar jatuh cinta seperti yang dia alami sekarang.Dan sayangnya pria
“Tumben ayah sama bunda dateng,” sapa Arkana-papi dari Ghazanvar yang baru saja tiba di rumah menyapa kedua orang tuanya yang sedang duduk di ruang tamu.“Kami mau bicara tentang Ghaza.” Nenek Aura memberitahu alasan mereka datang malam-malam begini, raut wajah beliau tampak cemas.“Ghaza kenapa?” Arkana yang sudah duduk di samping istrinya dengan tangan terentang di sepanjang pundak mami Zara pun balas bertanya.Mami Zara menoleh ke samping, menatap sebal pada papi Arkana yang tidak peka padahal beberapa waktu terakhir, Ghazanvar menjadi topik pembicaraan mereka sebelum tidur lantaran sikap Ghazanvar yang murung dan lebih suka menyendiri.“Oooh si Ghaza yang akhir-akhir ini suka ngelamun itu?” Papi Arkana akhirnya mengerti.“Itu mah gara-gara patah hati, kata dia sih Zaviya kasih ultimatum kalau dia enggak akan pernah jatuh cinta sama Ghaza … jadi kaya gitu tuh anak,” sambung papi Arkana santai kaya di pantai.“Enggak bisa dibiarin, Kana! Perusahaan berantakan gara-gara dia enggak fo
“Kalau kata saya sih mending kamu suruh Nay berhenti kuliah dan nikah sama si Surawijaya itu … hutang-hutang kamu lunas, kamu dan suami kamu akan ditanggung hidupnya … belum lagi si Surawijaya punya kenalan orang dalem … suami kamu bisa ditempatin di tempat bagus atau naik jabatan di pemerintah.” Paman Eka-kakak laki-laki dari ibu Hernita mencetuskan ide gila.“Kang, aku sama bapaknya Nay minjem uang ke si Surawijaya itu untuk kuliah Nay … ya masa aku harus suruh Nay berhenti kuliah dan menikah sama si aki-aki tua bangka itu? Aku aja kalau disuruh nikah sama dia, enggak mau!” Ibu Hernita sewot menanggapi ide sang kakak.“Ya trus mau gimana? Saya enggak bisa bantu, saya juga punya hutang sama si Surawijaya.” Paman Eka mengisap rokoknya dalam-dalam kemudian mengembuskan ke udara.“Saya ke sini bukan minta bantuan Akang, saya mau nagih hutang Akang bekas ke Arab Saudi kemarin jadi TKI … sekarang saya lagi butuh banget, Kang.” Ibu Hernita mengesah, dia hampir menangis karena tidak tahu ha
Hari jum’at tepatnya, Ghazanvar sengaja meninggalkan kantor lebih awal.Dia menjemput Aruna ke kampusnya yang merupakan kampus Negri terbaik di Indonesia.Hanya Aruna dari kelima anak papi Arkana dan mami Zara yang tidak kuliah di Luar Negri karena papi tidak mengijinkan.Memiliki satu anak perempuan di antara empat anak laki-laki membuat papi Arkana sangat overprotective terhadap Aruna.Jalanan kota Jakarta saat itu masih cukup lengang hingga mobil SUV mewah Ghazanvar tiba di kota Depok di mana kampus Aruna berada.Ghazanvar turun dari mobil, menutup pintu lalu menyandarkan setengah bobot tubuhnya pada sisi mobil lantas dengan cara paling cool dia membuka kaca mata hitamnya.Nyaris semua mahasiswi yang ada disekitar sana histeris melihat pria tampan bak aktor Korea dengan segala pesona dan kharisma berdiri di samping ‘tunggangan’ eksclusivenya.“Abaaaaang!” Aruna berseru memanggil Ghazanvar.Gadis mungil itu melambaikan tangan dari jauh dan Ghazanvar langsung menangkap sosok cantik t
Ghazanvar tidak tahu harus berbuat apa, hati nuraninya memaku kedua kaki agar tetap tinggal dan menghadapi apa yang terjadi.Namun logikanya memerintahkan agar Ghazanvar pergi dan melupakan kejadian ini karena jika sampai dia masuk penjara maka nama baik Gunadhya akan tercemar.Suara berisik datang dari arah kanan membuat jantung Ghazanvar berdetak kencang.“Paaaak, tolong Pak!” Tiba-tiba Aruna berteriak setelah melepas pelukan.“Aruna!” Ghazanvar berseru panik.“Paaak! Tolong itu tadi saya sama Abang saya liat mobil melompat ke jurang terus terbakar Pak! Tolong Pak, kasian mereka!” Aruna berlari menghampiri beberapa warga yang mulai berdatangan.“Ada apa?” Tanya salah satu pria.“Apa yang terjadi?” Pria lain ikut bertanya.“Tenang dulu, Dek … tenang dulu.” Salah seorang pria paruh baya berujar demikian karena Aruna bicara sambil menangis jadi tidak terdengar jelas kata-katanya.Aruna menarik tangan pria paruh baya itu mendekat ke arah Ghazanvar yang masih berdiri di bibir jurang yang
Mami dan papi berusaha untuk tidak panik saat mendatangi kantor Polisi.Mereka beralasan kalau kedatangannya ke sana lantaran merasa harus mendampingi putra dan putri mereka yang sedang dimintai keterangan sebagai saksi atas kecelakaan tersebut.Kebetulan mami dan papi datang setelah beberapa saat Aruna dan Ghazanvar selesai dimintai keterangan jadi giliran mereka berdua yang bicara dengan Kapolres yang kebetulan sedang piket malam ini.Sementara itu Ghazanvar dan Aruna duduk di sebuah bangku menatap kosong ke arah pelataran parkir.Aruna masih syok dengan apa yang telah terjadi sedangkan Ghazanvar diliputi kebingungan dan kebimbangan.Ghazanvar sama sekali tidak merasa senang saat orang-orang memuji sikap heroiknya yang berpikir kalau dia sengaja menghentikan kendaraan untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan mobil nahas itu lalu melaporkannya kepada yang berwajib.Polisi juga mengucapkan Terimakasih kepada Ghazanvar padahal dia sudah mengatakan kronologis kejadian bagaimana sampai
Naraya menderapkan langkah menyusuri jalan setapak menuju kelas berikutnya.“Nay!” Suara berat seorang pria membut langkahnya berhenti, dia lantas menoleh ke asal suara.“Stop di situ!” Naraya berseru sambil mengangkat tangan.Langkah Khafi seketika terhenti, wajah tampan itu pun melongo bingung.“Mas Khafi chat aja, jangan deket-deket Nay dulu … nanti suami Nay marah, Nay lagi banyak pikiran enggak mau ditambah berantem sama abang juga.” Kedua alis Khafi terangkat hanya bisa diam membeku sembari menatap punggung Naraya yang dengan cepat menjauh.Ada gejolak di dada Naraya rasanya ingin marah-marah.Naraya tidak mengerti, ingin menangis juga sebenarnya tapi lebih besar perasaan ingin marah-marah, entah kenapa, Naraya juga bingung.Dia tidak bicara dengan teman-temannya selama kelas berikutnya berlangsung sampai akhirnya kelas berakhir kemudian Naraya pergi ke parkiran.“Awas aja ya kalau sampai abang Ghaza belum sampe, Nay pulang sendiri …,” ancamnya sembari misuh-misuh.Na
“Lho Nay, mau ke mana?” Ghazanvar yang baru saja keluar dari kamar mandi bertanya dengan kening berkerut tidak suka melihat Naraya memakai pakaian untuk kuliah berupa kemeja dan celana jeans.“Mau kuliah, Bang.” Naraya menjawab sembari menyisir rambut panjangnya tanpa berani menatap mata sang suami.“Tapi kamu ‘kan kemarin malam masih lemes sampai aku gendong dari mobil ke kamar … ijin dulu lah Nay sehari,” pinta Ghazanvar baik-baik demi kesehatan Naraya dan janin yang ada di dalam perutnya.“Enggak bisa Bang, sekarang ada ujian praktek menari—“ Kalimat Naraya terhenti teringat ucapan papi Arkana saat di Singapura.Dia menunduk menatap perutnya yang masih rata kemudian mengusap lembut di sana.“Naaay … gimana kalau kamu cuti dulu sampai melahirkan?” bujuk Ghazanvar, kedua tangannya terulur memeluk Naraya dari belakang.Dia juga ikut mengusap perut Naraya menggunakan kedua telapak tangannya yang besar.Banyak kecupan Ghazanvar berikan di belakang kepala Naraya.“Aku sayang kamu
“An …,” panggil Arnawarma lembut sembari menurunkan sleting gaun Anasera.“Hem?” Anasera mendengung sebagai respon.“Kita buat yang kaya di perutnya Nay, yuk!” bujuknya seperti anak kecil.Anasera terkekeh, membalikan tubuhnya kemudian mendongak menatap sang suami yang tinggi menjulang di depannya.“Kamu enggak bosen? Tiap malam kita bercinta, sampai malam sebelum akad nikah aja kamu menyusup ke kamar aku untuk bercinta … tadi malam juga kita bercinta.” Anasera melapisi sisi wajah Arnawarma.Dan kenapa Anasera baru benar-benar menyadari kalau Arnawarma sangat tampan, bahkan menurut Anasera, Arnawarma paling tampan di antara adik-adik dan kakaknya.“Enggak lah masa bosen.” Arnawarma menurunkan gaun Anasera dari pundaknya.Kini hanya tersisa celana kain berenda menutup bagian inti Anasera sedangkan dua bagian menyembul di dadanya menggantung tampak seksi.Arnawarma meremat lembut salah satu bagian itu dengan sorot mata teduh.“Nawa.” Jemari ramping Anasera membuka satu persatu
Sekembalinya dari rumah sakit, Ghazanvar langsung membawa Naraya ke kamar, tidak kembali ke pesta yang saat itu belum berakhir.Naraya langsung berbaring di ranjang karena tubuhnya terasa lemas sekali.Dia berbaring miring, menekuk kakinya dengan tangan pengusap perut.Tiba-tiba air mata Naraya menetes lagi, dadanya bergemuruh mengakibatkan sesak dan dia mulai terisak.“Sayaaang.” Ghazanvar yang sedang menanggalkan tuxedonya bergegas mendekat.“Are you oke?” Ghazanvar naik ke atas ranjang memeluk Naraya.“Nay enggak apa-apa tapi enggak tahu kenapa ingin nangis.” Naraya bicara di antara isak tangis.“Ingin nangisnya karena apa? Aku salah apa, sayang?” “Enggak, Abang enggak salah … Nay, inget sama ibu dan Bapak.” Ghazanvar memberikan kecupan di puncak kepala Naraya lantas mengeratkan pelukan.“Mereka pergi sebelum sempat melihat cucunya,” sambung Naraya terisak.Ghazanvar mengerti apa yang Naraya rasakan. “Nanti kita datang ke pemakaman kedua orang tua kamu setelah anak kit
Naraya terpana begitu masuk ke dalam Ballroom yang disulap seperti hutan peri.Banyak bunga, pohon-pohon artifisial serta lampu warna-warni.“Bro!“ Radeva merangkul pundak Ghazanvar.“Dari mana, Dev?” tanya Ghazanvar terkejut.“Abis telepon Ipeh.” Radeva menggerakan tangannya yang memegang handphone.“Ini kayanya si Ana berusaha keras banget nutupin jati diri dia yang sebenarnya.” Radeva berpendapat sembari memindai seluruh ruangan Ballroom.“Kenapa? Gara-gara tema dekornya fairythopia?” Ghazanvar menebak dan Radeva menganggukan kepalanya sebagai respon.“Gimana kalau ide tema ini idenya si Nawa?” ujar Ghazanvar lantas tergelak.“Bisa jadi sih! Si Ana ‘kan sukanya warna item dengan tema serba minimalis … enggak kaya pesta ulang tahun anak cewek umur tujuh tahun gini.” Ghazanvar tertawa lagi menanggapi.Lalu suara MC terdengar membuka acara, satu persatu tamu undangan mulai berdatangan.MC yang menggunakan bahas Inggris itu memberi instruksi agar para tamu membuat sebuah li
Ghazanvar berdecak lidah kesal saat melihat Naraya berjalan mendekat.Istrinya tampak cantik sekali mengenakan gaun untuk resepsi pernikahan Arnawarma dan Anasera.“Nay, ah … kamu kenapa cantik-cantik banget sih!” seru Ghazanvar dengan tampang tidak suka.“Ih, kok Abang gitu … istrinya cantik malah protes.” Sebagai seorang perempuan, Aruna tidak suka dengan sikap kasar sang kakak kepada istrinya di depan banyaknya sepupu mereka.“Nanti kalau banyak yang terpesona terus mau ngerebut dia dari Abang, gimana?” Ghazanvar mengungkapkan alasannya.“Kata cowok yang pernah berusaha ngerebut istri dari adik sepupunya sendiri,” celetuk Narashima santai dengan tatapan fokus pada gadgetnya karena sedang main game.Semua lantas tergelak menertawakan Ghazanvar membuat pria itu merotasi bola matanya dan raut wajah Naraya yang tadi menegang pun perlahan melembut.“Duduk, Nay.” Reyzio bangkit dari samping Ghazanvar memberi tempat untuk Naraya.Seluruh Gunadhya sedang berkumpul di lobby sebuah h
“Nay … seriusan aku enggak tahu kalau papi nyumbang buat acara ini.” Ghazanvar membuka pembicaraan setelah beberapa menit semenjak mereka masuk ke dalam mobil—Naraya bungkam seribu bahasa.“Sebenarnya Nay enggak masalah, Bang … cuma Nay khawatir orang-orang bergosip kalau Nay bisa selalu mewakili kampus karena mertuanya penyumbang terbesar setiap acara di kampus.” Naraya terdengar menggerutu, bibirnya mengerucut dengan wajah ditekuk.“Nanti aku bilang sama papi ya untuk enggak selalu andil, tapi kayanya pihak kampus yang ngajuin proposal duluan ke papi … sekarang papi sama Rektornya ‘kan bestian, teman golf.”Naraya menoleh menatap suaminya. “Oh ya?” Kedua alis wanita yang memiliki mata seperti almond itu terangkat.Setelah untuk yang pertama kalinya papi Arkana dan papanya Khafi bertemu di kantor Polisi karena urusan sang putra yang berkelahi dan setelah itu mereka jadi akrab.“Iya sayang … ya masa sama bestie enggak royal,” kata Ghazanvar lagi kemudian tertawa.“Ya kalau git
Ghazanvar sengaja tidak masuk kantor untuk melakukan gladi di kampus Naraya, tapi bukan berarti pria itu tidak bekerja—Ghazanvar masih bertanggung jawab pada pekerjaannya dengan membawa MacBook dan mengerjakan apa yang biasa dia kerjakan di kantor dari kampus Naraya atau lebih tepatnya Aula utama tempat pentas seni akan berlangsung besok.Sesekali matanya mengawasi interaksi antara Naraya dengan Khafi, mereka tampak akrab sekali.Ghazanvar jadi kesal dan dia tidak mau repot-repot menutupi ekspresi benci di wajahnya untuk Khafi.Lihat saja bagaimana tajamnya tatap mata Ghazanvar tertuju pada Khafi saat netra mereka tidak sengaja bersirobok.“Abang Ghaazaaa.” Afifah datang membawa satu cup kopi untuk Ghazanvar.“Ini buat Abang,” katanya manis sekali.“Waaah, curiga nih pasti kamu mau nanya-tanya tentang Radeva ya!” tebak Ghazanvar membuat Afifah menyengir lebar.Ghazanvar tertawa karena tebakannya benar sampai berhasil mengambil alih perhatian Naraya dan Khafi yang berada di atas
Pria itu bangkit dari kursi. “An … aku lewati satu malam dan satu hari tanpa kamu … dan ternyata aku enggak bisa.” Detik berikutnya Anasera berlari ke arah Arnawarma lantas memeluk pria itu erat. Anasera menangis di dada Arnawarma, dia pikir telah kehilangan pria itu. “Maafin aku ya, aku terlalu egois …,” kata Arnawarma padahal yang salah Anasera. Anasera menggelengkan kepala. “Aku yang salah.” Suara Anasera teredam dada Arnawarma. “Enggak sayang, aku yang salah.” Arnawarma bersikeras. Anasera mendongak demi menatap wajah tampan sang tunangan. “Aku yang salah, aku enggak bisa kasih tahu kamu keberadaan aku kemarin.” “Iya enggak apa-apa, harusnya aku percaya sama kamu … jadi aku yang salah.” Arnawarma memaksa. “Ih … enggak Nawa, aku yang salah.” Mereka berdua jadi rebutan menjadi orang yang bersalah dalam masalah ini. Lalu keduanya tertawa, Arnawarma memeluk Anasera kembali,