Share

Rencana Busuk

“Kalau kata saya sih mending kamu suruh Nay berhenti kuliah dan nikah sama si Surawijaya itu … hutang-hutang kamu lunas, kamu dan suami kamu akan ditanggung hidupnya … belum lagi si Surawijaya punya kenalan orang dalem … suami kamu bisa ditempatin di tempat bagus atau naik jabatan di pemerintah.” Paman Eka-kakak laki-laki dari ibu Hernita mencetuskan ide gila.

“Kang, aku sama bapaknya Nay minjem uang ke si Surawijaya itu untuk kuliah Nay … ya masa aku harus suruh Nay berhenti kuliah dan menikah sama si aki-aki tua bangka itu? Aku aja kalau disuruh nikah sama dia, enggak mau!” Ibu Hernita sewot menanggapi ide sang kakak.

“Ya trus mau gimana? Saya enggak bisa bantu, saya juga punya hutang sama si Surawijaya.” Paman Eka mengisap rokoknya dalam-dalam kemudian mengembuskan ke udara.

“Saya ke sini bukan minta bantuan Akang, saya mau nagih hutang Akang bekas ke Arab Saudi kemarin jadi TKI … sekarang saya lagi butuh banget, Kang.” Ibu Hernita mengesah, dia hampir menangis karena tidak tahu harus ke mana lagi mencari uang untuk membayar hutang kepada Surawijaya.

“Harusnya kamu nagih hutangnya pas saya lagi di Arab Saudi atau baru-baru pulang dari Arab … sekarang ya mana saya punya duit!” Paman Eka melantangkan suaranya menghardik ibu Hernita yang tengah memelas.

“Harusnya Akang inget sama hutang! Bayar makanya!” Ibu Hernita jadi naik pitam, meski beliau diajarkan untuk hormat kepada yang lebih tua tapi kelakuan kakaknya sudah tidak bisa dia tolelir lagi.

Sudah pura-pura lupa bayar hutang sekarang malah membentaknya, ibu Hernita mana terima.

“Ada apa ini?” Bibi Elis-istri dari paman Eka muncul dari dapur.

“Ini … si Hernita nagih hutang.” Paman Eka mengadu.

“Ih … meni enggak tahu diri pisan, sudah ditampung semalam di sini malah nagih hutang … kita juga lagi bingung mau bayar hutang sama Pak Surawijaya … kamu mah enak punya rumah besar, udah aja jual rumah itu untuk bayar hutang.” Bibi Elis memberi ide.

Bapaknya Naraya memang memiliki rumah besar warisan kedua orang tua, beliau membeli bagian hak kakak laki-lakinya yang bernama Rukmana dengan cara dicicil tapi sudah lama lunas.

Bapak Agus-ayahnya Hernita masuk ke dalam rumah karena tidak tahan mendengar apa yang terjadi di dalam.

“Laaaah, kalian lupa? Kalau rumah saya itu digadaikan untuk bayar f*e Sponsor saat Kang Eka ke Arab Saudi? Selama beberapa tahun terakhir saya mencicil dari gaji saya Kang, kami mengerti kalau Akang belum ada uang untuk membayarnya karena Akang malah nabrak orang sampai meninggal dan sebelum kontrak selesai dipulangkan ke Indonesia … sampai kami harus meminjam kepada Surawijaya untuk biaya kuliah Nay … dan sekarang kami lagi butuh, Kang … apa enggak bisa usahain buat kami, jual motor Akang misalnya.” Bapak Agus balas memberi ide kepada sepasang suami istri yang merupakan kakak dari istrinya itu.

“Kapan Lunasnya hutang ke Bank itu?” Paman Eka bertanya untuk mengalihkan pembicaraan.

“Masih sepuluh tahun lagi kecuali kalau saya mati ya langsung dilunasin sama asuransi.” Bapak Agus mengembuskan napas panjang, dia lantas duduk di kursi ruang tamu.

Diam-diam Paman Eka dan Bibi Elis saling menatap dengan sorot mata penuh arti.

***

Naraya merogoh ponsel di dalam tas sembari berlari menuju Aula untuk melakukan latihan.

Dia langsung memelankan langkahnya begitu melihat nama bapak muncul di layar ponsel.

“Hallo, Pak?”

“Ini ibu, Nay ….” Ibu Hernita berbisik di ujung panggilan sana.

“Ibu, kenapa bisik-bisik?” Naraya mengerutkan kening.

“Nay, Ibu sama bapak kayanya enggak akan nginep semalam lagi di rumah paman Eka … Ibu sama bapak mau pulang sekarang aja.” Ibu terdengar sedang mengadu.

“Loooh, kenapa? Sudah mau malem lho, Bu … nanti kalau ada apa-apa di jalan gimana?” Naraya berusaha melarang karena mengetahui kondisi jalan dari rumah sang paman ke Bandung yang rawan kecelakaan.

“Kamu tahu sendiri ‘kan istrinya paman kamu itu judes, nyebelin.” Ibu Hernita menggerutu.

“Ya terus kalau sudah tahu begitu kenapa Ibu sama bapak malah liburan ke sana?”

“Iyaaaa, tadinya Ibu sama bapak mau silaturahmi aja.” Ibu baru ingat kalau putrinya tidak tahu kunjungan ke rumah Eka untuk menagih hutang agar bisa membayar hutang kepada Surawijaya.

“Menurut Nay sih jangan maksain ya Bu, apalagi di sini udah hujan terus malem … di sana hujan enggak?”

“Enggak … tapi kayanya mau hujan.”

Naraya mengembuskan napas panjang. “Bu, pokoknya hati-hati ya, perasaan Nay enggak enak ….”

“Iyaaa, tenang aja … ibu cuma mau bilang itu aja sama kamu … kamu baik-baik ya di sana sayang, anak ibu paling cantik, paling pinter, paling baik ….”

“Ya iya lah, anak Ibu ‘kan cuma Nay doank.”

Dan keduanya tertawa pelan.

“Pokoknya Ibu berpesan kamu harus jadi orang yang pandai mengalah, berbesar hati lah dan menerima apa yang Tuhan takdirkan untuk kamu ya sayang?” Ibu Hernita berpesan dengan makna cukup dalam.

“Iya Ibuuuu, Ibu kaya mau pergi perang aja nasihatnya dalem banget.”

Terdengar tawa renyah ibu.

“Ya udah, Nay … mau latihan dulu ya Bu … salam sama bapak.”

“Iya sayang.”

Dan sambungan telepon terputus.

Hingga beberapa jam kemudian saat hari sudah malam, Naraya selesai melakukan latihan diantar oleh Afifah-sahabatnya ke rumah.

Dia langsung membersihkan tubuh dan ketika bersiap untuk tidur, ponsel Naraya yang di simpan di atas bantal di sampingnya berdering menampilkan nama sang paman.

“Hallo Paman?” Naraya menjawab panggilan tersebut tanpa perasaan curiga sedikitpun.

“Naaaaayyyy ….” Paman menangis sambil memanggil namanya.

“Paman Eka? Ada apa? Kok Paman nangis?” Naraya jadi panik, menegakan punggungnya lalu menyibak selimut.

“Naaaaaay, ibu dan bapak kamu kecelakaan Naaaay … cepat datang ke sini, Naaaaaay ….” Paman Eka masih menangis ketika memberikan informasi tersebut.

Saat itu Naraya masih berpikir kalau kedua orang tuanya masih hidup.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ami Lee
jadi keluarga nay yg rencana in pembunuhan ini mah.... kebetulan aja ghazanvar ikut terlibat karna kecerobohan nya menyetir.....jahat keluarga si nay
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status