“Nay … Mami sama papi juga abang Ghaza pulang dulu ya, kalau butuh apa-apa kamu bisa hubungi Mami.” Mami menyelipkan kartu namanya ke dalam saku kemeja Naraya.Naraya mengangguk dengan raut sendu tanpa suara.“Terima kasih Bu Zara dan Pak Arkana yang telah meluangkan waktunya dan memberikan perhatian untuk Naraya.” Paman Naraya yang bernama Rukmana paling aktif berkomunikasi dengan mami dan papi.Diketahui kalau beliau adalah Lurah di desa tempat Naraya dan kedua orang tuanya tinggal.“Sama-sama Pak Rukmana … sekali lagi saya dan keluarga mengucapkan turut berbela sungkawa.” Papi mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan paman Rukmana.“Terimakasih, Pak.” Paman Rukmana menyahut, gantian bersalaman dengan mami lalu Ghazanvar.Paman Rukmana dan Naraya mengantar mereka bertiga hingga halaman depan.Papi dan mami berjalan lebih dulu diikuti paman Rukmana, ketiga orang tua itu terlibat pembicaraan ringan mengenai kedua orang tua Naraya semasa hidup menyisakan Naraya dan Ghazanvar yang ber
Naraya membaca kartu nama di tangannya, jadi tahu kalau mami Zara adalah seorang dokter juga Direktur sebuah rumah sakit swasta terbesar dan terbaik di Jakarta.“Pantas aja mami baik banget, ternyata mami seorang dokter ….” Naraya bergumam.Naraya menyimpan nomor ponsel mami di ponselnya kemudian menyobek kartu nama itu sampai potongan paling kecil lalu dia buang ke tong sampah.Dia takut kartu nama mami Zara ditemukan orang lain yang ingin memanfaatkan beliau.Mata Naraya mengedar ke sekeliling kamar, dia sedang berada di kamar ibu dan bapak.Kamar ini memiliki wangi khas ibu dan bapak, mata Naraya kembali berkaca-kaca.Lalu Naraya memandangi foto pernikahan ibu dan bapak yang digantung di atas headboard.Ibu dan bapak dulu menikah hanya di KUA karena keterbatasan finansial.Ibu pernah berkata kalau beliau akan menabung untuk pesta pernikahan Naraya.Katanya pesta pernikahan Naraya harus megah dan mewah jangan seperti pernikahan ibu dan bapak.Naraya menutup wajahnya menggunakan kedu
Mimpi buruk sedang membayangi Ghazanvar dalam tidurnya.Kilasan tentang kecelakaan tempo hari terus berputar seperti kaset rusak.Dari mulai Ghazanvar sedang melamunkan Zaviya kemudian stir yang oleng ke kanan lalu dia banting ke kiri dan terakhir saat melihat mobil kedua orang tua Naraya melompat ke jurang kemudian meledak.“Pembunuh!” seru Naraya menatap marah di dalam mimpi Ghazanvar.“Aaargh!” Ghazanvar tersentak bangun dalam posisi duduk.Keringat membanjiri tubuhnya, napas pria itu juga memburu dengan jantung berdetak kencang.Sudah tiga hari semenjak kecelakaan itu terjadi dan setiap malam, Ghazanvar selalu bermimpi hal buruk yang sama.Dia mengusap wajahnya bersama hembusan napas panjang.Naraya dan kecelakaan orang tuanya resmi mengambil alih pikiran Ghazanvar dari Zaviya.Ghazanvar melirik jam yang tergantung di dinding, waktu masih menunjukkan pukul tiga pagi.Dan seperti sebelumnya, Ghazanvar tidak bisa tidur lagi.Dia yang pertama menghuni meja makan pagi ini.Berturut-tu
“Gue mau pengakuan dosa,” kata Ghazanvar saat sosoknya baru saja memasuki ruangan Anasera di dalam sebuah lounge yang mulai dipenuhi pengunjung setelah jam pulang kerja. Ghazanvar tidak bisa memendam sendiri apa yang sedang dia rasakan dan menurutnya hanya kedua sahabatnya yang bisa mengerti.Radeva dan Anasera menatap malas Ghazanvar kemudian merotasi bola matanya.Padahal Radeva dan Anasera sedang sibuk berdiskusi membahas bisnis ilegal mereka dalam menghadapi Liga Bola yang baru saja dimulai.“Diem lah, kita lagi bahas hal penting.” Radeva berujar ketus.“Kalian enggak mau tahu apa yang mau aku omongin?” Ghazanvar jadi kecewa, menjatuhkan bokongnya di sofa.“Kita udah tahu Ghaza,” balas Anasera malas-malasan.“Tahu apa?” Ghazanvar menantang.“Kamu merasa bersalah atas kecelakaan itu.” Radeva yang pertama menjawab.“Kamu berpikir kalau kamu yang mengakibatkan kecelakaan itu,” sambung Anasera.“Kamu berpikir seperti itu karena kamu nyetir sambil ngelamun mikirin Zaviya.” Radeva mena
Ghazanvar yang tengah melamun membayangkan Zaviya seketika terhenyak saat menyadari kalau mobilnya nyaris menghantam mobil dari arah berlawanan.“Abaaaaang!” Aruna-sang adik yang duduk di sampingnya berseru terkejut karena saat membuka mata dari tidur ayamnya tiba-tiba melihat mobil dari arah berlawanan hendak menabrak mobil mereka.Itu yang Aruna tangkap oleh indra penglihatannya dan dia percayai.Ghazanvar refleks membanting stir ke kiri dan berhasil menginjak rem tepat waktu sehingga mobilnya berhenti di bahu jalan yang tekstur tanahnya berkerikil.Ghazanvar dan Aruna sang adik langsung menoleh ke belakang mencari tahu apa yang terjadi melalui kaca jendela belakang setelah mendengar suara kencang dari hantaman sesuatu dari arah belakang.Meski saat itu hari beranjak malam dengan pencahayaan minim di tambah hujan rintik-rintik tapi mereka masih bisa melihat mobil yang tadi dihindari Ghazanvar menabrak pembatas jalan kemudian lompat ke jurang.“Abaaaang.” Aruna panik, tangannya menep
Ghazanvar Nawasena Gunadhya tidak pernah mengenal kata kecewa lantaran apa yang dia inginkan selama hidupnya pasti akan didapatkan dengan mudah mengingat dia adalah seorang anak Konglomerat dan cicit dari salah satu orang terkaya di Asia Tenggara.Hanya menjentikan jari saja, apa yang dia inginkan tersaji di depan mata namun sayang, keserakahannya membawa Ghazanvar pada perasaan bernama cinta terlarang.Dia mencintai seorang wanita bernama Zaviya yang merupakan istri dari sepupunya sendiri.Awalnya Ghazanvar hanya memuji kecantikan dan sikap menggemaskan Zaviya namun lama-lama perasaan memuji itu berubah menjadi cinta.Dia tahu kalau pernikahan sang sepupu yang bernama Svarga dengan Zaviya adalah perjodohan, dia juga bisa menilai kalau Svarga tidak mencintai Zaviya sehingga harapan muncul di hatinya.Ghazanvar sampai bersedia menunggu jandanya Zaviya.Mungkin Tuhan ingin memberikan sebuah pelajaran kepada Ghazanvar agar tidak serakah karena ternyata justru benih cinta hadir di antara
Plak! Sebuah pensil mendarat di kening Ghazanvar membuat pria itu terhenyak kembali dari lamunannya.Percakapan terakhirnya dengan Zaviya di Bandung tempo hari selalu berkelebat dibenak Ghazanvar menikam kian dalam hati Ghazanvar yang sudah babak belur.“Kamu kalau enggak niat rapat keluar saja!” hardik kakek Narendra geram, beliau adalah orang yang bertanggung jawab melempar pinsil ke kening Ghazanvar barusan.Pasalnya saat ini Ghazanvar sedang berada di tengah-tengah meeting bersama Komisaris Utama yaitu sang Kakek guna mempertanggungjawabkan laporan kinerja perusahaannya selama satu tahun terakhir.Di sana banyak pimpinan tertinggi dari perusahaan yang tergabung dalam AG Group- yang merupakan kerajaan bisnis milik keluarganya. Kebanyakan pimpinan dari perusahaan yang berada di bawah payung AG Group adalah para sepupunya sendiri termasuk Svarga dan beberapa orang lain tapi memiliki kemampuan untuk menjalankan bisnis dan tentunya bisa dipercaya.Semua orang yang duduk mengelilingi
Seorang pria tampan menoleh ke belakang membuat tatapan mereka bertemu.Afifah tersenyum manis di balas senyum manis yang sama oleh pria itu.“Ayang!” seru seorang gadis dari tengah aula dan pria dengan senyum manis tadi segera saja mengalihkan pandangannya ke depan.“Yaaaa, ada monyetnya.” Afifah bergumam.Naraya mulai latihan menari jaipong, sebuah tarian yang tidak pernah bisa Afifah kuasai tapi melihat bagaimana Naraya menari seolah setiap gerakannya sangat mudah.Jemari-jemari Naraya yang lentik, gerakan pinggulnya, pundak dan kepalanya yang seirama selalu berhasil membuat Afifah terkagum-kagum termasuk kakak angkatan Naraya yang sedang melatih.Pria muda bernama Khafi itu selalu menjadikan Naraya contoh agar bisa mengambil kesempatan menyentuh pinggang, pundak dan bagian tubuh Naraya lainnya yang kebetulan gerakan tersebut harus dilakukan.Afifah berdecak kesal, menatap malas Khafi yang kini sedang mengaitkan tangannya di pinggang Naraya.“Menang banyak doi,” gumam Afifah menata