“Ghazanvar!” Suara kakek Narendra berseru marah menggelegar di ruangan rapat yang cukup luas itu membuat bukan hanya Ghazanvar tapi para cucu dan beberapa pimpinan di perusahaan AG Group kemudian terhenyak karena terkejut.“I … iya, Kek! Eh … Pak!” Ghazanvar menyahut terbata.Wajahnya pucat pasi, gerak tubuhnya menjadi serba salah.“Kamu itu saya panggil-panggil dari tadi malah ngelamun … kinerja perusahaan juga menurun, mau kamu apa? Hah?! Kamu mau resign atau saya pecat!” Kakek Narendra sudah tidak bisa menahan dirinya untuk bersabar lagi menghadapi Ghazanvar.Selama ini baru Ghazanvar keturunannya yang malas-malasan dan tidak produktif hanya karena seorang perempuan.Kakek yang mengetahui kalau Ghazanvar hanya sebagai saksi dari kecelakaan tempo hari di Sukabumi menganggap sikap Ghazanvar yang semakin hari semakin jauh dari kata normal itu karena masih memikirkan Zaviya. Ghazanvar jadi lebih sering melamun dan murung dari sebelumnya.Dan lebih gilanya lagi, Ghazanvar berani melamu
Berulang kali Ghazanvar yang duduk di kursi penumpang belakang mengembuskan napas gusar, dia mengusap wajahnya kasar lalu menyugar rambut ke belakang.Ghazanvar sangat frustrasi lantaran mimpi tentang kecelakaan tersebut semakin hari semakin jelas saja dan dalam mimpi itu seolah mereka ulang kejadian dengan Ghazanvar yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan.Tangis Naraya juga tidak berhenti berkelebat dalam benaknya membuat Ghazanvar didera perasaan bersalah yang hebat.“Pak, kita ke rumah sakit mami.” Ghazanvar memberi instruksi kepada sang driver.“Baik, Pak.” Driver itu pun menyahut cepat.Setelah itu dia merogoh ponsel dari saku jas untuk menghubungi sekretaris dan orang kepercayaannya.“Selamat siang Pak Ghazanvar.” Alex menjawab panggilan itu padahal Ghazanvar belum merasa mendengar nada sambung.“Lex, suruh Mita yang ketemu pak Sudibyo … saya masih ada urusan.”Yang berarti Alex harus berkoordinasi lagi dengan sekertaris pak Sudibyo atas kealpaan Ghazanvar.“Baik, Pak.” Seb
Ghazanvar yang sudah berpakaian rapih siap berangkat ke Bandung sedang berjongkok untuk memasukan makanan anabul ke dalam dispenser.Chiko-kucing peliharaan Ghazanvar datang mendekat, mengendus-endus wadah yang kemudian terisi makanannya.Ghazanvar mengelus-ngelus kepala Chiko yang tengah lahap menikmati sarapan pagi.“Daddy pergi dulu ya, kamu boleh keluar kamar tapi enggak boleh keluar rumah,” kata Ghazanvar berpesan.“Meow ….” Chiko menyahut kemudian melanjutkan kembali sarapan paginya.Ghazanvar bangkit dan menarik langkah keluar dari kamar.“Bi, tolong nanti siang Chiko dikasih makanan basah ya! Jangan lupa tutup pintu belakang biar Chiko enggak keluar … nanti kaya kemarin susah nyarinya.” Ghazanvar berpesan ketika bertemu asisten rumah tangga di ruang tamu di mana seluruh keluarganya ternyata sudah berkumpul.“Iya, Bang.” Wanita paruh baya itu merespon cepat lantas pergi karena sudah tidak memiliki kepentingan di sana.“Ih … ganteng banget anak, Mami.” Mami mengusap-ngusap punda
“Tunggu di sini,” kata mami kepada ke empat anaknya yang lain.Beberapa orang yang duduk di kursi teras langsung berdiri mempersilahkan mereka duduk.“Bu Zara … Pak Arkana … Ghaza.” Pak Rukmana menyebut nama mereka bertiga yang sudah berdiri di depan pintu.Beliau bangkit dari kursi di ruang tamu di mana kini telah dipenuhi banyak orang dans menjadikan mami papi serta Ghazanvar sebagai pusat perhatian.Semua paman Naraya ada di sana bersama para istri dan seorang pria asing yang baru mereka lihat.Yang pertama kali Ghazanvar cari adalah Naraya, gadis itu terlihat sedang mengusap air matanya dengan mata bengkak sehabis menangis.Mata bulat Naraya menatap Ghazanvar penuh tanya.“Pak Rukmana, apa kabar? Saya kebetulan ada acara di Bandung jadi mampir ketemu Nay.” Mami Zara beralasan, beliau memberikan sebuah keresek besar berisi kue kepada Pak Rukmana. “Haduuuh, Terimakasih Ibu dan Bapak baik sekali … mohon maaf sekali ini, Pak … Bu … Ghaza … kami sedang ada pertemuan keluarga, tapi bil
“Nay, kamu mau enggak nikah sama Abang Ghaza?” Naraya tidak menjawab pertanyaan mami Zara dengan kata-kata, dia hanya memberikan senyum serba salah karena tidak berani menolak secara langsung di depan Ghazanvar yang saat itu ekspresi wajahnya tampak terkejut.Entah terkejut karena mami tiba-tiba melakukan sikap impulsif dengan bertanya seperti itu atau Ghazanvar sudah mengutarakan keinginan menikahinya tapi tidak menyangka kalau mami akan mengatakannya sekarang kepada Naraya.Tapi sepertinya alasan kedua tidak mungkin, atas dasar apa Ghazanvar ingin menikahi Naraya sedangkan mereka baru dipertemukan saat musibah terjadi.Naraya menggelengkan kepalanya yang terasa pening sambil memejamkan mata.Dia tidak ingin menikah dengan siapapun sekarang ini, kuliahnya saja belum selesai dan tanah kuburan kedua orang tuanya masih basah, masa Naraya mau membuat pesta pernikahan?Tapi tawaran mami Zara sangat menggiurkan, beliau mengatakan akan memberikan sejumlah uang sesuai hak paman Eka dan pama
“Mami kenapa tadi bisa-bisanya ngomong gitu sama Nay?” Ghazanvar bertanya baik-baik.Mereka sekeluarga sedang menikmati ronde jahe di ruang televisi yang luas dan lengkap dengan perapian.Udara di sini memang sangat dingin apalagi malam hari.Semenjak meninggalkan rumah Naraya, tidak ada yang berani membahas tentang lamaran mami Zara kepada Naraya.“Kamu ‘kan lihat dan dengar sendiri … Naraya harus memberikan sejumlah uang sama kedua pamannya terus bayar utang sama si aki-aki bangkotan itu … sedangkan Naraya enggak mau jual rumah, itu ‘kan rumah mendiang orang tuanya … banyak kenangan di sana.” Mami menjawab cukup panjang lebar tapi tidak dapat memuaskan Ghazanvar dan keempat adiknya.“Kan bisa, kita kasih Naraya uang untuk membantunya lepas dari masalah,” celetuk Arnawarma yang langsung mendapat anggukan setuju dari Ghazanvar.“Atas dasar apa? Memangnya Nay akan menerima begitu aja?” Mami Zara bertanya balik.“Kalau imbalannya adalah menjadi istri Abang ‘kan masuk akal,” sambungnya m
Ponsel Naraya berdering sesaat setelah menutup sambungan telepon dengan mami Zara yang diakhiri informasi mengenai rencana Ghazanvar menjemput besok pagi agar mereka berdua bisa bicara.Siapa lagi kalau bukan panggilan video sebelum tidur dari Anggit dan Afifah.Semenjak kedua sahabat Naraya itu kembali ke Jakarta, kegiatan ini rutin dilakukan sehingga Naraya tidak tenggelam dalam kesedihannya sebelum tidur.“Naaaay!” Afifah berseru, wajahnya dibalut tissue masker wajah.“Lagi apa Nay?” Anggit yang bertanya.“Baru aja teleponan sama mami.” Naraya menjawab, dia jatuhkan tubuhnya di atas ranjang.“Mami dari cowok yang jadi saksi kecelakaan ibu bapak kamu itu?” Afifah menebak.Sesungguhnya Afifah sudah curiga sedari awal Naraya menceritakan tentang cowok bernama Ghaza dan keluarganya yang kelewat baik tapi dia tidak ingin membebani Naraya jadi memilih menyimpan kecurigaannya sendiri.Afifah menduga kalau Ghaza ini lah yang menyebabkan kedua orang tua Naraya kecelakaan.Apalagi Naraya men
“Kamu mau ke mana?” Bi Eti bertanya dengan nada lebih bersahabat setelah Naraya memberikan uang padahal hanya seratus ribu.Mungkin beliau berpikir bisa mengantongi sisa uang yang dibelanjakan untuk makan hari ini.“Ada urusan penting,” kata Naraya lantas melengos pergi tidak menggunakan sopan santun.Bi Eti memajukan bibirnya meledek Naraya saat gadis cantik berambut panjang itu berjalan menjauh.Naraya melirik sebal ke arah paman Eka dan istrinya yang sedang menonton televisi saat melewati ruang keluarga.Dia keluar dari rumah tanpa pamit. Naraya menarik handle pintu untuk menutup benda tersebut.Naraya kesal sekali karena kedua paman berserta istri mereka belum juga pergi dari rumahnya.Dia masih berdiri menghadap pintu lalu tubuhnya condong ke depan menempelkan kening dengan pintu.“Bapak … Ibu … Nay akan coba pertahankan rumah ini, tapi kalau Nay enggak mampu—Bapak sama Ibu jangan marah atau sedih ya … Nay berjuang sendirian ….” Naraya melirih bicara sendiri.Dan saat dia memutar