“Mami kenapa tadi bisa-bisanya ngomong gitu sama Nay?” Ghazanvar bertanya baik-baik.Mereka sekeluarga sedang menikmati ronde jahe di ruang televisi yang luas dan lengkap dengan perapian.Udara di sini memang sangat dingin apalagi malam hari.Semenjak meninggalkan rumah Naraya, tidak ada yang berani membahas tentang lamaran mami Zara kepada Naraya.“Kamu ‘kan lihat dan dengar sendiri … Naraya harus memberikan sejumlah uang sama kedua pamannya terus bayar utang sama si aki-aki bangkotan itu … sedangkan Naraya enggak mau jual rumah, itu ‘kan rumah mendiang orang tuanya … banyak kenangan di sana.” Mami menjawab cukup panjang lebar tapi tidak dapat memuaskan Ghazanvar dan keempat adiknya.“Kan bisa, kita kasih Naraya uang untuk membantunya lepas dari masalah,” celetuk Arnawarma yang langsung mendapat anggukan setuju dari Ghazanvar.“Atas dasar apa? Memangnya Nay akan menerima begitu aja?” Mami Zara bertanya balik.“Kalau imbalannya adalah menjadi istri Abang ‘kan masuk akal,” sambungnya m
Ponsel Naraya berdering sesaat setelah menutup sambungan telepon dengan mami Zara yang diakhiri informasi mengenai rencana Ghazanvar menjemput besok pagi agar mereka berdua bisa bicara.Siapa lagi kalau bukan panggilan video sebelum tidur dari Anggit dan Afifah.Semenjak kedua sahabat Naraya itu kembali ke Jakarta, kegiatan ini rutin dilakukan sehingga Naraya tidak tenggelam dalam kesedihannya sebelum tidur.“Naaaay!” Afifah berseru, wajahnya dibalut tissue masker wajah.“Lagi apa Nay?” Anggit yang bertanya.“Baru aja teleponan sama mami.” Naraya menjawab, dia jatuhkan tubuhnya di atas ranjang.“Mami dari cowok yang jadi saksi kecelakaan ibu bapak kamu itu?” Afifah menebak.Sesungguhnya Afifah sudah curiga sedari awal Naraya menceritakan tentang cowok bernama Ghaza dan keluarganya yang kelewat baik tapi dia tidak ingin membebani Naraya jadi memilih menyimpan kecurigaannya sendiri.Afifah menduga kalau Ghaza ini lah yang menyebabkan kedua orang tua Naraya kecelakaan.Apalagi Naraya men
“Kamu mau ke mana?” Bi Eti bertanya dengan nada lebih bersahabat setelah Naraya memberikan uang padahal hanya seratus ribu.Mungkin beliau berpikir bisa mengantongi sisa uang yang dibelanjakan untuk makan hari ini.“Ada urusan penting,” kata Naraya lantas melengos pergi tidak menggunakan sopan santun.Bi Eti memajukan bibirnya meledek Naraya saat gadis cantik berambut panjang itu berjalan menjauh.Naraya melirik sebal ke arah paman Eka dan istrinya yang sedang menonton televisi saat melewati ruang keluarga.Dia keluar dari rumah tanpa pamit. Naraya menarik handle pintu untuk menutup benda tersebut.Naraya kesal sekali karena kedua paman berserta istri mereka belum juga pergi dari rumahnya.Dia masih berdiri menghadap pintu lalu tubuhnya condong ke depan menempelkan kening dengan pintu.“Bapak … Ibu … Nay akan coba pertahankan rumah ini, tapi kalau Nay enggak mampu—Bapak sama Ibu jangan marah atau sedih ya … Nay berjuang sendirian ….” Naraya melirih bicara sendiri.Dan saat dia memutar
“Enggak jelas banget sih nih cowok!” Naraya misuh-misuh karena Ghazanvar tidak menjawab pertanyaannya tapi bersedia membantunya turun dari mobil setelah itu tidak menyingkir saat kakinya telah memijak tanah sehingga dada mereka menempel dan Naraya dapat menghirup aroma parfum masculin Ghazanvar yang mampu membuat darahnya berdesir kencang.Naraya mengikuti Ghazanvar di belakang dengan menjaga jarak.“Ayo Nay!” Ghazanvar berseru sembari melempar tangannya ke belakang setelah membeli tiket.“Apa maksudnya coba? Ya masa Nay raih tangannya terus kita gandengan tangan? Kita ‘kan enggak pacaran, tadi Nay tanya apa sebenarnya dia ingin menikah sama Nay atau enggak … dia enggak jawab sama sekali.” Naraya menggerutu di dalam hati.Ghazanvar masih berjalan di depan dengan tangan terulur ke belakang menunggu Naraya meraihnya tapi Naraya tak kunjung memegang tangannya jadi Ghazanvar menoleh ke belakang.Dia menghentikan langkah menatap Naraya, sorot matanya tak terbaca.Naraya berjalan menunduk
“Pernikahan itu ‘kan butuh cinta ya, Bang … tapi untuk saat ini Nay belum ngerasa jatuh cinta … Nay belum pernah pacaran jadi enggak tahu juga rasanya jatuh cinta.” Ghazanvar terkekeh. “Enggak apa-apa, banyak kok di keluarga aku yang dijodohin tapi sekarang malah saling mencintai, bucin banget.”Raut wajah Ghazanvar berubah sendu karena yang dia maksud adalah Svarga dan Zaviya.“Kalau Nay menerima lamaran mami, nanti dianggap menikah karena materi enggak sih, Bang? Karena Nay enggak mau nikah sama Pak Surawijaya.” Naraya bergidik jijik mengingat lamaran pria tua itu.“Semua juga tahu alasan kamu menerima lamaran mami yaitu untuk membayar hutang ke Surawijaya karena sebetulnya hasil penjualan rumah pun enggak akan bisa menutupi hutang mendiang Bapak beserta bunganya apalagi kalau kamu memberikan apa yang kedua paman kamu inginkan … tapi realistis aja lah Nay, kamu memang lagi membutuhkan imbalan dari tawaran mami dan lagi mami yang mau kamu jadi menantunya dan dari pada kamu nikah sam
“Surawijaya itu mafia, Mi … dia gembong narkoba yang dapet pasokan dari Kolombia.” Mami yang duduk di sebelah papi menoleh dramatis.“Hah? Yang bener? Jauh amat relasi bisnisnya sampai ke Amerika Selatan.” Mami Zara tampak tidak percaya.Tidak heran papi Arkana mengetahui siapa Surawijaya karena beliau dekat dengan dunia hitam yang merupakan dunianya para penjahat.Papi menganggukan kepalanya meyakinkan mami.“Berarti keputusan mami melamar Nay udah paling bener ya, Pi ….” Mami menyerongkan posisi duduknya menatap papi.Mereka berdua sedang menikmati udara sejuk di rooftop rumah om Kaivan-adiknya papi Arkana.Sedangkan keempat anak mami papi tengah bermain golf bersama om Kaivan dan putra serta putri beliau di halaman belakang rumah.Papi menatap mami begitu dalam, mami paling benci jika sudah ditatap seperti itu oleh papi karena pasti papi memiliki firasat buruk.“Aku takut Ghaza dan Nay mengalami apa yang pernah kita alami dulu.” Papi mengatakannya di dalam hati.“Piii …,” panggil
Baru kali ini Naraya merasakan liburan yang sesungguhnya.Tanpa melihat harga tiket, Ghazanvar mengajaknya menjajal banyak wahana di sana.Dan ketika hari sudah hampir senja, Naraya mengajak Ghazanvar pulang.“Kamu takut dimarahin paman sama bibi kamu, Nay?” “Bukan, Bang … Nay males ditegur mereka yang sok peduli sama Nay.” Mereka tengah menikmati kemacetan dalam perjalanan pulang.“Sampai rumah kamu bicara dengan paman- paman kamu ya, berapa jumlah yang mereka inginkan nanti aku transfer ke rekening kamu jadi mereka bisa segera pergi dari rumah kamu,” kata Ghazanvar dengan sorot mata serius.Aura pria itu berubah kelam dan dingin membuat Naraya merinding.“Iya ….” Naraya menjawab singkat.Lalu hening, Ghazanvar sibuk dengan pikirannya yang tengah menyusun rencana dalam menjalin hubungan dengan Naraya sampai tanpa dia sadari kalau Naraya tertidur.Selagi mobil berhenti karena antrian kendaraan, Ghazanvar membuka jaketnya untuk dia selimutkan di dada Naraya.Pria itu juga menarik rok
Kedatangan Ghazanvar ke rumah om Kaivan disambut tepuk tangan dari kedua orang tua, keempat adik serta keluarga om Kaivan yang saat itu tengah berkumpul di ruang televisi dan sebagian di meja makan.Ghazanvar bak seorang aktor yang baru saja mendapat Piala Citra dalam perannya di sebuah film.Tentu semua orang telah mengetahui kalau akhirnya Ghazanvar akan menikah dengan Naraya meski pria itu belum mencintainya.Mungkin seantero Negri sudah tahu berita tentang Ghazanvar yang akan menikah mengingat orang yang pertama Ghazanvar beri tahu adalah mami dan papi.Bisa Ghazanvar tebak, pasti mami sudah menghubungi Wedding Organizer ternama untuk melakukan meeting. “Selamat ya Bang, akhirnya kamu nikah juga.” Dengan santai om Kaivan yang berdiri paling dekat dengan Ghazanvar saat memasuki ruangan itu pun mengulurkan tangan.Ghazanvar tersipu saat menjabat tangan om Kaivan yang kemudian dilanjutkan dengan pelukan mascullin.“Enggak akan ngelamun lagi pas meeting ya, Bang?” celetuk Reynand-put
Naraya menderapkan langkah menyusuri jalan setapak menuju kelas berikutnya.“Nay!” Suara berat seorang pria membut langkahnya berhenti, dia lantas menoleh ke asal suara.“Stop di situ!” Naraya berseru sambil mengangkat tangan.Langkah Khafi seketika terhenti, wajah tampan itu pun melongo bingung.“Mas Khafi chat aja, jangan deket-deket Nay dulu … nanti suami Nay marah, Nay lagi banyak pikiran enggak mau ditambah berantem sama abang juga.” Kedua alis Khafi terangkat hanya bisa diam membeku sembari menatap punggung Naraya yang dengan cepat menjauh.Ada gejolak di dada Naraya rasanya ingin marah-marah.Naraya tidak mengerti, ingin menangis juga sebenarnya tapi lebih besar perasaan ingin marah-marah, entah kenapa, Naraya juga bingung.Dia tidak bicara dengan teman-temannya selama kelas berikutnya berlangsung sampai akhirnya kelas berakhir kemudian Naraya pergi ke parkiran.“Awas aja ya kalau sampai abang Ghaza belum sampe, Nay pulang sendiri …,” ancamnya sembari misuh-misuh.Na
“Lho Nay, mau ke mana?” Ghazanvar yang baru saja keluar dari kamar mandi bertanya dengan kening berkerut tidak suka melihat Naraya memakai pakaian untuk kuliah berupa kemeja dan celana jeans.“Mau kuliah, Bang.” Naraya menjawab sembari menyisir rambut panjangnya tanpa berani menatap mata sang suami.“Tapi kamu ‘kan kemarin malam masih lemes sampai aku gendong dari mobil ke kamar … ijin dulu lah Nay sehari,” pinta Ghazanvar baik-baik demi kesehatan Naraya dan janin yang ada di dalam perutnya.“Enggak bisa Bang, sekarang ada ujian praktek menari—“ Kalimat Naraya terhenti teringat ucapan papi Arkana saat di Singapura.Dia menunduk menatap perutnya yang masih rata kemudian mengusap lembut di sana.“Naaay … gimana kalau kamu cuti dulu sampai melahirkan?” bujuk Ghazanvar, kedua tangannya terulur memeluk Naraya dari belakang.Dia juga ikut mengusap perut Naraya menggunakan kedua telapak tangannya yang besar.Banyak kecupan Ghazanvar berikan di belakang kepala Naraya.“Aku sayang kamu
“An …,” panggil Arnawarma lembut sembari menurunkan sleting gaun Anasera.“Hem?” Anasera mendengung sebagai respon.“Kita buat yang kaya di perutnya Nay, yuk!” bujuknya seperti anak kecil.Anasera terkekeh, membalikan tubuhnya kemudian mendongak menatap sang suami yang tinggi menjulang di depannya.“Kamu enggak bosen? Tiap malam kita bercinta, sampai malam sebelum akad nikah aja kamu menyusup ke kamar aku untuk bercinta … tadi malam juga kita bercinta.” Anasera melapisi sisi wajah Arnawarma.Dan kenapa Anasera baru benar-benar menyadari kalau Arnawarma sangat tampan, bahkan menurut Anasera, Arnawarma paling tampan di antara adik-adik dan kakaknya.“Enggak lah masa bosen.” Arnawarma menurunkan gaun Anasera dari pundaknya.Kini hanya tersisa celana kain berenda menutup bagian inti Anasera sedangkan dua bagian menyembul di dadanya menggantung tampak seksi.Arnawarma meremat lembut salah satu bagian itu dengan sorot mata teduh.“Nawa.” Jemari ramping Anasera membuka satu persatu
Sekembalinya dari rumah sakit, Ghazanvar langsung membawa Naraya ke kamar, tidak kembali ke pesta yang saat itu belum berakhir.Naraya langsung berbaring di ranjang karena tubuhnya terasa lemas sekali.Dia berbaring miring, menekuk kakinya dengan tangan pengusap perut.Tiba-tiba air mata Naraya menetes lagi, dadanya bergemuruh mengakibatkan sesak dan dia mulai terisak.“Sayaaang.” Ghazanvar yang sedang menanggalkan tuxedonya bergegas mendekat.“Are you oke?” Ghazanvar naik ke atas ranjang memeluk Naraya.“Nay enggak apa-apa tapi enggak tahu kenapa ingin nangis.” Naraya bicara di antara isak tangis.“Ingin nangisnya karena apa? Aku salah apa, sayang?” “Enggak, Abang enggak salah … Nay, inget sama ibu dan Bapak.” Ghazanvar memberikan kecupan di puncak kepala Naraya lantas mengeratkan pelukan.“Mereka pergi sebelum sempat melihat cucunya,” sambung Naraya terisak.Ghazanvar mengerti apa yang Naraya rasakan. “Nanti kita datang ke pemakaman kedua orang tua kamu setelah anak kit
Naraya terpana begitu masuk ke dalam Ballroom yang disulap seperti hutan peri.Banyak bunga, pohon-pohon artifisial serta lampu warna-warni.“Bro!“ Radeva merangkul pundak Ghazanvar.“Dari mana, Dev?” tanya Ghazanvar terkejut.“Abis telepon Ipeh.” Radeva menggerakan tangannya yang memegang handphone.“Ini kayanya si Ana berusaha keras banget nutupin jati diri dia yang sebenarnya.” Radeva berpendapat sembari memindai seluruh ruangan Ballroom.“Kenapa? Gara-gara tema dekornya fairythopia?” Ghazanvar menebak dan Radeva menganggukan kepalanya sebagai respon.“Gimana kalau ide tema ini idenya si Nawa?” ujar Ghazanvar lantas tergelak.“Bisa jadi sih! Si Ana ‘kan sukanya warna item dengan tema serba minimalis … enggak kaya pesta ulang tahun anak cewek umur tujuh tahun gini.” Ghazanvar tertawa lagi menanggapi.Lalu suara MC terdengar membuka acara, satu persatu tamu undangan mulai berdatangan.MC yang menggunakan bahas Inggris itu memberi instruksi agar para tamu membuat sebuah li
Ghazanvar berdecak lidah kesal saat melihat Naraya berjalan mendekat.Istrinya tampak cantik sekali mengenakan gaun untuk resepsi pernikahan Arnawarma dan Anasera.“Nay, ah … kamu kenapa cantik-cantik banget sih!” seru Ghazanvar dengan tampang tidak suka.“Ih, kok Abang gitu … istrinya cantik malah protes.” Sebagai seorang perempuan, Aruna tidak suka dengan sikap kasar sang kakak kepada istrinya di depan banyaknya sepupu mereka.“Nanti kalau banyak yang terpesona terus mau ngerebut dia dari Abang, gimana?” Ghazanvar mengungkapkan alasannya.“Kata cowok yang pernah berusaha ngerebut istri dari adik sepupunya sendiri,” celetuk Narashima santai dengan tatapan fokus pada gadgetnya karena sedang main game.Semua lantas tergelak menertawakan Ghazanvar membuat pria itu merotasi bola matanya dan raut wajah Naraya yang tadi menegang pun perlahan melembut.“Duduk, Nay.” Reyzio bangkit dari samping Ghazanvar memberi tempat untuk Naraya.Seluruh Gunadhya sedang berkumpul di lobby sebuah h
“Nay … seriusan aku enggak tahu kalau papi nyumbang buat acara ini.” Ghazanvar membuka pembicaraan setelah beberapa menit semenjak mereka masuk ke dalam mobil—Naraya bungkam seribu bahasa.“Sebenarnya Nay enggak masalah, Bang … cuma Nay khawatir orang-orang bergosip kalau Nay bisa selalu mewakili kampus karena mertuanya penyumbang terbesar setiap acara di kampus.” Naraya terdengar menggerutu, bibirnya mengerucut dengan wajah ditekuk.“Nanti aku bilang sama papi ya untuk enggak selalu andil, tapi kayanya pihak kampus yang ngajuin proposal duluan ke papi … sekarang papi sama Rektornya ‘kan bestian, teman golf.”Naraya menoleh menatap suaminya. “Oh ya?” Kedua alis wanita yang memiliki mata seperti almond itu terangkat.Setelah untuk yang pertama kalinya papi Arkana dan papanya Khafi bertemu di kantor Polisi karena urusan sang putra yang berkelahi dan setelah itu mereka jadi akrab.“Iya sayang … ya masa sama bestie enggak royal,” kata Ghazanvar lagi kemudian tertawa.“Ya kalau git
Ghazanvar sengaja tidak masuk kantor untuk melakukan gladi di kampus Naraya, tapi bukan berarti pria itu tidak bekerja—Ghazanvar masih bertanggung jawab pada pekerjaannya dengan membawa MacBook dan mengerjakan apa yang biasa dia kerjakan di kantor dari kampus Naraya atau lebih tepatnya Aula utama tempat pentas seni akan berlangsung besok.Sesekali matanya mengawasi interaksi antara Naraya dengan Khafi, mereka tampak akrab sekali.Ghazanvar jadi kesal dan dia tidak mau repot-repot menutupi ekspresi benci di wajahnya untuk Khafi.Lihat saja bagaimana tajamnya tatap mata Ghazanvar tertuju pada Khafi saat netra mereka tidak sengaja bersirobok.“Abang Ghaazaaa.” Afifah datang membawa satu cup kopi untuk Ghazanvar.“Ini buat Abang,” katanya manis sekali.“Waaah, curiga nih pasti kamu mau nanya-tanya tentang Radeva ya!” tebak Ghazanvar membuat Afifah menyengir lebar.Ghazanvar tertawa karena tebakannya benar sampai berhasil mengambil alih perhatian Naraya dan Khafi yang berada di atas
Pria itu bangkit dari kursi. “An … aku lewati satu malam dan satu hari tanpa kamu … dan ternyata aku enggak bisa.” Detik berikutnya Anasera berlari ke arah Arnawarma lantas memeluk pria itu erat. Anasera menangis di dada Arnawarma, dia pikir telah kehilangan pria itu. “Maafin aku ya, aku terlalu egois …,” kata Arnawarma padahal yang salah Anasera. Anasera menggelengkan kepala. “Aku yang salah.” Suara Anasera teredam dada Arnawarma. “Enggak sayang, aku yang salah.” Arnawarma bersikeras. Anasera mendongak demi menatap wajah tampan sang tunangan. “Aku yang salah, aku enggak bisa kasih tahu kamu keberadaan aku kemarin.” “Iya enggak apa-apa, harusnya aku percaya sama kamu … jadi aku yang salah.” Arnawarma memaksa. “Ih … enggak Nawa, aku yang salah.” Mereka berdua jadi rebutan menjadi orang yang bersalah dalam masalah ini. Lalu keduanya tertawa, Arnawarma memeluk Anasera kembali,