Baru kali ini Naraya merasakan liburan yang sesungguhnya.Tanpa melihat harga tiket, Ghazanvar mengajaknya menjajal banyak wahana di sana.Dan ketika hari sudah hampir senja, Naraya mengajak Ghazanvar pulang.“Kamu takut dimarahin paman sama bibi kamu, Nay?” “Bukan, Bang … Nay males ditegur mereka yang sok peduli sama Nay.” Mereka tengah menikmati kemacetan dalam perjalanan pulang.“Sampai rumah kamu bicara dengan paman- paman kamu ya, berapa jumlah yang mereka inginkan nanti aku transfer ke rekening kamu jadi mereka bisa segera pergi dari rumah kamu,” kata Ghazanvar dengan sorot mata serius.Aura pria itu berubah kelam dan dingin membuat Naraya merinding.“Iya ….” Naraya menjawab singkat.Lalu hening, Ghazanvar sibuk dengan pikirannya yang tengah menyusun rencana dalam menjalin hubungan dengan Naraya sampai tanpa dia sadari kalau Naraya tertidur.Selagi mobil berhenti karena antrian kendaraan, Ghazanvar membuka jaketnya untuk dia selimutkan di dada Naraya.Pria itu juga menarik rok
Kedatangan Ghazanvar ke rumah om Kaivan disambut tepuk tangan dari kedua orang tua, keempat adik serta keluarga om Kaivan yang saat itu tengah berkumpul di ruang televisi dan sebagian di meja makan.Ghazanvar bak seorang aktor yang baru saja mendapat Piala Citra dalam perannya di sebuah film.Tentu semua orang telah mengetahui kalau akhirnya Ghazanvar akan menikah dengan Naraya meski pria itu belum mencintainya.Mungkin seantero Negri sudah tahu berita tentang Ghazanvar yang akan menikah mengingat orang yang pertama Ghazanvar beri tahu adalah mami dan papi.Bisa Ghazanvar tebak, pasti mami sudah menghubungi Wedding Organizer ternama untuk melakukan meeting. “Selamat ya Bang, akhirnya kamu nikah juga.” Dengan santai om Kaivan yang berdiri paling dekat dengan Ghazanvar saat memasuki ruangan itu pun mengulurkan tangan.Ghazanvar tersipu saat menjabat tangan om Kaivan yang kemudian dilanjutkan dengan pelukan mascullin.“Enggak akan ngelamun lagi pas meeting ya, Bang?” celetuk Reynand-put
Naraya keluar dari kamarnya setelah bicara dengan mami Zara dalam sambungan telepon.“Nay … duduk dulu di sini, Paman mau bicara sama kamu.” Paman Eka meminta baik-baik.Kebetulan, Naraya memang juga ingin bicara dengan kedua pamannya itu.Ruang televisi yang menjadi tempat bersarang kedua pamannya selama beberapa hari tampak berantakan.Naraya tidak mau membereskan atau membersihkan, dia biarkan rumahnya kotor agar kedua paman beserta istrinya juga tidak betah tinggal berlama-lama di rumah ini.Gadis cantik berambut panjang itu mengambil duduk di sebuah single sofa yang sering diduduki mendiang bapak Agus.“Jadi gimana, Nay? Apa kamu sudah selesai berpikir?” Paman Eka bertanya merujuk pada berakhirnya pembicaraan mereka tempo hari sewaktu Surawijaya dan orang Jakarta berkunjung dikarenakan Naraya meminta waktu untuk berpikir.“Apa kamu akan menerima lamaran pak Surawijaya?” sambung paman Eka melayangkan pertanyaan ke dua.“Kalau kamu nikah sama Surawijaya, hidup kamu akan terjamin.”
“Jadi kamu telah menjual rumah itu kepada Ghazanvar?” Paman Rukmana tampak kecewa.Naraya menganggukan kepalanya.“Maaf Paman …,” ucapnya kemudian dengan ekspresi wajah menyesal.Menyesal karena telah membohongi paman Rukmana dan menyesal karena tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima lamaran Ghazanvar dari pada menikah dengan Surawijaya.Meski begitu, Naraya merasa beruntung karena dihadapkan dengan dua pilihan menikah dengan seorang pria yang salah satunya justru menguntungkan baginya.Naraya akui kalau menikah dengan Ghazanvar adalah sebuah keberuntungan mengingat pria itu selain tampan juga kaya raya jika dilihat dari apa yang melekat di tubuhnya serta kendaraan yang dikemudikannya.Sampai di sini Naraya belum tahu percis siapa Ghazanvar sesungguhnya.“Terus kamu mau tinggal di mana?” Paman Rukmana menatap iba pada Naraya.“Nay ‘kan ngekos, Paman … sambil nanti Nay cari kerja.” Atas instruksi mami Zara, selain Naraya harus mengatakan kalau dia telah menjual rumah itu kepada Gh
“Abang … nanti pak Surawijaya cerita sama paman Eka terus paman Eka jadi curiga,” kata Naraya setelah pintu dibuka oleh Ghazanvar.“Biarin … bodo amat, memangnya mereka mau apa?” Ghazanvar mengulurkan tangannya bermaksud membantu Naraya turun.“Kata mami jangan sampai ada yang tahu kalau kita mau nikah ….” Naraya tidak bergerak dari kursi penumpang.“Naaay, enggak mungkin aku biarin kamu masuk sendirian ke rumah pria yang kalau ngeliat kamu sampe ileran gitu … nanti kamu diapa-apain gimana?”Naraya terpekur menatap Ghazanvar, pria itu ternyata berpikir jauh ke depan.“Ya udah,” putus Naraya menuruti Ghazanvar dari pada terjadi sesuatu dengannya di dalam sana.Ghazanvar membelikan badan setelah berhasil membantu Naraya turun, tangannya terulur ke belakang meminta tangan Naraya dan refleks Naraya memberikan tangannya.Rumah Surawijaya tampak sepi, tidak ada bel jadi Naraya mengetuk pintuTidak lama kemudian pintu dibuka dari dalam, sosok wanita paruh baya menyambut mereka.“Pak Surawija
Kakek Narendra tercenung di kursi kebesarannya setelah mendengar berita tentang apa yang terjadi dengan Ghazanvar sampai akhirnya sang menantu-maminya Ghazanvar mengajak Ghazanvar ke Bandung menemui Naraya dan tanpa direncanakan sebelumnya tercetus lah ide menikahkan Ghazanvar dengan Naraya.Papi Arkana masih duduk di kursi di depan meja ayahnya, menunggu beliau mengemukakan pendapat.“Kalian gegabah, bagaimana kalau Ghazanvar enggak bisa mencintai Nay?” Alasan menantunya yang disampaikan sang putra mengenai Naraya bisa membuat Ghazanvar melupakan Zaviya justru menjadi kekhawatiran sendiri bagi kakek.“Enggak mungkin Yah, Nay cantik … lama-lama Ghaza pasti kepincut … dulu juga Svarga sama Zaviya ‘kan dijodohin … Svarga yang cuek banget jadi bucin, apalagi Ghaza yang bersedia nikah sama Nay karena ada perasaan bersalah … akan mudah untuk jadi sayang dan lama-lama jatuh cinta.” Kakek mengembuskan napas panjang, beliau membuka map berisi semua tentang Naraya yang diberikan papi Arkana
“Sore Pak!” Alex menyapa di depan ruang Ghazanvar.“Sore! Jadi meeting, Lex?” Ghazanvar bertanya seraya melangkah masuk ke dalam ruangannya.“Ja-jadi, Pak?” Alex bukan menjawab tapi bertanya.“Jadi donk, kasih tahu yang lain … kita meeting sekarang!” titah Ghazanvar yang langsung disibukan dengan menandatangi berkas di atas meja.“Baik, Pak!” Alex keluar untuk memberi info kepada para pimpinan di setiap bagian agar segera berkumpul di ruang rapat.“Kenapa datang-datang si bos jadi bersemangat gitu sih?” Alex bergumam bingung.“Pak Alex, Ghaza eh … pak Ghaza udah dateng ya?” “Eh … Bu Mita, kaget … kirain siapa … udah, Bu … pak Ghaza ada di dalem.” “Oke, Thanks ya.” Mita berbisik sambil mengerutkan pangkal hidung dan senyum yang dikulum. Wanita itu lantas masuk ke ruangan Ghazanvar setelah mengetuk sebanyak dua kali.Ghazanvar mendongak saat menyadari pintu dibuka dari luar.“Eeeh … Mit, gimana hasil meeting sama pak Sudibyo?” Ghazanvar meminta laporan dengan santainya.Fokusnya dia
“Nay!” Suara bas seorang pria memanggil membuat Naraya menoleh ke belakang.“Mas Khafi ….” Naraya menghentikan langkahnya menunggu Khafi.“Mau ke Aula, kan?” Pria muda itu bertanya.“Iya … kirain Mas Khafi udah duluan.” Khafi membawa senyum manisnya mendekat lalu mereka berjalan beriringan menuju Aula tempat berkumpulnya penari yang akan perform di Istana Negara.“Aku tadi meeting dulu sama anak BEM.” Khafi memberi alasan.Lalu hening selama beberapa saat, Khafi menoleh ke samping.“Nay … aku turut berduka cita ya.” Khafi berujar kemudian.“Iya Mas makasih … Mas Khafi ‘kan udah pernah mengucapkannya lewat chat.” “Enggak afdol kalau enggak ngomong langsung.”Naraya tertawa pelan merespon kelakar Khafi.“Kamu pasti bisa lewatin ini, Nay … aku yakin kamu bisa.” Sorot mata Khafi tampak serius.Naraya masih tersenyum saat bersitatap dengan Khafi tapi kemudian senyumnya pudar setelah memutus tatap menundukan pandangan agar tidak tersandung.“Kamu bisa hubungi aku kalau butuh apa-apa,” kat