“Jadi kamu telah menjual rumah itu kepada Ghazanvar?” Paman Rukmana tampak kecewa.Naraya menganggukan kepalanya.“Maaf Paman …,” ucapnya kemudian dengan ekspresi wajah menyesal.Menyesal karena telah membohongi paman Rukmana dan menyesal karena tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima lamaran Ghazanvar dari pada menikah dengan Surawijaya.Meski begitu, Naraya merasa beruntung karena dihadapkan dengan dua pilihan menikah dengan seorang pria yang salah satunya justru menguntungkan baginya.Naraya akui kalau menikah dengan Ghazanvar adalah sebuah keberuntungan mengingat pria itu selain tampan juga kaya raya jika dilihat dari apa yang melekat di tubuhnya serta kendaraan yang dikemudikannya.Sampai di sini Naraya belum tahu percis siapa Ghazanvar sesungguhnya.“Terus kamu mau tinggal di mana?” Paman Rukmana menatap iba pada Naraya.“Nay ‘kan ngekos, Paman … sambil nanti Nay cari kerja.” Atas instruksi mami Zara, selain Naraya harus mengatakan kalau dia telah menjual rumah itu kepada Gh
“Abang … nanti pak Surawijaya cerita sama paman Eka terus paman Eka jadi curiga,” kata Naraya setelah pintu dibuka oleh Ghazanvar.“Biarin … bodo amat, memangnya mereka mau apa?” Ghazanvar mengulurkan tangannya bermaksud membantu Naraya turun.“Kata mami jangan sampai ada yang tahu kalau kita mau nikah ….” Naraya tidak bergerak dari kursi penumpang.“Naaay, enggak mungkin aku biarin kamu masuk sendirian ke rumah pria yang kalau ngeliat kamu sampe ileran gitu … nanti kamu diapa-apain gimana?”Naraya terpekur menatap Ghazanvar, pria itu ternyata berpikir jauh ke depan.“Ya udah,” putus Naraya menuruti Ghazanvar dari pada terjadi sesuatu dengannya di dalam sana.Ghazanvar membelikan badan setelah berhasil membantu Naraya turun, tangannya terulur ke belakang meminta tangan Naraya dan refleks Naraya memberikan tangannya.Rumah Surawijaya tampak sepi, tidak ada bel jadi Naraya mengetuk pintuTidak lama kemudian pintu dibuka dari dalam, sosok wanita paruh baya menyambut mereka.“Pak Surawija
Kakek Narendra tercenung di kursi kebesarannya setelah mendengar berita tentang apa yang terjadi dengan Ghazanvar sampai akhirnya sang menantu-maminya Ghazanvar mengajak Ghazanvar ke Bandung menemui Naraya dan tanpa direncanakan sebelumnya tercetus lah ide menikahkan Ghazanvar dengan Naraya.Papi Arkana masih duduk di kursi di depan meja ayahnya, menunggu beliau mengemukakan pendapat.“Kalian gegabah, bagaimana kalau Ghazanvar enggak bisa mencintai Nay?” Alasan menantunya yang disampaikan sang putra mengenai Naraya bisa membuat Ghazanvar melupakan Zaviya justru menjadi kekhawatiran sendiri bagi kakek.“Enggak mungkin Yah, Nay cantik … lama-lama Ghaza pasti kepincut … dulu juga Svarga sama Zaviya ‘kan dijodohin … Svarga yang cuek banget jadi bucin, apalagi Ghaza yang bersedia nikah sama Nay karena ada perasaan bersalah … akan mudah untuk jadi sayang dan lama-lama jatuh cinta.” Kakek mengembuskan napas panjang, beliau membuka map berisi semua tentang Naraya yang diberikan papi Arkana
“Sore Pak!” Alex menyapa di depan ruang Ghazanvar.“Sore! Jadi meeting, Lex?” Ghazanvar bertanya seraya melangkah masuk ke dalam ruangannya.“Ja-jadi, Pak?” Alex bukan menjawab tapi bertanya.“Jadi donk, kasih tahu yang lain … kita meeting sekarang!” titah Ghazanvar yang langsung disibukan dengan menandatangi berkas di atas meja.“Baik, Pak!” Alex keluar untuk memberi info kepada para pimpinan di setiap bagian agar segera berkumpul di ruang rapat.“Kenapa datang-datang si bos jadi bersemangat gitu sih?” Alex bergumam bingung.“Pak Alex, Ghaza eh … pak Ghaza udah dateng ya?” “Eh … Bu Mita, kaget … kirain siapa … udah, Bu … pak Ghaza ada di dalem.” “Oke, Thanks ya.” Mita berbisik sambil mengerutkan pangkal hidung dan senyum yang dikulum. Wanita itu lantas masuk ke ruangan Ghazanvar setelah mengetuk sebanyak dua kali.Ghazanvar mendongak saat menyadari pintu dibuka dari luar.“Eeeh … Mit, gimana hasil meeting sama pak Sudibyo?” Ghazanvar meminta laporan dengan santainya.Fokusnya dia
“Nay!” Suara bas seorang pria memanggil membuat Naraya menoleh ke belakang.“Mas Khafi ….” Naraya menghentikan langkahnya menunggu Khafi.“Mau ke Aula, kan?” Pria muda itu bertanya.“Iya … kirain Mas Khafi udah duluan.” Khafi membawa senyum manisnya mendekat lalu mereka berjalan beriringan menuju Aula tempat berkumpulnya penari yang akan perform di Istana Negara.“Aku tadi meeting dulu sama anak BEM.” Khafi memberi alasan.Lalu hening selama beberapa saat, Khafi menoleh ke samping.“Nay … aku turut berduka cita ya.” Khafi berujar kemudian.“Iya Mas makasih … Mas Khafi ‘kan udah pernah mengucapkannya lewat chat.” “Enggak afdol kalau enggak ngomong langsung.”Naraya tertawa pelan merespon kelakar Khafi.“Kamu pasti bisa lewatin ini, Nay … aku yakin kamu bisa.” Sorot mata Khafi tampak serius.Naraya masih tersenyum saat bersitatap dengan Khafi tapi kemudian senyumnya pudar setelah memutus tatap menundukan pandangan agar tidak tersandung.“Kamu bisa hubungi aku kalau butuh apa-apa,” kat
Naraya dan kedua temannya mengambil posisi untuk keluar dari balik tirai.MC memanggil mereka disertai musik intro dan satu persatu penari cantik itu keluar dari balik tirai.Tepuk tangan membahana membuat tingkat kepercayaan diri Naraya naik berkali-kali lipat. Tarian yang memiliki ciri khas humanism, keceriaan, semangat, kesederhanaan, spontanitas dan erotisme itu menghipnotis setiap pasang mata yang menyaksikan.Ketiga penari cantik kompak di beberapa gerakan sampai pada suatu pola yang dinamakan ibing pola, Naraya harus menari sendirian sementara dua diantaranya berhenti sejenak.Tepuk tangan kembali Naraya dapatkan mencetuskan sebuah senyum di bibir yang membuatnya terlihat semakin cantik.Beberapa menit berlalu, orang-orang yang ada di sana terpana pada ketiga penari sampai akhirnya musik berhenti dan tarian pun selesai.Tepuk tangan kembali membahana kali ini lebih meriah.Masih dalam posisi ending dari tarian yang baru saja ditampilkan, pandangan Naraya menangkap sosok pria s
Semua penari dipersilahkan pulang setelah melakukan perform.Mereka berganti pakaian dan menghapus make up di ruang ganti dengan perasaan bangga dan puas karena menurut panitia, penampilan mereka mendapat pujian langsung dari Perdana Mentri Jepang beserta istri.Bahkan tadi mereka sempat diminta kembali ke balik tirai untuk berfoto dengan Perdana Mentri beserta istri juga bapak Presiden Indonesia beserta ibu Negara.“Makasih ya anak-anak yang Ibu sayangi … Ibu selalu bangga sama kalian.” Ibu Veronica mendapat pelukan dari anak-anak didiknya usai berkata demikian.“Ayo segera bereskan barang-barang kalian lalu kita pergi dari sini … besok kita makan-makan ya.” “Yeaaaayyyy!” Semua penari perempuan bersorak gembira di ruang ganti yang cukup luas itu.“Bu, apa boleh fee bagian saya diminta duluan? Saya butuh untuk biaya berobat ibu.” Adalah Ami-teman satu angkatan Naraya memberanikan diri meminta demikian tapi memang mereka semua tahu kalau ibunya Ami tengah dirawat di rumah sakit.“Oh
Ghazanvar tidak membawa Naraya ke restoran melainkan ke Bar and Lounge milik Anasera.Dua sahabat kentalnya-Anasera dan Radeva berulang kali menghubunginya saat weekend kemarin di mana dunianya jadi berubah seratus delapan puluh derajat dari yang tadinya berstatus jomblo menjadi taken.Ghazanvar sempat menceritakan sedikit tentang rencananya menikahi Naraya jadi mereka meminta Ghazanvar membawa Naraya ke sini.“Kok … ke … sini ….” Suara Naraya mengecil diakhir kalimat.“Ini resto punya Ana, anaknya sahabat mami yang punya rumah sakit di deket rumah kamu itu loh.” Ghazanvar berujar lalu turun dari mobil untuk membukakan pintu bagi Naraya.Naraya diam saja menunggu Ghazanvar yang membuka pintu demi menghargai pria itu.“Tapi ini bukan resto, Bang.” Raut wajah Naraya tampak was-was.Ghazanvar tertawa, dia baru tahu kalau Naraya adalah gadis polos yang belum tersentuh dunia gemerlap.“Nanti ada ruang VIP … kita makan di sana aja kalau kamu enggak nyaman,” bujuk Ghazanvar sembari menuntun
Naraya menderapkan langkah menyusuri jalan setapak menuju kelas berikutnya.“Nay!” Suara berat seorang pria membut langkahnya berhenti, dia lantas menoleh ke asal suara.“Stop di situ!” Naraya berseru sambil mengangkat tangan.Langkah Khafi seketika terhenti, wajah tampan itu pun melongo bingung.“Mas Khafi chat aja, jangan deket-deket Nay dulu … nanti suami Nay marah, Nay lagi banyak pikiran enggak mau ditambah berantem sama abang juga.” Kedua alis Khafi terangkat hanya bisa diam membeku sembari menatap punggung Naraya yang dengan cepat menjauh.Ada gejolak di dada Naraya rasanya ingin marah-marah.Naraya tidak mengerti, ingin menangis juga sebenarnya tapi lebih besar perasaan ingin marah-marah, entah kenapa, Naraya juga bingung.Dia tidak bicara dengan teman-temannya selama kelas berikutnya berlangsung sampai akhirnya kelas berakhir kemudian Naraya pergi ke parkiran.“Awas aja ya kalau sampai abang Ghaza belum sampe, Nay pulang sendiri …,” ancamnya sembari misuh-misuh.Na
“Lho Nay, mau ke mana?” Ghazanvar yang baru saja keluar dari kamar mandi bertanya dengan kening berkerut tidak suka melihat Naraya memakai pakaian untuk kuliah berupa kemeja dan celana jeans.“Mau kuliah, Bang.” Naraya menjawab sembari menyisir rambut panjangnya tanpa berani menatap mata sang suami.“Tapi kamu ‘kan kemarin malam masih lemes sampai aku gendong dari mobil ke kamar … ijin dulu lah Nay sehari,” pinta Ghazanvar baik-baik demi kesehatan Naraya dan janin yang ada di dalam perutnya.“Enggak bisa Bang, sekarang ada ujian praktek menari—“ Kalimat Naraya terhenti teringat ucapan papi Arkana saat di Singapura.Dia menunduk menatap perutnya yang masih rata kemudian mengusap lembut di sana.“Naaay … gimana kalau kamu cuti dulu sampai melahirkan?” bujuk Ghazanvar, kedua tangannya terulur memeluk Naraya dari belakang.Dia juga ikut mengusap perut Naraya menggunakan kedua telapak tangannya yang besar.Banyak kecupan Ghazanvar berikan di belakang kepala Naraya.“Aku sayang kamu
“An …,” panggil Arnawarma lembut sembari menurunkan sleting gaun Anasera.“Hem?” Anasera mendengung sebagai respon.“Kita buat yang kaya di perutnya Nay, yuk!” bujuknya seperti anak kecil.Anasera terkekeh, membalikan tubuhnya kemudian mendongak menatap sang suami yang tinggi menjulang di depannya.“Kamu enggak bosen? Tiap malam kita bercinta, sampai malam sebelum akad nikah aja kamu menyusup ke kamar aku untuk bercinta … tadi malam juga kita bercinta.” Anasera melapisi sisi wajah Arnawarma.Dan kenapa Anasera baru benar-benar menyadari kalau Arnawarma sangat tampan, bahkan menurut Anasera, Arnawarma paling tampan di antara adik-adik dan kakaknya.“Enggak lah masa bosen.” Arnawarma menurunkan gaun Anasera dari pundaknya.Kini hanya tersisa celana kain berenda menutup bagian inti Anasera sedangkan dua bagian menyembul di dadanya menggantung tampak seksi.Arnawarma meremat lembut salah satu bagian itu dengan sorot mata teduh.“Nawa.” Jemari ramping Anasera membuka satu persatu
Sekembalinya dari rumah sakit, Ghazanvar langsung membawa Naraya ke kamar, tidak kembali ke pesta yang saat itu belum berakhir.Naraya langsung berbaring di ranjang karena tubuhnya terasa lemas sekali.Dia berbaring miring, menekuk kakinya dengan tangan pengusap perut.Tiba-tiba air mata Naraya menetes lagi, dadanya bergemuruh mengakibatkan sesak dan dia mulai terisak.“Sayaaang.” Ghazanvar yang sedang menanggalkan tuxedonya bergegas mendekat.“Are you oke?” Ghazanvar naik ke atas ranjang memeluk Naraya.“Nay enggak apa-apa tapi enggak tahu kenapa ingin nangis.” Naraya bicara di antara isak tangis.“Ingin nangisnya karena apa? Aku salah apa, sayang?” “Enggak, Abang enggak salah … Nay, inget sama ibu dan Bapak.” Ghazanvar memberikan kecupan di puncak kepala Naraya lantas mengeratkan pelukan.“Mereka pergi sebelum sempat melihat cucunya,” sambung Naraya terisak.Ghazanvar mengerti apa yang Naraya rasakan. “Nanti kita datang ke pemakaman kedua orang tua kamu setelah anak kit
Naraya terpana begitu masuk ke dalam Ballroom yang disulap seperti hutan peri.Banyak bunga, pohon-pohon artifisial serta lampu warna-warni.“Bro!“ Radeva merangkul pundak Ghazanvar.“Dari mana, Dev?” tanya Ghazanvar terkejut.“Abis telepon Ipeh.” Radeva menggerakan tangannya yang memegang handphone.“Ini kayanya si Ana berusaha keras banget nutupin jati diri dia yang sebenarnya.” Radeva berpendapat sembari memindai seluruh ruangan Ballroom.“Kenapa? Gara-gara tema dekornya fairythopia?” Ghazanvar menebak dan Radeva menganggukan kepalanya sebagai respon.“Gimana kalau ide tema ini idenya si Nawa?” ujar Ghazanvar lantas tergelak.“Bisa jadi sih! Si Ana ‘kan sukanya warna item dengan tema serba minimalis … enggak kaya pesta ulang tahun anak cewek umur tujuh tahun gini.” Ghazanvar tertawa lagi menanggapi.Lalu suara MC terdengar membuka acara, satu persatu tamu undangan mulai berdatangan.MC yang menggunakan bahas Inggris itu memberi instruksi agar para tamu membuat sebuah li
Ghazanvar berdecak lidah kesal saat melihat Naraya berjalan mendekat.Istrinya tampak cantik sekali mengenakan gaun untuk resepsi pernikahan Arnawarma dan Anasera.“Nay, ah … kamu kenapa cantik-cantik banget sih!” seru Ghazanvar dengan tampang tidak suka.“Ih, kok Abang gitu … istrinya cantik malah protes.” Sebagai seorang perempuan, Aruna tidak suka dengan sikap kasar sang kakak kepada istrinya di depan banyaknya sepupu mereka.“Nanti kalau banyak yang terpesona terus mau ngerebut dia dari Abang, gimana?” Ghazanvar mengungkapkan alasannya.“Kata cowok yang pernah berusaha ngerebut istri dari adik sepupunya sendiri,” celetuk Narashima santai dengan tatapan fokus pada gadgetnya karena sedang main game.Semua lantas tergelak menertawakan Ghazanvar membuat pria itu merotasi bola matanya dan raut wajah Naraya yang tadi menegang pun perlahan melembut.“Duduk, Nay.” Reyzio bangkit dari samping Ghazanvar memberi tempat untuk Naraya.Seluruh Gunadhya sedang berkumpul di lobby sebuah h
“Nay … seriusan aku enggak tahu kalau papi nyumbang buat acara ini.” Ghazanvar membuka pembicaraan setelah beberapa menit semenjak mereka masuk ke dalam mobil—Naraya bungkam seribu bahasa.“Sebenarnya Nay enggak masalah, Bang … cuma Nay khawatir orang-orang bergosip kalau Nay bisa selalu mewakili kampus karena mertuanya penyumbang terbesar setiap acara di kampus.” Naraya terdengar menggerutu, bibirnya mengerucut dengan wajah ditekuk.“Nanti aku bilang sama papi ya untuk enggak selalu andil, tapi kayanya pihak kampus yang ngajuin proposal duluan ke papi … sekarang papi sama Rektornya ‘kan bestian, teman golf.”Naraya menoleh menatap suaminya. “Oh ya?” Kedua alis wanita yang memiliki mata seperti almond itu terangkat.Setelah untuk yang pertama kalinya papi Arkana dan papanya Khafi bertemu di kantor Polisi karena urusan sang putra yang berkelahi dan setelah itu mereka jadi akrab.“Iya sayang … ya masa sama bestie enggak royal,” kata Ghazanvar lagi kemudian tertawa.“Ya kalau git
Ghazanvar sengaja tidak masuk kantor untuk melakukan gladi di kampus Naraya, tapi bukan berarti pria itu tidak bekerja—Ghazanvar masih bertanggung jawab pada pekerjaannya dengan membawa MacBook dan mengerjakan apa yang biasa dia kerjakan di kantor dari kampus Naraya atau lebih tepatnya Aula utama tempat pentas seni akan berlangsung besok.Sesekali matanya mengawasi interaksi antara Naraya dengan Khafi, mereka tampak akrab sekali.Ghazanvar jadi kesal dan dia tidak mau repot-repot menutupi ekspresi benci di wajahnya untuk Khafi.Lihat saja bagaimana tajamnya tatap mata Ghazanvar tertuju pada Khafi saat netra mereka tidak sengaja bersirobok.“Abang Ghaazaaa.” Afifah datang membawa satu cup kopi untuk Ghazanvar.“Ini buat Abang,” katanya manis sekali.“Waaah, curiga nih pasti kamu mau nanya-tanya tentang Radeva ya!” tebak Ghazanvar membuat Afifah menyengir lebar.Ghazanvar tertawa karena tebakannya benar sampai berhasil mengambil alih perhatian Naraya dan Khafi yang berada di atas
Pria itu bangkit dari kursi. “An … aku lewati satu malam dan satu hari tanpa kamu … dan ternyata aku enggak bisa.” Detik berikutnya Anasera berlari ke arah Arnawarma lantas memeluk pria itu erat. Anasera menangis di dada Arnawarma, dia pikir telah kehilangan pria itu. “Maafin aku ya, aku terlalu egois …,” kata Arnawarma padahal yang salah Anasera. Anasera menggelengkan kepala. “Aku yang salah.” Suara Anasera teredam dada Arnawarma. “Enggak sayang, aku yang salah.” Arnawarma bersikeras. Anasera mendongak demi menatap wajah tampan sang tunangan. “Aku yang salah, aku enggak bisa kasih tahu kamu keberadaan aku kemarin.” “Iya enggak apa-apa, harusnya aku percaya sama kamu … jadi aku yang salah.” Arnawarma memaksa. “Ih … enggak Nawa, aku yang salah.” Mereka berdua jadi rebutan menjadi orang yang bersalah dalam masalah ini. Lalu keduanya tertawa, Arnawarma memeluk Anasera kembali,