Semua penari dipersilahkan pulang setelah melakukan perform.Mereka berganti pakaian dan menghapus make up di ruang ganti dengan perasaan bangga dan puas karena menurut panitia, penampilan mereka mendapat pujian langsung dari Perdana Mentri Jepang beserta istri.Bahkan tadi mereka sempat diminta kembali ke balik tirai untuk berfoto dengan Perdana Mentri beserta istri juga bapak Presiden Indonesia beserta ibu Negara.“Makasih ya anak-anak yang Ibu sayangi … Ibu selalu bangga sama kalian.” Ibu Veronica mendapat pelukan dari anak-anak didiknya usai berkata demikian.“Ayo segera bereskan barang-barang kalian lalu kita pergi dari sini … besok kita makan-makan ya.” “Yeaaaayyyy!” Semua penari perempuan bersorak gembira di ruang ganti yang cukup luas itu.“Bu, apa boleh fee bagian saya diminta duluan? Saya butuh untuk biaya berobat ibu.” Adalah Ami-teman satu angkatan Naraya memberanikan diri meminta demikian tapi memang mereka semua tahu kalau ibunya Ami tengah dirawat di rumah sakit.“Oh
Ghazanvar tidak membawa Naraya ke restoran melainkan ke Bar and Lounge milik Anasera.Dua sahabat kentalnya-Anasera dan Radeva berulang kali menghubunginya saat weekend kemarin di mana dunianya jadi berubah seratus delapan puluh derajat dari yang tadinya berstatus jomblo menjadi taken.Ghazanvar sempat menceritakan sedikit tentang rencananya menikahi Naraya jadi mereka meminta Ghazanvar membawa Naraya ke sini.“Kok … ke … sini ….” Suara Naraya mengecil diakhir kalimat.“Ini resto punya Ana, anaknya sahabat mami yang punya rumah sakit di deket rumah kamu itu loh.” Ghazanvar berujar lalu turun dari mobil untuk membukakan pintu bagi Naraya.Naraya diam saja menunggu Ghazanvar yang membuka pintu demi menghargai pria itu.“Tapi ini bukan resto, Bang.” Raut wajah Naraya tampak was-was.Ghazanvar tertawa, dia baru tahu kalau Naraya adalah gadis polos yang belum tersentuh dunia gemerlap.“Nanti ada ruang VIP … kita makan di sana aja kalau kamu enggak nyaman,” bujuk Ghazanvar sembari menuntun
“Aaarrgghh!” Naraya memekik saat suara petir terdengar dekat sekali seolah menyambar atap rumah.Gadis itu langsung menutup mulut berharap Ghazanvar tidak datang mengecek keadaannya.Detik berikutnya dia mendengar suara langkah kaki Ghazanvar menderap dengan cepat.“Kamu enggak apa-apa, Nay?” Ghazanvar bertanya cemas.“Eng-enggak.” Naraya menjawab terbata, jantungnya juga masih belum berdetak normal setelah terkejut oleh suara petir tadi.“Kamu lagi apa?” Pria itu bertanya sembari mengikis jarak dan berdiri di belakang Naraya.“Buat teh manis anget.” Naraya melirik sedikit ke belakang.Satu tangan Ghazanvar memegang pundak Naraya sedangkan yang satunya lagi melewati tubuh ramping gadis itu diletakan di atas meja kitchen set.Kepala Ghazanvar menunduk sehingga napasnya menerpa leher Naraya membuat sekujur tubuhnya meremang.Ghazanvar bisa menghirup aroma mawar dari leher Naraya. Berlama-lama dia mematung, sedang berpikir apakah boleh mengendus leher Naraya kemudian mengecupnya sedikit
“Abaaaaang.” Naraya menunjukkan ekspresi protes.“Kan kamu yang masuk ke pelukan aku.” Ghazanvar mengingatkan.Pipi Naraya seketika bersemu, mengulum senyum mengalihkan pandangannya ke mana saja asal tidak menatap Ghazanvar.“Sini Nay, peluk lagi … siapa tahu nanti ada petir lagi.” Naraya tahu kalau Ghazanvar sedang berkelakar karena pria itu bicara sembari tertawa.“Pegangan tangan aja gimana?” cetus Naraya memberikan tangannya.Ghazanvar langsung meraih tangan Naraya dan membawanya ke atas pangkuan untuk dia genggam.Pandangannya kini sudah fokus pada televisi jadi Naraya juga mengembalikan pandangannya ke sana.Tapi sepertinya Ghazanvar tidak akan berhenti membuat Naraya berhasrat sampai gadis itu meminta sendiri untuk disentuh karena buktinya ibu jari Ghazanvar mengusap punggung tangan Naraya dengan gerakan paling sensual sampai bulu kuduk Naraya meremang.Cukup lama Naraya membiarkan Ghazanvar menggenggam tangannya dengan cara seperti itu meski dia harus menahan segala desiran d
Seharian bekerja dengan sangat produktif membuat tubuh Ghazanvar pegal, alih-alih pulang ke rumah dia malah pergi ke bar and lounge milik Anasera.Dia masuk ke ruang ganti dan mendapati Anasera serta Radeva sedang mengecek senjata api.“Mau ke mana? Heboh amat? Si Mamat aja santai,” tanya Ghazanvar dengan gurauan.“Kapal penumpang dari Kalimantan akan berlabuh di Dermaga, ada barang selundupan dari Malaysia.” Radeva membalas serius sembari mengisi senjata apinya dengan peluru.“Mister Thong?” Ghazanvar menebak nama si penyelundup.“Siapa lagi, dia pikir bisa mengelabui kita dengan menggunakan kapal penumpang … mister Tong nyewa mafia kelas teri buat ngawal barang-barang itu,” imbuh Anasera.“Si kampret, dia enggak mampu bayar kita buat ngawal barang-barangnya malah nyewa mafia lain … kagak tahu apa Dermaga itu punya Gunadhya.” Ghazanvar berujar tenang sembari mempersiapkan senjata apinya.“Orang kita udah d
“Bang, kakek lo pasti marah … gedungnya hancur sama cucu kesayangan yang baik hati, tidak sombong dan rajin menabung.” Radeva berkelakar membuat semua yang tersambung dalam alat komunikasi itu tertawa.“Jangan kaya orang susah, tingga renovasi … kebetulan gedungnya gedung lama.” Ghazanvar membalas enteng.Ghazanvar, Dimitri dan Rudolf masuk ke ruangan tersebut dengan penuh waspada.Ada beberapa yang ternyata masih hidup dan tentunya tidak berlangsung lama karena Ghazanvar dan timnya segera memberi tiket VIP menuju alam baka.Jefri masih berdiri di balkon, dia terjebak dan sudah bisa dipastikan akan tamat hidupnya malam ini.Dia tahu konsekuensinya saat menerima tawaran mister Thong, pasalnya Dermaga ini adalah lahan milik kelompok seorang mafia muda misterius yang selalu menggunakan Balaclava mask atau penutup kepala yang menutupi sebagian wajah hanya menyisakan bagian matanya saja ketika berhadapan dengan mafia lain.
Setelah delapan kali gonta-ganti pakaian, akhirnya Naraya menyerah dan menggunakan pakaian yang dia pilih pertama untuk dipakai ke acara makan malam keluarga Ghazanvar.Bukan hanya dihadiri oleh keluarga inti Ghazanvar saja yang terdiri dari kedua orang tua dan keempat adiknya melainkan kakek nenek beserta kakak dan adik dari papi Arkana juga menghadiri acara yang sengaja diadakan untuk memperkenalkan Naraya kepada seluruh keluarga Ghazanvar.Informasi yang Ghazanvar dan mami Zara sampaikan mengenai acara ini terlalu mendadak sehingga Naraya tidak memiliki waktu untuk membeli pakaian yang menurutnya pantas menghadiri acara keluarga Gunadhya yang Konglomerat itu.Entah kenapa Naraya memiliki perasaan harus dinilai baik oleh keluarga Ghazanvar padahal bukan dia yang pertama kali menginginkan pernikahan ini.Naraya menatap dirinya di cermin meja rias, bertanya-tanya apakah dia pantas menjadi menantu sang Konglomerat, menjadi istri Ghazanvar Nawasena Gunadhya-salah satu pewaris kerajaan b
Saat memasuki ruang tamunya saja Naraya merasa sangat kecil saking luasnya ruangan tersebut apalagi ketika mereka lanjut masuk ke ruang keluarga dengan televisi besar sebesar layar di bioskop tergantung di dinding.“Mereka kayanya di ruang makan luar,” kata Ghazanvar setelah mendengar suara tawa dari arah luar.Jantung Naraya berdetak kencang sekali, kakinya melemas, dia rasanya ingin pulang saat ini juga.Naraya ingin menyerah dan mengundurkan diri saja dari calon istri Ghazanvar.“Naaay.” Sebuah suara lembut dan hangat membuat kepala Naraya mendongak.Ternyata mereka sudah berada di luar ruangan tepatnya di depan sebuah kolam renang yang besar.Senyum Naraya terkembang kaku sembari menatap satu-satu orang yang duduk di sebuah meja makan besar.Mami menghampiri Naraya, kedua tangannya terentang mengundangnya ke dalam pelukan dan saat itu juga Naraya melepaskan tangannya yang digenggam Ghazanvar.“Apa kabar sayang?” “Baik, Mi.” Naraya sudah tidak memiliki kesempatan untuk mengundur