“Abaaaaang.” Naraya menunjukkan ekspresi protes.“Kan kamu yang masuk ke pelukan aku.” Ghazanvar mengingatkan.Pipi Naraya seketika bersemu, mengulum senyum mengalihkan pandangannya ke mana saja asal tidak menatap Ghazanvar.“Sini Nay, peluk lagi … siapa tahu nanti ada petir lagi.” Naraya tahu kalau Ghazanvar sedang berkelakar karena pria itu bicara sembari tertawa.“Pegangan tangan aja gimana?” cetus Naraya memberikan tangannya.Ghazanvar langsung meraih tangan Naraya dan membawanya ke atas pangkuan untuk dia genggam.Pandangannya kini sudah fokus pada televisi jadi Naraya juga mengembalikan pandangannya ke sana.Tapi sepertinya Ghazanvar tidak akan berhenti membuat Naraya berhasrat sampai gadis itu meminta sendiri untuk disentuh karena buktinya ibu jari Ghazanvar mengusap punggung tangan Naraya dengan gerakan paling sensual sampai bulu kuduk Naraya meremang.Cukup lama Naraya membiarkan Ghazanvar menggenggam tangannya dengan cara seperti itu meski dia harus menahan segala desiran d
Seharian bekerja dengan sangat produktif membuat tubuh Ghazanvar pegal, alih-alih pulang ke rumah dia malah pergi ke bar and lounge milik Anasera.Dia masuk ke ruang ganti dan mendapati Anasera serta Radeva sedang mengecek senjata api.“Mau ke mana? Heboh amat? Si Mamat aja santai,” tanya Ghazanvar dengan gurauan.“Kapal penumpang dari Kalimantan akan berlabuh di Dermaga, ada barang selundupan dari Malaysia.” Radeva membalas serius sembari mengisi senjata apinya dengan peluru.“Mister Thong?” Ghazanvar menebak nama si penyelundup.“Siapa lagi, dia pikir bisa mengelabui kita dengan menggunakan kapal penumpang … mister Tong nyewa mafia kelas teri buat ngawal barang-barang itu,” imbuh Anasera.“Si kampret, dia enggak mampu bayar kita buat ngawal barang-barangnya malah nyewa mafia lain … kagak tahu apa Dermaga itu punya Gunadhya.” Ghazanvar berujar tenang sembari mempersiapkan senjata apinya.“Orang kita udah d
“Bang, kakek lo pasti marah … gedungnya hancur sama cucu kesayangan yang baik hati, tidak sombong dan rajin menabung.” Radeva berkelakar membuat semua yang tersambung dalam alat komunikasi itu tertawa.“Jangan kaya orang susah, tingga renovasi … kebetulan gedungnya gedung lama.” Ghazanvar membalas enteng.Ghazanvar, Dimitri dan Rudolf masuk ke ruangan tersebut dengan penuh waspada.Ada beberapa yang ternyata masih hidup dan tentunya tidak berlangsung lama karena Ghazanvar dan timnya segera memberi tiket VIP menuju alam baka.Jefri masih berdiri di balkon, dia terjebak dan sudah bisa dipastikan akan tamat hidupnya malam ini.Dia tahu konsekuensinya saat menerima tawaran mister Thong, pasalnya Dermaga ini adalah lahan milik kelompok seorang mafia muda misterius yang selalu menggunakan Balaclava mask atau penutup kepala yang menutupi sebagian wajah hanya menyisakan bagian matanya saja ketika berhadapan dengan mafia lain.
Setelah delapan kali gonta-ganti pakaian, akhirnya Naraya menyerah dan menggunakan pakaian yang dia pilih pertama untuk dipakai ke acara makan malam keluarga Ghazanvar.Bukan hanya dihadiri oleh keluarga inti Ghazanvar saja yang terdiri dari kedua orang tua dan keempat adiknya melainkan kakek nenek beserta kakak dan adik dari papi Arkana juga menghadiri acara yang sengaja diadakan untuk memperkenalkan Naraya kepada seluruh keluarga Ghazanvar.Informasi yang Ghazanvar dan mami Zara sampaikan mengenai acara ini terlalu mendadak sehingga Naraya tidak memiliki waktu untuk membeli pakaian yang menurutnya pantas menghadiri acara keluarga Gunadhya yang Konglomerat itu.Entah kenapa Naraya memiliki perasaan harus dinilai baik oleh keluarga Ghazanvar padahal bukan dia yang pertama kali menginginkan pernikahan ini.Naraya menatap dirinya di cermin meja rias, bertanya-tanya apakah dia pantas menjadi menantu sang Konglomerat, menjadi istri Ghazanvar Nawasena Gunadhya-salah satu pewaris kerajaan b
Saat memasuki ruang tamunya saja Naraya merasa sangat kecil saking luasnya ruangan tersebut apalagi ketika mereka lanjut masuk ke ruang keluarga dengan televisi besar sebesar layar di bioskop tergantung di dinding.“Mereka kayanya di ruang makan luar,” kata Ghazanvar setelah mendengar suara tawa dari arah luar.Jantung Naraya berdetak kencang sekali, kakinya melemas, dia rasanya ingin pulang saat ini juga.Naraya ingin menyerah dan mengundurkan diri saja dari calon istri Ghazanvar.“Naaay.” Sebuah suara lembut dan hangat membuat kepala Naraya mendongak.Ternyata mereka sudah berada di luar ruangan tepatnya di depan sebuah kolam renang yang besar.Senyum Naraya terkembang kaku sembari menatap satu-satu orang yang duduk di sebuah meja makan besar.Mami menghampiri Naraya, kedua tangannya terentang mengundangnya ke dalam pelukan dan saat itu juga Naraya melepaskan tangannya yang digenggam Ghazanvar.“Apa kabar sayang?” “Baik, Mi.” Naraya sudah tidak memiliki kesempatan untuk mengundur
Seakan ucapan yang kakek Narendra lontarkan pada malam pertunangan Naraya dengan Ghazanvar terbukti karena Naraya tidak memiliki waktu untuk bersedih. Keesokan harinya Naraya langsung disibukan dengan persiapan pesta pernikahan. Diawali hari di mana dia dijemput mami ke kampus untuk bertemu dengan Wedding Planner. “Mami enggak kerja?” Naraya bertanya hati-hati pada mami yang duduk di sampingnya di kabin belakang mobil mewah beliau. “Kerja donk, tapi Mami juga harus ikut bertemu Wedding Planner.” Mami Zaramenjawab bersama senyum penuh suka cita. “Tahu enggak Nay, Mami excited banget nyiapin pesta pernikahan kamu.” Naraya tersenyum menanggapi tanpa berkomentar meski sesungguhnya dia juga antusias hanya saja masih belum percaya kalau akan menikah di usia muda dengan seorang pria tampan yang baru dia kenal yang ternyata adalah anak seorang Konglomerat. Wedding Planner yang dipilih mami Zara bukan sembarangan, telah diseleksi dan terbukti bisa mewujudkan setiap keingina
“Abang … aku udah biasa makan di warteg.” “Jangan dibiasain … kamu punya aku, Nay … kamu bisa telepon aku kalau mau makan atau mau apapun, ya?” Ghazanvar mengakhiri kalimatnya dengan pertanyaan dan dia sedang menunggu jawaban Naraya.Naraya tersenyum tidak menjawab pertanyaan Ghazanvar.Walaupun Naraya tidak menjawab tapi dia akan meminta Alex melakukan apa yang disebutkannya tadi.“Kamu mau ngomongin apa?” Pertanyaan itu terlontar setelah mereka selesai makan malam, beralih ke menu penutup berupa kue coklat.Naraya menceritakan hasil pertemuan dengan Wedding Planner, Ghazanvar mendengarkan dengan seksama sambil menatap Naraya dan tangan yang memainkan rambut panjangnya.Posisi duduk mereka saling berhadapan melipat satu kaki di sofa panjang yang cukup untuk tiga orang.“Jadi menurut Abang, tema apa yang cocok untuk pesta pernikahan kita?” Alih-alih menjawab, Ghazanvar malah mengapit dagu lancip Naraya karena gemas sembari tersenyum.“Terserah kamu … kamu maunya tema apa?” Ghazanvar
“Nay … mau ke mana sih? Buru-buru banget.” Afifah berlari menyusul Naraya yang kemudian jadi harus menghentikan langkah karena mendengar Afifah memanggil.“Sorry … itu abang Ghaza udah nunggu di parkiran.” Naraya menjawab sembari menyelipkan rambut ke telinga.Afifah yang melihat cincin tersemat di jari manis Naraya langsung meraih tangan Naraya.“Bagus banget sih cincinnyaaaa … jadi pengen tunangan.” Afifah mengusap cincin di jari manis Naraya menggunakan ibu jari.“Halaaaah ….” Naraya mengibaskan tangannya.Afifah dan Anggit ikut bahagia sewaktu Naraya menceritakan kalau dia telah tunangan dengan Ghazanvar.“Kamu pulang sama Anggit ya, Peh … aku ada perlu dulu sama abang.” Naraya menunjukkan tampang menyesal.“Aaaah … kamu mah, kemarin pergi sekarang juga pergi lagi jadi enggak bareng pulangnya sama aku.” Afifah mengerucutkan bibirnya.“Nay!” Suara berat seorang pria membuat Naraya dan Afifah menoleh ke asal suara.Seorang pria tampan berjalan mendekat menghampiri mereka.“Abang ….”