Seakan ucapan yang kakek Narendra lontarkan pada malam pertunangan Naraya dengan Ghazanvar terbukti karena Naraya tidak memiliki waktu untuk bersedih. Keesokan harinya Naraya langsung disibukan dengan persiapan pesta pernikahan. Diawali hari di mana dia dijemput mami ke kampus untuk bertemu dengan Wedding Planner. “Mami enggak kerja?” Naraya bertanya hati-hati pada mami yang duduk di sampingnya di kabin belakang mobil mewah beliau. “Kerja donk, tapi Mami juga harus ikut bertemu Wedding Planner.” Mami Zaramenjawab bersama senyum penuh suka cita. “Tahu enggak Nay, Mami excited banget nyiapin pesta pernikahan kamu.” Naraya tersenyum menanggapi tanpa berkomentar meski sesungguhnya dia juga antusias hanya saja masih belum percaya kalau akan menikah di usia muda dengan seorang pria tampan yang baru dia kenal yang ternyata adalah anak seorang Konglomerat. Wedding Planner yang dipilih mami Zara bukan sembarangan, telah diseleksi dan terbukti bisa mewujudkan setiap keingina
“Abang … aku udah biasa makan di warteg.” “Jangan dibiasain … kamu punya aku, Nay … kamu bisa telepon aku kalau mau makan atau mau apapun, ya?” Ghazanvar mengakhiri kalimatnya dengan pertanyaan dan dia sedang menunggu jawaban Naraya.Naraya tersenyum tidak menjawab pertanyaan Ghazanvar.Walaupun Naraya tidak menjawab tapi dia akan meminta Alex melakukan apa yang disebutkannya tadi.“Kamu mau ngomongin apa?” Pertanyaan itu terlontar setelah mereka selesai makan malam, beralih ke menu penutup berupa kue coklat.Naraya menceritakan hasil pertemuan dengan Wedding Planner, Ghazanvar mendengarkan dengan seksama sambil menatap Naraya dan tangan yang memainkan rambut panjangnya.Posisi duduk mereka saling berhadapan melipat satu kaki di sofa panjang yang cukup untuk tiga orang.“Jadi menurut Abang, tema apa yang cocok untuk pesta pernikahan kita?” Alih-alih menjawab, Ghazanvar malah mengapit dagu lancip Naraya karena gemas sembari tersenyum.“Terserah kamu … kamu maunya tema apa?” Ghazanvar
“Nay … mau ke mana sih? Buru-buru banget.” Afifah berlari menyusul Naraya yang kemudian jadi harus menghentikan langkah karena mendengar Afifah memanggil.“Sorry … itu abang Ghaza udah nunggu di parkiran.” Naraya menjawab sembari menyelipkan rambut ke telinga.Afifah yang melihat cincin tersemat di jari manis Naraya langsung meraih tangan Naraya.“Bagus banget sih cincinnyaaaa … jadi pengen tunangan.” Afifah mengusap cincin di jari manis Naraya menggunakan ibu jari.“Halaaaah ….” Naraya mengibaskan tangannya.Afifah dan Anggit ikut bahagia sewaktu Naraya menceritakan kalau dia telah tunangan dengan Ghazanvar.“Kamu pulang sama Anggit ya, Peh … aku ada perlu dulu sama abang.” Naraya menunjukkan tampang menyesal.“Aaaah … kamu mah, kemarin pergi sekarang juga pergi lagi jadi enggak bareng pulangnya sama aku.” Afifah mengerucutkan bibirnya.“Nay!” Suara berat seorang pria membuat Naraya dan Afifah menoleh ke asal suara.Seorang pria tampan berjalan mendekat menghampiri mereka.“Abang ….”
Sang pemilik butik dibantu empat pelayan lainnya sigap memenuhi keinginan mereka.Bukan hanya Naraya yang diukur tubuhnya untuk membuat gaun pengantin tapi Afifah juga untuk keperluan membuat gaun bridesmaid.Naraya jadi percaya kalau kedatangan Radeva memang untuk membuat jas groomsmen.Setelah selesai, mereka lanjut ke tujuan berikutnya.Radeva mengikuti dari belakang menggunakan mobilnya atas paksaan Ghazanvar tapi tidak perlu dipaksa pun Radeva dengan senang hati menemani Ghazanvar dan Naraya ke tempat selanjutnya karena ada Afifah.Sekarang mereka sudah berada di toko perhiasan.Begitu masuk, seorang pelayan dengan pakaian formal menyambut mereka dan menuntun ke sebuah privat room dengan sofa set dan ada water dispenser, mesin kopi lengkap dengan dessert.Tidak lama satu persatu pelayan datang membawa sepasang cincin kawin bertahtakan berlian dengan harga fantastis.Naraya sampai syok saat mengetahui harganya dan jadi bingung saat Ghazanvar memintanya memilih di antara banyaknya
“Kenapa kita harus pergi keluar? Memangnya makanan di tempat aku enggak enak?” Anasera bertanya dengan nada dingin sedingin sikapnya kepada Arnawarma yang kerap dipanggil mas Nawa.“Biar sasana baru donk, An ….” Arnawarma menyahut santai.“Kamu udah fitting baju bridesmaid?” Arnawarma membuat topik pembicaraan.“Aku nolak, soalnya abang kamu minta aku jadi bridesmaid setelah ketahuan kalau dia sama Radeva pesan jas ke butik ibu Quenbee… lagian aku ‘kan bukan sahabatnya Nay… biar sahabat Nay aja yang jadi bridesmaid.” Anasera menjawab santai meski awalnya dia kesal sekali sebab beberapa hari lalu Ghazanvar dan Radeva tidak memberikan konfirmasi kalau kedua sahabat bangsulnya itu tidak akan datang latihan.Keesokan harinya dengan santai Ghazanvar dan Radeva memberitahu sambil bercanda kalau baru saja memesan jas itu kenapa tidak hadir latihan.Anasera yang tidak terima tentu saja langsung bertanya kenapa dia tidak diajak dan sepertinya mereka lupa jadi secara mendadak memintanya datang
“Kamu Seriusan mau menikah?” Adalah pertanyaan Khafi saat baru saja Naraya bergabung bersama penari lainnya di Aula untuk latihan rutin.Pria itu tampak terkejut sekaligus tidak terima.“Kenapa memang?” Malah Ibu Veronica yang menyahut dengan nada menantang. Naraya yang tadi sedikit terkejut mendapat pertanyaan dengan suara tinggi dari Khafi lantas mengalihkan pandangan pada ibu Veronica.Tadi malam Naraya mengirim undangan pernikahan virtual untuk teman-teman kampusnya di beberapa grup chat.Dia tidak memiliki banyak keluarga jadi akan mengundang teman-teman kampusnya saja.“Enggak Bu, cuma nanya aja.” Khafi menjelaskan.“Makanya kalau kamu memang suka sama Nay ya langsung ambil langkah donk … ajak pacaran terus lamar dia … kasih kepastian … jangan diem-diem bae … jadi keduluan orang luar, kan!” Betapa santai ibu Veronica mengatakannya seakan mengetahui yang sebenarnya isi hati Khafi.Khafi tersenyum kecut, dia lantas pergi karena tidak bisa merangkai kalimat untuk menyanggah ucapan
“Cieeee … dijemput pacar tuh … eh, tunangan maksudnya.” Anggit menyenggol lengan Naraya yang kemudian tersenyum simpul.Mereka baru saja selesai mengikuti kelas yang sama.Beberapa meter di depan mereka, tampak Ghazanvar berdiri di samping mobil.Kenapa juga tunangan Naraya itu harus menunggu di luar mobil sih? Ghazanvar jadi pusat perhatian para mahasiswi membuat hati Naraya terbakar cemburu. “Nay kenalin sama abang yuk, Git.” Naraya menarik tangan Anggit berjalan lebih cepat menghampiri Ghazanvar.Ghazanvar tersenyum lebar saat netranya telah menangkap sosok Naraya.Tangannya terulur mengusap kepala Naraya yang bibirnya balas tersenyum saat sang gadis sudah sampai di depannya.“Abang … kenalin, ini Anggit teman Nay.”Ghazanvar langsung mengulurkan tangan ke depan Anggit, gadis itu menatap Ghazanvar penuh minat, nyaris meleleh air liur dari sudut bibirnya.“Anggit!” Naraya menyenggol lengan Anggit membuat gadis itu terhenyak.“Eh iya, Hallo!” Anggit berseru kaget, menjabat tangan G
Naraya masih seperti orang linglung tidak banyak bicara sampai akhirnya pesawat mendarat sempurna.Begitu turun dari pesawat sudah ada mobil mewah yang belum pernah Naraya lihat selama hidupnya tinggal di Indonesia.Mobil itu dikemudikan supir, Alex duduk di sampingnya sedangkan Naraya dan Ghazanvar di kabin belakang.Pandangan Naraya terpaku keluar jendela yang menyajikan keindahan bangunan-bangunan tua khas kota Paris.Mata Naraya tidak berkedip karena tidak ingin ada satu pun yang terlewat dan luput dari pandangannya. Naraya tidak sadar kalau tangannya sedang digenggam Ghazanvar.Dan Naraya harus terperangah saat netranya menangkap bangunan ikonik kota ini.Menara Eiffel terpampang nyata di depan mata, jantung Naraya pun mulai menaikkan tempo debaran.“Kita sarapan dulu, mandi terus ganti baju ya.” “Hah?” Naraya kebingungan sebab Ghazanvar tiba-tiba turun setelah berkata demikian dan ternyata mobil sudah berhenti tanpa Naraya sadari.Pintu di samping Naraya dibuka oleh driver, di
Naraya menderapkan langkah menyusuri jalan setapak menuju kelas berikutnya.“Nay!” Suara berat seorang pria membut langkahnya berhenti, dia lantas menoleh ke asal suara.“Stop di situ!” Naraya berseru sambil mengangkat tangan.Langkah Khafi seketika terhenti, wajah tampan itu pun melongo bingung.“Mas Khafi chat aja, jangan deket-deket Nay dulu … nanti suami Nay marah, Nay lagi banyak pikiran enggak mau ditambah berantem sama abang juga.” Kedua alis Khafi terangkat hanya bisa diam membeku sembari menatap punggung Naraya yang dengan cepat menjauh.Ada gejolak di dada Naraya rasanya ingin marah-marah.Naraya tidak mengerti, ingin menangis juga sebenarnya tapi lebih besar perasaan ingin marah-marah, entah kenapa, Naraya juga bingung.Dia tidak bicara dengan teman-temannya selama kelas berikutnya berlangsung sampai akhirnya kelas berakhir kemudian Naraya pergi ke parkiran.“Awas aja ya kalau sampai abang Ghaza belum sampe, Nay pulang sendiri …,” ancamnya sembari misuh-misuh.Na
“Lho Nay, mau ke mana?” Ghazanvar yang baru saja keluar dari kamar mandi bertanya dengan kening berkerut tidak suka melihat Naraya memakai pakaian untuk kuliah berupa kemeja dan celana jeans.“Mau kuliah, Bang.” Naraya menjawab sembari menyisir rambut panjangnya tanpa berani menatap mata sang suami.“Tapi kamu ‘kan kemarin malam masih lemes sampai aku gendong dari mobil ke kamar … ijin dulu lah Nay sehari,” pinta Ghazanvar baik-baik demi kesehatan Naraya dan janin yang ada di dalam perutnya.“Enggak bisa Bang, sekarang ada ujian praktek menari—“ Kalimat Naraya terhenti teringat ucapan papi Arkana saat di Singapura.Dia menunduk menatap perutnya yang masih rata kemudian mengusap lembut di sana.“Naaay … gimana kalau kamu cuti dulu sampai melahirkan?” bujuk Ghazanvar, kedua tangannya terulur memeluk Naraya dari belakang.Dia juga ikut mengusap perut Naraya menggunakan kedua telapak tangannya yang besar.Banyak kecupan Ghazanvar berikan di belakang kepala Naraya.“Aku sayang kamu
“An …,” panggil Arnawarma lembut sembari menurunkan sleting gaun Anasera.“Hem?” Anasera mendengung sebagai respon.“Kita buat yang kaya di perutnya Nay, yuk!” bujuknya seperti anak kecil.Anasera terkekeh, membalikan tubuhnya kemudian mendongak menatap sang suami yang tinggi menjulang di depannya.“Kamu enggak bosen? Tiap malam kita bercinta, sampai malam sebelum akad nikah aja kamu menyusup ke kamar aku untuk bercinta … tadi malam juga kita bercinta.” Anasera melapisi sisi wajah Arnawarma.Dan kenapa Anasera baru benar-benar menyadari kalau Arnawarma sangat tampan, bahkan menurut Anasera, Arnawarma paling tampan di antara adik-adik dan kakaknya.“Enggak lah masa bosen.” Arnawarma menurunkan gaun Anasera dari pundaknya.Kini hanya tersisa celana kain berenda menutup bagian inti Anasera sedangkan dua bagian menyembul di dadanya menggantung tampak seksi.Arnawarma meremat lembut salah satu bagian itu dengan sorot mata teduh.“Nawa.” Jemari ramping Anasera membuka satu persatu
Sekembalinya dari rumah sakit, Ghazanvar langsung membawa Naraya ke kamar, tidak kembali ke pesta yang saat itu belum berakhir.Naraya langsung berbaring di ranjang karena tubuhnya terasa lemas sekali.Dia berbaring miring, menekuk kakinya dengan tangan pengusap perut.Tiba-tiba air mata Naraya menetes lagi, dadanya bergemuruh mengakibatkan sesak dan dia mulai terisak.“Sayaaang.” Ghazanvar yang sedang menanggalkan tuxedonya bergegas mendekat.“Are you oke?” Ghazanvar naik ke atas ranjang memeluk Naraya.“Nay enggak apa-apa tapi enggak tahu kenapa ingin nangis.” Naraya bicara di antara isak tangis.“Ingin nangisnya karena apa? Aku salah apa, sayang?” “Enggak, Abang enggak salah … Nay, inget sama ibu dan Bapak.” Ghazanvar memberikan kecupan di puncak kepala Naraya lantas mengeratkan pelukan.“Mereka pergi sebelum sempat melihat cucunya,” sambung Naraya terisak.Ghazanvar mengerti apa yang Naraya rasakan. “Nanti kita datang ke pemakaman kedua orang tua kamu setelah anak kit
Naraya terpana begitu masuk ke dalam Ballroom yang disulap seperti hutan peri.Banyak bunga, pohon-pohon artifisial serta lampu warna-warni.“Bro!“ Radeva merangkul pundak Ghazanvar.“Dari mana, Dev?” tanya Ghazanvar terkejut.“Abis telepon Ipeh.” Radeva menggerakan tangannya yang memegang handphone.“Ini kayanya si Ana berusaha keras banget nutupin jati diri dia yang sebenarnya.” Radeva berpendapat sembari memindai seluruh ruangan Ballroom.“Kenapa? Gara-gara tema dekornya fairythopia?” Ghazanvar menebak dan Radeva menganggukan kepalanya sebagai respon.“Gimana kalau ide tema ini idenya si Nawa?” ujar Ghazanvar lantas tergelak.“Bisa jadi sih! Si Ana ‘kan sukanya warna item dengan tema serba minimalis … enggak kaya pesta ulang tahun anak cewek umur tujuh tahun gini.” Ghazanvar tertawa lagi menanggapi.Lalu suara MC terdengar membuka acara, satu persatu tamu undangan mulai berdatangan.MC yang menggunakan bahas Inggris itu memberi instruksi agar para tamu membuat sebuah li
Ghazanvar berdecak lidah kesal saat melihat Naraya berjalan mendekat.Istrinya tampak cantik sekali mengenakan gaun untuk resepsi pernikahan Arnawarma dan Anasera.“Nay, ah … kamu kenapa cantik-cantik banget sih!” seru Ghazanvar dengan tampang tidak suka.“Ih, kok Abang gitu … istrinya cantik malah protes.” Sebagai seorang perempuan, Aruna tidak suka dengan sikap kasar sang kakak kepada istrinya di depan banyaknya sepupu mereka.“Nanti kalau banyak yang terpesona terus mau ngerebut dia dari Abang, gimana?” Ghazanvar mengungkapkan alasannya.“Kata cowok yang pernah berusaha ngerebut istri dari adik sepupunya sendiri,” celetuk Narashima santai dengan tatapan fokus pada gadgetnya karena sedang main game.Semua lantas tergelak menertawakan Ghazanvar membuat pria itu merotasi bola matanya dan raut wajah Naraya yang tadi menegang pun perlahan melembut.“Duduk, Nay.” Reyzio bangkit dari samping Ghazanvar memberi tempat untuk Naraya.Seluruh Gunadhya sedang berkumpul di lobby sebuah h
“Nay … seriusan aku enggak tahu kalau papi nyumbang buat acara ini.” Ghazanvar membuka pembicaraan setelah beberapa menit semenjak mereka masuk ke dalam mobil—Naraya bungkam seribu bahasa.“Sebenarnya Nay enggak masalah, Bang … cuma Nay khawatir orang-orang bergosip kalau Nay bisa selalu mewakili kampus karena mertuanya penyumbang terbesar setiap acara di kampus.” Naraya terdengar menggerutu, bibirnya mengerucut dengan wajah ditekuk.“Nanti aku bilang sama papi ya untuk enggak selalu andil, tapi kayanya pihak kampus yang ngajuin proposal duluan ke papi … sekarang papi sama Rektornya ‘kan bestian, teman golf.”Naraya menoleh menatap suaminya. “Oh ya?” Kedua alis wanita yang memiliki mata seperti almond itu terangkat.Setelah untuk yang pertama kalinya papi Arkana dan papanya Khafi bertemu di kantor Polisi karena urusan sang putra yang berkelahi dan setelah itu mereka jadi akrab.“Iya sayang … ya masa sama bestie enggak royal,” kata Ghazanvar lagi kemudian tertawa.“Ya kalau git
Ghazanvar sengaja tidak masuk kantor untuk melakukan gladi di kampus Naraya, tapi bukan berarti pria itu tidak bekerja—Ghazanvar masih bertanggung jawab pada pekerjaannya dengan membawa MacBook dan mengerjakan apa yang biasa dia kerjakan di kantor dari kampus Naraya atau lebih tepatnya Aula utama tempat pentas seni akan berlangsung besok.Sesekali matanya mengawasi interaksi antara Naraya dengan Khafi, mereka tampak akrab sekali.Ghazanvar jadi kesal dan dia tidak mau repot-repot menutupi ekspresi benci di wajahnya untuk Khafi.Lihat saja bagaimana tajamnya tatap mata Ghazanvar tertuju pada Khafi saat netra mereka tidak sengaja bersirobok.“Abang Ghaazaaa.” Afifah datang membawa satu cup kopi untuk Ghazanvar.“Ini buat Abang,” katanya manis sekali.“Waaah, curiga nih pasti kamu mau nanya-tanya tentang Radeva ya!” tebak Ghazanvar membuat Afifah menyengir lebar.Ghazanvar tertawa karena tebakannya benar sampai berhasil mengambil alih perhatian Naraya dan Khafi yang berada di atas
Pria itu bangkit dari kursi. “An … aku lewati satu malam dan satu hari tanpa kamu … dan ternyata aku enggak bisa.” Detik berikutnya Anasera berlari ke arah Arnawarma lantas memeluk pria itu erat. Anasera menangis di dada Arnawarma, dia pikir telah kehilangan pria itu. “Maafin aku ya, aku terlalu egois …,” kata Arnawarma padahal yang salah Anasera. Anasera menggelengkan kepala. “Aku yang salah.” Suara Anasera teredam dada Arnawarma. “Enggak sayang, aku yang salah.” Arnawarma bersikeras. Anasera mendongak demi menatap wajah tampan sang tunangan. “Aku yang salah, aku enggak bisa kasih tahu kamu keberadaan aku kemarin.” “Iya enggak apa-apa, harusnya aku percaya sama kamu … jadi aku yang salah.” Arnawarma memaksa. “Ih … enggak Nawa, aku yang salah.” Mereka berdua jadi rebutan menjadi orang yang bersalah dalam masalah ini. Lalu keduanya tertawa, Arnawarma memeluk Anasera kembali,