“Kenapa kita harus pergi keluar? Memangnya makanan di tempat aku enggak enak?” Anasera bertanya dengan nada dingin sedingin sikapnya kepada Arnawarma yang kerap dipanggil mas Nawa.“Biar sasana baru donk, An ….” Arnawarma menyahut santai.“Kamu udah fitting baju bridesmaid?” Arnawarma membuat topik pembicaraan.“Aku nolak, soalnya abang kamu minta aku jadi bridesmaid setelah ketahuan kalau dia sama Radeva pesan jas ke butik ibu Quenbee… lagian aku ‘kan bukan sahabatnya Nay… biar sahabat Nay aja yang jadi bridesmaid.” Anasera menjawab santai meski awalnya dia kesal sekali sebab beberapa hari lalu Ghazanvar dan Radeva tidak memberikan konfirmasi kalau kedua sahabat bangsulnya itu tidak akan datang latihan.Keesokan harinya dengan santai Ghazanvar dan Radeva memberitahu sambil bercanda kalau baru saja memesan jas itu kenapa tidak hadir latihan.Anasera yang tidak terima tentu saja langsung bertanya kenapa dia tidak diajak dan sepertinya mereka lupa jadi secara mendadak memintanya datang
“Kamu Seriusan mau menikah?” Adalah pertanyaan Khafi saat baru saja Naraya bergabung bersama penari lainnya di Aula untuk latihan rutin.Pria itu tampak terkejut sekaligus tidak terima.“Kenapa memang?” Malah Ibu Veronica yang menyahut dengan nada menantang. Naraya yang tadi sedikit terkejut mendapat pertanyaan dengan suara tinggi dari Khafi lantas mengalihkan pandangan pada ibu Veronica.Tadi malam Naraya mengirim undangan pernikahan virtual untuk teman-teman kampusnya di beberapa grup chat.Dia tidak memiliki banyak keluarga jadi akan mengundang teman-teman kampusnya saja.“Enggak Bu, cuma nanya aja.” Khafi menjelaskan.“Makanya kalau kamu memang suka sama Nay ya langsung ambil langkah donk … ajak pacaran terus lamar dia … kasih kepastian … jangan diem-diem bae … jadi keduluan orang luar, kan!” Betapa santai ibu Veronica mengatakannya seakan mengetahui yang sebenarnya isi hati Khafi.Khafi tersenyum kecut, dia lantas pergi karena tidak bisa merangkai kalimat untuk menyanggah ucapan
“Cieeee … dijemput pacar tuh … eh, tunangan maksudnya.” Anggit menyenggol lengan Naraya yang kemudian tersenyum simpul.Mereka baru saja selesai mengikuti kelas yang sama.Beberapa meter di depan mereka, tampak Ghazanvar berdiri di samping mobil.Kenapa juga tunangan Naraya itu harus menunggu di luar mobil sih? Ghazanvar jadi pusat perhatian para mahasiswi membuat hati Naraya terbakar cemburu. “Nay kenalin sama abang yuk, Git.” Naraya menarik tangan Anggit berjalan lebih cepat menghampiri Ghazanvar.Ghazanvar tersenyum lebar saat netranya telah menangkap sosok Naraya.Tangannya terulur mengusap kepala Naraya yang bibirnya balas tersenyum saat sang gadis sudah sampai di depannya.“Abang … kenalin, ini Anggit teman Nay.”Ghazanvar langsung mengulurkan tangan ke depan Anggit, gadis itu menatap Ghazanvar penuh minat, nyaris meleleh air liur dari sudut bibirnya.“Anggit!” Naraya menyenggol lengan Anggit membuat gadis itu terhenyak.“Eh iya, Hallo!” Anggit berseru kaget, menjabat tangan G
Naraya masih seperti orang linglung tidak banyak bicara sampai akhirnya pesawat mendarat sempurna.Begitu turun dari pesawat sudah ada mobil mewah yang belum pernah Naraya lihat selama hidupnya tinggal di Indonesia.Mobil itu dikemudikan supir, Alex duduk di sampingnya sedangkan Naraya dan Ghazanvar di kabin belakang.Pandangan Naraya terpaku keluar jendela yang menyajikan keindahan bangunan-bangunan tua khas kota Paris.Mata Naraya tidak berkedip karena tidak ingin ada satu pun yang terlewat dan luput dari pandangannya. Naraya tidak sadar kalau tangannya sedang digenggam Ghazanvar.Dan Naraya harus terperangah saat netranya menangkap bangunan ikonik kota ini.Menara Eiffel terpampang nyata di depan mata, jantung Naraya pun mulai menaikkan tempo debaran.“Kita sarapan dulu, mandi terus ganti baju ya.” “Hah?” Naraya kebingungan sebab Ghazanvar tiba-tiba turun setelah berkata demikian dan ternyata mobil sudah berhenti tanpa Naraya sadari.Pintu di samping Naraya dibuka oleh driver, di
“Besok pagi sebelum pulang kita belanja seserahan buat kamu dulu.” Ghazanvar berjalan mendekat sambil mengenakan kaosnya.Naraya bisa melihat otot di dada Ghazanvar, seketika tubuh Naraya memanas mengingat mereka tidur di kamar yang sama.Sepertinya bulan madu datang terlalu cepat.“Iya,” kata Naraya dari sofa tempatnya duduk.Dia terus menarik kerah gaun tidur yang terlalu seksi sebab mengekspose belahan dadanya.Alex yang membelikannya, sekretaris Ghazanvar itu juga membelikan Naraya pakaian dalam yang pas dengan ukurannya tapi selera pria itu buruk dalam memilih gaun tidur karena modelnya semi lingery.Buruk bagi Naraya tapi bagus Ghazanvar dan tolong ingatkan Ghazanvar untuk memberikan bonus besar kepada pria itu diakhir tahun nanti.Ghazanvar menjatuhkan bokongnya tepat di samping Naraya, pria itu tampak segar dan sudah pasti tampan.“Bang ….” Naraya melirih.“Ya?” Ghazanvar menga
Ghazanvar harus menahan dirinya lagi karena Naraya yang tengah terlelap dalam pelukan pria itu tidak sadar kalau dadanya terekspose karena kerah di bagian gaun tidurnya sobek akibat ulah Ghazanvar.Perlahan Ghazanvar merapihkan kerah gaun tidur Naraya agar menutupi dadanya yang padat dan sintal.Ghazanvar sudah banyak menikmati bagian menyembul di dada seorang perempuan tapi baru Naraya—yang dia rasakan secara sadar—bagian menyembul di dadanya yang terasa paling padat tapi kenyal dan tidak turun, mungkin karena masih perawan dan belum terjamah pria manapun.Ghazanvar bangga sekali menjadi yang pertama.Pria itu memberi jarak sedikit pada tubuh mereka sehingga dapat melihat wajah cantik Naraya yang sedang terlelap.Bibirnya mingkem malah ada sedikit senyum di sana.Sedang tidur saja Naraya cantik sekali, mungkin bidadari akan insecure bila disandingkan dengan Naraya.Ghazanvar akui kalau Naraya memang secantik itu, tapi apakah dia telah mencintai Naraya?Tangan Ghazanvar terulur menghe
Naraya dan Ghazanvar serta Alex di drop di depan pintu utama area perbelanjaan.Tempatnya seperti sebuah kota kecil bukan gedung mall tapi di sana terdapat butik-butik dari merek ternama dunia.Ghazanvar yang biasa menggenggam tangan Naraya ketika sedang berjalan pun mencoba meraih tangan Naraya dan lagi-lagi segera dihempaskan oleh tunangannya yang sedang merajuk itu.Akhirnya Ghazanvar mengalah, membiarkan Naraya sampai puas merajuk.Tapi pria itu tetap di samping Naraya mengikuti Alex masuk ke sebuah butik branded ternama dunia yang terkenal dengan tasnya.“Kamu mau tas yang mana?” Ghazanvar bertanya pada Naraya yang bukannya memilih malah duduk di sofa berbentuk awan di tengah butik.“Terserah ….” Naraya menjawab malas-malasan, melipat tangan di dada sambil mengarahkan pandangannya ke mana pun asal tidak menatap Ghazanvar.“Oke,” kata Ghazanvar lantas meninggalkan Naraya.“Saya mau semua model tas yang dijual di toko ini,” kata Ghazanvar kepada salah satu pelayan toko yang memakai
“Tumben beberapa hari ini kamu bisa latihan, enggak ke rumah Nay?” Pertanyaan dari Radeva itu terlontar setelah mereka bertiga masuk ke dalam ruang ganti.Ketiganya baru saja melakukan latihan rutin menembak dan mengasah ilmu beladiri dengan tangan kosong. “Iya, tumben banget … biasanya balik gawe langsung ke rumah Nay.” Anasera menimpali sambil membuka sarung tangan, sebenarnya dia sedang bersarkasme.“Nay lagi ngambek, gara-gara gue ajakin petting.” *Petting adalah aktifitas seksual tanpa penetrasi.“Oh ya?” Radeva tersenyum lebar, tatap matanya seolah menagih Ghazanvar bercerita lebih banyak lagi.“Weekend kemarin itu aku ajak Nay ke Paris buat foto prewed … terus sengaja donk booking satu kamar aja biar bisa bobo bareng … si Alex sialan malah beliin gaun tidur semi lingery buat Nay … kita memang enggak bawa baju dari Jakarta, kebetulan memang ngedadak ngajakin Nay ke Paris, kalau diskusi dulu pasti dia enggak akan mau … ya terpancing lah hasrat aku yang sudah hampir satu bulan e
Naraya menderapkan langkah menyusuri jalan setapak menuju kelas berikutnya.“Nay!” Suara berat seorang pria membut langkahnya berhenti, dia lantas menoleh ke asal suara.“Stop di situ!” Naraya berseru sambil mengangkat tangan.Langkah Khafi seketika terhenti, wajah tampan itu pun melongo bingung.“Mas Khafi chat aja, jangan deket-deket Nay dulu … nanti suami Nay marah, Nay lagi banyak pikiran enggak mau ditambah berantem sama abang juga.” Kedua alis Khafi terangkat hanya bisa diam membeku sembari menatap punggung Naraya yang dengan cepat menjauh.Ada gejolak di dada Naraya rasanya ingin marah-marah.Naraya tidak mengerti, ingin menangis juga sebenarnya tapi lebih besar perasaan ingin marah-marah, entah kenapa, Naraya juga bingung.Dia tidak bicara dengan teman-temannya selama kelas berikutnya berlangsung sampai akhirnya kelas berakhir kemudian Naraya pergi ke parkiran.“Awas aja ya kalau sampai abang Ghaza belum sampe, Nay pulang sendiri …,” ancamnya sembari misuh-misuh.Na
“Lho Nay, mau ke mana?” Ghazanvar yang baru saja keluar dari kamar mandi bertanya dengan kening berkerut tidak suka melihat Naraya memakai pakaian untuk kuliah berupa kemeja dan celana jeans.“Mau kuliah, Bang.” Naraya menjawab sembari menyisir rambut panjangnya tanpa berani menatap mata sang suami.“Tapi kamu ‘kan kemarin malam masih lemes sampai aku gendong dari mobil ke kamar … ijin dulu lah Nay sehari,” pinta Ghazanvar baik-baik demi kesehatan Naraya dan janin yang ada di dalam perutnya.“Enggak bisa Bang, sekarang ada ujian praktek menari—“ Kalimat Naraya terhenti teringat ucapan papi Arkana saat di Singapura.Dia menunduk menatap perutnya yang masih rata kemudian mengusap lembut di sana.“Naaay … gimana kalau kamu cuti dulu sampai melahirkan?” bujuk Ghazanvar, kedua tangannya terulur memeluk Naraya dari belakang.Dia juga ikut mengusap perut Naraya menggunakan kedua telapak tangannya yang besar.Banyak kecupan Ghazanvar berikan di belakang kepala Naraya.“Aku sayang kamu
“An …,” panggil Arnawarma lembut sembari menurunkan sleting gaun Anasera.“Hem?” Anasera mendengung sebagai respon.“Kita buat yang kaya di perutnya Nay, yuk!” bujuknya seperti anak kecil.Anasera terkekeh, membalikan tubuhnya kemudian mendongak menatap sang suami yang tinggi menjulang di depannya.“Kamu enggak bosen? Tiap malam kita bercinta, sampai malam sebelum akad nikah aja kamu menyusup ke kamar aku untuk bercinta … tadi malam juga kita bercinta.” Anasera melapisi sisi wajah Arnawarma.Dan kenapa Anasera baru benar-benar menyadari kalau Arnawarma sangat tampan, bahkan menurut Anasera, Arnawarma paling tampan di antara adik-adik dan kakaknya.“Enggak lah masa bosen.” Arnawarma menurunkan gaun Anasera dari pundaknya.Kini hanya tersisa celana kain berenda menutup bagian inti Anasera sedangkan dua bagian menyembul di dadanya menggantung tampak seksi.Arnawarma meremat lembut salah satu bagian itu dengan sorot mata teduh.“Nawa.” Jemari ramping Anasera membuka satu persatu
Sekembalinya dari rumah sakit, Ghazanvar langsung membawa Naraya ke kamar, tidak kembali ke pesta yang saat itu belum berakhir.Naraya langsung berbaring di ranjang karena tubuhnya terasa lemas sekali.Dia berbaring miring, menekuk kakinya dengan tangan pengusap perut.Tiba-tiba air mata Naraya menetes lagi, dadanya bergemuruh mengakibatkan sesak dan dia mulai terisak.“Sayaaang.” Ghazanvar yang sedang menanggalkan tuxedonya bergegas mendekat.“Are you oke?” Ghazanvar naik ke atas ranjang memeluk Naraya.“Nay enggak apa-apa tapi enggak tahu kenapa ingin nangis.” Naraya bicara di antara isak tangis.“Ingin nangisnya karena apa? Aku salah apa, sayang?” “Enggak, Abang enggak salah … Nay, inget sama ibu dan Bapak.” Ghazanvar memberikan kecupan di puncak kepala Naraya lantas mengeratkan pelukan.“Mereka pergi sebelum sempat melihat cucunya,” sambung Naraya terisak.Ghazanvar mengerti apa yang Naraya rasakan. “Nanti kita datang ke pemakaman kedua orang tua kamu setelah anak kit
Naraya terpana begitu masuk ke dalam Ballroom yang disulap seperti hutan peri.Banyak bunga, pohon-pohon artifisial serta lampu warna-warni.“Bro!“ Radeva merangkul pundak Ghazanvar.“Dari mana, Dev?” tanya Ghazanvar terkejut.“Abis telepon Ipeh.” Radeva menggerakan tangannya yang memegang handphone.“Ini kayanya si Ana berusaha keras banget nutupin jati diri dia yang sebenarnya.” Radeva berpendapat sembari memindai seluruh ruangan Ballroom.“Kenapa? Gara-gara tema dekornya fairythopia?” Ghazanvar menebak dan Radeva menganggukan kepalanya sebagai respon.“Gimana kalau ide tema ini idenya si Nawa?” ujar Ghazanvar lantas tergelak.“Bisa jadi sih! Si Ana ‘kan sukanya warna item dengan tema serba minimalis … enggak kaya pesta ulang tahun anak cewek umur tujuh tahun gini.” Ghazanvar tertawa lagi menanggapi.Lalu suara MC terdengar membuka acara, satu persatu tamu undangan mulai berdatangan.MC yang menggunakan bahas Inggris itu memberi instruksi agar para tamu membuat sebuah li
Ghazanvar berdecak lidah kesal saat melihat Naraya berjalan mendekat.Istrinya tampak cantik sekali mengenakan gaun untuk resepsi pernikahan Arnawarma dan Anasera.“Nay, ah … kamu kenapa cantik-cantik banget sih!” seru Ghazanvar dengan tampang tidak suka.“Ih, kok Abang gitu … istrinya cantik malah protes.” Sebagai seorang perempuan, Aruna tidak suka dengan sikap kasar sang kakak kepada istrinya di depan banyaknya sepupu mereka.“Nanti kalau banyak yang terpesona terus mau ngerebut dia dari Abang, gimana?” Ghazanvar mengungkapkan alasannya.“Kata cowok yang pernah berusaha ngerebut istri dari adik sepupunya sendiri,” celetuk Narashima santai dengan tatapan fokus pada gadgetnya karena sedang main game.Semua lantas tergelak menertawakan Ghazanvar membuat pria itu merotasi bola matanya dan raut wajah Naraya yang tadi menegang pun perlahan melembut.“Duduk, Nay.” Reyzio bangkit dari samping Ghazanvar memberi tempat untuk Naraya.Seluruh Gunadhya sedang berkumpul di lobby sebuah h
“Nay … seriusan aku enggak tahu kalau papi nyumbang buat acara ini.” Ghazanvar membuka pembicaraan setelah beberapa menit semenjak mereka masuk ke dalam mobil—Naraya bungkam seribu bahasa.“Sebenarnya Nay enggak masalah, Bang … cuma Nay khawatir orang-orang bergosip kalau Nay bisa selalu mewakili kampus karena mertuanya penyumbang terbesar setiap acara di kampus.” Naraya terdengar menggerutu, bibirnya mengerucut dengan wajah ditekuk.“Nanti aku bilang sama papi ya untuk enggak selalu andil, tapi kayanya pihak kampus yang ngajuin proposal duluan ke papi … sekarang papi sama Rektornya ‘kan bestian, teman golf.”Naraya menoleh menatap suaminya. “Oh ya?” Kedua alis wanita yang memiliki mata seperti almond itu terangkat.Setelah untuk yang pertama kalinya papi Arkana dan papanya Khafi bertemu di kantor Polisi karena urusan sang putra yang berkelahi dan setelah itu mereka jadi akrab.“Iya sayang … ya masa sama bestie enggak royal,” kata Ghazanvar lagi kemudian tertawa.“Ya kalau git
Ghazanvar sengaja tidak masuk kantor untuk melakukan gladi di kampus Naraya, tapi bukan berarti pria itu tidak bekerja—Ghazanvar masih bertanggung jawab pada pekerjaannya dengan membawa MacBook dan mengerjakan apa yang biasa dia kerjakan di kantor dari kampus Naraya atau lebih tepatnya Aula utama tempat pentas seni akan berlangsung besok.Sesekali matanya mengawasi interaksi antara Naraya dengan Khafi, mereka tampak akrab sekali.Ghazanvar jadi kesal dan dia tidak mau repot-repot menutupi ekspresi benci di wajahnya untuk Khafi.Lihat saja bagaimana tajamnya tatap mata Ghazanvar tertuju pada Khafi saat netra mereka tidak sengaja bersirobok.“Abang Ghaazaaa.” Afifah datang membawa satu cup kopi untuk Ghazanvar.“Ini buat Abang,” katanya manis sekali.“Waaah, curiga nih pasti kamu mau nanya-tanya tentang Radeva ya!” tebak Ghazanvar membuat Afifah menyengir lebar.Ghazanvar tertawa karena tebakannya benar sampai berhasil mengambil alih perhatian Naraya dan Khafi yang berada di atas
Pria itu bangkit dari kursi. “An … aku lewati satu malam dan satu hari tanpa kamu … dan ternyata aku enggak bisa.” Detik berikutnya Anasera berlari ke arah Arnawarma lantas memeluk pria itu erat. Anasera menangis di dada Arnawarma, dia pikir telah kehilangan pria itu. “Maafin aku ya, aku terlalu egois …,” kata Arnawarma padahal yang salah Anasera. Anasera menggelengkan kepala. “Aku yang salah.” Suara Anasera teredam dada Arnawarma. “Enggak sayang, aku yang salah.” Arnawarma bersikeras. Anasera mendongak demi menatap wajah tampan sang tunangan. “Aku yang salah, aku enggak bisa kasih tahu kamu keberadaan aku kemarin.” “Iya enggak apa-apa, harusnya aku percaya sama kamu … jadi aku yang salah.” Arnawarma memaksa. “Ih … enggak Nawa, aku yang salah.” Mereka berdua jadi rebutan menjadi orang yang bersalah dalam masalah ini. Lalu keduanya tertawa, Arnawarma memeluk Anasera kembali,