“Mi … Pi … Aruna enggak enak badan, Aruna enggak ikut ke pemakaman ya.” Aruna berujar sembari menuruni anak tangga.Wajahnya pucat dan tubuhnya tampak lemas.“Ya udah, kamu di sini aja.” Mami mengusap kepala Aruna.“Kamu demam sayang,” kata mami cemas.“Kalian pergi aja, biar aku yang rawat Aruna.” Sebagai dokter, tante Bunga memiliki kamar praktik pribadi berisi peralatan dan perlengkapan kesehatan termasuk obat-obatan.“Nanti kita jemput kamu … kamu istirahat aja ya,” kata papi Arkana sebelum akhirnya beliau beserta mami dan Ghazanvar pergi menuju pemakaman.Ghazanvar masih belum banyak bicara tapi pikiran serta tatapannya tidak sekosong tadi, dia berusaha menguasai diri.Pemakaman kedua orang tua Naraya dihadiri keluarga dan tetangga, Naraya tidak berhenti menangis pilu yang menulari beberapa orang di sana hingga ikut menitikan air mata.Ketiga paman Naraya tadi kini didampingi oleh istri dan anak mereka tapi tidak ada satu pun dari ketiga istri pamannya yang terlihat menenangkan N
“Nay … Mami sama papi juga abang Ghaza pulang dulu ya, kalau butuh apa-apa kamu bisa hubungi Mami.” Mami menyelipkan kartu namanya ke dalam saku kemeja Naraya.Naraya mengangguk dengan raut sendu tanpa suara.“Terima kasih Bu Zara dan Pak Arkana yang telah meluangkan waktunya dan memberikan perhatian untuk Naraya.” Paman Naraya yang bernama Rukmana paling aktif berkomunikasi dengan mami dan papi.Diketahui kalau beliau adalah Lurah di desa tempat Naraya dan kedua orang tuanya tinggal.“Sama-sama Pak Rukmana … sekali lagi saya dan keluarga mengucapkan turut berbela sungkawa.” Papi mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan paman Rukmana.“Terimakasih, Pak.” Paman Rukmana menyahut, gantian bersalaman dengan mami lalu Ghazanvar.Paman Rukmana dan Naraya mengantar mereka bertiga hingga halaman depan.Papi dan mami berjalan lebih dulu diikuti paman Rukmana, ketiga orang tua itu terlibat pembicaraan ringan mengenai kedua orang tua Naraya semasa hidup menyisakan Naraya dan Ghazanvar yang ber
Naraya membaca kartu nama di tangannya, jadi tahu kalau mami Zara adalah seorang dokter juga Direktur sebuah rumah sakit swasta terbesar dan terbaik di Jakarta.“Pantas aja mami baik banget, ternyata mami seorang dokter ….” Naraya bergumam.Naraya menyimpan nomor ponsel mami di ponselnya kemudian menyobek kartu nama itu sampai potongan paling kecil lalu dia buang ke tong sampah.Dia takut kartu nama mami Zara ditemukan orang lain yang ingin memanfaatkan beliau.Mata Naraya mengedar ke sekeliling kamar, dia sedang berada di kamar ibu dan bapak.Kamar ini memiliki wangi khas ibu dan bapak, mata Naraya kembali berkaca-kaca.Lalu Naraya memandangi foto pernikahan ibu dan bapak yang digantung di atas headboard.Ibu dan bapak dulu menikah hanya di KUA karena keterbatasan finansial.Ibu pernah berkata kalau beliau akan menabung untuk pesta pernikahan Naraya.Katanya pesta pernikahan Naraya harus megah dan mewah jangan seperti pernikahan ibu dan bapak.Naraya menutup wajahnya menggunakan kedu
Mimpi buruk sedang membayangi Ghazanvar dalam tidurnya.Kilasan tentang kecelakaan tempo hari terus berputar seperti kaset rusak.Dari mulai Ghazanvar sedang melamunkan Zaviya kemudian stir yang oleng ke kanan lalu dia banting ke kiri dan terakhir saat melihat mobil kedua orang tua Naraya melompat ke jurang kemudian meledak.“Pembunuh!” seru Naraya menatap marah di dalam mimpi Ghazanvar.“Aaargh!” Ghazanvar tersentak bangun dalam posisi duduk.Keringat membanjiri tubuhnya, napas pria itu juga memburu dengan jantung berdetak kencang.Sudah tiga hari semenjak kecelakaan itu terjadi dan setiap malam, Ghazanvar selalu bermimpi hal buruk yang sama.Dia mengusap wajahnya bersama hembusan napas panjang.Naraya dan kecelakaan orang tuanya resmi mengambil alih pikiran Ghazanvar dari Zaviya.Ghazanvar melirik jam yang tergantung di dinding, waktu masih menunjukkan pukul tiga pagi.Dan seperti sebelumnya, Ghazanvar tidak bisa tidur lagi.Dia yang pertama menghuni meja makan pagi ini.Berturut-tu
“Gue mau pengakuan dosa,” kata Ghazanvar saat sosoknya baru saja memasuki ruangan Anasera di dalam sebuah lounge yang mulai dipenuhi pengunjung setelah jam pulang kerja. Ghazanvar tidak bisa memendam sendiri apa yang sedang dia rasakan dan menurutnya hanya kedua sahabatnya yang bisa mengerti.Radeva dan Anasera menatap malas Ghazanvar kemudian merotasi bola matanya.Padahal Radeva dan Anasera sedang sibuk berdiskusi membahas bisnis ilegal mereka dalam menghadapi Liga Bola yang baru saja dimulai.“Diem lah, kita lagi bahas hal penting.” Radeva berujar ketus.“Kalian enggak mau tahu apa yang mau aku omongin?” Ghazanvar jadi kecewa, menjatuhkan bokongnya di sofa.“Kita udah tahu Ghaza,” balas Anasera malas-malasan.“Tahu apa?” Ghazanvar menantang.“Kamu merasa bersalah atas kecelakaan itu.” Radeva yang pertama menjawab.“Kamu berpikir kalau kamu yang mengakibatkan kecelakaan itu,” sambung Anasera.“Kamu berpikir seperti itu karena kamu nyetir sambil ngelamun mikirin Zaviya.” Radeva mena
“Ghazanvar!” Suara kakek Narendra berseru marah menggelegar di ruangan rapat yang cukup luas itu membuat bukan hanya Ghazanvar tapi para cucu dan beberapa pimpinan di perusahaan AG Group kemudian terhenyak karena terkejut.“I … iya, Kek! Eh … Pak!” Ghazanvar menyahut terbata.Wajahnya pucat pasi, gerak tubuhnya menjadi serba salah.“Kamu itu saya panggil-panggil dari tadi malah ngelamun … kinerja perusahaan juga menurun, mau kamu apa? Hah?! Kamu mau resign atau saya pecat!” Kakek Narendra sudah tidak bisa menahan dirinya untuk bersabar lagi menghadapi Ghazanvar.Selama ini baru Ghazanvar keturunannya yang malas-malasan dan tidak produktif hanya karena seorang perempuan.Kakek yang mengetahui kalau Ghazanvar hanya sebagai saksi dari kecelakaan tempo hari di Sukabumi menganggap sikap Ghazanvar yang semakin hari semakin jauh dari kata normal itu karena masih memikirkan Zaviya. Ghazanvar jadi lebih sering melamun dan murung dari sebelumnya.Dan lebih gilanya lagi, Ghazanvar berani melamu
Berulang kali Ghazanvar yang duduk di kursi penumpang belakang mengembuskan napas gusar, dia mengusap wajahnya kasar lalu menyugar rambut ke belakang.Ghazanvar sangat frustrasi lantaran mimpi tentang kecelakaan tersebut semakin hari semakin jelas saja dan dalam mimpi itu seolah mereka ulang kejadian dengan Ghazanvar yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan.Tangis Naraya juga tidak berhenti berkelebat dalam benaknya membuat Ghazanvar didera perasaan bersalah yang hebat.“Pak, kita ke rumah sakit mami.” Ghazanvar memberi instruksi kepada sang driver.“Baik, Pak.” Driver itu pun menyahut cepat.Setelah itu dia merogoh ponsel dari saku jas untuk menghubungi sekretaris dan orang kepercayaannya.“Selamat siang Pak Ghazanvar.” Alex menjawab panggilan itu padahal Ghazanvar belum merasa mendengar nada sambung.“Lex, suruh Mita yang ketemu pak Sudibyo … saya masih ada urusan.”Yang berarti Alex harus berkoordinasi lagi dengan sekertaris pak Sudibyo atas kealpaan Ghazanvar.“Baik, Pak.” Seb
Ghazanvar yang sudah berpakaian rapih siap berangkat ke Bandung sedang berjongkok untuk memasukan makanan anabul ke dalam dispenser.Chiko-kucing peliharaan Ghazanvar datang mendekat, mengendus-endus wadah yang kemudian terisi makanannya.Ghazanvar mengelus-ngelus kepala Chiko yang tengah lahap menikmati sarapan pagi.“Daddy pergi dulu ya, kamu boleh keluar kamar tapi enggak boleh keluar rumah,” kata Ghazanvar berpesan.“Meow ….” Chiko menyahut kemudian melanjutkan kembali sarapan paginya.Ghazanvar bangkit dan menarik langkah keluar dari kamar.“Bi, tolong nanti siang Chiko dikasih makanan basah ya! Jangan lupa tutup pintu belakang biar Chiko enggak keluar … nanti kaya kemarin susah nyarinya.” Ghazanvar berpesan ketika bertemu asisten rumah tangga di ruang tamu di mana seluruh keluarganya ternyata sudah berkumpul.“Iya, Bang.” Wanita paruh baya itu merespon cepat lantas pergi karena sudah tidak memiliki kepentingan di sana.“Ih … ganteng banget anak, Mami.” Mami mengusap-ngusap punda