Mami dan papi berusaha untuk tidak panik saat mendatangi kantor Polisi.Mereka beralasan kalau kedatangannya ke sana lantaran merasa harus mendampingi putra dan putri mereka yang sedang dimintai keterangan sebagai saksi atas kecelakaan tersebut.Kebetulan mami dan papi datang setelah beberapa saat Aruna dan Ghazanvar selesai dimintai keterangan jadi giliran mereka berdua yang bicara dengan Kapolres yang kebetulan sedang piket malam ini.Sementara itu Ghazanvar dan Aruna duduk di sebuah bangku menatap kosong ke arah pelataran parkir.Aruna masih syok dengan apa yang telah terjadi sedangkan Ghazanvar diliputi kebingungan dan kebimbangan.Ghazanvar sama sekali tidak merasa senang saat orang-orang memuji sikap heroiknya yang berpikir kalau dia sengaja menghentikan kendaraan untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan mobil nahas itu lalu melaporkannya kepada yang berwajib.Polisi juga mengucapkan Terimakasih kepada Ghazanvar padahal dia sudah mengatakan kronologis kejadian bagaimana sampai
“Ibuuuu … Bapaaaak … jangan tinggalin Nay, Ibuuuu … Bapaaaaak.” Suara tangis pilu terdengar dari ruang tunggu jenazah sebelum dimasukan ke dalam Ambulance untuk diantar ke rumah duka.Ghazanvar dan keluarganya masih ada di sana begitu juga ketiga paman Naraya.Yang paling menyakitkan adalah Naraya tidak bisa memeluk jenazah kedua orang tuanya yang sudah dibungkus plastik dan kain kafan lantaran tubuh jenazah seratus persen terbakar.Hanya bisa dikenali dari perhiasan yang dipakai korban dan kartu identitas diri yang kebetulan tidak ikut terbakar serta ponsel yang masih berfungsi sehingga Polisi mudah untuk menghubungi keluarga korban karena kebetulan panggilan terakhir di ponsel mendiang Agus Rijadi adalah panggilan keluar menghubungi pak Eka-kakak iparnya.Naraya berjongkok memegangi sisi keranda kedua orang tuanya.“Naaaay … udah Naaaah, ini udah takdir.” Pak Rukmana mencoba menenangkan dengan membantu Nayara berdiri tapi Nayara malah bersimpuh di lantai tidak peduli celananya koto
Ghazanvar dan keluarganya tidak langsung kembali ke Jakarta.Kebetulan hari ini adalah weekend jadi mereka tidak memiliki aktifitas rutin sehingga bisa ikut ke Bandung untuk menghadiri pemakaman kedua orang tua Naraya.Keluarga Naraya sangat tersentuh saat tadi mami mengatakan akan ikut ke pemakaman.Ide ikut ke pemakaman didasari oleh rasa simpati mami kepada Naraya yang tidak tega membiarkannya sendirian menghadapi musibah ini.Mami Zara beralasan kalau beliau sekalian akan mengunjungi kerabat yang berdomisili di Kota Baru Parahyangan yang ternyata komplek pemukiman elite itu dekat dengan rumah Naraya.“Mami suka cari masalah … udah tau si Abang lagi syok dan galau serta bimbang, ini malah diajak ke pemakaman korban.” Papi yang duduk di belakang kemudi mengeluh.“Kan tadi Mami udah bilang kalau Mami mau ketemu mbak Bunga sama mas Angga … kalau Papi mau pulang ke Jakarta pake heli sama anak-anak ya silahkan … ngapain coba ngikutin Mami?” Mami berujar ketus lantaran tidak terima kalau
“Mi … Pi … Aruna enggak enak badan, Aruna enggak ikut ke pemakaman ya.” Aruna berujar sembari menuruni anak tangga.Wajahnya pucat dan tubuhnya tampak lemas.“Ya udah, kamu di sini aja.” Mami mengusap kepala Aruna.“Kamu demam sayang,” kata mami cemas.“Kalian pergi aja, biar aku yang rawat Aruna.” Sebagai dokter, tante Bunga memiliki kamar praktik pribadi berisi peralatan dan perlengkapan kesehatan termasuk obat-obatan.“Nanti kita jemput kamu … kamu istirahat aja ya,” kata papi Arkana sebelum akhirnya beliau beserta mami dan Ghazanvar pergi menuju pemakaman.Ghazanvar masih belum banyak bicara tapi pikiran serta tatapannya tidak sekosong tadi, dia berusaha menguasai diri.Pemakaman kedua orang tua Naraya dihadiri keluarga dan tetangga, Naraya tidak berhenti menangis pilu yang menulari beberapa orang di sana hingga ikut menitikan air mata.Ketiga paman Naraya tadi kini didampingi oleh istri dan anak mereka tapi tidak ada satu pun dari ketiga istri pamannya yang terlihat menenangkan N
“Nay … Mami sama papi juga abang Ghaza pulang dulu ya, kalau butuh apa-apa kamu bisa hubungi Mami.” Mami menyelipkan kartu namanya ke dalam saku kemeja Naraya.Naraya mengangguk dengan raut sendu tanpa suara.“Terima kasih Bu Zara dan Pak Arkana yang telah meluangkan waktunya dan memberikan perhatian untuk Naraya.” Paman Naraya yang bernama Rukmana paling aktif berkomunikasi dengan mami dan papi.Diketahui kalau beliau adalah Lurah di desa tempat Naraya dan kedua orang tuanya tinggal.“Sama-sama Pak Rukmana … sekali lagi saya dan keluarga mengucapkan turut berbela sungkawa.” Papi mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan paman Rukmana.“Terimakasih, Pak.” Paman Rukmana menyahut, gantian bersalaman dengan mami lalu Ghazanvar.Paman Rukmana dan Naraya mengantar mereka bertiga hingga halaman depan.Papi dan mami berjalan lebih dulu diikuti paman Rukmana, ketiga orang tua itu terlibat pembicaraan ringan mengenai kedua orang tua Naraya semasa hidup menyisakan Naraya dan Ghazanvar yang ber
Naraya membaca kartu nama di tangannya, jadi tahu kalau mami Zara adalah seorang dokter juga Direktur sebuah rumah sakit swasta terbesar dan terbaik di Jakarta.“Pantas aja mami baik banget, ternyata mami seorang dokter ….” Naraya bergumam.Naraya menyimpan nomor ponsel mami di ponselnya kemudian menyobek kartu nama itu sampai potongan paling kecil lalu dia buang ke tong sampah.Dia takut kartu nama mami Zara ditemukan orang lain yang ingin memanfaatkan beliau.Mata Naraya mengedar ke sekeliling kamar, dia sedang berada di kamar ibu dan bapak.Kamar ini memiliki wangi khas ibu dan bapak, mata Naraya kembali berkaca-kaca.Lalu Naraya memandangi foto pernikahan ibu dan bapak yang digantung di atas headboard.Ibu dan bapak dulu menikah hanya di KUA karena keterbatasan finansial.Ibu pernah berkata kalau beliau akan menabung untuk pesta pernikahan Naraya.Katanya pesta pernikahan Naraya harus megah dan mewah jangan seperti pernikahan ibu dan bapak.Naraya menutup wajahnya menggunakan kedu
Mimpi buruk sedang membayangi Ghazanvar dalam tidurnya.Kilasan tentang kecelakaan tempo hari terus berputar seperti kaset rusak.Dari mulai Ghazanvar sedang melamunkan Zaviya kemudian stir yang oleng ke kanan lalu dia banting ke kiri dan terakhir saat melihat mobil kedua orang tua Naraya melompat ke jurang kemudian meledak.“Pembunuh!” seru Naraya menatap marah di dalam mimpi Ghazanvar.“Aaargh!” Ghazanvar tersentak bangun dalam posisi duduk.Keringat membanjiri tubuhnya, napas pria itu juga memburu dengan jantung berdetak kencang.Sudah tiga hari semenjak kecelakaan itu terjadi dan setiap malam, Ghazanvar selalu bermimpi hal buruk yang sama.Dia mengusap wajahnya bersama hembusan napas panjang.Naraya dan kecelakaan orang tuanya resmi mengambil alih pikiran Ghazanvar dari Zaviya.Ghazanvar melirik jam yang tergantung di dinding, waktu masih menunjukkan pukul tiga pagi.Dan seperti sebelumnya, Ghazanvar tidak bisa tidur lagi.Dia yang pertama menghuni meja makan pagi ini.Berturut-tu
“Gue mau pengakuan dosa,” kata Ghazanvar saat sosoknya baru saja memasuki ruangan Anasera di dalam sebuah lounge yang mulai dipenuhi pengunjung setelah jam pulang kerja. Ghazanvar tidak bisa memendam sendiri apa yang sedang dia rasakan dan menurutnya hanya kedua sahabatnya yang bisa mengerti.Radeva dan Anasera menatap malas Ghazanvar kemudian merotasi bola matanya.Padahal Radeva dan Anasera sedang sibuk berdiskusi membahas bisnis ilegal mereka dalam menghadapi Liga Bola yang baru saja dimulai.“Diem lah, kita lagi bahas hal penting.” Radeva berujar ketus.“Kalian enggak mau tahu apa yang mau aku omongin?” Ghazanvar jadi kecewa, menjatuhkan bokongnya di sofa.“Kita udah tahu Ghaza,” balas Anasera malas-malasan.“Tahu apa?” Ghazanvar menantang.“Kamu merasa bersalah atas kecelakaan itu.” Radeva yang pertama menjawab.“Kamu berpikir kalau kamu yang mengakibatkan kecelakaan itu,” sambung Anasera.“Kamu berpikir seperti itu karena kamu nyetir sambil ngelamun mikirin Zaviya.” Radeva mena
Naraya menderapkan langkah menyusuri jalan setapak menuju kelas berikutnya.“Nay!” Suara berat seorang pria membut langkahnya berhenti, dia lantas menoleh ke asal suara.“Stop di situ!” Naraya berseru sambil mengangkat tangan.Langkah Khafi seketika terhenti, wajah tampan itu pun melongo bingung.“Mas Khafi chat aja, jangan deket-deket Nay dulu … nanti suami Nay marah, Nay lagi banyak pikiran enggak mau ditambah berantem sama abang juga.” Kedua alis Khafi terangkat hanya bisa diam membeku sembari menatap punggung Naraya yang dengan cepat menjauh.Ada gejolak di dada Naraya rasanya ingin marah-marah.Naraya tidak mengerti, ingin menangis juga sebenarnya tapi lebih besar perasaan ingin marah-marah, entah kenapa, Naraya juga bingung.Dia tidak bicara dengan teman-temannya selama kelas berikutnya berlangsung sampai akhirnya kelas berakhir kemudian Naraya pergi ke parkiran.“Awas aja ya kalau sampai abang Ghaza belum sampe, Nay pulang sendiri …,” ancamnya sembari misuh-misuh.Na
“Lho Nay, mau ke mana?” Ghazanvar yang baru saja keluar dari kamar mandi bertanya dengan kening berkerut tidak suka melihat Naraya memakai pakaian untuk kuliah berupa kemeja dan celana jeans.“Mau kuliah, Bang.” Naraya menjawab sembari menyisir rambut panjangnya tanpa berani menatap mata sang suami.“Tapi kamu ‘kan kemarin malam masih lemes sampai aku gendong dari mobil ke kamar … ijin dulu lah Nay sehari,” pinta Ghazanvar baik-baik demi kesehatan Naraya dan janin yang ada di dalam perutnya.“Enggak bisa Bang, sekarang ada ujian praktek menari—“ Kalimat Naraya terhenti teringat ucapan papi Arkana saat di Singapura.Dia menunduk menatap perutnya yang masih rata kemudian mengusap lembut di sana.“Naaay … gimana kalau kamu cuti dulu sampai melahirkan?” bujuk Ghazanvar, kedua tangannya terulur memeluk Naraya dari belakang.Dia juga ikut mengusap perut Naraya menggunakan kedua telapak tangannya yang besar.Banyak kecupan Ghazanvar berikan di belakang kepala Naraya.“Aku sayang kamu
“An …,” panggil Arnawarma lembut sembari menurunkan sleting gaun Anasera.“Hem?” Anasera mendengung sebagai respon.“Kita buat yang kaya di perutnya Nay, yuk!” bujuknya seperti anak kecil.Anasera terkekeh, membalikan tubuhnya kemudian mendongak menatap sang suami yang tinggi menjulang di depannya.“Kamu enggak bosen? Tiap malam kita bercinta, sampai malam sebelum akad nikah aja kamu menyusup ke kamar aku untuk bercinta … tadi malam juga kita bercinta.” Anasera melapisi sisi wajah Arnawarma.Dan kenapa Anasera baru benar-benar menyadari kalau Arnawarma sangat tampan, bahkan menurut Anasera, Arnawarma paling tampan di antara adik-adik dan kakaknya.“Enggak lah masa bosen.” Arnawarma menurunkan gaun Anasera dari pundaknya.Kini hanya tersisa celana kain berenda menutup bagian inti Anasera sedangkan dua bagian menyembul di dadanya menggantung tampak seksi.Arnawarma meremat lembut salah satu bagian itu dengan sorot mata teduh.“Nawa.” Jemari ramping Anasera membuka satu persatu
Sekembalinya dari rumah sakit, Ghazanvar langsung membawa Naraya ke kamar, tidak kembali ke pesta yang saat itu belum berakhir.Naraya langsung berbaring di ranjang karena tubuhnya terasa lemas sekali.Dia berbaring miring, menekuk kakinya dengan tangan pengusap perut.Tiba-tiba air mata Naraya menetes lagi, dadanya bergemuruh mengakibatkan sesak dan dia mulai terisak.“Sayaaang.” Ghazanvar yang sedang menanggalkan tuxedonya bergegas mendekat.“Are you oke?” Ghazanvar naik ke atas ranjang memeluk Naraya.“Nay enggak apa-apa tapi enggak tahu kenapa ingin nangis.” Naraya bicara di antara isak tangis.“Ingin nangisnya karena apa? Aku salah apa, sayang?” “Enggak, Abang enggak salah … Nay, inget sama ibu dan Bapak.” Ghazanvar memberikan kecupan di puncak kepala Naraya lantas mengeratkan pelukan.“Mereka pergi sebelum sempat melihat cucunya,” sambung Naraya terisak.Ghazanvar mengerti apa yang Naraya rasakan. “Nanti kita datang ke pemakaman kedua orang tua kamu setelah anak kit
Naraya terpana begitu masuk ke dalam Ballroom yang disulap seperti hutan peri.Banyak bunga, pohon-pohon artifisial serta lampu warna-warni.“Bro!“ Radeva merangkul pundak Ghazanvar.“Dari mana, Dev?” tanya Ghazanvar terkejut.“Abis telepon Ipeh.” Radeva menggerakan tangannya yang memegang handphone.“Ini kayanya si Ana berusaha keras banget nutupin jati diri dia yang sebenarnya.” Radeva berpendapat sembari memindai seluruh ruangan Ballroom.“Kenapa? Gara-gara tema dekornya fairythopia?” Ghazanvar menebak dan Radeva menganggukan kepalanya sebagai respon.“Gimana kalau ide tema ini idenya si Nawa?” ujar Ghazanvar lantas tergelak.“Bisa jadi sih! Si Ana ‘kan sukanya warna item dengan tema serba minimalis … enggak kaya pesta ulang tahun anak cewek umur tujuh tahun gini.” Ghazanvar tertawa lagi menanggapi.Lalu suara MC terdengar membuka acara, satu persatu tamu undangan mulai berdatangan.MC yang menggunakan bahas Inggris itu memberi instruksi agar para tamu membuat sebuah li
Ghazanvar berdecak lidah kesal saat melihat Naraya berjalan mendekat.Istrinya tampak cantik sekali mengenakan gaun untuk resepsi pernikahan Arnawarma dan Anasera.“Nay, ah … kamu kenapa cantik-cantik banget sih!” seru Ghazanvar dengan tampang tidak suka.“Ih, kok Abang gitu … istrinya cantik malah protes.” Sebagai seorang perempuan, Aruna tidak suka dengan sikap kasar sang kakak kepada istrinya di depan banyaknya sepupu mereka.“Nanti kalau banyak yang terpesona terus mau ngerebut dia dari Abang, gimana?” Ghazanvar mengungkapkan alasannya.“Kata cowok yang pernah berusaha ngerebut istri dari adik sepupunya sendiri,” celetuk Narashima santai dengan tatapan fokus pada gadgetnya karena sedang main game.Semua lantas tergelak menertawakan Ghazanvar membuat pria itu merotasi bola matanya dan raut wajah Naraya yang tadi menegang pun perlahan melembut.“Duduk, Nay.” Reyzio bangkit dari samping Ghazanvar memberi tempat untuk Naraya.Seluruh Gunadhya sedang berkumpul di lobby sebuah h
“Nay … seriusan aku enggak tahu kalau papi nyumbang buat acara ini.” Ghazanvar membuka pembicaraan setelah beberapa menit semenjak mereka masuk ke dalam mobil—Naraya bungkam seribu bahasa.“Sebenarnya Nay enggak masalah, Bang … cuma Nay khawatir orang-orang bergosip kalau Nay bisa selalu mewakili kampus karena mertuanya penyumbang terbesar setiap acara di kampus.” Naraya terdengar menggerutu, bibirnya mengerucut dengan wajah ditekuk.“Nanti aku bilang sama papi ya untuk enggak selalu andil, tapi kayanya pihak kampus yang ngajuin proposal duluan ke papi … sekarang papi sama Rektornya ‘kan bestian, teman golf.”Naraya menoleh menatap suaminya. “Oh ya?” Kedua alis wanita yang memiliki mata seperti almond itu terangkat.Setelah untuk yang pertama kalinya papi Arkana dan papanya Khafi bertemu di kantor Polisi karena urusan sang putra yang berkelahi dan setelah itu mereka jadi akrab.“Iya sayang … ya masa sama bestie enggak royal,” kata Ghazanvar lagi kemudian tertawa.“Ya kalau git
Ghazanvar sengaja tidak masuk kantor untuk melakukan gladi di kampus Naraya, tapi bukan berarti pria itu tidak bekerja—Ghazanvar masih bertanggung jawab pada pekerjaannya dengan membawa MacBook dan mengerjakan apa yang biasa dia kerjakan di kantor dari kampus Naraya atau lebih tepatnya Aula utama tempat pentas seni akan berlangsung besok.Sesekali matanya mengawasi interaksi antara Naraya dengan Khafi, mereka tampak akrab sekali.Ghazanvar jadi kesal dan dia tidak mau repot-repot menutupi ekspresi benci di wajahnya untuk Khafi.Lihat saja bagaimana tajamnya tatap mata Ghazanvar tertuju pada Khafi saat netra mereka tidak sengaja bersirobok.“Abang Ghaazaaa.” Afifah datang membawa satu cup kopi untuk Ghazanvar.“Ini buat Abang,” katanya manis sekali.“Waaah, curiga nih pasti kamu mau nanya-tanya tentang Radeva ya!” tebak Ghazanvar membuat Afifah menyengir lebar.Ghazanvar tertawa karena tebakannya benar sampai berhasil mengambil alih perhatian Naraya dan Khafi yang berada di atas
Pria itu bangkit dari kursi. “An … aku lewati satu malam dan satu hari tanpa kamu … dan ternyata aku enggak bisa.” Detik berikutnya Anasera berlari ke arah Arnawarma lantas memeluk pria itu erat. Anasera menangis di dada Arnawarma, dia pikir telah kehilangan pria itu. “Maafin aku ya, aku terlalu egois …,” kata Arnawarma padahal yang salah Anasera. Anasera menggelengkan kepala. “Aku yang salah.” Suara Anasera teredam dada Arnawarma. “Enggak sayang, aku yang salah.” Arnawarma bersikeras. Anasera mendongak demi menatap wajah tampan sang tunangan. “Aku yang salah, aku enggak bisa kasih tahu kamu keberadaan aku kemarin.” “Iya enggak apa-apa, harusnya aku percaya sama kamu … jadi aku yang salah.” Arnawarma memaksa. “Ih … enggak Nawa, aku yang salah.” Mereka berdua jadi rebutan menjadi orang yang bersalah dalam masalah ini. Lalu keduanya tertawa, Arnawarma memeluk Anasera kembali,