Share

Hukuman

“Tumben ayah sama bunda dateng,” sapa Arkana-papi dari Ghazanvar yang baru saja tiba di rumah menyapa kedua orang tuanya yang sedang duduk di ruang tamu.

“Kami mau bicara tentang Ghaza.” Nenek Aura memberitahu alasan mereka datang malam-malam begini, raut wajah beliau tampak cemas.

“Ghaza kenapa?” Arkana yang sudah duduk di samping istrinya dengan tangan terentang di sepanjang pundak mami Zara pun balas bertanya.

Mami Zara menoleh ke samping, menatap sebal pada papi Arkana yang tidak peka padahal beberapa waktu terakhir, Ghazanvar menjadi topik pembicaraan mereka sebelum tidur lantaran sikap Ghazanvar yang murung dan lebih suka menyendiri.

“Oooh si Ghaza yang akhir-akhir ini suka ngelamun itu?” Papi Arkana akhirnya mengerti.

“Itu mah gara-gara patah hati, kata dia sih Zaviya kasih ultimatum kalau dia enggak akan pernah jatuh cinta sama Ghaza … jadi kaya gitu tuh anak,” sambung papi Arkana santai kaya di pantai.

“Enggak bisa dibiarin, Kana! Perusahaan berantakan gara-gara dia enggak fokus ….” Kakek Narendra berujar tegas.

“Nanti Kana yang cover, Yah.” Papi bersedia menjadi tameng dada untuk putranya.

“Kamu ngerti enggak, kalau kita harus serius nanganin Ghaza!” Kakek Narendra melantangkan suaranya membuat papi Arkana bungkam.

“Every body, I’m Hooomeee!” seru yang sedang menjadi topik pembicaraan.

“Eh … ada Kakek sama Nenek.” Ghazanvar menyapa dengan nada ceria dan mata merah.

Dia mencium pipi nenek Aura dalam.

“Kamu mabuk ya?” tanya nenek Aura lembut karena mencium aroma pekat alkohol di tubuh Ghazanvar.

“Enggak kok, Nek.” Ghazanvar merebahkan kepalanya di pundak nenek, memeluk beliau dari samping.

“Ghaza, kamu pergi lagi ke Sukabumi … minta pimpinan pesantren tempat kamu mondok kemarin buat ngeruqyah kamu!” titah kakek Narendra serius.

“Siap Kakek!” Ghazanvar yang memang sedang mabuk menegakan punggung kemudian melakukan sikap hormat, seperti tentara.

“Siapa yang mau diruqyah?” Arnawarma-adik pertama Ghazanvar yang baru saja bergabung dengan mereka di ruangan itu, bertanya.

“Aku … aku …,” jawab Ghazanvar mengacungkan satu jarinya.

Mereka semua yakin sekarang kalau Ghazanvar memang mabuk padahal anak sulung papi mami itu tidak pernah mabuk atau lebih tepatnya tidak pernah ketahuan mabuk.

Arnawarma sudah dewasa untuk bisa menilai kalau sang kakak sedang mabuk.

Dia pun tertawa hingga terpingkal karena merasa puas, sang kakak yang selalu dibela-bela dan dibanggakan kedua orang tuanya pulang dalam keadaan mabuk dan tentu hal tersebut akan sangat mengecewakan mereka.

Dan posisi anak kesayangan nanti pasti akan jatuh padanya.

“Nanti ustadnya bilang gini, ‘Ini mah enggak ada setannya … dianya aja yang kek setan’.”

Lucunya, setelah Arnawarma berujar demikian Ghazanvar tertawa terbahak-bahak ikut tertawa bersama sang adik sementara kedua orang tua mereka beserta kakek dan nenek menatap malas keduanya.

Aruna-adik bungsu Ghazanvar yang sedari tadi menguping pembicaraan mami papi dan kakek neneknya lantas datang mendekat.

Dia memeluk pundak Ghazanvar dari samping, Aruna prihatin dengan sikap sang kakak yang akhir-akhir ini berubah drastis menjadi pemurung.

Terkadang linglung kalau diajak mengobrol tidak nyambung.

“Abang, Aruna anter ke Sukabumi lagi mau?”

Karena dulu Aruna yang mengantar sang kakak ke Sukabumi sewaktu dihukum kakek karena berkelahi dengan Svarga-adik sepupu mereka memperebutkan wanita bernama Zaviya.

Sepulang dari sana, Ghazanvar tampak menjadi pribadi yang berbeda, lebih tenang dan damai.

Mungkin sekarang Ghazanvar butuh recharge dan semoga pulang dari Sukabumi bisa melupakan Zaviya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status