Share

Gara-gara Cewek

“Mau sampe kapan kamu kaya gini?” Anasera menggeser gelas berisi minuman beralkohol pesanan Ghazanvar ke hadapan pria itu.

Gadis cantik pemilik bar and lounge ini sampai turun tangan melayani Ghazanvar lantaran tidak bergerak dari kursinya semenjak sore tadi tanpa memesan apapun.

Ghazanvar menengadahkan kepala bersama hembusan napas jengah.

“Kamu punya tutorial bunuh diri tapi enggak sakit? Terus punya kenalan orang dalam di akhirat, biar aku nanti bisa masuk Surga?”

Pertanyaan Ghazanvar yang diucapkan dengan ekspresi serius itu membuat Anasera mendengkus.

“Gila! Gara-gara cewek kamu bisa kaya gini, biasanya cewek-cewek yang rela mati demi kamu.” Anasera menyindir sembari melengos masuk ke dalam kitchen mengecek pekerjaan karyawannya di sana.

Mengenal Ghazanvar sedari lahir tentu membuat Anasera memahami pria itu namun sepertinya Anasera merasa asing dengan Ghazanvar yang sekarang karena pria itu tidak pernah benar-benar jatuh cinta seperti yang dia alami sekarang.

Dan sayangnya pria itu jatuh cinta kepada istri dari adik sepupunya sendiri.

Anasera adalah anak bungsu dari Angga dan bunga, sepasang suami istri yang selalu harmonis dan bahagia itu adalah sahabat kedua orang tuanya Ghazanvar sehingga kini Ghazanvar pun bersahabat dengan anak-anak mereka.

Anasera memiliki kakak laki-laki bernama Arsenio yang merupakan seorang dokter di rumah sakit kecil milik maminya yang dulu adalah seorang perawat dan kini telah menjadi seorang dokter dan rumah sakit tersebut terletak di Bandung Barat.

Sedangkan papinya Anasera memiliki resort yang menawarkan resto, cottage dan tempat wisata yang terletak di Jalan Kolonel Masturi, Bandung Barat.

Beliau juga memiliki beberapa perusahaan dan merek yang memproduksi pakaian dan peralatan rekreasi alam.

Sedangkan Anasera lebih suka membangun bisnis sendiri di Jakarta, jauh dari kedua orang tuanya.

“Bro!” Sebuah tepukan kencang mendarat di pundak Ghazanvar.

Lidah Ghazanvar berdecak kesal bersama rotasi bola matanya malas.

“Apaan sih!” gerutunya kesal.

“Mau latihan enggak? Tapi tanda tangan dulu proposal kerja sama bisnis yang baru ya … udah gue kirim ke email lo.” Radeva berujar sembari menjatuhkan bokongnya di stool.

Dia meminta bartender membuatkannya minuman.

“Haaaaah ….” Ghazanvar melepaskan napas panjang.

“Kamu enggak bisa ya kalau ketemu di luar jam kerja itu enggak usah ngebahas bisnis?” Ghazanvar bertanya malas-malasan.

“Biar cepet diproses, Ghaza … jadi besok kita tinggal meeting sama tim legal.” Radeva menenggak minuman beralkohol dalam gelas kecil hingga tandas.

Pria bertubuh tinggi besar dan atletis seperti Ghazanvar itu pun bangkit dari stool.

“Ayo latihan, gue tunggu di dalam!” Dia menepuk pundak Ghazanvar lantas pergi masuk lebih jauh ke dalam area lounge.

Ada sebuah pintu di sana yang hanya bisa diakses oleh pemilik sidik jari yang terekam dalam alat pada handle pintu.

Ghazanvar, Anasera dan Radeva tentu bisa mengaksesnya.

Radeva membuka pintu kemudian berjalan menyusuri lorong hingga menemukan sebuah pintu lagi.

“Si Ghaza mana?” Anasera bertanya, dia sedang membersihkan senjata apinya.

“Masih di depan, entar juga ke sini.” Radeva menanggalkan jas dan kemejanya untuk dia ganti dengan pakaian khusus latihan.

Saat dia keluar dari bilik ganti, Anasera sudah tidak ada di ruangan itu.

Radeva melewati sebuah pintu lain dan suara bising segera saja memekakan indra pendengarannya.

Banyak orang sedang melakukan latihan pertahanan diri di sana, ada yang yang latihan menembak seperti yang dilakukan Anasera, ada yang sedang berlatih dengan bertanding boxing di di dalam ring, banyak juga yang latihan bela diri dipimpin oleh seorang pelatih yang baru saja menyapa Radeva penuh hormat.

Radeva sendiri akan berlatih beladiri tangan kosong dengan seorang pelatih yang mereka panggil langsung dari Rusia.

Sama seperti boxing, Radeva dan Coach bernama Dimitri itu berlatih bertarung di dalam sebuah ring.

Radeva jago beladiri tangan kosong, dia menikmati setiap kali melakukan latihan seolah sedang melakulan hobbynya yang menyenangkan.

Namun Radeva harus memdapat pukulan di dada tatkala fokusnya terdistraksi oleh bunyi ponselnya dengan rington khusus yang menunjukkan kalau panggilan tersebut berasal dari sang mama.

“Sebentar! Aku jawab dulu,” kata Radeva menunjuk ponselnya yang dia simpan di sisi ring.

Dimitri menghentikan serangannya memberi kesempatan kepada Radeva untuk menjawab panggilan telepon.

“Hallo Ma?”

“Sayang, kok belum pulang? Kan tadi Mama pesen vitamin … kamu udah baca ‘kan chat Mama?” Di ujung panggilan sana mama Gita berujar penuh khawatir sekaligus mengintimidasi meski dibalut suara lembut mendayu.

“Oh iya udah Ma, sekarang Deva pulang ya Mama sayang.” Radeva mengangkat tangan kepada Dimitri sembari berlari memberi kode kepada sang pelatih kalau dia sudah selesai.

“Hati-hati di jalan, ya sayang … jangan lupa merek, kemasan dan jenis vitaminnya harus sama seperti yang mama fotoin ya!” Mama Gita mengingatkan.

“Iya Mama iyaaaa.”

Dimitri menatap malas Radeva yang masih berkomunikasi dengan mamanya seraya berlari menjauh.

“Dasar anak mama,” gumam Dimitri kesal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status