Seorang pria tampan menoleh ke belakang membuat tatapan mereka bertemu.
Afifah tersenyum manis di balas senyum manis yang sama oleh pria itu. “Ayang!” seru seorang gadis dari tengah aula dan pria dengan senyum manis tadi segera saja mengalihkan pandangannya ke depan. “Yaaaa, ada monyetnya.” Afifah bergumam. Naraya mulai latihan menari jaipong, sebuah tarian yang tidak pernah bisa Afifah kuasai tapi melihat bagaimana Naraya menari seolah setiap gerakannya sangat mudah. Jemari-jemari Naraya yang lentik, gerakan pinggulnya, pundak dan kepalanya yang seirama selalu berhasil membuat Afifah terkagum-kagum termasuk kakak angkatan Naraya yang sedang melatih. Pria muda bernama Khafi itu selalu menjadikan Naraya contoh agar bisa mengambil kesempatan menyentuh pinggang, pundak dan bagian tubuh Naraya lainnya yang kebetulan gerakan tersebut harus dilakukan. Afifah berdecak kesal, menatap malas Khafi yang kini sedang mengaitkan tangannya di pinggang Naraya. “Menang banyak doi,” gumam Afifah menatap malas Khafi. Afifah adalah sahabat yang paling posesif yang tidak suka sahabatnya dimanfaatkan seorang pria. Dua jam lamanya Naraya melakukan latihan tari Jaipong dan menurut Afifah, di antara empat orang penari hanya Naraya yang paling luwes gerakannya. “Ayo Peh, udah sore.” Naraya melap lehernya yang berkeringat menggunakan tissue. “Minum dulu,” kata Afifah mengeluarkan tumbler dari tas Naraya. “Nay, pulang sama siapa?” Khafi yang menyandang tas di satu pundaknya sengaja menghampiri Naraya dulu sebelum mencapai pintu keluar. “Sama aku, Mas.” Afifah yang menjawab. “Oke … hati-hati ya!” Pria itu berpesan. Naraya dan Afifah tersenyum menanggapi tapi hanya Naraya yang tersenyum tulus. “Apaan sih!” Naraya melempar tissue bekas ke pangkuan Afifah. “Kenapa sih, kalian enggak pacaran aja?” sindir Afifah sewot. “Mas Khafi ‘kan anak Rektor, mamanya juga anggota DPR … kamu bisa langsung jadi artis kalau nikah sama dia,” sambung Afifah berceloteh. “Enggak ada hasrat,” jawab Naraya enteng sembari memasukan barang-barangnya ke dalam tas. “Tadi hape kamu bunyi terus.” Afifah memberitahu. “Ya ampun aku lupa, ibu sama bapak datang dari Bandung hari ini … ayo, Peh kita pulang cepetan.” Naraya berlari lebih dulu menuju pintu keluar. Afifah berjalan gontai dengan ekspresi masam menyusul Naraya malas-malasan. “Ngebut, Peh … ayo cepetan ngebut!” Naraya tidak sabaran ingin sampai ke rumah kontrakannya karena tadi bapak mengirim pesan kalau beliau dan ibu sudah sampai. Dia memilih rumah kontrakan yang jaraknya cukup jauh dari kampus karena harganya murah. Sedangkan untuk pergi dan pulang dia bisa menebeng Afifah jadi tidak mengeluarkan ongkos. “Iya, elaaaah ….” Afifah jadi grogi menyetir mobilnya di antara ribuan kendaraan di jam pulang kantor. “Makasih ya sayang, besok jemput jam delapan.” Naraya mengecup pipi Afifah, membuka pintu kemudian turun dari mobil sang sahabat yang telah berhenti sempurna di depan gang rumah kontrakannya. Dia lantas berlari menuju rumah kontrakannya yang mungil tipe dua satu di dalam gang. “Sore Bu, sore Pak.” Naraya menyapa para tetangganya yang sedang berada di luar. Mereka mengangkat tangan ada yang tersenyum membalas sapaan Naraya. “Ibuuu, Bapak!” Naraya berseru bahagia dari teras saat membuka pintu dan mendapati kedua orang tuanya duduk di ruang tamu yang merangkap ruang televisi dan ruang makan. Mereka tentu memiliki kunci cadangan rumah kontrakan Naraya sehingga bisa masuk kapan saja meski Naraya masih berada di kampus. “Iiih, baru pulang … ibu sudah dari tadi dateng.” Ibu Hernita mendapat pelukan Naraya. “Iya, Nay lupa kalau sore ini ada latihan Jaipong buat acara minggu depan.” Naraya mengecup punggung tangan bapak Agus lalu mengecup pipinya. “Makan dulu, Ibu bawa masakan dari Bandung …,” kata bapak mengusap-ngusap kepala Naraya yang bersandar di pundaknya. “Ibu sama Bapak berapa hari di sini?” Naraya bertanya dengan mulut penuh makanan. Bapak dan Ibu saling menatap. “Bapak lagi ambil cuti, Nay … boleh ‘kan Bapak sama Ibu beberapa hari tinggal di sini?” Ibu yang menjawab. “Boleh donk, Nay seneng … jadi ada yang masakin Nay sama mijitin badan Nay.” Tanpa curiga Naraya berujar demikian lalu matanya melirik bapak yang duduk bersila di lantai. “Iya, nanti bapak pijitin.” Bapak Agus mengerti arti tatapan Naraya. “Asyiiiiikkk, Bapak memang terbaik.” Naraya tidak tahu kalau kedua orang tuanya sedang lari dari kejaran rentenir yang memaksa mereka membayar sejumlah uang yang pernah dipinjam bapak Agus untuk biaya kuliah putrinya.“Mau sampe kapan kamu kaya gini?” Anasera menggeser gelas berisi minuman beralkohol pesanan Ghazanvar ke hadapan pria itu.Gadis cantik pemilik bar and lounge ini sampai turun tangan melayani Ghazanvar lantaran tidak bergerak dari kursinya semenjak sore tadi tanpa memesan apapun.Ghazanvar menengadahkan kepala bersama hembusan napas jengah.“Kamu punya tutorial bunuh diri tapi enggak sakit? Terus punya kenalan orang dalam di akhirat, biar aku nanti bisa masuk Surga?” Pertanyaan Ghazanvar yang diucapkan dengan ekspresi serius itu membuat Anasera mendengkus.“Gila! Gara-gara cewek kamu bisa kaya gini, biasanya cewek-cewek yang rela mati demi kamu.” Anasera menyindir sembari melengos masuk ke dalam kitchen mengecek pekerjaan karyawannya di sana.Mengenal Ghazanvar sedari lahir tentu membuat Anasera memahami pria itu namun sepertinya Anasera merasa asing dengan Ghazanvar yang sekarang karena pria itu tidak pernah benar-benar jatuh cinta seperti yang dia alami sekarang.Dan sayangnya pria
“Tumben ayah sama bunda dateng,” sapa Arkana-papi dari Ghazanvar yang baru saja tiba di rumah menyapa kedua orang tuanya yang sedang duduk di ruang tamu.“Kami mau bicara tentang Ghaza.” Nenek Aura memberitahu alasan mereka datang malam-malam begini, raut wajah beliau tampak cemas.“Ghaza kenapa?” Arkana yang sudah duduk di samping istrinya dengan tangan terentang di sepanjang pundak mami Zara pun balas bertanya.Mami Zara menoleh ke samping, menatap sebal pada papi Arkana yang tidak peka padahal beberapa waktu terakhir, Ghazanvar menjadi topik pembicaraan mereka sebelum tidur lantaran sikap Ghazanvar yang murung dan lebih suka menyendiri.“Oooh si Ghaza yang akhir-akhir ini suka ngelamun itu?” Papi Arkana akhirnya mengerti.“Itu mah gara-gara patah hati, kata dia sih Zaviya kasih ultimatum kalau dia enggak akan pernah jatuh cinta sama Ghaza … jadi kaya gitu tuh anak,” sambung papi Arkana santai kaya di pantai.“Enggak bisa dibiarin, Kana! Perusahaan berantakan gara-gara dia enggak fo
“Kalau kata saya sih mending kamu suruh Nay berhenti kuliah dan nikah sama si Surawijaya itu … hutang-hutang kamu lunas, kamu dan suami kamu akan ditanggung hidupnya … belum lagi si Surawijaya punya kenalan orang dalem … suami kamu bisa ditempatin di tempat bagus atau naik jabatan di pemerintah.” Paman Eka-kakak laki-laki dari ibu Hernita mencetuskan ide gila.“Kang, aku sama bapaknya Nay minjem uang ke si Surawijaya itu untuk kuliah Nay … ya masa aku harus suruh Nay berhenti kuliah dan menikah sama si aki-aki tua bangka itu? Aku aja kalau disuruh nikah sama dia, enggak mau!” Ibu Hernita sewot menanggapi ide sang kakak.“Ya trus mau gimana? Saya enggak bisa bantu, saya juga punya hutang sama si Surawijaya.” Paman Eka mengisap rokoknya dalam-dalam kemudian mengembuskan ke udara.“Saya ke sini bukan minta bantuan Akang, saya mau nagih hutang Akang bekas ke Arab Saudi kemarin jadi TKI … sekarang saya lagi butuh banget, Kang.” Ibu Hernita mengesah, dia hampir menangis karena tidak tahu ha
Hari jum’at tepatnya, Ghazanvar sengaja meninggalkan kantor lebih awal.Dia menjemput Aruna ke kampusnya yang merupakan kampus Negri terbaik di Indonesia.Hanya Aruna dari kelima anak papi Arkana dan mami Zara yang tidak kuliah di Luar Negri karena papi tidak mengijinkan.Memiliki satu anak perempuan di antara empat anak laki-laki membuat papi Arkana sangat overprotective terhadap Aruna.Jalanan kota Jakarta saat itu masih cukup lengang hingga mobil SUV mewah Ghazanvar tiba di kota Depok di mana kampus Aruna berada.Ghazanvar turun dari mobil, menutup pintu lalu menyandarkan setengah bobot tubuhnya pada sisi mobil lantas dengan cara paling cool dia membuka kaca mata hitamnya.Nyaris semua mahasiswi yang ada disekitar sana histeris melihat pria tampan bak aktor Korea dengan segala pesona dan kharisma berdiri di samping ‘tunggangan’ eksclusivenya.“Abaaaaang!” Aruna berseru memanggil Ghazanvar.Gadis mungil itu melambaikan tangan dari jauh dan Ghazanvar langsung menangkap sosok cantik t
Ghazanvar tidak tahu harus berbuat apa, hati nuraninya memaku kedua kaki agar tetap tinggal dan menghadapi apa yang terjadi.Namun logikanya memerintahkan agar Ghazanvar pergi dan melupakan kejadian ini karena jika sampai dia masuk penjara maka nama baik Gunadhya akan tercemar.Suara berisik datang dari arah kanan membuat jantung Ghazanvar berdetak kencang.“Paaaak, tolong Pak!” Tiba-tiba Aruna berteriak setelah melepas pelukan.“Aruna!” Ghazanvar berseru panik.“Paaak! Tolong itu tadi saya sama Abang saya liat mobil melompat ke jurang terus terbakar Pak! Tolong Pak, kasian mereka!” Aruna berlari menghampiri beberapa warga yang mulai berdatangan.“Ada apa?” Tanya salah satu pria.“Apa yang terjadi?” Pria lain ikut bertanya.“Tenang dulu, Dek … tenang dulu.” Salah seorang pria paruh baya berujar demikian karena Aruna bicara sambil menangis jadi tidak terdengar jelas kata-katanya.Aruna menarik tangan pria paruh baya itu mendekat ke arah Ghazanvar yang masih berdiri di bibir jurang yang
Mami dan papi berusaha untuk tidak panik saat mendatangi kantor Polisi.Mereka beralasan kalau kedatangannya ke sana lantaran merasa harus mendampingi putra dan putri mereka yang sedang dimintai keterangan sebagai saksi atas kecelakaan tersebut.Kebetulan mami dan papi datang setelah beberapa saat Aruna dan Ghazanvar selesai dimintai keterangan jadi giliran mereka berdua yang bicara dengan Kapolres yang kebetulan sedang piket malam ini.Sementara itu Ghazanvar dan Aruna duduk di sebuah bangku menatap kosong ke arah pelataran parkir.Aruna masih syok dengan apa yang telah terjadi sedangkan Ghazanvar diliputi kebingungan dan kebimbangan.Ghazanvar sama sekali tidak merasa senang saat orang-orang memuji sikap heroiknya yang berpikir kalau dia sengaja menghentikan kendaraan untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan mobil nahas itu lalu melaporkannya kepada yang berwajib.Polisi juga mengucapkan Terimakasih kepada Ghazanvar padahal dia sudah mengatakan kronologis kejadian bagaimana sampai
“Ibuuuu … Bapaaaak … jangan tinggalin Nay, Ibuuuu … Bapaaaaak.” Suara tangis pilu terdengar dari ruang tunggu jenazah sebelum dimasukan ke dalam Ambulance untuk diantar ke rumah duka.Ghazanvar dan keluarganya masih ada di sana begitu juga ketiga paman Naraya.Yang paling menyakitkan adalah Naraya tidak bisa memeluk jenazah kedua orang tuanya yang sudah dibungkus plastik dan kain kafan lantaran tubuh jenazah seratus persen terbakar.Hanya bisa dikenali dari perhiasan yang dipakai korban dan kartu identitas diri yang kebetulan tidak ikut terbakar serta ponsel yang masih berfungsi sehingga Polisi mudah untuk menghubungi keluarga korban karena kebetulan panggilan terakhir di ponsel mendiang Agus Rijadi adalah panggilan keluar menghubungi pak Eka-kakak iparnya.Naraya berjongkok memegangi sisi keranda kedua orang tuanya.“Naaaay … udah Naaaah, ini udah takdir.” Pak Rukmana mencoba menenangkan dengan membantu Nayara berdiri tapi Nayara malah bersimpuh di lantai tidak peduli celananya koto
Ghazanvar dan keluarganya tidak langsung kembali ke Jakarta.Kebetulan hari ini adalah weekend jadi mereka tidak memiliki aktifitas rutin sehingga bisa ikut ke Bandung untuk menghadiri pemakaman kedua orang tua Naraya.Keluarga Naraya sangat tersentuh saat tadi mami mengatakan akan ikut ke pemakaman.Ide ikut ke pemakaman didasari oleh rasa simpati mami kepada Naraya yang tidak tega membiarkannya sendirian menghadapi musibah ini.Mami Zara beralasan kalau beliau sekalian akan mengunjungi kerabat yang berdomisili di Kota Baru Parahyangan yang ternyata komplek pemukiman elite itu dekat dengan rumah Naraya.“Mami suka cari masalah … udah tau si Abang lagi syok dan galau serta bimbang, ini malah diajak ke pemakaman korban.” Papi yang duduk di belakang kemudi mengeluh.“Kan tadi Mami udah bilang kalau Mami mau ketemu mbak Bunga sama mas Angga … kalau Papi mau pulang ke Jakarta pake heli sama anak-anak ya silahkan … ngapain coba ngikutin Mami?” Mami berujar ketus lantaran tidak terima kalau