Share

Sahabat

Plak!

Sebuah pensil mendarat di kening Ghazanvar membuat pria itu terhenyak kembali dari lamunannya.

Percakapan terakhirnya dengan Zaviya di Bandung tempo hari selalu berkelebat dibenak Ghazanvar menikam kian dalam hati Ghazanvar yang sudah babak belur.

“Kamu kalau enggak niat rapat keluar saja!” hardik kakek Narendra geram, beliau adalah orang yang bertanggung jawab melempar pinsil ke kening Ghazanvar barusan.

Pasalnya saat ini Ghazanvar sedang berada di tengah-tengah meeting bersama Komisaris Utama yaitu sang Kakek guna mempertanggungjawabkan laporan kinerja perusahaannya selama satu tahun terakhir.

Di sana banyak pimpinan tertinggi dari perusahaan yang tergabung dalam AG Group- yang merupakan kerajaan bisnis milik keluarganya.

Kebanyakan pimpinan dari perusahaan yang berada di bawah payung AG Group adalah para sepupunya sendiri termasuk Svarga dan beberapa orang lain tapi memiliki kemampuan untuk menjalankan bisnis dan tentunya bisa dipercaya.

Semua orang yang duduk mengelilingi meja rapat itu kompak menatap Ghazanvar dengan ekspresi tidak percaya dan pias yang masih tersisa.

Mungkin mereka berpikir, bisa-bisanya Ghazanvar melamun di tengah meeting pertanggungjawaban sedangkan yang lain ketar-ketir khawatir jabatannya terancam bila Narendra Gunadhya tidak puas dengan kinerja tahun ini.

“Maaf Kek, Eh … Pak ….” Dengan santai tanpa beban dan wajah tidak berdosa, Ghazanvar membenarkan posisi duduknya kemudian memfokuskan perhatian kepada sang kakek yang duduk sebagai Center di ujung meja.

Kakek mengembuskan napas kasar bersama gelengan kepala samar.

“Sekarang giliran kamu, Ghaza!” kata sang kakek dengan kilat di matanya.

Beliau berniat menghabisi Ghazanvar dalam pertanggungjawaban kinerja perusahaan yang dipimpin Ghazanvar.

Narendra Gunadhya sudah jengah melihat kelakuan Ghazanvar yang sering melamun dalam rapat.

Ghazanvar juga jarang terlihat di kantornya setiap kali beliau datang ke sana.

Berkas di iPadnya pun menunjukkan data penurunan omset perusahaan yang dipimpin Ghazanvar.

Semua tahu alasan Ghazanvar seperti itu yang tidak lain dan tidak bukan adalah karena patah hati, tidak bisa memiliki perempuan yang merupakan istri dari sepupunya sendiri.

***

Cantik, baik, ramah, murah senyum dan memiliki segudang bakat seni membuat Naraya Kirani menjadi incaran banyak laki-laki di fakultas Seni, Institut kesenian Jakarta.

Mojang Bandung yang besar dan tinggal di Bandung barat ini tidak menyia-nyiakan jerih payah ayahnya yang hanya seorang ASN dalam membiayai pendidikannya di Jakarta.

Dia bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu di Ibu Kota sehingga tidak terpikir untuk memiliki kekasih.

Naraya atau yang kerap di sapa Nay ini menjadi kesayangan para dosen karena bakat seni yang dimilikinya.

Gadis dengan mata bulat yang indah itu pandai menyanyi, menari daerah maupun modern, dan jago memainkan segala jenis alat musik.

Naraya selalu dijagokan oleh angkatannya dalam perlombaan yang diadakan setiap tahun oleh Instute Seni di seluruh Indonesia.

Dia juga pernah diminta bersama para penari lain untuk menari daerah dalam pembukaan SEA GAMES dan acara kenegaraan lainnya.

“Nay!” panggil Afifah melambaikan tangan dari samping mobilnya.

“Peh, mau balik?” Naraya bertanya melantang suara dari sebrang parkiran.

“Iya … ayo, aku anter.”

“Aku ada latihan jaipong dulu buat acara nyambut Perdana Mentri Jepang minggu depan, pulang duluan aja.”

Afifah melorotkan bahunya, raut wajahnya tampak murung.

“Anggit mana? Pulang sama Anggit saja …, “ cetus Naraya memberi ide.

“Anggit pulang sama Latief.” Afifah mengerucutkan bibir.

“Temenin aku latihan gimana? Nanti aku traktir bakso!” Naraya memberikan solusi saling menguntungkan.

Namun sebenarnya Naraya tidak perlu ditemani tapi Afifah yang ingin di temani pulang karena dia yang paling jauh rumahnya dan tidak ingin kesepian dalam perjalanan pulang.

Kebetulan jarak rumah tiga sekawan yang terdiri Anggit, Afifah dan Naraya itu searah dengan Afifah yang paling jauh rumahnya jadi gadis berhidung mancung itu senang sekali mengantar jemput Anggit dan Naraya setiap hari.

“Ayo!” Afifah berseru bahagia.

Si Anak Jendral ini kuliah hanya untuk mencari gelar saja, dia sengaja mengambil fakultas seni karena mengira tidak perlu menggunakan otaknya yang malas untuk berpikir.

Namun kenyataannya dia salah besar, justru kecerdasan dan fokusnya dituntut di sini beruntung dia memiliki suara emas jadi setidaknya dari kelebihan itu Afifah berharap bisa lulus kuliah dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Afifah berlari menyebrangi parkiran, merangkul pundak Naraya dan mereka berdua berjalan melewati lorong menuju sebuah aula yang sering digunakan untuk latihan menari atau teater.

“Tunggu di sini, jagain tas aku.” Naraya berpesan.

“Oke!” Afifah memeluk tas Naraya dia duduk di salah satu kursi bersama beberapa orang yang menemani kekasih atau temannya latihan untuk menyambut Perdana Mentri Jepang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status