Share

Bab 2

Author: Arif
Wira bertanya balik, “Gimana kalau bisa?”

Budi langsung menunjukkan ekspresi licik. “Kalau kamu bisa, aku nggak bakal terima bunganya! Tapi kalau nggak bisa, kamu harus jual diri untuk jadi budakku. Gimana?”

Wulan langsung terkejut dan mencegahnya. “Suamiku, kamu nggak boleh setuju!”

Budi sangat licik. Dia ingin Wira menjual diri menjadi budaknya. Namun, William sudah murka. Dia pun menuliskan dua surat perjanjian dan mengeluarkan tinta merah. “Cepat tanda tangan!”

“Oke!”

Setelah tanda tangan dan menempelkan cap jari, Budi pun pergi dengan puas.

Budi yakin dengan koneksi dan karakter Wira selama ini, dia tidak mungkin bisa menghasilkan 40 ribu gabak dalam tiga hari.

Meskipun keluarga Wulan kaya, mereka tidak mungkin meminjamkan uang kepada Wira. Sebab, mereka ingin Wulan meninggalkan Wira.

Dengan taruhan ini, Budi bukan hanya bisa mendapatkan budak muda, tetapi juga bisa menjualnya dan mendapatkan puluhan ribu gabak lagi.

Selain itu, dia juga sudah selangkah lebih dekat untuk mengumpulkan 70 hektar tanah.

Di dalam rumah, sepasang suami istri itu saling memandang.

“Wulan!”

Wira ingin menghibur Wulan, tetapi Wulan malah langsung menyeka air matanya dan masuk ke dalam kamar.

Wira tahu Wulan sudah terluka.

“Suamiku!”

Tidak lama kemudian, Wulan berlari keluar dari kamarnya. Dia membuka sebuah tas kecil dengan ekspresi tidak rela dan berkata, “Ayo kita pergi ke ibu kota provinsi untuk gadai gelang ini. Habis itu, aku bakal mohon ke Kakak untuk pinjamkan kita uang. Kita pasti bisa kumpulkan 40 ribu gabak!”

Wira menggeleng. “Aku saja yang cari cara untuk dapatkan 40 ribu gabak ini!”

Gelang giok putih ini adalah warisan dari ibu Wulan.

Pemilik tubuh sebelumnya sudah pernah memukul Wulan hingga batuk darah demi gelang ini, tetapi Wulan tetap tidak mengeluarkannya.

Hari ini, Wulan malah mengeluarkannya untuk membayar utang pemilik tubuh sebelumnya.

Wulan langsung terisak. “Kamu punya cara apa? Jumlahnya 40 ribu gabak, bukan 400 gabak!”

Wira pun langsung mencari ingatan pemilik tubuh sebelumnya. “Aku pikir dulu!”

Bagi para petani, 40 ribu gabak adalah utang yang tidak mungkin bisa dibayar seumur hidup mereka.

Namun, Wira mempunyai gelar doktor di bidang teknik mesin dan teknik material. Selain itu, dia juga memiliki pengalaman dan pengetahuan yang melampaui orang-orang di era ini.

“Dulu, aku nggak kasih gelang ini ke kamu karena gelang ini adalah peninggalan Ibu!”

Wulan lanjut terisak. “Tapi kamu sudah nggak punya jalan keluar. Aku nggak bisa biarkan kamu menjual diri menjadi budak. Hidup seorang budak sangat sulit dan bahkan nggak sebagus gelandangan!”

Di Kerajaan Nuala, masyarakat dibagi dalam beberapa golongan. Orang yang tidak mempunyai rumah maupun tanah akan dianggap gelandangan oleh pemerintah. Statusnya lebih rendah dari rakyat jelata. Sementara status budak bahkan lebih rendah dari gelandangan lagi.

Wira tidak memperhatikan apa yang dikatakan Wulan. Dia sedang berusaha keras untuk mencari ingatan pemilik tubuh sebelumnya.

Teknologi di Kerajaan Nuala mirip dengan Dinasti Songada Negara Atrana.

Wira yang mempunyai gelar doktor di bidang teknik mesin dan teknik material pasti bisa menciptakan sesuatu yang baru.

Namun, desa kecil ini bahkan tidak mempunyai toko besi. Oang yang sangat berbakat sekali pun tidak akan bisa maju di desa ini.

“Tapi ini benar-benar yang terakhir kali, ya. Kelak, Kakak pasti nggak bakal bantu kita lagi.”

Wulan menyeka air matanya, lalu mendongak. “Kalau kamu pinjam uang dari luar lagi, aku benar-benar sudah nggak bisa bantu! Kalau kamu jadi gelandangan, aku bakal temani kamu jadi gelandangan.”

“Eh, ketemu cara!”

Mata Wira langsung berbinar. Dia mengambil sebungkus tepung kedelai, lesung batu dan cangkul, lalu keluar dari rumah dengan menjinjing keranjang bambu.

“Suamiku?”

Wulan sangat heran.

Biasanya, Wulan yang selalu bercocok tanam. Suaminya tidak pernah melakukan hal itu.

Lagi pula, musim panen sudah berakhir. Untuk apa suaminya mengambil alat bertani?

...

Dusun Darmadi mempunyai tanah yang datar. Di luar desa, ada Sungai Jinggu yang jauhnya 500 meter dan gunung yang jauhnya 15 kilometer.

Di dusun ini, ada empat puluh keluarga yang semuanya bermarga Darmadi. Mereka semua berasal dari leluhur yang sama.

Setelah musim panen berakhir, penduduk harus membayar pajak penghasilan dan pajak tanah. Para bandit juga akan datang untuk meminta hasil panen mereka. Bahan pangan yang disimpan para penduduk biasanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, apalagi harus bertahan sampai musim panen berikutnya.

Jadi, tidak ada penduduk yang menganggur. Jika tidak pergi bekerja, mereka akan menjahit di rumah atau mengumpulkan sayuran liar.

Begitu sampai di tanah kosong di luar dusun, Wira pun mulai mencangkul. Dia mengambil sehelai rumput, mencucinya di air dalam ember, lalu mulai mengunyahnya.

“Bukannya itu Wira? Kenapa dia makan rumput?”

“Pasti rumahnya sudah kehabisan makanan. Dengar-dengar, dia berutang 40 ribu gabak sama Pak Budi. Kalau dia tidak bisa bayar tiga hari lagi, rumah, istri dan tanahnya bakal jadi milik Pak Budi!”

“Dasar Pemboros! Padahal ayahnya sudah tinggalkan begitu banyak harta buat dia, tapi semuanya sudah habis difoya-foya. Sekarang dia sampai harus makan rumput lantaran kelaparan. Mampus!”

Saat melihat Wira yang mengunyah rumput, beberapa wanita yang keluar untuk memetik sayuran liar pun menghujatnya. Wira pun memuntahkan rumput yang dia kunyah, lalu mulai mencangkul.

Pemilik tubuh sebelumnya tidak bekerja dan jarang berolahraga. Jadi, staminanya sangat buruk.

Setelah menggali sesaat, Wira pun bersandar pada cangkulnya sambil terengah-engah.

“Wira, rumahmu sudah nggak ada makanan, ya? Kok makan rumput? Rumput ini nggak bisa dimakan lho. Ngemis saja sama warga dusun! Kamu toh seorang pelajar, orang-orang pasti bakal kasih kamu makan kok.”

Seorang pemuda yang terlihat seperti preman berjalan mendekati Wira.

Pakaiannya terlihat kotor, sepatu kainnya juga sudah robek. Dia menatap Wira sambil melipat tangannya di depan dada.

“Sony, bantu aku gali rumput ini dulu. Nanti aku pasti bagi hasilnya ke kamu!”

Wira memohon dengan terengah-engah.

Sony Darmadi adalah gelandangan di dusun mereka. Dia tidak bekerja dan hanya suka berkeliaran.

Dulu, asalkan bertemu dengan pemilik tubuh sebelumnya, Sony selalu menyanjungnya. Bagaimanapun juga, pemilik tubuh sebelumya adalah seorang pelajar yang mungkin menjadi pejabat.

Sejak pemilik tubuh sebelumnya jatuh miskin, Sony bukan hanya tidak menyanjungnya lagi, tetapi malah mengejeknya.

Setelah mendengar permintaan Wira, Sony langsung memelototinya. “Asal kamu tahu, aku nggak bakal kelaparan ke mana pun aku pergi. Memangnya aku perlu dikasihanimu?”

“Yang mau kubagi kasih kamu itu bukan rumputnya!”

Jika bukan karena badannya terlalu lelah, Wira juga tidak ingin menghiraukan Sony.

Sony memang tidak akan kelaparan karena dia sangat tidak tahu malu.

“Kamu nggak perlu jelasin lagi! Aku tahu situasimu, kok. Jangan gali lagi, pergi saja ke rumah mertuamu dan minta maaf. Sebenarnya, harga diri itu bukan apa-apa. Kalau sudah jadi gelandangan, kamu bakal nyesal!”

Sony yang sudah berpengalaman memberi nasihat kepada Wira.

Melihat Sony yang tidak mau membantunya, Wira pun tidak menghiraukannya lagi dan terus menggali.

Berhubung Wira tidak mau mendengar nasihatnya, Sony juga langsung pergi. Sebelum pergi, dia berkata, “Kalau nggak mau dengar nasihat orang, yang rugi juga kamu sendiri!”

“Wira, rumput itu nggak bisa dimakan. Ayo ikut aku! Aku kasih kamu sedikit makanan dulu!”

Saat menjelang siang, seorang pria paruh baya menghampiri Wira.

Pria ini berperawakan tinggi dan kurus. Dia mengenakan baju lengan pendek dan bertelanjang kaki. Matanya memancarkan keramahan.

Wira menggeleng sambil tersenyum. “Paman Hasan, aku gali rumput ini bukan untuk makan!”

Hasan Darmadi dulunya bernama Wasan Darmadi. Dia mengubah namanya setelah masuk militer.

Lima tahun yang lalu, dia sudah kembali dari militer. Hasan juga merupakan kerabat jauh Wira.

Sebelum masuk militer, Hasan sudah mempunyai dua putra. Sepulang dari militer, mereka dikaruniai tiga putri lagi.

Berhubung tanah rumah mereka tidak cukup besar, Hasan menyewa dua hektar tanah lagi untuk bertani. Keuangan mereka juga tidak terlalu bagus.

Jika Wira menerima pemberian Hasan, keluarga Hasan akan jadi kekurangan.

“Memangnya kenapa kalau makan rumput! Semua senior di dusun juga pernah hidup susah!” ujar Hasan.

Hasan mengira Wira malu untuk mengakui bahwa keluarga mereka sudah kehabisan makanan karena dia adalah seorang pelajar.

Wira pun menjawab sambil tersenyum, “Paman Hasan, tenagaku sudah habis. Boleh bantu aku gali bentar nggak?”

“Kamu lemah banget! Cuman gali rumput ini saja sudah begitu capek. Kamu harus banyak olahraga!” ucap Hasan sambil menggeleng.

Kemudian, dia meraih cangkul Wira dan mulai menggali.

Satu jam kemudian, sebidang besar tanah sudah kosong karena digali. Ember dan keranjang bambu Wira juga sudah terisi penuh dengan rumput.

Wira langsung kegirangan.

‘Dulu, anak ini cuman tahu foya-foya. Sekarang sudah miskin, rumput pun jadi kayak harta!’

Hasan menatap Wira dengan kasihan, lalu meletakkan cangkulnya dan pergi.
Comments (5)
goodnovel comment avatar
SAMUDRA CREATIF
ceritanya menarik sekali bikin penasaran
goodnovel comment avatar
bahar uddin
penasaran penasaran ceritanya
goodnovel comment avatar
Haris
Lanjutan nya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Perjalanan Dimensi Waktu Sang Genius   Bab 3

    Pekerjaan yang tersisa sudah tidak terlalu sulit. Wira hanya perlu membersihkan rumputnya, lalu menghaluskannya dalam lesung batu.Setelah bekerja hingga seluruh badannya sakit, Wira baru mengumpulkan seember rumput yang sudah dihaluskan.Dia pun menjinjing ember itu sampai ke Sungai Jinggu sambil sesekali beristirahat selama perjalanan.Wira memilih tempat yang ada banyak ikan, lalu menabur tepung kedelai ke dalam sungai.Setelah ada umpan, ikannya menjadi semakin banyak. Wira pun menuangkan serpihan rumput ke dalam sungai dengan hati-hati.Seiring dengan serpihan rumput yang menyebar, satu demi satu ikan pun mulai mengapung....Tidak lama kemudian, Wira sudah berhasil menangkap delapan ekor ikan besar dan lima belas ekor ikan kecil.Ikan yang besar beratnya di atas dua kilogram, sedangkan yang kecil beratnya di atas 250 gram. Wira melepaskan ikan yang lebih kecil dari itu.Setelah matahari terbenam, Wira pun pulang ke rumah.Dalam perjalanan pulang, Wira melewati sebuah gubuk jerami

  • Perjalanan Dimensi Waktu Sang Genius   Bab 4

    Di dunia ini, cara menangkap ikan sangat bervariatif, ada menjala, memancing dan menangkap ikan. Namun, masih belum ada yang menangkap ikan dengan obat bius.Wira berkata sambil tersenyum, “Aku sudah ketemu teknik rahasia yang bisa tangkap banyak ikan. Cepat makan! Hati-hati tulangnya!”“Teknik rahasia menangkap ikan?”Wulan tidak begitu percaya. Dia menjadi waswas lagi setelah mendapat perhatian dari Wira.Namun, Wulan tidak lanjut bertanya lagi. Kedua orang itu pun mulai menyantap makanan mereka.Entah karena pemilik tubuh sebelumnya terlalu jarang makan ikan atau karena ini adalah ikan liar, Wira merasa ikan yang digoreng dengan garam ini sangat lezat. Dalam sekejap, dia pun sudah menyelesaikan santapannya.Wira melirik Wulan yang makan dengan pelan. Ikannya masih tersisa setengah.“Suamiku, aku sudah kenyang. Makan saja ikannya!”Saat melihat Wira yang menatap dirinya, Wulan pun buru-buru meletakkan sendoknya dan mendorong piring berisi ikan itu ke depan Wira.“Aku sudah kenyang ko

  • Perjalanan Dimensi Waktu Sang Genius   Bab 5

    Sony berdiri di depan pintu rumah Wira dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku.Wira yang melihatnya pun bertanya, “Ngapain kamu berdiri di sini?”Danu dan Doddy langsung melangkah keluar untuk mengepung Sony.Mereka merasa Sony yang pagi-pagi datang ke rumah Kak Wira pasti berniat jahat!Sony langsung terkejut dan buru-buru mundur. Dia berkata, “A ... aku ingin makan ikan!”Si Sony ini benar-benar tidak tahu malu. Wira menggeleng, lalu menjawab, “Kamu datang terlambat, ikannya sudah habis!”Sony berkata dengan cemberut, “Nanti malam masih ada, ‘kan? Asal bisa makan ikan, aku nggak masalah harus ikut banu gali rumput seharian!”Saat berkeliaran semalam, Sony menemukan bahwa keluarga Wira dan keluarga Hasan sudah makan ikan.Saat berkeliaran pagi ini, dia menemukan keluarga Wira makan ikan lagi bersama Hasan dan kedua putranya.Setelah memikirkan keuntungan yang dikatakan Wira kemarin, Sony akhirnya mengerti apa yang sudah dilewatkannya. Dia sudah kehilangan dua kesempatan untuk ma

  • Perjalanan Dimensi Waktu Sang Genius   Bab 6

    Namun, Wira tidak memedulikan peringatan Hasan. Dia malah berkata sambil tersenyum, “Pak Agus, bisa saja aku bagi ikannya untukmu, tapi kamu juga harus tanggung sedikit utangku! Kalau nggak mau bantu aku tanggung utangnya, kamu boleh bagi sedikit tanahmu padaku. Soalnya, tanahku juga sudah dijadikan jaminan.""Dasar anak tak tahu diri!”Selesai berbicara, Agus pun pergi dengan marah.Dia hanya menginginkan seekor ikan Wira, tetapi Wira malah menyuruhnya untuk bantu menanggung utang dan juga meminta tanahnya. Kenapa si Pemboros itu begitu tidak tahu malu!“Pak Agus, jangan pergi! Aku cuman bercanda. Jangan marah, dong!” teriak Wira.Ikan yang didapatkan Wira hari ini sangat banyak. Dia tidak akan menolak siapa pun yang meminta ikan padanya. Namun, dia tidak akan menerima orang yang menuntut sesuatu dengan alasan yang tidak masuk akal.Agus sudah marah. Setelah mendengar ucapan Wira, dia juga tidak menoleh.Warga yang mengerti maksud Wira pun tertawa terbahak-bahak.Setelah itu, Wira pun

  • Perjalanan Dimensi Waktu Sang Genius   Bab 7

    “Baik, suamiku!”“Jangan panggil suamiku, panggil sayang saja!”“Nggak bisa!”“Kenapa?”“Sayang itu panggilan yang terlalu mesra! Kamu baru berubah jadi baik sama aku dua hari belakangan, aku masih belum siap panggil kamu begitu.”“Oh ....”Berhubung takut membuat suaminya marah, Wulan pun mengalihkan pembicaraan, “Omong-omong, pernah ada seorang peramal yang datang ke rumahku waktu aku masih kecil. Dia bilang, aku bisa jadi istri pejabat ke depannya.”“Istri pejabat?”“Suamiku, jangan marah. Ramalan peramal itu pasti nggak tepat, mana mungkin aku bisa jadi istri pejabat! Selama kamu menginginkanku, aku bakal menemanimu seumur hidup.”...Keesokan dini hari, Hasan dan yang lainnya sudah sampai ke rumah Wira. Setelah menaruh seluruh ember berisi ikan ke atas gerobak, kelima orang itu pun berangkat ke ibu kota provinsi.Sebelum mereka berangkat, Wulan menyerahkan sebuah kantong kain merah kepada Wira, “Suamiku, kalau uang menjual ikan nggak cukup, gadaikan saja gelang ini! Kalau masih ng

  • Perjalanan Dimensi Waktu Sang Genius   Bab 8

    “Beri hormat ke pemilik tanah?”Setelah melihat postur sekelompok orang ini, Wira baru tersadar. “Kalian datang buat minta biaya perlindungan?”Danu dan Doddy mengepalkan tangannya dengan marah. Hasan yang berdiri di belakang Wira juga mengerutkan keningnya.Sony buru-buru berbisik pada Wira, “Wira, aku lupa kasih tahu. Dia itu bos ikan Pasar Timur, namanya Iwan Projo. Dia punya julukan ‘si Perusuh’. Anak buahnya kira-kira ada sekitar belasan orang. Dia selalu ambil keuntungan 20% dari siapa pun yang mau jual ikan di Pasar Timur.”“Dua puluh persen?”Wira langsung naik pitam. “Kalian ambil keuntungan yang lebih banyak daripada pemerintah?”Mereka sudah bersusah payah untuk menangkap ikan selama dua hari dan harus berjalan kaki ke ibu kota provinsi untuk menjual ikan. Pemerintah hanya meminta keuntungan 10%, tetapi preman-preman ini malah minta 20%?Setelah mendengarnya, Doddy langsung marah. Bahkan Danu yang biasanya sangat tenang juga mengepalkan tangannya erat-erat.Preman-preman ini

  • Perjalanan Dimensi Waktu Sang Genius   Bab 9

    Seorang pria paruh baya berjalan mendekat dari kejauhan.Dia mengenakan topi hitam dan seragam biru yang dipadu dengan rompi merah. Di bagian tengah rompi itu terdapat tulisan ‘Patroli’. Dia mengenakan sepatu bot, di pinggangnya juga bergantung sebilah golok.Pria itu tidak terlalu tinggi, tetapi juga tidak pendek. Dia terlihat seperti orang cerdik pada umumnya.Namun, kemunculannya langsung membuat seluruh Pasar Timur menjadi hening.Semua amarah yang terukir di wajah setiap pedagang langsung sirna dan digantikan dengan seulas senyum menyanjung.Pria paruh baya itu adalah petugas patroli Pasar Timur. Namanya Eko Makmur.Status seorang petugas patroli tidak termasuk tinggi di ibu kota provinsi. Akan tetapi, para penduduk juga tidak berani menyinggungnya.Di ibu kota provinsi, jabatan yang berpangkat tinggi adalah patih, pejabat sipil dan jenderal militer. Selebihnya yang tidak berpangkat adalah hakim, patroli, panitera dan sebagainya. Mereka biasanya disebut ‘pejabat’.Meskipun para pe

  • Perjalanan Dimensi Waktu Sang Genius   Bab 10

    Wira tiba di Toko Besi Keluarga Salim di Pasar Utara. Ini adalah toko besi paman pemilik tubuh sebelumnya.Saat berumur sekitar 10 tahun, pemilik tubuh sebelumnya tinggal di rumah pamannya ini untuk belajar.Istri pamannya sudah meninggal saat persalinan. Jadi, paman dan putrinya hanya bisa bergantung pada satu sama lain. Mereka bersikap sangat baik terhadap pemilik tubuh sebelumnya.Namun, pamannya menentang pernikahan pemilik tubuh sebelumnya dengan Wulan tiga tahun yang lalu.Bagaimanapun juga, ada rumor bahwa keluarga Linardi akan dilenyapkan. Pamannya khawatir pemilik tubuh sebelumnya akan terlibat masalah.Akan tetapi, pemilik tubuh sebelumnya malah tidak mendengar nasihat pamannya. Alhasil, hubungan mereka pun menjadi dingin.Saat menikah, pemilik tubuh sebelumnya bahkan tidak mengundang pamannya. Selama tiga tahun terakhir, dia juga tidak pernah mengunjungi pamannya.Saat tiba di depan toko besi yang tidak asing itu, Wira pun berjalan masuk.“Siapa?” Terdengar suara seseorang

Latest chapter

  • Perjalanan Dimensi Waktu Sang Genius   Bab 3144

    Mendengar perkataan itu, semua orang tertegun sejenak. Mereka benar-benar tidak tahu masalah apa yang dimaksud Enji.Pada saat itu, Guntur yang duduk di bawah berkata, "Bos, langsung katakan saja."Melihat Guntur berkata seperti itu, Enji tersenyum. Dia menunjuk ke arah Adjie dan berkata sambil tersenyum, "Semuanya, mulai sekarang Adjie ini akan menjadi wakil pertama kita. Jadi, kalau kelak kalian bertemu dengannya, jangan lupa memberi hormat."Begitu mendengar perkataan itu, semua orang yang duduk di bawah langsung mulai berdiskusi. Mereka benar-benar tidak menyangka Adjie akan menjadi wakil pertama.Namun, dua anak buah yang sebelumnya membawa Adjie ke sini, saling memandang dengan ekspresi gembira. Menurut mereka, kesempatan mereka akhirnya datang juga. Saat ini, mereka berada di posisi terbawah di Desa Riwut ini. Oleh karena itu, mereka merasa sangat senang karena merasa mulai sekarang kehidupan mereka akan menjadi lebih baik.Pada saat itu, salah seorang di antara kerumunan tiba-t

  • Perjalanan Dimensi Waktu Sang Genius   Bab 3143

    Adjie langsung tertawa dan berkata, "Haha. Kalau kamu begitu suka posisi wakil kedua ini, kamu saja yang ambil. Tapi, aku jelas nggak akan menerimanya."Enji hanya tersenyum melihat pemandangan itu, terlihat jelas dia merasa Adjie adalah sosok yang menarik. Pada saat itu juga, dia maju dan berkata sambil tersenyum, "Saudara, begini saja. Kamu yang jadi wakil pertama, biar dia yang jadi wakil kedua saja. Bagaimana?"Wakil pertama itu hendak membantah saat melihat posisinya tiba-tiba turun menjadi wakil kedua, tetapi Enji langsung membentak, "Tutup mulutmu!"Ekspresi wakil pertama itu langsung berubah dan menjadi diam saat dimarahi kepala itu.Adjie langsung tersenyum dan berkata, "Kamu serius?"Enji menganggukkan kepala dan berkata, "Aku ini bos di sini, mana mungkin bermain-main dengan ucapanku."Adjie langsung menoleh ke arah wakil pertama itu dan mendengus. "Kalau Bos sudah berkata begitu, aku akan mengikuti perintahnya. Bocah, kamu sudah mengerti, 'kan?"Ekspresi wakil pertama itu l

  • Perjalanan Dimensi Waktu Sang Genius   Bab 3142

    Pada saat itu, wakil pertama pun tersenyum dan berkata, "Nggak disangka, ternyata anak ini bukan orang biasa."Ekspresi wakil kedua langsung berubah saat mendengar perkataan itu, lalu bangkit dengan marah dan menerjang ke arah Adjie.Meskipun gerakan wakil kedua itu cepat, ternyata Adjie lebih cepat lagi. Dalam sekejap, dia sudah berada tepat di depan wakil kedua. Dia langsung mencengkeram leher wakil kedua dan memutarnya dengan kekuatan penuh.Saat mendengar suara patah tulang yang nyaring, ekspresi wakil pertama dan Enji langsung berubah. Mereka benar-benar tidak menyangka pemuda yang baru datang ini begitu ganas.Kedua anak buah yang berdiri di bawah langsung bengong. Mereka juga tidak menyangka pemuda ini begitu masuk langsung membunuh wakil kedua. Setelah tersadar kembali, mereka langsung berlutut dan memohon ampun, "Bos, kami pantas mati. Kami nggak tahu kemampuan orang ini begitu hebat."Ekspresi wakil pertama menjadi sangat muram, lalu langsung menunjuk kedua orang itu dan bert

  • Perjalanan Dimensi Waktu Sang Genius   Bab 3141

    Melihat pria yang duduk di tengah itu, Adjie tertegun sejenak. Kedua pria yang duduk di sebelah kiri dan kanan juga terlihat sangat garang, sepertinya kedudukan mereka tinggi.Pria yang mengajak Adjie masuk segera maju dan berkata, "Ini adalah Bos Enji kami. Yang di sebelah ini adalah wakil pertama dan ini wakil kedua."Setelah memperkenalkan ketiga pria di bawah patung, pria itu menoleh pada Enji dan berkata, "Bos, aku menemukan orang ini di luar. Dia mengaku dia adalah pengungsi yang melarikan diri dari utara, jadi aku langsung membawanya menghadapmu."Mendengar perkataan itu, Enji tertegun sejenak. Beberapa saat kemudian, dia baru berkata, "Pengungsi? Mendekatlah, biar aku lihat dulu."Adjie menganggukkan kepala dan melangkah maju. Saat melihat wajah Enji dengan jelas, dia sempat terkejut. Ternyata Enji memiliki bekas luka yang panjang dari kening sampai ke sudut mata. Dilihat dari bekas luka yang mengerikan ini, jelas bos ini adalah orang yang sangat garang.Meskipun awalnya sempat

  • Perjalanan Dimensi Waktu Sang Genius   Bab 3140

    Adjie menyipitkan matanya saat melihat nyala obor itu, lalu melangkah maju. "Siapa kalian?"Salah satu pria itu tiba-tiba mencabut goloknya dan meletakkannya di leher Adjie, lalu tersenyum sinis dan berkata, "Hehe. Kamu sedang bercanda ya? Pengungsi? Mana mungkin seorang pengungsi bisa berlari sampai ke sini. Kamu pikir aku bodoh ya? Semua pengungsi berada di selatan."Ternyata situasinya memang seperti dugaan Adjie. Dia langsung tersenyum sinis dan berkata, "Hehe. Siapa yang bilang semua pengungsi ada di selatan? Dasar bodoh!"Melihat Adjie masih berani membantahnya, ekspresi pria itu menjadi panik dan langsung mengayunkan goloknya.Namun, Adjie langsung menghindari serangan itu dan merebut golok dari tangan pria itu, lalu langsung mengarahkannya ke leher pria itu. "Hehe. Maaf, ternyata kemampuanmu hanya begitu saja. Kalau bukan karena aku sudah membunuh seseorang dan dikejar orang-orang itu, aku juga nggak sudi datang ke tempat ini."Mendengar perkataan itu, pria lainnya di samping y

  • Perjalanan Dimensi Waktu Sang Genius   Bab 3139

    Adjie tertegun sejenak saat mendengar pertanyaan itu, lalu tersenyum dan berkata, "Hehe. Tuan, ini nggak perlu. Kalau aku membawa orang lain, justru akan lebih merepotkan. Lagi pula, kalau hanya aku sendirian saja, aku bisa bergerak dengan lebih fleksibel."Wira pun menganggukkan kepala. Setelah selesai mengatur semuanya, dia menepuk bahu Adjie dan berkata, "Baiklah, sekarang kamu pergi bersiap-siap dulu. Nanti baru temui aku lagi.""Baik," jawab Adjie, lalu segera keluar.Setelah Adjie pergi, Wira menatap peta di depannya dan menghela napas. Ini mungkin bisa berhasil jika semuanya berjalan sesuai rencananya, tetapi dia masih ragu apakah Adjie bisa merebut Desa Riwut ini. Meskipun dia tidak begitu paham dengan situasi di sana, kabarnya para perampok di sana sangat kejam. Dia juga tidak yakin apakah para perampok itu berani menghadapi pasukan utara.Saat Wira masih tenggelam dalam pemikirannya, waktu sudah berlalu sekitar setengah jam. Saat tirai tenda kembali terbuka, dia langsung terk

  • Perjalanan Dimensi Waktu Sang Genius   Bab 3138

    Mendengar hal itu, Adjie menganggukkan kepala. Setelah semuanya sudah diputuskan, langkah selanjutnya akan lebih mudah. Namun, sekarang mereka tetap harus menyusun rencananya secara menyeluruh sebelum menjalankannya.Pada saat itu, Adjie yang masih menatap lokasi Desa Riwut pun berkata, "Sebelumnya aku nggak memperhatikan tempat ini. Tapi, setelah melihatnya lagi, tempat ini memang cukup strategis."Keduanya pun menganggukkan kepala karena lokasi Desa Riwut ini menang strategis. Jika mereka bisa menguasai tempat ini, berarti mereka sudah menguasai jalur utama musuh. Selain itu, jika musuh ingin menguasai kota-kota di sekitar, musuh mereka juga harus melewati Desa Riwut ini terlebih dahulu.Setelah berpikir sejenak, Adjie memberi hormat dan berkata, "Kalau ini perintah Tuan, aku akan mengikutinya. Tapi, kapan aku harus berangkat?"Wira langsung menjawab, "Malam ini adalah waktu terbaik dan menguntungkan kalian juga. Tapi, sebelum pergi, kamu harus mengubah identitasmu dulu."Adjie yang

  • Perjalanan Dimensi Waktu Sang Genius   Bab 3137

    Setelah berpikir sejenak, Adjie berkata dengan pelan, "Kalau begitu, aku rasa boleh mencobanya. Tempat ini punya celah yang begitu besar, jadi ini benar-benar peluang yang bagus."Wira menganggukkan kepala karena dia juga merasa strategi ini cukup bagus karena Pulau Hulu ini memiliki tiga celah yang terbuka. Jika bisa menguasai celah ini, mereka bisa menjebak musuh di dalamnya. Meskipun pasukan utara bisa memiliki kemampuan untuk bergerak cepat, mereka tetap akan kesulitan untuk melarikan diri.Setelah mengamati jalur di sekitar Pulau Hulu, Wira menggerakkan jarinya ke atas peta dan berkata sambil menunjuk pada sebuah lokasi di bagian selatan Pulau Hulu, "Kamu lihat tempat ini."Adjie tertegun sejenak. Setelah melihat lokasi yang ditunjukkan Wira, dia berkata dengan pelan, "Tempat ini adalah Desa Riwut, markas besar sekelompok perampok besar. Tapi, apa hubungannya tempat ini dengan pasukan utara?"Wira tersenyum. Desa Riwut ini memang tidak memiliki hubungan dengan pasukan utara. Namun

  • Perjalanan Dimensi Waktu Sang Genius   Bab 3136

    Setelah memikirkannya, Wira berkata dengan pelan, "Soal urusan ini, nggak ada yang perlu dikatakan lagi. Kali ini kalian sudah menyelesaikan tugas dengan sangat baik, kamu ingin hadiah apa?"Mendengar pertanyaan itu, Latif segera berkata, "Semuanya terserah Tuan saja."Setelah berpikir, Wira perlahan-lahan berkata, "Kalau begitu, aku akan mengangkatmu sebagai letnan jenderal dari ketiga tim pasukan itu. Mulai sekarang, kamu akan selalu berada di sisiku. Bagaimana?"Begitu mendengar perkataan itu, Adjie merasa sangat gembira. Dia tahu masa depannya lebih prospektif jika mengikuti Wira daripada memimpin pasukan di medan perang. Lagi pula, jika saat ini mereka bisa menangani situasi ini dengan baik, pasti akan mendapatkan pencapaian yang besar. Menurutnya, berada di sisi Wira adalah pilihan terbaik.Tanpa ragu, Adjie langsung memberi hormat dan berkata, "Terima kasih, Tuan."Wira langsung tersenyum dan berkata, "Hehe. Baiklah. Kalau begitu, sekarang kamu bisa langsung membuktikan dirimu.

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status