Setelah para dokter itu selesai memeriksa Thalia, Wira bertanya, "Apa kalian punya cara untuk mengobati istriku?"Para dokter itu bertatapan dan tidak tahu harus bagaimana menyahut. Wira bertanya dengan suara melengking, "Apa kondisinya begitu rumit? Kalian bisa menjadi dokter istana pasti karena punya keterampilan medis yang baik, 'kan? Masa nggak punya cara untuk menyembuhkan istriku?"Kalau tahu situasi akan seperti ini, Wira tidak akan membawa Thalia bersamanya. Thalia berkali-kali berada dalam bahaya karena perjalanan ini. Wira merasa tidak tega padanya. Jika Thalia tidak bisa diselamatkan, Wira akan merasa bersalah untuk seumur hidup."Keluar!" bentak Wira. Pada akhirnya, para dokter itu hanya bisa berpamitan dan keluar.Ini bukan kesalahan mereka, tetapi racun di tubuh Thalia benar-benar aneh. Mereka tidak pernah melihat racun seperti itu. Lantas, bagaimana mereka bisa mengobatinya?Untuk sekarang, yang bisa dilakukan hanya menjahit luka Thalia supaya darah tidak terus mengalir
"Oke. Kalau begitu, aku akan membuat persiapan sekarang juga." Biantara mengiakan.Dalam sekejap, Wira dan lainnya selesai membuat pengaturan. Mereka semua menuju ke suku utara dengan kecepatan tertinggi.Di depan gerbang ibu kota, tampak Osman dan sekelompok prajurit. Ada juga Trenggi dan seseorang yang berwajah asing.Orang itu tampak memakai zirah dan memegang golok. Meskipun usianya tidak muda lagi, dia tetap berkarisma. Jelas, latar belakangnya tidak biasa.Wira menatap orang itu untuk sesaat, lalu beralih menatap Osman dan berkata, "Semua sudah diatur dengan baik. Kamu nggak perlu cemas. Kerajaanmu baru stabil, pasti banyak yang harus diurus. Aku pamit dulu. Kalau ada kabar terbaru, aku akan mengirimmu surat."Osman pun meraih tangan Wira dan berujar, "Ini Jenderal Umar. Kita nggak tahu seperti apa situasi di suku utara, apalagi perjalanannya sangat berbahaya, jadi aku menyuruh Jenderal Umar mengikutimu. Kalau ada masalah di jalan, Jenderal Umar bisa melindungimu. Tolong jangan t
"Raja, Tuan Wira nggak mungkin mencurigai kita, 'kan?" Setelah Wira dan lainnya pergi, Trenggi bertanya demikian dengan ekspresi agak pucat. Meskipun Trenggi seorang jenderal, dia bukan orang yang gegabah. Jika tidak, mana mungkin dia memilih berpihak pada Osman waktu itu.Osman menyahut, "Aku rasa Kak Wira nggak bakal berpikir begitu. Lagi pula, Kerajaan Nuala sedang dalam masa sibuk. Orang yang paling bisa kuandalkan juga cuma Kak Wira. Tapi, memang sulit kalau ingin menemukan pelakunya ....""Semua bawahan Sucipto sudah kita tangkap. Yang berhubungan dengannya juga sudah pergi dan nggak berani muncul di depan kita, apalagi melakukan pembunuhan di ibu kota. Kalaupun mereka ingin membalas dendam, mereka seharusnya mencariku dan bukan Kak Wira."Osman juga kebingungan. Thalia terluka parah sehingga fokus Wira sepenuhnya ada pada Thalia. Namun, dendam ini tentu harus dibalaskan. Setelah semuanya beres, Wira pasti akan kembali ke ibu kota untuk menyelidiki kejadian ini.Osman merenung se
"Dasar sampah! Kamu masih berani bilang nggak bersalah? Tindakan kalian ini menimbulkan masalah besar untukku! Hubungan antara kedua negara juga akan berdampak!" maki Bhurek dengan kesal.Dulu, Bhurek memang berusaha memikirkan cara untuk memulai perang dengan Wira. Namun, sekarang dia telah berubah pikiran.Ini bukan karena Kerajaan Beluana tidak memiliki kepercayaan diri, tetapi karena proyek hidrolik sedang berjalan. Bhurek dan lainnya telah mengetahui manfaati dari proyek hidrolik. Mereka tentu tidak ingin berperang di situasi seperti ini.Mereka ingin mengembangkan Kerajaan Beluana terlebih dahulu supaya bisa melampaui Provinsi Lowala. Bagaimanapun, wilayah Kerajaan Beluana jauh lebih luas. Asalkan mereka diam-diam berkembang, Wira pasti akan kalah nanti.Apalagi, Wira dan Osman terlihat sangat dekat sekarang. Jika perang terjadi, Kerajaan Beluana akan diserang oleh 2 negara. Bukankah akibatnya akan sangat fatal?"Apa Wira tahu identitas kalian?" tanya Bhurek tiba-tiba."Aku bisa
"Wira, aku nggak akan pernah melupakan dendam di antara kita. Kelak, aku pasti akan mencarimu untuk membalas dendam. Kamu tunggu saja," gumam Bhurek.Di sisi lain, Wira dan lainnya sedang melewati hutan dengan cepat. Di dalam kereta kuda, Wira terus memeluk Thalia. Bagaimanapun, kereta kuda berguncang cukup kuat dan mereka tidak berani memperlambat kecepatan."Kak, Kak Thalia orang yang beruntung. Dia pasti bisa sembuh. Kamu nggak perlu cemas," bujuk Agha yang duduk di samping.Mereka sudah menempuh beberapa jam perjalanan. Wira bahkan tidak makan ataupun minum sejak tadi. Wira juga tidak tidur semalaman sehingga wajahnya terlihat sangat lesu. Meskipun Wira dan Agha bukan saudara kandung, Agha tetap merasa kasihan padanya.Wira menghela napas, lalu menyahut dengan perlahan, "Semua ini gara-gara aku. Kalo aku nggak membawanya, mana mungkin terjadi masalah seperti ini?"Sebelum mengenal Wira, Thalia hidup dalam kebohongan. Wira yang menyelamatkannya dari kesengsaraan. Kehidupan Thalia ba
"Kamu pasti belum tidur dari semalam, 'kan? Lihat wajahmu, pucat sekali. Dengarkan aku, berbaring dulu di samping dan suruh Agha yang menjagaku. Setelah kamu bangun, kamu gantian dengan Agha," ucap Thalia dengan lirih dan lemas.Wira menggeleng dan tersenyum getir sambil berkata, "Gimana aku bisa tidur kalau kondisimu seperti ini? Aku ingin kamu pulih secepatnya. Aku nggak ingin melakukan hal lain."Semua yang Wira katakan berasal dari lubuk hatinya. Hal ini bukan hanya berlaku untuk Thalia, tetapi juga istrinya yang lain. Jika tidak, mana mungkin dia bisa memiliki begitu banyak istri?"Kamu ini ...." Thalia menggeleng dengan tidak berdaya. Kemudian, dia meneruskan sambil tersenyum, "Kalau begitu, aku istirahat sebentar lagi. Aku merasa agak capek.""Ya." Wira mengiakan dan memeluk Thalia lagi. Dia menatap Thalia dengan penuh kasih sayang.Adapun Agha, dia merasa sedih melihat situasi ini. Wira berucap dengan perlahan, "Kalau kamu capek, istirahat saja. Thalia sudah bilang dia nggak ap
"Akhirnya kalian datang!"Meskipun Wira tidak melihat sosok yang berbicara itu, dia tahu pemilik suara ini. Siapa lagi kalau bukan Bobby?Wira segera memandang ke arah sumber suara. Kemudian dia turun dari kereta kudanya dan berkata, "Sekarang bukan saatnya untuk mengobrol. Kudengar kamu sudah menemukan dokter sakti itu. Ayo, kita kembali ke suku.""Ya, ya! Semua sudah kuatur dengan baik. Kamu hanya perlu mengikutiku," sahut Bobby. Segera, sekelompok orang itu berangkat ke suku.Kini, suku utara telah jatuh ke tangan Bobby. Sementara itu Bobby bisa menjadi penguasa berkat Wira. Jika bermusuhan dengan Wira, semua jerih payahnya akan menjadi sia-sia.Malam itu juga, rombongan tiba di suku. Banyak orang yang berdiri di kedua sisi jalanan. Semua menunggu kedatangan Wira."Ada apa ini?" Wira yang berada di dalam kereta kuda mengangkat tirai untuk mengintip keadaan di luar. Bobby segera menjelaskan, "Begitu mendapat kabar darimu, aku langsung menghubungi dokter sakti itu. Hanya saja, waktu i
"Namaku Arifin. Salam kenal, Tuan," ucap pria tua itu sambil menghampiri Wira dengan tersenyum."Jangan sungkan begini. Tolong bantu aku periksa istriku. Dokter istana Kerajaan Nuala sampai angkat tangan. Aku hanya bisa menaruh harapan padamu," ujar Wira.Ketika Wira berbicara, Biantara dan Agha membantu mengangkat Thalia keluar dari kereta kuda.Kondisi Thalia jelas memburuk. Wajahnya makin pucat dan lesu. Wira merasa kasihan padanya, tetapi tidak mengatakan apa pun dan hanya menunggu diagnosis Arifin.Thalia telah dibawa ke kamar. Di dalam kamar, hanya ada Wira dan Arifin. Orang lainnya hanya bisa menunggu di luar dengan sabar.Tiga puluh menit kemudian, Arifin masih memeriksa denyut nadi Thalia. Ekspresinya tidak menentu, membuat orang tidak bisa menebak isi pikirannya.Wira merasa makin tertekan, tetapi dia tidak berani mendesak Arifin. Dia hanya bisa menunggu di samping sambil mengepalkan tangannya dengan cemas.Arifin adalah harapan terakhirnya. Jika Arifin tidak punya cara untu