"Wira, aku nggak akan pernah melupakan dendam di antara kita. Kelak, aku pasti akan mencarimu untuk membalas dendam. Kamu tunggu saja," gumam Bhurek.Di sisi lain, Wira dan lainnya sedang melewati hutan dengan cepat. Di dalam kereta kuda, Wira terus memeluk Thalia. Bagaimanapun, kereta kuda berguncang cukup kuat dan mereka tidak berani memperlambat kecepatan."Kak, Kak Thalia orang yang beruntung. Dia pasti bisa sembuh. Kamu nggak perlu cemas," bujuk Agha yang duduk di samping.Mereka sudah menempuh beberapa jam perjalanan. Wira bahkan tidak makan ataupun minum sejak tadi. Wira juga tidak tidur semalaman sehingga wajahnya terlihat sangat lesu. Meskipun Wira dan Agha bukan saudara kandung, Agha tetap merasa kasihan padanya.Wira menghela napas, lalu menyahut dengan perlahan, "Semua ini gara-gara aku. Kalo aku nggak membawanya, mana mungkin terjadi masalah seperti ini?"Sebelum mengenal Wira, Thalia hidup dalam kebohongan. Wira yang menyelamatkannya dari kesengsaraan. Kehidupan Thalia ba
"Kamu pasti belum tidur dari semalam, 'kan? Lihat wajahmu, pucat sekali. Dengarkan aku, berbaring dulu di samping dan suruh Agha yang menjagaku. Setelah kamu bangun, kamu gantian dengan Agha," ucap Thalia dengan lirih dan lemas.Wira menggeleng dan tersenyum getir sambil berkata, "Gimana aku bisa tidur kalau kondisimu seperti ini? Aku ingin kamu pulih secepatnya. Aku nggak ingin melakukan hal lain."Semua yang Wira katakan berasal dari lubuk hatinya. Hal ini bukan hanya berlaku untuk Thalia, tetapi juga istrinya yang lain. Jika tidak, mana mungkin dia bisa memiliki begitu banyak istri?"Kamu ini ...." Thalia menggeleng dengan tidak berdaya. Kemudian, dia meneruskan sambil tersenyum, "Kalau begitu, aku istirahat sebentar lagi. Aku merasa agak capek.""Ya." Wira mengiakan dan memeluk Thalia lagi. Dia menatap Thalia dengan penuh kasih sayang.Adapun Agha, dia merasa sedih melihat situasi ini. Wira berucap dengan perlahan, "Kalau kamu capek, istirahat saja. Thalia sudah bilang dia nggak ap
"Akhirnya kalian datang!"Meskipun Wira tidak melihat sosok yang berbicara itu, dia tahu pemilik suara ini. Siapa lagi kalau bukan Bobby?Wira segera memandang ke arah sumber suara. Kemudian dia turun dari kereta kudanya dan berkata, "Sekarang bukan saatnya untuk mengobrol. Kudengar kamu sudah menemukan dokter sakti itu. Ayo, kita kembali ke suku.""Ya, ya! Semua sudah kuatur dengan baik. Kamu hanya perlu mengikutiku," sahut Bobby. Segera, sekelompok orang itu berangkat ke suku.Kini, suku utara telah jatuh ke tangan Bobby. Sementara itu Bobby bisa menjadi penguasa berkat Wira. Jika bermusuhan dengan Wira, semua jerih payahnya akan menjadi sia-sia.Malam itu juga, rombongan tiba di suku. Banyak orang yang berdiri di kedua sisi jalanan. Semua menunggu kedatangan Wira."Ada apa ini?" Wira yang berada di dalam kereta kuda mengangkat tirai untuk mengintip keadaan di luar. Bobby segera menjelaskan, "Begitu mendapat kabar darimu, aku langsung menghubungi dokter sakti itu. Hanya saja, waktu i
"Namaku Arifin. Salam kenal, Tuan," ucap pria tua itu sambil menghampiri Wira dengan tersenyum."Jangan sungkan begini. Tolong bantu aku periksa istriku. Dokter istana Kerajaan Nuala sampai angkat tangan. Aku hanya bisa menaruh harapan padamu," ujar Wira.Ketika Wira berbicara, Biantara dan Agha membantu mengangkat Thalia keluar dari kereta kuda.Kondisi Thalia jelas memburuk. Wajahnya makin pucat dan lesu. Wira merasa kasihan padanya, tetapi tidak mengatakan apa pun dan hanya menunggu diagnosis Arifin.Thalia telah dibawa ke kamar. Di dalam kamar, hanya ada Wira dan Arifin. Orang lainnya hanya bisa menunggu di luar dengan sabar.Tiga puluh menit kemudian, Arifin masih memeriksa denyut nadi Thalia. Ekspresinya tidak menentu, membuat orang tidak bisa menebak isi pikirannya.Wira merasa makin tertekan, tetapi dia tidak berani mendesak Arifin. Dia hanya bisa menunggu di samping sambil mengepalkan tangannya dengan cemas.Arifin adalah harapan terakhirnya. Jika Arifin tidak punya cara untu
Wira tidak berbicara, hanya menatap Arifin dan menunggunya melanjutkan penjelasannya.Arifin meneruskan, "Istrimu mungkin nggak akan bisa melahirkan lagi."Wira tertegun sesaat. Kemudian, dia menggeleng sambil terkekeh-kekeh dan berkata, "Kukira ada masalah besar apa. Ternyata cuma nggak bisa melahirkan.""Ini bukan masalah besar untukku. Asalkan Thalia bisa sembuh, aku sudah merasa puas. Di mataku, wanita bukan mesin produksi anak, melainkan teman hidup hingga akhir hayat."Setelah mendengarnya, Arifin tak kuasa melirik Wira. Dia telah menjadi dokter selama bertahun-tahun, mengobati berbagai penyakit rumit, dan bertemu banyak orang. Jelas, jarang sekali ada pria seperti Wira.Di dunia ini, banyak pria yang berubah sikap setelah mengetahui istrinya yang tidak bisa hamil. Bahkan, ada yang memilih untuk bercerai. Sementara itu, Wira yang berstatus tinggi justru tidak peduli pada masalah ini. Sungguh luar biasa!Arifin berkata lagi, "Karena kamu sudah bicara begitu, aku pun sudah tenang.
Bobby ikut berbicara, "Ya, tenang saja. Kulihat kamu agak lelah, sebaiknya pergi istirahat. Biar aku yang menjaga Tuan Wira."Bobby dan Wira tahu bahwa Biantara mencemaskan keselamatan Wira. Ada begitu banyak masalah yang terjadi, ditambah lagi Thalia terluka parah. Sebagai tangan kanan Wira, Biantara tentu harus selalu berwaspada."Nggak perlu. Kalau kembali sekarang, aku juga nggak bisa istirahat. Aku akan istirahat setelah Nyonya Thalia siuman," tolak Biantara sambil melambaikan tangan dan tersenyum.Wira hanya bisa mengangguk dengan pasrah. Apa yang telah dia lakukan untuk mendapatkan saudara sebaik Biantara? Wira pun tidak memaksa Biantara lagi.Namun, bukan berarti Agha tidak baik. Hanya saja, Agha tidak seteliti dan seperhatian Biantara sehingga tidak mempertimbangkan begitu banyak hal.Segera, ketiganya pun berangkat. Sementara itu, Arifin dan Thalia masih berada di kamar yang sama. Bisa dilihat dari wajah Arifin bahwa dia sangat lelah. Akupunktur ini menguras banyak tenaganya.
"Ini adalah perintah!" ucap Wira dengan tegas.Biantara menghela napas dengan tidak berdaya. Dia pun tidak bersikeras lagi, melainkan berjalan pergi.Segera, Wira kembali ke kamar. Begitu masuk, terlihat Thalia sudah membuka matanya dan hendak bangkit.Wira segera berlari ke samping Thalia dan berkata, "Keterampilan medis Dokter Arifin memang nggak perlu diragukan lagi. Baru beberapa jam berlalu, tapi kamu sudah siuman. Kamu bahkan terlihat energik."Thalia memang merasa jauh lebih baik. Meskipun perutnya masih sakit dan tubuhnya masih lemas, kondisinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Dia tidak perlu lagi berpura-pura kuat di depan Wira.Wira memapahnya. Thalia berkata sambil tersenyum, "Jelas saja! Fisikku jauh lebih baik dari wanita pada umumnya. Mana mungkin aku bisa dibandingkan dengan para wanita yang sakit-sakitan itu!""Tubuhku sekuat banteng. Apalagi ada dokter yang mengobatiku, aku pun sembuh dengan cepat. Sayangnya, tubuhku yang indah ini menjadi punya bekas luka. Ini
"Bagus! Sekarang kamu hanya dengar kata kakakmu saja, 'kan? Bukannya kakakmu nggak ada di sini? Jadi, kata-kata kakak ipar nggak ada gunanya ya? Kalau begitu, kelak kamu nggak perlu memanggilku kakak ipar lagi. Aku akan pergi berjalan-jalan sekarang. Kalau terjadi sesuatu padaku, kakakmu pasti akan mencarimu. Kita lihat saja bagaimana kamu menghadapinya."Thalia adalah wanita yang cerdas, tentu saja tidak akan kalah berdebat dari orang yang kurang berpengalaman seperti Agha.Dalam sekejap, Agha sudah kehabisan kata-kata. Melihat Thalia benar-benar bersiap untuk pergi, dia segera berlari mengejarnya dan berkata sambil menggosok-gosok tangannya, "Kak Thalia, jangan menyulitkanku ya? Kamu baru saja sembuh dari sakit parah, kondisi tubuhmu masih belum pulih sepenuhnya.""Dokter juga sudah bilang setidaknya butuh beberapa hari lagi kamu baru bisa pulih sepenuhnya. Yang paling penting sekarang adalah istirahat. Tapi, kalau kamu bersikeras hendak keluar, bagaimana kalau kita jalan-jalan seben