"Ini adalah perintah!" ucap Wira dengan tegas.Biantara menghela napas dengan tidak berdaya. Dia pun tidak bersikeras lagi, melainkan berjalan pergi.Segera, Wira kembali ke kamar. Begitu masuk, terlihat Thalia sudah membuka matanya dan hendak bangkit.Wira segera berlari ke samping Thalia dan berkata, "Keterampilan medis Dokter Arifin memang nggak perlu diragukan lagi. Baru beberapa jam berlalu, tapi kamu sudah siuman. Kamu bahkan terlihat energik."Thalia memang merasa jauh lebih baik. Meskipun perutnya masih sakit dan tubuhnya masih lemas, kondisinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Dia tidak perlu lagi berpura-pura kuat di depan Wira.Wira memapahnya. Thalia berkata sambil tersenyum, "Jelas saja! Fisikku jauh lebih baik dari wanita pada umumnya. Mana mungkin aku bisa dibandingkan dengan para wanita yang sakit-sakitan itu!""Tubuhku sekuat banteng. Apalagi ada dokter yang mengobatiku, aku pun sembuh dengan cepat. Sayangnya, tubuhku yang indah ini menjadi punya bekas luka. Ini
"Bagus! Sekarang kamu hanya dengar kata kakakmu saja, 'kan? Bukannya kakakmu nggak ada di sini? Jadi, kata-kata kakak ipar nggak ada gunanya ya? Kalau begitu, kelak kamu nggak perlu memanggilku kakak ipar lagi. Aku akan pergi berjalan-jalan sekarang. Kalau terjadi sesuatu padaku, kakakmu pasti akan mencarimu. Kita lihat saja bagaimana kamu menghadapinya."Thalia adalah wanita yang cerdas, tentu saja tidak akan kalah berdebat dari orang yang kurang berpengalaman seperti Agha.Dalam sekejap, Agha sudah kehabisan kata-kata. Melihat Thalia benar-benar bersiap untuk pergi, dia segera berlari mengejarnya dan berkata sambil menggosok-gosok tangannya, "Kak Thalia, jangan menyulitkanku ya? Kamu baru saja sembuh dari sakit parah, kondisi tubuhmu masih belum pulih sepenuhnya.""Dokter juga sudah bilang setidaknya butuh beberapa hari lagi kamu baru bisa pulih sepenuhnya. Yang paling penting sekarang adalah istirahat. Tapi, kalau kamu bersikeras hendak keluar, bagaimana kalau kita jalan-jalan seben
Setelah kembali ke kamar, Wira memaksa Thalia untuk tetap berbaring di tempat tidur. Melihat Thalia terus bolak-balik, dia menyadari Thalia jelas tidak ingin tidur."Kenapa sih kamu ini begitu susah diatur? Aku benar-benar nggak tahu apa yang aku suka darimu waktu itu. Kalau tahu akan ada begitu banyak masalah di perjalanan kali ini, harusnya aku membiarkanmu tetap di Dusun Darmadi. Dengan begitu, kamu juga nggak perlu terlalu menderita. Pada akhirnya, semua ini salahku ...," gumam Wira sambil minum teh.Hati Wira merasa agak sedih saat memikirkan kembali kata-kata Arifin sebelumnya. Dia belum menemukan cara yang tepat untuk memberi tahu Thalia tentang hal itu. Baginya, Thalia tidak bisa hamil pun tidak apa-apa. Dia memiliki banyak istri di rumah, tentu saja tidak peduli dengan hal itu. Namun bagi Thalia, seorang wanita yang tidak bisa memiliki anak, bukan seorang wanita lagi.Saat memikirkan hal ini, Wira merasa sangat sedih. Sepertinya, dia harus mencari kesempatan yang tepat untuk m
"Memang nggak ada yang bisa disembunyikan dari Tuan Wira," kata Bobby sambil tersenyum dan menggelengkan kepala.Setelah memastikan Thalia tidak diam-diam keluar dari kamar, Bobby baru berkata dengan volume suara yang kecil, "Aku sudah berbicara dengan Dokter Arifin sebelumnya, dia juga sudah memberitahuku tentang kondisi istrimu. Dia juga memberitahuku cara untuk menyembuhkan istrimu."Wira tertegun sejenak dan matanya langsung bersinar."Maksudmu ...." Luther tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan menunjuk pada perutnya.Bobby langsung memahami maksud Wira dan menganggukkan kepala."Ternyata benar. Kalau begitu, cepat beri tahu aku caranya. Sebelumnya aku sudah bertanya pada Dokter Arifin apa ada cara untuk menyembuhkan istriku, tapi dia nggak memberikanku solusinya. Aku pikir istriku sudah nggak bisa disembuhkan lagi. Ternyata dia sengaja menyembunyikan hal ini dariku."Wira tahu Arifin pasti memiliki alasan tersendiri. Jika tidak, Arifin tidak akan memberi tahu Bobby tentang hal
Setengah jam kemudian, Bobby langsung pergi mengambil sebuah peta, sedangkan Wira tetap berada di halaman itu. Setelah menerima peta dan memeriksanya dengan teliti, Wira mengernyitkan keningnya. Lokasi obat itu memang sangat berbahaya.Pegunungan utara adalah sebuah gunung terpencil, tetapi sisi gunung itu adalah tebing yang curam. Untuk memetik Bunga Tebing, orang itu harus memanjat tebing itu karena tidak ada jalur lain yang bisa dilewati. Ini memang agak merepotkan. Jika tidak memiliki keterampilan khusus, mustahil untuk memanjat tebing itu dengan tangan kosong.Wira tenggelam dalam pemikirannya dan merenungkan strategi untuk memetik Bunga Tebing itu. Sementara itu, Bobby tetap diam dan berdiri di tempatnya dengan tenang.Tak lama kemudian, Agha kembali dengan membawa berbagai makanan dan barang-barang yang menarik. Semua itu untuk menyenangkan Thalia yang tidak bisa keluar untuk bersenang-senang karena dia tidak berani menemaninya. Suasana hati wanita tidak stabil dan dia juga khaw
"Baiklah ...." Melihat sikap Wira yang tegas, Bobby juga tidak banyak berbicara lagi dan akhirnya pergi.Wira duduk di samping dan mulai memeriksa peta dengan teliti.Di dalam kamar. Melihat Agha kembali, Thalia langsung bangkit dan segera mendekati Agha. Setelah itu, dia terus memeriksa barang-barang yang dibawa Agha."Pekerjaanmu kali ini benar-benar bagus. Kamu sudah membawa begitu banyak barang bagus untukku, kelak kamu yang akan urus hal seperti ini," kata Thalia sambil tersenyum dan mengelus kepala Agha.Ekspresi Agha terlihat canggung karena Thalia jelas memperlakukannya seperti anak kecil, padahal dia sudah dewasa. Benar-benar menyebalkan! Namun, kakak ipar ini tidak mudah untuk dihadapi, dia pun hanya bisa menahan dirinya. Jika orang lain berani mengelus kepalanya, jelas mencari masalah dengannya."Oh ya, kakakmu di mana? Tadi dia keluar bersama Bobby. Sudah begitu lama pun masih belum kembali. Jangan-jangan terjadi sesuatu lagi?" tanya Thalia sambil makan.Agha menunjuk ke lu
Thalia tentu saja mengerti semua maksud Wira. Sebelumnya, dia bisa berbicara seperti itu pada Agha karena dia sudah menganggap Agha sebagai adik kandungnya. Jika itu adalah orang lain, sikapnya tentu akan berbeda. Setelah ribut beberapa saat, dia akhirnya tertidur lebih awal karena merasa lelah.Setelah selesai makan, malam itu Wira diam-diam pergi. Beberapa jam kemudian dan tepat pada tengah malam, dia sudah berdiri di depan tebing dari pegunungan utara itu. Dia tidak bisa melihat ujung dari tebing karena gelapnya malam, sehingga dia merasa sangat tertekan. Dia berdiri sambil menyilangkan kedua tangan pada bahu, lalu tersenyum dengan penuh percaya diri dan anggun."Apa yang belum pernah kulihat sebelumnya? Situasi apa yang belum pernah kualami? Hanya sekedar tebing saja, mana mungkin bisa menghentikan langkahku. Sungguh konyol!"Setelah mengatakan itu, Wira pun langsung berdiri. Saat bersiap untuk memanjat tebing, dia mendengar suara berisik dari belakangnya. Dia secara refleks menole
Saat Wira dan Biantara sedang berbicara, terdengar suara asing lainnya. "Yang dia katakan benar. Kalau terjatuh dari puncak ini, seluruh tubuhmu pasti hancur berkeping-keping. Pada saat itu, pasti akan terlihat sangat mengerikan."Wira dan Biantara langsung menjadi cemas dan segera menoleh ke arah suara itu berasal. Sebelumnya, mereka malah tidak menyadari ternyata masih ada orang lain di kegelapan."Kalian nggak perlu begitu cemas, aku nggak punya niat jahat terhadap kalian," kata orang itu sambil perlahan-lahan keluar dari kegelapan. Dia mengenakan jubah linen dan usianya sama dengan Wira. Di bawah cahaya bulan, wajahnya terlihat selalu tersenyum."Siapa kamu? Kenapa kamu ada di sini pada waktu seperti ini?"Pegunungan utara terletak di tempat terpencil dan tidak ada rumah di sekitarnya, bahkan jarak desa terdekat pun sejauh ratusan mil. Jika tidak, Wira juga tidak akan menghabiskan waktu beberapa jam di perjalanan. Namun, bisa bertemu dengan orang asing di tempat seperti itu, bagaim