Dengan mata yang bengkak, Kia menatap kertas di tangannya dengan napas yang tertahan. Sepulang dari pemakaman, tangisannya tak kunjung berhenti. Dia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia alami, yaitu menghadiri pemakaman ayahnya, satu-satunya keluarga yang ia miliki.
Sekarang Kia hanya sendiri, tidak ada yang menemani.
"Ini apa, Pak?" tanya Kia pada Pak Harris, pengacara ayahnya.
"Surat dari Ayah kamu, Kia."
Tangis Kia kembali pecah. Kematian ayahnya benar-benar menjadi pukulan terberat dalam hidupnya. Dia merasa bersalah. Andai saja waktu bisa berputar tentu dia tidak akan pernah mengecewakan ayahnya.
Dear, Azkia..
Anakku tersayang.
Ayah harap kamu nggak lagi nangis sekarang. Kamu kuat, Sayang.
Maaf Ayah nggak bisa temenin kamu lebih lama lagi. Tuhan ternyata sayang banget sama Ayah.
Saat kamu baca surat ini, artinya Ayah udah tenang sama Ibu kamu, Nak. Kamu harus kuat ya, Ayah nggak akan biarin kamu sendirian.
Arfan, kamu kenal Mas Arfan kan? Dia yang akan temenin kamu. Mas Arfan adalah wali kamu sekarang. Jangan nakal ya..
Ayah percaya sama Mas Arfan, jadi kamu juga harus percaya sama dia.
Perlu kamu tau, Ayah sayang banget sama Kia.
Kia menutup wajahnya saat air mata tak bisa berhenti mengalir. Dia belum siap untuk membaca surat ini. Dia membutuhkan waktu untuk mencerna semua yang telah terjadi.
"Mbak Kia." Mbok Sum mengelus bahu Kia pelan. Berusaha untuk menenangkan tangisannya yang semakin menjadi.
"Yang sabar, Mbak. Jangan sedih terus, nanti Bapak ikut sedih di atas sana."
Ucapan itu membuat Kia menahan tangisnya dan kembali mengangkat wajahnya. Dengan kasar, dia mengusap wajahnya yang sudah basah karena air mata. Perlahan dia mulai menatap Pak Harris dan mengangguk pelan, meminta pria paruh baya itu untuk kembali meneruskan pembacaan surat wasiat.
"Saya tau ini berat, tapi saya harus membacakan surat permintaan dari Ayah kamu, Kia."
"Saya paham, Pak. Lanjutin aja."
Pak Harris mengangguk dan kembali berbicara, "Di dalam surat itu, Ayah kamu mempercayai Arfan untuk jadi wali kamu."
Mata Kia beralih pada pria yang duduk di depannya. Sedari tadi pria itu memilih untuk diam. Apa benar ayah meminta Arfan untuk menjadi walinya? Arfan begitu dingin dan Kia tidak yakin dengan keputusan ayahnya itu.
"Untuk saat ini, Arfan yang akan gantiin Ayah kamu. Arfan yang akan urus perusahaan dan semua keperluan kamu."
Kia menatap Pak Harris tidak percaya. Bagaimana bisa ayahnya mempercayai Arfan yang merupakan orang asing? Bukan hanya perusahaan, tapi ayahny juga mempercayai Arfan untuk menjaganya. Omong kosong dari mana itu?
Kia memang mengenal Arfan, tapi tidak begitu dekat, bahkan tidak pernah berbicara. Pria itu sudah bekerja untuk ayahnya selama bertahun-tahun. Seperti yang Kia tahu, Arfan adalah wakil ayahnya di perusahaan. Kemudian sekarang ayahnya mempercayai Arfan untuk mengurus semuanya.
"Kenapa harus Mas Arfan yang urus perusahaan? Anaknya itu saya, Pak." Kia bertanya tidak terima.
"Saya udah tebak kamu pasti ngomong gini." Pak Harris tampak kembali membaca kertas di tangannya, "Di sini tertulis kalau Arfan akan gantiin Ayah kamu sampai kamu siap. Ketika kamu sudah lulus kuliah, semuanya akan kembali ke kamu, Kia."
"Saya nggak mau!" ucap Kia keras. Dia tidak bisa hidup diatur seperti ini.
Kia menatap Arfan tajam, berharap jika pria itu juga akan menolak permintaan konyol ayahnya. Pria itu masih diam. Arfan terlihat tidak ingin membantah. Pria itu memilih bungkam dengan pandangan yang kosong.
"Mas Arfan hasut Ayah kan?!" tanya Kia kesal.
Arfan meliriknya sebentar dan beralih pada Pak Haris, "Lanjutkan, Pak." Itu kata pertama yang ia ucapkan.
"Saya tau ini berat, Kia. Saya yakin Ayah kamu punya alasan. Kamu belum lulus SMA, kamu perlu wali untuk mengawasi semunya," ucap Pak Haris.
"Nggak lama lagi saya lulus," ucap Kia ketus.
"Itu tidak mengubah permintaan Ayah kamu. Maaf saya nggak bisa bantu lebih."
Kia kembali menatap Arfan tajam. Diamnya pria itu membuatnya muak. Dia mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya Arfan pikirkan? Apa dia senang dengan keputusan ayahnya? Tentu saja! Wasiat ayahnya memang sangat menguntungkan Arfan.
"Mas Arfan setuju?" tanya Kia pada akhirnya.
Tanpa ragu pria itu mengangguk. Kia hanya bisa mengumpat dalam hati melihatnya.
"Kenapa Mas Arfan setuju sama permintaan Ayah?" Kia masih tidak habis pikir.
Untuk pertama kalinya Kia melihat Mas Arfan tersenyum, meskipun begitu tipis dan samar. "Nggak ada alasan untuk saya menolak, Kia."
"Dasar mata duitan!" umpat Kia kesal.
"Untuk selebihnya, kalian bisa rundingkan berdua." Pak Harris mulai bersiap untuk pergi.
"Saya nggak harus tinggal sama Mas Arfan kan, Pak?" tanya Kia menahan tangan Pak Harris.
"Semua tergantung Arfan, Kia. Dia wali kamu sekarang. Dia yang bertanggung jawab atas diri kamu mulai dari sekarang."
Kia memejamkan matanya kesal. Jawaban Pak Harris tidak membuatnya tenang sama sekali. Demi apapun, dia tidak bisa hidup dengan orang asing. Kenapa ayahnya mempercayai Arfan? Meskipun tidak selamanya, tapi waktu empat tahun bukanlah waktu yang singkat.
"Arfan, kamu bisa hubungi saya kalau ada apa-apa," ucap Pak Harris menjabat tangan Arfan.
"Baik, Pak. Terima kasih banyak."
Melihat pintu rumah yang sudah tertutup rapat, Kia jatuh terduduk dengan kepala yang berdenyut. Tak lama Mbok Sum datang dengan secangkir teh hangat.
"Aku nggak mau kalau Mas Arfan tinggal di sini," ucap Kia pada Arfan.
"Nggak masalah, kamu yang akan tinggal di rumah saya."
Tangan Kia terkepal mendengar itu. "Aku nggak mau!" teriaknya.
Arfan menatap Kia santai. Tanpa emosi tapi semakin membuat Kia kesal.
"Jangan lupa kalau saya adalah wali kamu sekarang. Semua keperluan kamu, saya yang penuhi. Kalau kamu nggak terima, nggak masalah. Saya nggak perlu kasih fasilitas buat kamu," kata Arfan dan beralu pergi.
"Kok ngatur?!" teriak Kia kesal.
"Sabar, Mbak. Turutin aja ya, Mbok yakin permintaan Bapak nggak salah," ucap Mbok Sum.
"Gimana mau sabar, Mbok? Belum apa-apa aja aku udah diancem. Gimana aku bisa betah hidup empat tahun sama dia?!"
Kia menunduk dan menutup wajahnya, merasa kesal dengan apa yang sudah terjadi. Kepergian ayahnya sudah membuatnya sedih, jangan lagi ditambah dengan masalah ini.
Kia yakin jika dia bisa hidup sendiri. Dia tidak butuh wali, apalagi wali seperti Arfan. Diamnya saja sudah membuat Kia emosi apalagi saat dia berbicara? Dan itu benar terjadi, saat berbicara pria itu jauh lebih menyebalkan.
Kenapa ayah bisa bertahan selama bertahun-tahun dengan wakil direktur seperti Arfan?
"Coba jalanin dulu, Mbak. Ada Mbok yang temenin Mbak Kia."
Demi semua fasilitas, Kia akan menerima dan bersabar. Kita akan lihat, siapa yang akan menyesal karena memilih untuk hidup bersama?
***
TBC
Kia hanya menginginkan satu hal, yaitu hidup sendiri di rumah peninggalan orang tuanya. Selama ini ayahnya selalu mendidiknya agar mandiri dan berani. Kia tidak butuh wali, setidaknya tidak dengan Arfan. Dia benci bergantung pada orang lain, terutama Arfan. "Ayo, Mbak." Mbok Sum membuka pintu mobil dan meminta Kia untuk keluar. Kia turun sambil menghentakkan kakinya kesal. Rumah sederhana bergaya modern di depannya tidak membuatnya tertarik. Menurut Kia, rumah ternyaman adalah rumahnya sendiri. Kia mendengkus saat Arfan masuk lebih dulu dengan membawa koper miliknya. Apa pria itu tidak melihat wajah kesalnya? Apa dia bisa bertahan hidup dengan terus bermusuhan seperti ini? "Masuk," ucap Arfan tanpa menatap wajah Kia. Dia membuka pintu rumahnya lebar. Dengan sedikit paksaan dari Mbok Sum, akhirnya Kia mulai masuk ke dalam rumah. Hal yang pertama kali ia rasakan saat memasuki rumah ini adalah d
Hari jum'at merupakan hari yang ditunggu oleh hampir setiap orang. Di hari inilah gerbang menuju akhir pekan mulai terbuka lebar. Namun apa yang dirasakan orang-orang tidak dirasakan oleh Kia. Dia menyambut hari ini dengan wajah yang cemberut. Demi Tuhan! Dia tidak mau menghabiskan akhir pekannya di rumah, setidaknya tidak berdua dengan Arfan. Memasuki ruang makan, Kia melihat Arfan sudah tampak rapi dengan pakaian kerjanya. Pria itu makan dengan tenang. Bahkan kedatangan Kia tidak mengganggunya sedikit pun, seolah lupa dengan apa yang ia lakukan semalam. "Mbak Kia semalem pulang jam berapa? Mbok khawatir loh," tanya Mbok Sum mulai mengambil makanan untuk Kia. "Kia bisa ambil sendiri, Mbok." Ucapan Arfan membuat gerakan tangan Mbok Sum terhenti. Melihat sesuatu yang tidak beres, akhirnya wanita paruh baya itu memilih untuk berlalu ke dapur. Kia yang tidak ingin berdebat mulai mengambil makana
Hari ini Arfan terlihat sibuk di kantor. Setelah mengantar Kia ke sekolah, dia langsung menuju kantor. Nadia sudah mengingatkannya jauh-jauh hari jika ada rapat penting yang harus ia hadiri hari ini. Saat jam istirahat seperti ini pun, Arfan memilih untuk makan siang di ruangannya. Dia harus menyelesaikan semuanya agar tidak membawa pekerjaan ke rumah, karena bagi Arfan rumah adalah tempatnya untuk lepas dari semua hal mengenai pekerjaan. Suara dering telepon memecah fokus Arfan. Dia meraih ponselnya dan melihat nama ibunya yang menghubunginya saat ini. Tanpa menunggu, Arfan langsung mengangkat panggilan itu dan bersandar pada kursinya. "Halo, Buk?" sapa Arfan. "Halo, Nak. Denger suara Ibuk nggak?" ucap suara di seberang sana. "Denger kok, Buk. Ada apa?" "Enggak, Ibuk cuma mau tanya kabar kamu, Fan." Arfan tersenyum, "Kabar aku b
Di sabtu sore, Arfan sudah rapi dengan kaos berkerah yang ia pakai. Dia mamakai jam tangannya sambil keluar dari kamar. Hari ini Arfan akan membawa Kia untuk berbelanja kebutuhannya. Meskipun sedikit memperketat ruang gerak Kia, tapi dia juga paham dengan kebutuhan wanita. Sebisa mungkin Arfan akan membuat Kia disiplin tanpa harus merasa kekurangan. Arfan mengetuk kamar Kia sebentar. Setelah mendapat sahutan, dia masuk dan bersandar pada pintu. Arfan menghela napas kasar saat melihat Kia yang tampak bermalas-malasan di atas kasur. Di depan gadis itu terdapat laptop dan banyak makanan ringan. Arfan yakin jika stok camilan di dapur sudah habis dan ini saatnya dia kembali berbelanja untuk mengisi kekosongan dapur. "Apa?" tanya Kia menghentikan film yang ia putar. Tanpa menjawab, Arfan masuk dan mulai melihat meja rias Kia. Dia memperhatian satu persatu alat kecantikan itu dengan lekat. Setelah itu dia bersandar pada m
Matahari yang sudah muncul sedari tadi tidak mengganggu tidur Kia. Dia masih betah berada di bawah selimut yang menutupi tubuhnya. Dengan mata yang terpejam, Kia bergerak untuk mengambil remot AC. Dia mengubah suhu ruangan menjadi lebih dingin dan kembali bergelung di dalam selimut. Hari ini adalah hari minggu, hari di mana Kia bebas untuk bangun siang. Benar saja, tak butuh waktu lama dia sudah kembali ke alam mimpi. Di luar kamar, Arfan berdiri di depan pintu kamar Kia dengan ragu. Dia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Arfan sudah bangun sejak tadi dan sampai saat ini dia masih belum mendengar suara Kia. Di sinilah dia sekarang, di depan pintu kamar gadis itu. "Kia?" panggil Arfan mulai mengetuk pintu. Saat tidak mendengar sahutan, akhirnya Arfan memutuskan untuk masuk. Dia menghela napas kasar saat melihat kamar Kia yang masih gelap, bahkan tirai jendela juga belum dibuka. Akhirnya Arfan
Langit yang cerah membuat perasaan Kia jauh lebih tenang. Dia keluar dari mobil dan berjalan memasuki area makam. Hari ini adalah hari Jumat, baik dirinya, Arfan, dan Mbok Sum memutuskan untuk mendatangi makam almarhum kedua orang tuanya. Selain itu Kia juga ingin meminta dukungan kedua orang tuanya sebelum melakukan ujian nasional nanti. Wajah Kia mulai berubah sedih. Dia menatap dua gundukan tanah yang terawat di depannya dengan perasaan sakit. Dia merindukan kedua orang tuanya. Kia merindukan masa kecil di mana keluarganya masih utuh. "Ayo berdoa." Arfan mulai duduk dan memimpin doa. Kia tidak banyak berbicara hari ini. Dia lebih banyak menurut karena memang tidak mau berdebat dengan Arfan. Sudah bagus pria itu mengajaknya untuk mengunjungi makan kedua orang tuanya sebelum ujian. Ada rasa syukur, tapi juga ada perasaan sedih karena harus kembali sadar jika dia hanya sendiri di dunia ini. S
Ujian nasional telah berakhir, Kia dan teman-temannya keluar dari kelas dengan perasaan lega. Rasa kalut dan pusing di kepala langsung lenyap seketika. Seperti prinsip yang dipegang oleh Kia selama ini, kerjakan dan lupakan. Jika terus dipikirkan maka dia bisa gila nantinya. "Akhirnya selesai juga. Nggak sia-sia gue iku bimbel," ucap Gio. "Gila ya, gue ngerjain nggak ada yang paham tadi. Masa beda sama yang gue pelajarin semalem." Ganti Sandra yang menggerutu. Kia terkekeh dan merangkul bahu Sandra, "Lupain, sekarang kita fokus sama tes masuk kampus." "Ya Allah, pening pala gue!" Gio memukul keningnya keras. "Sama, gue pikir kalau udah lulus bakal santai ternyata malah banyak pikiran." Vita ikut mengeluh. "Nongkrong yuk, refreshing. Anak-anak udah nungguin di depan," ucap Gio sambil membaca pesan dari temannya. "Skuy lah, bu
Bersandar di kepala ranjang menjadi pilihan Arfan kali ini. Telinganya masih aktif mendengarkan petuah ibunya di seberang telepon. Mau tidak mau Arfan hanya bisa mengangguk. Dia tidak bisa membantah ibunya. "Kamu jangan keras-keras sama Kia." Selalu itu yang ibunya ucapkan saat mereka bertelepon. Meskipun hanya bertemu satu kali, tapi entah kenapa ibu Arfan sangat peduli dengan Kia. Ditambah fakta jika gadis itu sudah yatim piatu sekarang. Hanya Arfan satu-satunya orang yang dia harap bisa menjaga Kia. Seperti wasiat Pak Surya. "Kalau nggak dikasih ketegasan nanti dia ngelunjak, Buk." Suara helaan napas terdengar dari mulut ibunya. Wanita paruh baya itu memang paling mengerti anaknya. Arfan adalah tipe orang yang perfeksionis. Bagus memang, tapi tidak semua hal harus sama seperti apa yang ia inginkan. Seharusnya anaknya tahu jika sikap itu tidak bisa diterapkan pada Kia. &nbs
Enam tahun kemudian."Halo, Yah. Apa kabar?" tanya Kia sambil mengusap batu nisan ayahnya."Ayah pasti bahagia di surga sama Ibu." Kia juga mengelus batu nisan ibunya."Ayah sama Ibu nggak perlu khawatir, aku juga bahagia di sini. Mas Arfan jaga aku dengan baik selama ini."Arfan tersenyum sambil mengelus kepala istrinya sayang. Di dalam hatinya, Arfan tidak pernah berhenti mengucapkan terima kasih pada Pak Surya karena sudah mempercayakan dirinya untuk menjaga Kia. Sudah bertahun-tahun berlalu tapi perasaannya masih sama. Arfan masih tetap mengagumi Kia dan rasa itu semakin bertambah setiap harinya."Ayo, Sayang. Sapa Kakek sama Nenek," ucap Kia mengelus kepala anaknya."Halo, Kek," sapa Bima."Halo, Nek," sapa Bian.Arfan tersenyum dan ikut mengelus kepala dua jagoannya. Abimana Putra Ghaisan dan Abiandra Putra Ghaisan, putra kembar Arfan dan Kia yang sudah berumur empat tahun saat ini."Sekarang aku tau gimana perasaan Ayah dulu waktu jaga aku. Maaf karena aku nakal dan sering biki
Kehidupan rumah tangga yang Arfan inginkan sejak dulu sudah bisa ia rasakan sekarang. Dua bulan setelah resepsi, tidak ada penyesalan di hatinya untuk memutuskan hidup bersama Kia. Arfan bersyukur bisa mengenal keluarga Pak Surya yang berakhir menjadi menantu pria itu. Meskipun Kia dengan sifat uniknya sering membuat kepalanya pusing, tapi justru itu yang membuat hari-harinya menjadi menyenangkan.Seperti saat ini, Arfan terbangun saat mendengar suara gaduh dari lantai bawah. Perlahan dia membuka mata dan melihat jam yang tertempel di dinding. Sudah pukul delapan pagi tapi ia baru membuka mata sekarang. Tidak masalah, hari ini adalah hari sabtu. Dia akan menikmati hari liburnya dengan bersantai.Suara gaduh dari lantai bawah tidak kunjung berhenti. Dengan segera Arfan bangkit dan meraih celana pendeknya yang tergeletak di atas lantai. Tak lupa dia juga mengenakan kaosnya sebelum keluar dari kamar. Saat tidak melihat Kia di sampingnya, Arfan yakin jika wanita itu yang membuat kegaduhan
Kia tersenyum saat melihat pasir putih di hadapannya. Dengan segera dia melepas alas kakinya dan berlari ke tepi pantai. Senyumnya semakin merekah saat merasakan air dingin mulai menyentuh kakinya. Dia terus berlarian tanpa mempedulikan Arfan yang berdiri jauh di belakangnya. Dari kejauhan, Arfan bisa melihat Kia yang tampak bahagia. Dengan dress pantai berwarna kuning, wanita itu semakin terlihat cantik. Pemandangan pantai semakin terlihat indah karena ada Kia di sana. Arfan mulai mengeluarkan ponselnya dan memotret Kia berulang kali. Dia kembali tersenyum saat melihat hasil jepretannya. "Cantik," gumamnya. Arfan dan Kia baru sampai di Pulau Lombok siang tadi. Setelah beristirahat sebentar, mereka memutuskan untuk ke pantai sore ini. Tidak begitu jauh, karena pantai terletak di belakang villa yang mereka tempati. Terlihat cukup sepi dan nyaman. Mereka bisa menikmati matahari terbenam tanpa ada gangguan. "Sini, Mas. Ayo berenang!" ajak Kia. Arfan menggeleng dan duduk di salah sat
Hari resepsi pernikahan telah tiba. Senyum bahagia tidak pernah luntur dari dua bintang utama malam ini, Kia dan Arfan. Sedari tadi mereka terus berdiri untuk menyambut para undangan yang datang. Ucapan selamat tak henti berdatangan untuk mereka. Kia membuka mulutnya tidak percaya saat melihat ada rombongan tamu lagi yang datang. Dia yakin jika mereka bukanlah tamunya. Sampai saat ini Kia masih tidak percaya jika pria pendiam seperti Arfan memiliki banyak teman. Mereka memang menyebar banyak undangan tapi tidak pernah terbesit di pikiran Kia jika akan sebanyak ini. "Mas Arfan temennya banyak banget? Aku kira cupu." "Rata-rata temen bisnis sama orang kantor, sisanya temen kuliah," bisik Arfan. "Banyak orang penting dong di sini?" "Banyak banget," jawab Arfan kembali tersenyum saat beberapa tamu mulai menghampiri mereka. "Selamat Arfan, akhirnya nikah juga," ucap salah satu tamu. "Terima kasih, Pak Ricky." "Cantik istri kamu, Fan. Pantes nolak dijodohin sama anak Ibuk." Kali ini
Perjalanan ke Surakarta berlangsung dengan lancar. Selama dua bulan ini Arfan dan Kia sudah mengurus semua hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan mereka. Setelah disibukkan dengan persiapan resepsi yang juga menguras tenaga, waktu, dan pikiran, akhirnya mereka bisa bersantai. Hari ini mereka memutuskan untuk menjemput Ibu Arfan di desa. "Tutup jendelanya, Ki. Nanti masuk angin," ucap Arfan sambil mengelus kepala istrinya. "Nggak mau, seger banget liat sawahnya," ucap Kia tersenyum sambil melihat hamparan sawah hijau di hadapannya. Arfan tersenyum tipis dan kembali fokus pada jalanan desanya yang tidak rata. Kedatangan mereka kali ini dilakukan secara mendadak dan tanpa kabar. Kia yang memintanya karena dia ingin memberi kejutan untuk Ibu Arfan. Dia tidak sabar untuk bertemu dengan mertuanya. "Sawahnya Bapak yang mana, Mas?" "Di sana, besok aku ajak kamu ke sana." Tunjuk Arfan pada area sawah yang berada jauh darinya. "Ih, nggak sabar!" Kia menutup jendela mobil dan duduk deng
Bereksperimen di dapur adalah hal yang Kia sukai saat ini. Setelah pulang kuliah, dia memutuskan untuk kembali bermain di dapur. Beruntung Mbok Sum tidak berkegiatan di dapur saat ini sehingga Kia bisa bebas memakainya."Kamu siapin warna apa aja, Nduk?" tanya Ibu Arfan.Kia kembali menatap ponselnya untuk melihat Ibu Arfan yang tengah menjahit. Kepalanya bergerak ke segala arah untuk mencari pewarna makanan yang baru saja ia beli. Saat ini Kia memang melakukan panggilan video bersama Ibu Arfan untuk bertanya bagaimana cara membuat cupcake. Lagi-lagi resep andalan keluarga yang ingin ia buat."Warna merah sama hijau, Buk.""Udah beli lilin juga?"Dahi Kia berkerut, "Buat apa, Buk?" tanyanya bingung.Ibu Arfan berhenti menjahit dan mulai melihat Kia."Loh bukannya kamu mau bikin kue buat Arfan?"Kia menggaruk lehernya bingung, "Iya, Buk. Buat Mas Arfan, buat aku, sama Mbok Sum juga. Tapi kenapa pakai lilin?""Kan Arfan ulang tahun hari ini, Ki. Ibuk pikir kamu sengaja mau bikin kue bua
Di depan sebuah cermin, Kia tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Dia kembali memoles bibirnya dengan lip cream yang ia bawa. Sebelum benar-benar keluar dari toilet, dia merapikan penampilannya sekali lagi."Cakep banget gue, pantes Mas Arfan klepek-klepek," gumam Kia terkekeh.Dia keluar dari toilet dan kembali ke mejanya. Dia sana Kia bisa melihat Arfan yang tengah memainkan ponselnya. Dia juga bisa melihat jika makanan yang mereka pesan sudah datang."Wah, kayanya enak nih." Kia duduk sambil mengusap tangannya senang.Arfan memasukkan ponselnya dan menarik piring Kia. Tanpa banyak bicara dia memotong daging di piring Kia menjadi potongan-potongan yang lebih kecil. Melihat itu, Kia tidak bisa menahan senyumnya.Malam ini adalah malam yang istimewa bagi mereka. Setelah disibukkan dengan urusan kantor dan kampus, akhirnya mereka bisa menikmati waktu berdua. Arfan secara mendadak mengajaknya untuk makan malam bersama. Dalam artian benar-benar makan malam romantis dengan lilin di tengah
Arfan tersenyum saat melihat foto tangannya. Dia memasukkan foto itu ke dalam pigura dan meletakkannya di atas meja kerja. Perlahan dia mulai duduk kembali menatap wajah Kia yang saat ini sudah resmi terpajang di meja kerjanya.Sejak malam itu, malam di mana Arfan dan Kia tidur bersama untuk yang pertama kali, hubungan mereka mulai berubah. Arfan yang mulai merobohkan tembok di antara mereka. Jika tidak ada yang bergerak maka hubungan mereka tidak akan berkembang. Keinginan Arfan hanya satu, dia ingin mereka memiliki hubungan suami-istri yang sebenarnya. Sepertinya Kia juga mulai membuka diri dan belajar secara perlahan. Benar kata ibunya, dengan perasaan cinta yang tumbuh di hati mereka, perubahan akan semakin mudah dilakukan.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Arfan. Dia berdeham sebentar dan meminta seseorang di luar sana untuk masuk. Seperti dugaannya, ada Nadia di sana."Selamat pagi, Pak. Saya ingin meminta tanda tangan dan membacakan jadwal Pak Arfan hari ini.""Biar saya
Keadaan dapur malam ini terlihat seperti kapal pecah. Ini karena Kia yang tiba-tiba membantu Mbok Sum untuk memasak. Sebenarnya dia tidak banyak membantu, tapi Mbok Sum menghargai usahanya yang ingin belajar memasak. Jika bersungguh-sungguh, Mbok Sum akan dengan senang hati mengajarinya. "Tambah bubuk kaldunya dikit lagi, Mbak." Kia dengan segera memasukkannya ke dalam sop ayam yang ia buat. "Aduk yang rata." Lagi-lagi Kia menurut. Dia mengikuti perintah Mbok Sum tanpa membantah. Bahkan di sampingnya ada buku catatan yang ia gunakan untuk menulis resep andalan Mbok Sum. "Cobain, Mbok." Kia memberikan sendok berisi kuah pada Mbok Sum. Dia menatapnya dengan harap-harap cemas. "Mantep, Mbak!" "Akhirnya!" Kia bertepuk tangan senang. Sebenarnya tidak sulit untuk membuat sop, hanya saja resep andalan Mbok Sum memiliki bahan tambahan. Kia yang sudah terbiasa dengan masakan Mbok Sum tentu ingin mengetahui resepnya. "Pasti Mas Arfan suka," ucap Mbok Sum. Kia mengangguk dan melepaskan