Di sabtu sore, Arfan sudah rapi dengan kaos berkerah yang ia pakai. Dia mamakai jam tangannya sambil keluar dari kamar. Hari ini Arfan akan membawa Kia untuk berbelanja kebutuhannya. Meskipun sedikit memperketat ruang gerak Kia, tapi dia juga paham dengan kebutuhan wanita. Sebisa mungkin Arfan akan membuat Kia disiplin tanpa harus merasa kekurangan.
Arfan mengetuk kamar Kia sebentar. Setelah mendapat sahutan, dia masuk dan bersandar pada pintu. Arfan menghela napas kasar saat melihat Kia yang tampak bermalas-malasan di atas kasur. Di depan gadis itu terdapat laptop dan banyak makanan ringan. Arfan yakin jika stok camilan di dapur sudah habis dan ini saatnya dia kembali berbelanja untuk mengisi kekosongan dapur.
"Apa?" tanya Kia menghentikan film yang ia putar.
Tanpa menjawab, Arfan masuk dan mulai melihat meja rias Kia. Dia memperhatian satu persatu alat kecantikan itu dengan lekat. Setelah itu dia bersandar pada meja dan melipat kedua tangannya di dada. Arfan mulai menatap Kia lagi.
"Mas Arfan kenapa?" tanya Kia bingung.
"Parfum kamu udah mau habis."
Alis Kia terangkat, "Ya terus?"
"Nggak mau beli lagi?"
Mendengar itu Kia langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Dia menatap Arfan dengan mata yang berbinar, "Mas Arfan mau beliin?"
Arfan berdiri tegak dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, "Siap-siap sekarang. Kita ke mall," ucapnya berlalu keluar kamar.
Kia membulatkan matanya dan berteriak senang, "Yes! Yes! Shopping!"
"Cepetan! Saya tunggu 15 menit!" teriak Arfan dari luar.
Mendengar itu Kia dengan cepat meraih handuk dan berlari ke kamar mandi. Dia harus cepat atau kesabaran Arfan akan habis. Kapan lagi pria itu akan berbaik hati seperti ini? Ini saatnya Kia meluapkan napsu belanjanya yang tak bisa tersalurkan akhir-akhir ini.
***
Di dalam pusat perbelanjaan, Kia tampak bersemangat menatap toko-toko favoritnya. Arfan yang melihat itu sedikit merasa bersalah. Sebenarnya dia tidak melarang Kia untuk ke luar rumah, hanya saja gadis itu sering lupa waktu dan membuatnya pusing. Itu yang membuat Arfan sedikit tegas. Namun hal itu justru dianggap sebagai pengekangan oleh Kia sehingga ia beranggapan jika tidak diijinkan keluar selain bersekolah. Padahal itu tidak benar.
"Beli barang yang kamu butuhin dulu," ucap Arfan.
"Baju?" tanya Kia semangat.
Arfan mendengkus, "Yang penting dulu. Kita ke toko buku."
"Hah? Ngapain?!" Kia menatap punggung Arfan yang berjalan menuju toko buku dengan bingung. Untuk apa ia ke toko buku?
Dengan malas Kia mengikuti langkah Arfan yang sudah berada di dalam toko. Pria itu tampak melihat buku-buku bisnis dengan serius, mengabaikan Kia yang terlihat bingung di belakangnya.
"Mas Arfan mau beli buku?" tanya Kia bingung.
Tanpa menjawab Arfan mengambil satu buku dan memberikannya pada Kia, "Kayaknya buku ini cocok buat kamu."
Kia menerima buku tebal itu dengan bingung. Dia mendengkus saat melihat judulnya. Ternyata Arfan masih tetap menyebalkan. Sekarang Kia mulai ragu jika Arfan membawanya ke mall untuk bersenang-senang.
Panduan untuk menghargai waktu dan mengatur waktu.
Kia mengembalikan buku itu dan menatap Arfan tajam, "Jangan aneh-aneh deh. Aku menghargai waktu kok."
"Saya liat kamu cuma rebahan terus dari tadi pagi. Kamu bisa ngelakuin hal yang lebih bermanfaat, baca buku misalnya."
"Hari libur, Mas! Jangan ngadi-ngadi deh."
Arfan tidak menjawab dan kembali berjalan ke tumpukan buku yang sepertinya Kia butuhkan. Tanpa bertanya, Arfan mengambil beberapa buku itu dan membawanya ke kasir.
"Buku ini bagus buat latian sebelum ujian nanti," jelas Arfan pada Kia di belakangnya.
Kia memutar matanya dan mengalihkan pandangannya. Meskipun kesal tapi dia cukup terkejut saat Arfan memperhatikan pendidikannya sampai sedetail itu. Bahkan Kia tidak pernah berpikir untuk membeli buku latihan soal untuk persiapan ujian.
"Beli baju, yuk?" Kia mulai merengek dan meraih lengan Arfan. Mereka sudah keluar dari toko buku dan berniat ke tempat selanjutnya.
"Nggak mau beli tas dulu?" tanya Arfan.
"Boleh, aku mau beli sling-bag," ucap Kia mulai semangat.
Arfan mendengkus mendengar itu, "Tas sekolah Kia, bukan tas main."
Kia melepaskan lengan Arfan dengan kesal, "Males banget deh! Tau gini nggak usah belanja," ucapnya berlalu pergi.
Arfan tersenyum tipis dan mulai menarik kerah kemeja Kia, "Mau ke mana? Toko bajunya ada di sana."
Mendengar itu Kia kembali tersenyum dan mulai menuju toko yang ingin ia kunjungi. Kali ini Arfan akan mengikuti Kia membeli apapun yang ia butuhkan. Meskipun begitu, dia akan tetap memfilter barang yang akan Kia beli.
***
Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya Kia mendapatkan apa yang ia inginkan. Meskipun sedikit diwarnai dengan perdebatan, tapi itu tidak masalah karena saat ini sudah ada tiga kantung belanjaan di tangannya. Mulai dari pakaian, sepatu, hingga kebutuhan untuk wajahnya juga sudah ia beli. Arfan sendiri hanya membawa buku yang ia beli untuk Kia. Sekarang mereka berniat untuk makan malam sebelum kembali ke rumah.
"Tadi dress-nya bagus loh, Mas. Nggak mau balik lagi?" tanya Kia mencoba meluluhkan hati Arfan.
"Enggak, terlalu terbuka."
Kia mendengkus, "Kan bisa dikasih luaran."
"Nggak efektif, mending beli luarannya aja langsung."
Kia membuka mulutnya tidak percaya, "Itu namanya fashion! Jangan samain cewe sama cowo deh. Emang aku Mas Arfan yang bajunya cuma kemeja sama kaos berkerah terus," cibirnya.
Langkah Arfan terhenti saat Kia menarik ujung bajunya pelan. Gadis itu menatapnya dengan pandangan ragu.
"Ada apa?" tanya Arfan,
"Itu—ada yang belum aku beli."
"Apa?"
"Itu," jawan Kia bingung.
"Itu apa Kia?"
"Mending Mas Arfan kasih kartu kreditnya aja deh, biar aku beli sendiri."
Arfan menggeleng tegas, "Enggak, kamu mau beli apa?"
Kia berdecak dan menggaruk lehernya bingung. Dia malu untuk mengatakannya tapi dia memang membutuhkan barang itu sekarang.
"Kalau kamu nggak bilang mana saya tau," ucap Arfan.
Kia menghela napas dan mulai berbicara cepat, "Aku mau beli daleman."
Arfan berdeham dan dengan cepat memberikan sebuah kartu pada Kia. Dia mengambil semua barang belanjaan gadis itu dan berbicara, "Kamu beli sendiri, saya tunggu di restoran." Tanpa banyak bicara, Arfan langsung bergegas pergi.
Kia menatap kartu di tangannya dengan mata yang berbinar. Dia mengepalkan kedua tangannya senang, "Yes! Beli dress juga," ucapnya kembali ke toko baju sebelum dia membeli pakaian dalamnya nanti.
***
Kia memasuki rumah dengan bersenandung. Hatinya sedang berbunga-bunga hari ini karena Arfan mau membelikan semua barang-barang yang ia inginkan. Meskipun diiringi dengan perdebatan di setiap barangnya, tapi akhirnya Kia yang menang. Dia pintar untuk mencari celah agar Arfan menuruti permintaannya.
Di belakangnya, Arfan tampak membawa kantong plastik yang berisi kebutuhan dapur. Sebelum pulang, mereka mampir ke supermarket dan lagi-lagi Kia memanfaatkan itu untuk membeli makanan ringan yang ia inginkan. Jika untuk makanan, Arfan tidak banyak protes. Dengan makanan, Kia akan semakin betah berada di rumah.
"Wah, banyak banget belanjanya, Mas." Mbok Sum datang setelah membantu membawa sisa kantong belanjaan yang tidak bisa Arfan bawa.
"Makanannya Kia," jawab Arfan singkat.
Mbok Sum tersenyum saat melihat Kia yang dengan semangat membongkar belanjaannya di sofa. Dia bersyukur jika gadis itu terlihat bahagia hari ini. Meskipun sedikit nakal, tapi Mbok Sum sangat menyayangi Kia. Bersyukur jika Arfan juga memperlakukan gadis itu dengan baik selama ini. Meskipun dengan sedikit ketegasan tapi Mbok Sum tahu jika itu semua demi kebaikan Kia.
"Mbok, ini uang belanja buat minggu depan. Saya nggak tau bahan apa aja yang habis tadi, nanti Mbok Sum beli sendiri ya?"
"Iya, Mas. Siap!"
Kia yang melihat itu berjalan cepat menghampiri Arfan dan mengulurkan tangannya, "Uang buat aku mana?"
Arfan menatap tangan Kia dan menggeleng, "Jatah kamu tetep per-hari, jadi tunggu aja besok."
"Ih, nyebelin banget sih! Nanti kalau aku mau beli sesuatu gimana?" tanya Kia kesal.
"Tinggal bilang sama saya." Arfan menepuk pelan kepala Kia sebelum berlalu menaiki tangga.
Kia menatap punggung Arfan dengan tajam. Dia memukul udara dengan gemas membayangkan jika wajah Arfan yang ia pukul dan remas.
Mbok Sum meringis melihat itu. Dia menatap uang di tangannya dan Kia bergantin, "Mbak Kia mau uang jajan? Ini bisa ambil dari uang dapur. Seratus aja ya biar Mas Arfan nggak curiga."
Kia mematap Mnok Sum nanar dan menggeleng, "Nggak usah, Mbok. Buat dapur aja."
Kia membawa semua belanjaannya ke kamar. Meskipun tidak mendapat jatah uang tapi setidaknya dia mendapatkan barang yang ia mau selama ini. Entah berapa banyak uang yang Arfan keluarkan untuknya hari ini, Kia tidak peduli. Toh uang yang dimiliki Arfan sekarang juga karena kebaikan ayahnya.
***
TBC
Matahari yang sudah muncul sedari tadi tidak mengganggu tidur Kia. Dia masih betah berada di bawah selimut yang menutupi tubuhnya. Dengan mata yang terpejam, Kia bergerak untuk mengambil remot AC. Dia mengubah suhu ruangan menjadi lebih dingin dan kembali bergelung di dalam selimut. Hari ini adalah hari minggu, hari di mana Kia bebas untuk bangun siang. Benar saja, tak butuh waktu lama dia sudah kembali ke alam mimpi. Di luar kamar, Arfan berdiri di depan pintu kamar Kia dengan ragu. Dia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Arfan sudah bangun sejak tadi dan sampai saat ini dia masih belum mendengar suara Kia. Di sinilah dia sekarang, di depan pintu kamar gadis itu. "Kia?" panggil Arfan mulai mengetuk pintu. Saat tidak mendengar sahutan, akhirnya Arfan memutuskan untuk masuk. Dia menghela napas kasar saat melihat kamar Kia yang masih gelap, bahkan tirai jendela juga belum dibuka. Akhirnya Arfan
Langit yang cerah membuat perasaan Kia jauh lebih tenang. Dia keluar dari mobil dan berjalan memasuki area makam. Hari ini adalah hari Jumat, baik dirinya, Arfan, dan Mbok Sum memutuskan untuk mendatangi makam almarhum kedua orang tuanya. Selain itu Kia juga ingin meminta dukungan kedua orang tuanya sebelum melakukan ujian nasional nanti. Wajah Kia mulai berubah sedih. Dia menatap dua gundukan tanah yang terawat di depannya dengan perasaan sakit. Dia merindukan kedua orang tuanya. Kia merindukan masa kecil di mana keluarganya masih utuh. "Ayo berdoa." Arfan mulai duduk dan memimpin doa. Kia tidak banyak berbicara hari ini. Dia lebih banyak menurut karena memang tidak mau berdebat dengan Arfan. Sudah bagus pria itu mengajaknya untuk mengunjungi makan kedua orang tuanya sebelum ujian. Ada rasa syukur, tapi juga ada perasaan sedih karena harus kembali sadar jika dia hanya sendiri di dunia ini. S
Ujian nasional telah berakhir, Kia dan teman-temannya keluar dari kelas dengan perasaan lega. Rasa kalut dan pusing di kepala langsung lenyap seketika. Seperti prinsip yang dipegang oleh Kia selama ini, kerjakan dan lupakan. Jika terus dipikirkan maka dia bisa gila nantinya. "Akhirnya selesai juga. Nggak sia-sia gue iku bimbel," ucap Gio. "Gila ya, gue ngerjain nggak ada yang paham tadi. Masa beda sama yang gue pelajarin semalem." Ganti Sandra yang menggerutu. Kia terkekeh dan merangkul bahu Sandra, "Lupain, sekarang kita fokus sama tes masuk kampus." "Ya Allah, pening pala gue!" Gio memukul keningnya keras. "Sama, gue pikir kalau udah lulus bakal santai ternyata malah banyak pikiran." Vita ikut mengeluh. "Nongkrong yuk, refreshing. Anak-anak udah nungguin di depan," ucap Gio sambil membaca pesan dari temannya. "Skuy lah, bu
Bersandar di kepala ranjang menjadi pilihan Arfan kali ini. Telinganya masih aktif mendengarkan petuah ibunya di seberang telepon. Mau tidak mau Arfan hanya bisa mengangguk. Dia tidak bisa membantah ibunya. "Kamu jangan keras-keras sama Kia." Selalu itu yang ibunya ucapkan saat mereka bertelepon. Meskipun hanya bertemu satu kali, tapi entah kenapa ibu Arfan sangat peduli dengan Kia. Ditambah fakta jika gadis itu sudah yatim piatu sekarang. Hanya Arfan satu-satunya orang yang dia harap bisa menjaga Kia. Seperti wasiat Pak Surya. "Kalau nggak dikasih ketegasan nanti dia ngelunjak, Buk." Suara helaan napas terdengar dari mulut ibunya. Wanita paruh baya itu memang paling mengerti anaknya. Arfan adalah tipe orang yang perfeksionis. Bagus memang, tapi tidak semua hal harus sama seperti apa yang ia inginkan. Seharusnya anaknya tahu jika sikap itu tidak bisa diterapkan pada Kia. &nbs
Sebenarnya sulit bagi Arfan untuk membiarkan Kia pergi. Bukan karena ingin mengekang, tapi dia masih tidak percaya dengan Kia. Memang selama tinggal bersama gadis itu mulai melunak. Kia sudah mulai bisa mengontrol waktu dan keuangan, tapi tidak dengan emosinya. Gadis itu masih sering marah meskipun ujung-ujungnya selalu kalah. Arfan masih menatap mobil van yang mulai menjauh dari pekarangan rumah. Dia menghela napas kasar dan menunduk. Di sampingnya ada Mbok Sum tampak menatapnya khawatir. "Mas Arfan nggak papa?" "Kia nggak bakal aneh-aneh kan, Mbok?" tanya Arfan, "Saya sudah janji sama Pak Surya buat jaga dia." "Mbok yakin Mbak Kia nggak aneh-aneh, Mas." "Saya masih kurang percaya sama teman-temannya. Mereka juga yang ajak Kia pergi di malam kecelakaan itu." "Itu udah takdir, Mas." Betul, Arfan tahu jika semua itu adalah ta
Hari minggu kali ini tidak digunakan Arfan untuk beristirahat seperti biasa. Di pagi hari, Nadia sudah berada di rumahnya untuk membicarakan masalah perusahaan. Sebagai sekretaris, Nadia termasuk orang yang cakap dan tanggap. Tak salah Pak Surya mempekerjakan wanita itu. Meja makan menjadi tempat mereka bekerja pagi ini. Dengan ditemani sarapan sederhana dan potongan buah, mereka tampak lebih santai dari pada di kantor. Arfan sendiri masih fokus pada Ipad-nya. "Saya sudah pesan tiket pesawat untuk besok, Pak." "Untuk Pak Johan?" tanya Arfan memakan mangganya. "Sudah juga, tapi Pak Johan minta berangkat sore, Pak." Arfan mengangguk pelan, "Nggak masalah selama dia sudah ada di Bali besok lusa." "Aman, Pak." "Oke, kita sarapan dulu," ucap Arfan. Nadia tersenyum dan menyingkirkan laptop serta map-map yang
Suara musik yang terdengar keras di ruang tengah membuat tubuh Kia tak berhenti untuk bergerak. Di tangannya ada sapu yang ia gunakan untuk menyapu ruang tengah. Mbok Sum hanya bisa menggeleng melihat tingkah Kia dari dapur. Untuk pertama kalinya gadis itu kembali bertingkah bebas. Bukan tanpa alasan Kia menjadi seperti ini. Saat bangun tidur dia mendapat kabar dari Mbok Sum jika Arfan sudah berangkat ke Bali untuk urusan pekerjaan. Tentu Kia sangat senang mendengar itu. Kesenangannya bertambah berkali-kali lipat saat Arfan juga memberikan uang saku yang cukup banyak. "Nanti malem Mbok Sum nggak usah masak ya?" Kia berjalan memasuki dapur. "Kenapa, Mbak?" "Kita pesen makan aja, aku yang traktir." Kia menaik-turunkan alisnya. "Siap, Mbak! Mbok mau sambel jengkol." Mbok Sum juga ikut bersemangat. "Oke, habis ini aku mandi terus keluar." &nbs
Hari ini adalah tepat sepuluh hari Arfan berada di Bali. Urusan pekerjaan yang awalnya hanya berlangsung lima hari harus mundur karena banyaknya urusan yang harus diselesaikan. Arfan yang kebetulan berada di sana memilih untuk turun tangan langsung menyelesaikan semua. Selama lima hari pula, Arfan terlihat sangat sibuk. Bahkan waktu tidurnya berkurang menjadi empat jam dalam sehari. Kesibukkan itu juga yang membuatnya tidak menghubungi Kia akhir-akhir ini. Kali ini bukan sengaja, tapi dia benar-benar sibuk. Bahkan Mbok Sum sendiri yang berinisiatif memberikan kabar rumah tanpa ia minta. "Pak, saya sudah pesan kopi." Nadia datang dan duduk di salah satu kursi. Arfan hanya mengangguk, masih fokus pada kertas di tangannya, "Terima kasih." "Pak Arfan nggak capek?" tanya Nadia. Lagi-lagi setelah pulang dari rapat bukannya beristirahat mereka malah kembali berdiskusi. Jam sud
Enam tahun kemudian."Halo, Yah. Apa kabar?" tanya Kia sambil mengusap batu nisan ayahnya."Ayah pasti bahagia di surga sama Ibu." Kia juga mengelus batu nisan ibunya."Ayah sama Ibu nggak perlu khawatir, aku juga bahagia di sini. Mas Arfan jaga aku dengan baik selama ini."Arfan tersenyum sambil mengelus kepala istrinya sayang. Di dalam hatinya, Arfan tidak pernah berhenti mengucapkan terima kasih pada Pak Surya karena sudah mempercayakan dirinya untuk menjaga Kia. Sudah bertahun-tahun berlalu tapi perasaannya masih sama. Arfan masih tetap mengagumi Kia dan rasa itu semakin bertambah setiap harinya."Ayo, Sayang. Sapa Kakek sama Nenek," ucap Kia mengelus kepala anaknya."Halo, Kek," sapa Bima."Halo, Nek," sapa Bian.Arfan tersenyum dan ikut mengelus kepala dua jagoannya. Abimana Putra Ghaisan dan Abiandra Putra Ghaisan, putra kembar Arfan dan Kia yang sudah berumur empat tahun saat ini."Sekarang aku tau gimana perasaan Ayah dulu waktu jaga aku. Maaf karena aku nakal dan sering biki
Kehidupan rumah tangga yang Arfan inginkan sejak dulu sudah bisa ia rasakan sekarang. Dua bulan setelah resepsi, tidak ada penyesalan di hatinya untuk memutuskan hidup bersama Kia. Arfan bersyukur bisa mengenal keluarga Pak Surya yang berakhir menjadi menantu pria itu. Meskipun Kia dengan sifat uniknya sering membuat kepalanya pusing, tapi justru itu yang membuat hari-harinya menjadi menyenangkan.Seperti saat ini, Arfan terbangun saat mendengar suara gaduh dari lantai bawah. Perlahan dia membuka mata dan melihat jam yang tertempel di dinding. Sudah pukul delapan pagi tapi ia baru membuka mata sekarang. Tidak masalah, hari ini adalah hari sabtu. Dia akan menikmati hari liburnya dengan bersantai.Suara gaduh dari lantai bawah tidak kunjung berhenti. Dengan segera Arfan bangkit dan meraih celana pendeknya yang tergeletak di atas lantai. Tak lupa dia juga mengenakan kaosnya sebelum keluar dari kamar. Saat tidak melihat Kia di sampingnya, Arfan yakin jika wanita itu yang membuat kegaduhan
Kia tersenyum saat melihat pasir putih di hadapannya. Dengan segera dia melepas alas kakinya dan berlari ke tepi pantai. Senyumnya semakin merekah saat merasakan air dingin mulai menyentuh kakinya. Dia terus berlarian tanpa mempedulikan Arfan yang berdiri jauh di belakangnya. Dari kejauhan, Arfan bisa melihat Kia yang tampak bahagia. Dengan dress pantai berwarna kuning, wanita itu semakin terlihat cantik. Pemandangan pantai semakin terlihat indah karena ada Kia di sana. Arfan mulai mengeluarkan ponselnya dan memotret Kia berulang kali. Dia kembali tersenyum saat melihat hasil jepretannya. "Cantik," gumamnya. Arfan dan Kia baru sampai di Pulau Lombok siang tadi. Setelah beristirahat sebentar, mereka memutuskan untuk ke pantai sore ini. Tidak begitu jauh, karena pantai terletak di belakang villa yang mereka tempati. Terlihat cukup sepi dan nyaman. Mereka bisa menikmati matahari terbenam tanpa ada gangguan. "Sini, Mas. Ayo berenang!" ajak Kia. Arfan menggeleng dan duduk di salah sat
Hari resepsi pernikahan telah tiba. Senyum bahagia tidak pernah luntur dari dua bintang utama malam ini, Kia dan Arfan. Sedari tadi mereka terus berdiri untuk menyambut para undangan yang datang. Ucapan selamat tak henti berdatangan untuk mereka. Kia membuka mulutnya tidak percaya saat melihat ada rombongan tamu lagi yang datang. Dia yakin jika mereka bukanlah tamunya. Sampai saat ini Kia masih tidak percaya jika pria pendiam seperti Arfan memiliki banyak teman. Mereka memang menyebar banyak undangan tapi tidak pernah terbesit di pikiran Kia jika akan sebanyak ini. "Mas Arfan temennya banyak banget? Aku kira cupu." "Rata-rata temen bisnis sama orang kantor, sisanya temen kuliah," bisik Arfan. "Banyak orang penting dong di sini?" "Banyak banget," jawab Arfan kembali tersenyum saat beberapa tamu mulai menghampiri mereka. "Selamat Arfan, akhirnya nikah juga," ucap salah satu tamu. "Terima kasih, Pak Ricky." "Cantik istri kamu, Fan. Pantes nolak dijodohin sama anak Ibuk." Kali ini
Perjalanan ke Surakarta berlangsung dengan lancar. Selama dua bulan ini Arfan dan Kia sudah mengurus semua hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan mereka. Setelah disibukkan dengan persiapan resepsi yang juga menguras tenaga, waktu, dan pikiran, akhirnya mereka bisa bersantai. Hari ini mereka memutuskan untuk menjemput Ibu Arfan di desa. "Tutup jendelanya, Ki. Nanti masuk angin," ucap Arfan sambil mengelus kepala istrinya. "Nggak mau, seger banget liat sawahnya," ucap Kia tersenyum sambil melihat hamparan sawah hijau di hadapannya. Arfan tersenyum tipis dan kembali fokus pada jalanan desanya yang tidak rata. Kedatangan mereka kali ini dilakukan secara mendadak dan tanpa kabar. Kia yang memintanya karena dia ingin memberi kejutan untuk Ibu Arfan. Dia tidak sabar untuk bertemu dengan mertuanya. "Sawahnya Bapak yang mana, Mas?" "Di sana, besok aku ajak kamu ke sana." Tunjuk Arfan pada area sawah yang berada jauh darinya. "Ih, nggak sabar!" Kia menutup jendela mobil dan duduk deng
Bereksperimen di dapur adalah hal yang Kia sukai saat ini. Setelah pulang kuliah, dia memutuskan untuk kembali bermain di dapur. Beruntung Mbok Sum tidak berkegiatan di dapur saat ini sehingga Kia bisa bebas memakainya."Kamu siapin warna apa aja, Nduk?" tanya Ibu Arfan.Kia kembali menatap ponselnya untuk melihat Ibu Arfan yang tengah menjahit. Kepalanya bergerak ke segala arah untuk mencari pewarna makanan yang baru saja ia beli. Saat ini Kia memang melakukan panggilan video bersama Ibu Arfan untuk bertanya bagaimana cara membuat cupcake. Lagi-lagi resep andalan keluarga yang ingin ia buat."Warna merah sama hijau, Buk.""Udah beli lilin juga?"Dahi Kia berkerut, "Buat apa, Buk?" tanyanya bingung.Ibu Arfan berhenti menjahit dan mulai melihat Kia."Loh bukannya kamu mau bikin kue buat Arfan?"Kia menggaruk lehernya bingung, "Iya, Buk. Buat Mas Arfan, buat aku, sama Mbok Sum juga. Tapi kenapa pakai lilin?""Kan Arfan ulang tahun hari ini, Ki. Ibuk pikir kamu sengaja mau bikin kue bua
Di depan sebuah cermin, Kia tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Dia kembali memoles bibirnya dengan lip cream yang ia bawa. Sebelum benar-benar keluar dari toilet, dia merapikan penampilannya sekali lagi."Cakep banget gue, pantes Mas Arfan klepek-klepek," gumam Kia terkekeh.Dia keluar dari toilet dan kembali ke mejanya. Dia sana Kia bisa melihat Arfan yang tengah memainkan ponselnya. Dia juga bisa melihat jika makanan yang mereka pesan sudah datang."Wah, kayanya enak nih." Kia duduk sambil mengusap tangannya senang.Arfan memasukkan ponselnya dan menarik piring Kia. Tanpa banyak bicara dia memotong daging di piring Kia menjadi potongan-potongan yang lebih kecil. Melihat itu, Kia tidak bisa menahan senyumnya.Malam ini adalah malam yang istimewa bagi mereka. Setelah disibukkan dengan urusan kantor dan kampus, akhirnya mereka bisa menikmati waktu berdua. Arfan secara mendadak mengajaknya untuk makan malam bersama. Dalam artian benar-benar makan malam romantis dengan lilin di tengah
Arfan tersenyum saat melihat foto tangannya. Dia memasukkan foto itu ke dalam pigura dan meletakkannya di atas meja kerja. Perlahan dia mulai duduk kembali menatap wajah Kia yang saat ini sudah resmi terpajang di meja kerjanya.Sejak malam itu, malam di mana Arfan dan Kia tidur bersama untuk yang pertama kali, hubungan mereka mulai berubah. Arfan yang mulai merobohkan tembok di antara mereka. Jika tidak ada yang bergerak maka hubungan mereka tidak akan berkembang. Keinginan Arfan hanya satu, dia ingin mereka memiliki hubungan suami-istri yang sebenarnya. Sepertinya Kia juga mulai membuka diri dan belajar secara perlahan. Benar kata ibunya, dengan perasaan cinta yang tumbuh di hati mereka, perubahan akan semakin mudah dilakukan.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Arfan. Dia berdeham sebentar dan meminta seseorang di luar sana untuk masuk. Seperti dugaannya, ada Nadia di sana."Selamat pagi, Pak. Saya ingin meminta tanda tangan dan membacakan jadwal Pak Arfan hari ini.""Biar saya
Keadaan dapur malam ini terlihat seperti kapal pecah. Ini karena Kia yang tiba-tiba membantu Mbok Sum untuk memasak. Sebenarnya dia tidak banyak membantu, tapi Mbok Sum menghargai usahanya yang ingin belajar memasak. Jika bersungguh-sungguh, Mbok Sum akan dengan senang hati mengajarinya. "Tambah bubuk kaldunya dikit lagi, Mbak." Kia dengan segera memasukkannya ke dalam sop ayam yang ia buat. "Aduk yang rata." Lagi-lagi Kia menurut. Dia mengikuti perintah Mbok Sum tanpa membantah. Bahkan di sampingnya ada buku catatan yang ia gunakan untuk menulis resep andalan Mbok Sum. "Cobain, Mbok." Kia memberikan sendok berisi kuah pada Mbok Sum. Dia menatapnya dengan harap-harap cemas. "Mantep, Mbak!" "Akhirnya!" Kia bertepuk tangan senang. Sebenarnya tidak sulit untuk membuat sop, hanya saja resep andalan Mbok Sum memiliki bahan tambahan. Kia yang sudah terbiasa dengan masakan Mbok Sum tentu ingin mengetahui resepnya. "Pasti Mas Arfan suka," ucap Mbok Sum. Kia mengangguk dan melepaskan