Ujian nasional telah berakhir, Kia dan teman-temannya keluar dari kelas dengan perasaan lega. Rasa kalut dan pusing di kepala langsung lenyap seketika. Seperti prinsip yang dipegang oleh Kia selama ini, kerjakan dan lupakan. Jika terus dipikirkan maka dia bisa gila nantinya.
"Akhirnya selesai juga. Nggak sia-sia gue iku bimbel," ucap Gio.
"Gila ya, gue ngerjain nggak ada yang paham tadi. Masa beda sama yang gue pelajarin semalem." Ganti Sandra yang menggerutu.
Kia terkekeh dan merangkul bahu Sandra, "Lupain, sekarang kita fokus sama tes masuk kampus."
"Ya Allah, pening pala gue!" Gio memukul keningnya keras.
"Sama, gue pikir kalau udah lulus bakal santai ternyata malah banyak pikiran." Vita ikut mengeluh.
"Nongkrong yuk, refreshing. Anak-anak udah nungguin di depan," ucap Gio sambil membaca pesan dari temannya.
"Skuy lah, butuh es biar kepala adem." Vita menatap Kia, "Lo ikut kan, Ki?"
Kia terdiam dan tampak berpikir. Dia ingin sekali ikut tapi dia belum meminta izin pada Arfan. Jujur saja, dia sedikit trauma dengan hukuman Arfan. Pria itu memiliki kartu As yang membuatnya bungkam. Hukuman yang pria itu berikan bukan main-main. Arfan memang tidak melarangnya untuk pergi bersama teman-temannya, tapi harus ada izin terlebih dahulu. Jika bisa, izin harus diajukan jauh-jauh hari.
"Lo sekarang susah diajak jalan, Ki." Gio terlihat kesal.
"Ya, gimana? Kalian tau kalo hidup gue nggak sama lagi."
"Emang Mas Arfan kejem banget ya? Kalo iya gue laporin ke Kak Seto." Vita mulai membuka ponselnya.
Kia dengan cepat mencegahnya, "Ngapain Kak Seto? Emang gue bocah?"
"Jadi ikut nggak?"
Kia berdecak, "Ikut deh, tapi nggak bisa lama ya. Gue harus pulang sebelum Mas Arfan pulang kerja."
"Lo nggak dijemput?" tanya Sandra. Di tahu jika selama ini Arfan selalu menjemput Kia di sekolah.
Kia menggeleng, "Tadi bilangnya enggak bisa. Lagi sibuk di kantor."
"Bagus! Nanti biar gue yang anter pulang," ucap Gio.
Di tempat parkir, Kia menghentikan langkahnya saat melihat mobil yang ia kenal. Vita yang melihat Kia terdiam ikut melihat arah pandang Kia.
"Katanya Mas Arfan nggak jemput!" Vita tampak kesal karena dia tahu jika Kia tidak akan ikut lagi kali ini.
"Gue juga nggak tau." Kia tampak sedih. Tubuhnya seketika lemas. Kenapa Arfan tidak pernah membiarkannya untuk sendiri walau hanya sebentar? Hanya dengan melihat pria itu, entah kenapa emosi Kia menjadi naik.
"Terus gimana?" tanya Gio.
"Gue coba ijin dulu ya, kalian jangan pergi dulu." Kia dengan cepat menghampiri mobil Arfan dan masuk ke dalamnya.
Kia menutup pintu dan mencegah Arfan yang berniat untuk menjalankan mobil, "Katanya tadi nggak bisa jemput?"
Arfan menaikkan alisnya bingung, "Rapat dundur besok. Kenapa?"
Kia menunduk dan memainkan tangannya gelisah, "Aku mau main boleh?" tanyanya pelan.
"Kamu habis ujian, nggak mau istirahat?"
Kia menatap Arfan kesal, "Istirahatku sama Mas Arfan itu beda. Mas Arfan nggak punya temen makanya tidur terus, beda sama aku."
Arfan terkejut saat Kia mengejeknya. Jika bukan karena tanggung jawab, tentu Arfan tidak akan sesibuk ini sampai lupa akan kehidupan pribadinya.
"Main sama siapa?" tanya Arfan sabar.
Kia menunjuk teman-temannya yang masih menunggu. Dari wajah-wajah itu, Arfan bisa melihat jika mereka semua mengharapkan kehadiran Kia. Gadis di sampingnya itu adalah wanita yang supel, tidak heran jika memiliki banyak teman.
"Kalau saya nggak ijinin?" tanya Arfan lagi.
Wajah Kia berubah sendu. Dulu mungkin dia bisa memberontak tapi seiring berjalannya waktu dia sudah mulai belajar jika ucapan Arfan tidak main-main. Kia takut dengan hukuman Arfan jika dia berani membantah. Bisa saja dia mengeluarkan argumennya tapi dia malas untuk melakukannya. Entah kenapa semenjak dari makam orang tuanya minggu lalu, perasaan Kia mulai melunak. Kapasitas kesabarannya seolah semakin bertambah.
"Aku nggak boleh pergi?" tanya Kia memastikan.
Saat tidak mendengar jawaban dari Arfan, Kia menghembuskan napas kasar dan mengangguk. "Aku kabarin temen-teman dulu kalau nggak bisa ikut."
Saat Kia akan membuka pintu mobil, Arfan mencegahnya. Pria itu mengambil dompetnya dan mengeluarkan tiga lembar uang berwarna merah. Arfan memberikan uang itu pada Kia.
"Ambil, main saja," ucapnya.
Kia menatap Arfan terkejut, bahkan mulutnya terbuka lebar saat ini. "Aku boleh main?"
"Cepet ambil sebelum saya berubah pikiran."
Kia tersenyum dan mengambil uang itu cepat. "Makasih ya, Mas. Aku janji nggak pulang malem."
"Harus."
Dengan semangat Kia mencium tangan Arfan sebelum pergi. Dia segera keluar dan berlari ke arah teman-temannya dengan senyuman lebar.
Arfan menggeleng pelan dan meraih ponselnya. Dia akan menghubungi Mbok Sum saat ini.
"Halo, Mbok. Menu istimewa siang ini buat nanti malam aja. Kia main sama temennya. Siang ini nggak usah masak dulu karena saya nggak pulang."
Setelah selesai, Arfan mematikan ponselnya dan mulai menjalankan mobilnya kembali ke kantor. Sebenarnya hari ini dia sudah meminta Mbok Sum untuk menyiapkan menu istimewa untuk makan siang sebagai bentuk perayaan Kia yang telah menyelesaikan ujiannya. Bahkan Arfan rela untuk memundurkan rapatnya karena ini. Namun sepertinya Kia lebih senang menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Arfan tidak masalah, sepertinya memang ini yang Kia butuhkan.
Ucapan Kia sedikit menyentilnya tadi. Tentu Arfan tidak bisa merasakannya karena ia tidak mempunyai banyak teman. Arfan lebih memilih tidur untuk menjernihkan pikiran, berbeda dengan Kia yang memiliki banyak teman untuk saling bertukar pikiran.
***
Tepat pukul lima sore, Arfan sudah sampai di rumah. Dia berjalan masuk dan mencari keberadaan Kia. Dia tidak melihat gadis itu di manapun. Apa dia belum pulang? Apa Kia melupakan janjinya?
Arfan masuk ke dapur dan melihat Mbok Sum yang tampak sibuk dengan masakannya.
"Kia udah pulang, Mbok?" tanya Arfan.
"Eh, Mas Arfan. Belum, Mas."
Arfan menghela napas kasar dan berlalu ke kamarnya. Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara gaduh di depan rumah. Dia kembali ke depan dan terkejut melihat Kia yang datang dengan membawa pasukan. Terlihat ada tujuh orang yang Arfan yakini sebagai teman-teman Kia.
"Ada apa ini?" tanya Arfan yang membuat semua orang terkejut.
Kia maju selangkah saat Vita mendorongnya. Entah kenapa semua teman Kia mendadak takut pada Arfan. Apalagi saat mendengar cerita Kia tadi siang.
"Anu, Mas." Kia tampak gugup dan menggaruk lehernya, "Temen-temen mau minta izin."
"Loh, kita dijadiin tumbal," bisik Gio pada Vita yang masih bisa didengar Arfan.
"Izin buat apa?"
"Itu, Mas...," Vita tampak resah sambil memainkan tasnya.
"Kalian semua masuk, kita bicarain di dalam."
Saat Arfan masuk, semua orang tampak bernapas lega. Mereka kembali saling mendorong untuk menentukan siapa yang masuk terlebih dahulu.
"Lo duluan lah, Ki. Ini kan rumah lo!" Sandra tampak kesal karena Kia yang tampak ketakutan.
Akhirnya Kia masuk diikuti teman-temannya. Di sana sudah ada Arfan yang duduk di sofa ruang tamu.
"Kalian mau minta izin untuk apa?"
Kia menarik napas dalam dan mulai berbicara, "Anak-anak ada rencana mau liburan, aku boleh ikut nggak?"
"Liburan? Ke mana?"
"Ke Bandung," jawab Kia pelan.
Arfan mengangguk paham. Sekarang dia mengerti kenapa Kia membawa pasukannya. Gadis itu cukup pintar karena Arfan tidak mungkin menolak permintaannya di hadapan banyak orang. Meskipun apa yang ia lakukan demi kebaikan Kia tapi orang-orang juga akan berpikir jika dia terlalu mengekang gadis itu.
"Bandung? Mau ngapain?"
"Liburan lah, Mas. Habis ujian pusing tau." Kia berucap dengan bibir yang maju.
"Kapan?"
"Lusa." Kia tampak semangat saat Arfan mulai bertanya.
"Berapa lama?"
"Cuma nginep sehari."
"Nginep? Kalian semua?" Arfan seketika panik melihat ada teman Kia yang berbeda jenis kelamin.
"Kita nggak bakal aneh-aneh kok, Mas. Beneran." Gio angkat bicara saat Arfan menatapnya lekat.
Cukup lama Arfan terdiam sampai akhirnya dia tersenyum tipis, senyum yang tampak manis dan membuat teman-teman wanita Kia mulai terhipnotis.
"Kalian sudah makan?" tanya Arfan mulai berdiri.
Mereka semua kompak menggeleng.
"Kalian makan malam dulu di sini. Kebetulan Mbok Sum masak banyak buat ngerayain Kia yang udah selesai ujian."
"Mas Arfan serius?" Kia ikut berdiri dan tersenyum senang. Untuk pertama kalinya dia melihat Arfan yang terbuka seperti ini. Apalagi pada teman-temannya.
"Iya, kalian santai-santai dulu. Kia ikut saya sebentar."
Kia mengangguk dan mulai mengikuti Arfan sampai di depan kamar pria itu. Senyumnya masih merekah berpikir jika Arfan akan mengizinkannya pergi berlibur karena respon yang diberikan cukup baik.
"Gimana, Mas? Boleh ya?"
Arfan menghela napas kasar dan berbalik, "Jangan senang dulu. Saya belum ambil keputusan. Jujur saya agak keberatan kalau kamu nginep."
"Ya masa ke Bandung cuma sehari?"
"Biar saya pikirin nanti."
"Tapi Mas Arfan baik sama temen-temenku, aku pikir bakal diizinin." Kia mengerucutkan bibirnya kesal.
"Nggak ada hubungannya. Teman-teman kamu itu tamu. Jadi saya harus sopan. Udah sana balik ke bawah."
Kia menatap Arfan kesal. Dia tidak ragu lagi untuk menunjukkan wajah marahnya. Melihat itu, Arfan tersenyum tipis dan mendorong pelan wajah Kia. Setelah itu dia masuk ke kamar meninggalkan Kia di depan pintu.
"Nyebelin tau nggak!" teriak Kia kesal dan menendang pintu kamar.
Arfan menggelengkan kepalanya pelan dan bergegas membersihkan diri. Dia harus cepat karena ada teman-teman Kia di bawah. Setidaknya dengan seperti ini, dia bisa melihat bagaimana karakter teman-teman Kia. Apa benar mereka yang memberi pengaruh negatif pada Kia sehingga menjadi bebal seperti ini?
***
TBC
Bersandar di kepala ranjang menjadi pilihan Arfan kali ini. Telinganya masih aktif mendengarkan petuah ibunya di seberang telepon. Mau tidak mau Arfan hanya bisa mengangguk. Dia tidak bisa membantah ibunya. "Kamu jangan keras-keras sama Kia." Selalu itu yang ibunya ucapkan saat mereka bertelepon. Meskipun hanya bertemu satu kali, tapi entah kenapa ibu Arfan sangat peduli dengan Kia. Ditambah fakta jika gadis itu sudah yatim piatu sekarang. Hanya Arfan satu-satunya orang yang dia harap bisa menjaga Kia. Seperti wasiat Pak Surya. "Kalau nggak dikasih ketegasan nanti dia ngelunjak, Buk." Suara helaan napas terdengar dari mulut ibunya. Wanita paruh baya itu memang paling mengerti anaknya. Arfan adalah tipe orang yang perfeksionis. Bagus memang, tapi tidak semua hal harus sama seperti apa yang ia inginkan. Seharusnya anaknya tahu jika sikap itu tidak bisa diterapkan pada Kia. &nbs
Sebenarnya sulit bagi Arfan untuk membiarkan Kia pergi. Bukan karena ingin mengekang, tapi dia masih tidak percaya dengan Kia. Memang selama tinggal bersama gadis itu mulai melunak. Kia sudah mulai bisa mengontrol waktu dan keuangan, tapi tidak dengan emosinya. Gadis itu masih sering marah meskipun ujung-ujungnya selalu kalah. Arfan masih menatap mobil van yang mulai menjauh dari pekarangan rumah. Dia menghela napas kasar dan menunduk. Di sampingnya ada Mbok Sum tampak menatapnya khawatir. "Mas Arfan nggak papa?" "Kia nggak bakal aneh-aneh kan, Mbok?" tanya Arfan, "Saya sudah janji sama Pak Surya buat jaga dia." "Mbok yakin Mbak Kia nggak aneh-aneh, Mas." "Saya masih kurang percaya sama teman-temannya. Mereka juga yang ajak Kia pergi di malam kecelakaan itu." "Itu udah takdir, Mas." Betul, Arfan tahu jika semua itu adalah ta
Hari minggu kali ini tidak digunakan Arfan untuk beristirahat seperti biasa. Di pagi hari, Nadia sudah berada di rumahnya untuk membicarakan masalah perusahaan. Sebagai sekretaris, Nadia termasuk orang yang cakap dan tanggap. Tak salah Pak Surya mempekerjakan wanita itu. Meja makan menjadi tempat mereka bekerja pagi ini. Dengan ditemani sarapan sederhana dan potongan buah, mereka tampak lebih santai dari pada di kantor. Arfan sendiri masih fokus pada Ipad-nya. "Saya sudah pesan tiket pesawat untuk besok, Pak." "Untuk Pak Johan?" tanya Arfan memakan mangganya. "Sudah juga, tapi Pak Johan minta berangkat sore, Pak." Arfan mengangguk pelan, "Nggak masalah selama dia sudah ada di Bali besok lusa." "Aman, Pak." "Oke, kita sarapan dulu," ucap Arfan. Nadia tersenyum dan menyingkirkan laptop serta map-map yang
Suara musik yang terdengar keras di ruang tengah membuat tubuh Kia tak berhenti untuk bergerak. Di tangannya ada sapu yang ia gunakan untuk menyapu ruang tengah. Mbok Sum hanya bisa menggeleng melihat tingkah Kia dari dapur. Untuk pertama kalinya gadis itu kembali bertingkah bebas. Bukan tanpa alasan Kia menjadi seperti ini. Saat bangun tidur dia mendapat kabar dari Mbok Sum jika Arfan sudah berangkat ke Bali untuk urusan pekerjaan. Tentu Kia sangat senang mendengar itu. Kesenangannya bertambah berkali-kali lipat saat Arfan juga memberikan uang saku yang cukup banyak. "Nanti malem Mbok Sum nggak usah masak ya?" Kia berjalan memasuki dapur. "Kenapa, Mbak?" "Kita pesen makan aja, aku yang traktir." Kia menaik-turunkan alisnya. "Siap, Mbak! Mbok mau sambel jengkol." Mbok Sum juga ikut bersemangat. "Oke, habis ini aku mandi terus keluar." &nbs
Hari ini adalah tepat sepuluh hari Arfan berada di Bali. Urusan pekerjaan yang awalnya hanya berlangsung lima hari harus mundur karena banyaknya urusan yang harus diselesaikan. Arfan yang kebetulan berada di sana memilih untuk turun tangan langsung menyelesaikan semua. Selama lima hari pula, Arfan terlihat sangat sibuk. Bahkan waktu tidurnya berkurang menjadi empat jam dalam sehari. Kesibukkan itu juga yang membuatnya tidak menghubungi Kia akhir-akhir ini. Kali ini bukan sengaja, tapi dia benar-benar sibuk. Bahkan Mbok Sum sendiri yang berinisiatif memberikan kabar rumah tanpa ia minta. "Pak, saya sudah pesan kopi." Nadia datang dan duduk di salah satu kursi. Arfan hanya mengangguk, masih fokus pada kertas di tangannya, "Terima kasih." "Pak Arfan nggak capek?" tanya Nadia. Lagi-lagi setelah pulang dari rapat bukannya beristirahat mereka malah kembali berdiskusi. Jam sud
Keadaan bandara terlihat cukup ramai. Kia memilih untuk menunggu di dalam mobil, sedangkan Pak Tomo yang akan menyusul Arfan ke dalam. Kia masih malas untuk bertemu pria itu. Entah kenapa rasa kesal itu begitu nyata, dia tidak tahu kenapa. Dari jauh, Kia bisa melihat Arfan keluar dari bandara. Dengan berbalut jas berwarna abu-abu, Arfan tampak santai berjalan dengan koper di tangannya. Melihat gaya pria itu, Kia mencibir tidak suka. "Liat wajahnya, nggak ada rasa bersalah sama sekali," gumamnya. Kia masih belum sadar jika rasa kesalnya sangat tidak beralasan. Arfan tidak sendiri kali ini. Di belakangnya ada Pak Tomo dan Nadia. Alis Kia terangkat, Nadia tidak langsung pulang? Pintu belakang terbuka dan Arfan masuk dengan santainya. Dia melirik Kia dan tersenyum tipis. Tangan kanannya terangkat dan menepuk kepala gadis itu pelan. "Gimana kabar kamu?
Duduk tenang di salah satu sofa kamar VIP rumah sakit menjadi pilihan Kia saat ini. Baru dua jam yang lalu ia dan Arfan tiba dan mereka langsung bergegas ke rumah sakit. Beruntung ayah Arfan sudah melewati masa kritisnya. Selama perjalanan, Arfan tidak berbicara dan tidak tidur. Namun Kia tahu jika pria itu sedang berdoa karena menggumamkan sesuatu. Sekarang Kia mulai mengetahui keluarga Arfan. Orang tua pria itu masih lengkap dan tinggal di kampung halaman. Sebagai anak tunggal, Arfan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Selain sudah berumur, penyakit ayahnya yang membuat Arfan harus lebih giat bekerja. Untung saja pria itu pintar sehingga mendapatkan pekerjaan yang baik dan layak. Pintu kamar terbuka dan muncul wanita paruh baya yang Kia kenal sebagai Ibu Arfan. Wanita itu masuk dengan kantung plastik di tangannya. Ibu Arfan menghampiri Kia dan tersenyum manis. "Nak Kia pasti laper ya? Ini Ibuk bel
Di ruang tengah, Arfan dan Kia tampak tengah sarapan bersama. Gadis itu sudah mandi dengan rambutnya yang masih basah. Bahkan ia terlalu malas untuk menggosoknya dengan handuk. Arfan dengan sifat perfeksionisnya sedikit risih dengan tingkah Kia. Namun dia tidak mau memulai hari dengan pertengkaran."Manis banget," gumam Kia setelah menghabiskan dua jagung rebus.Arfan memelankan kunyahannya saat tangan Kia kembali terulur untuk mengambil jagung ke-tiga. Bahkan Arfan masih memakan satu jagungnya sedari tadi."Kamu laper?" tanya Arfan.Kia mengangguk tanpa bersuara. Dia tersenyum sambil memperlihatkan pipinya yang mengembang karena penuh dengan makanan."Makannya pelan-pelan."
Enam tahun kemudian."Halo, Yah. Apa kabar?" tanya Kia sambil mengusap batu nisan ayahnya."Ayah pasti bahagia di surga sama Ibu." Kia juga mengelus batu nisan ibunya."Ayah sama Ibu nggak perlu khawatir, aku juga bahagia di sini. Mas Arfan jaga aku dengan baik selama ini."Arfan tersenyum sambil mengelus kepala istrinya sayang. Di dalam hatinya, Arfan tidak pernah berhenti mengucapkan terima kasih pada Pak Surya karena sudah mempercayakan dirinya untuk menjaga Kia. Sudah bertahun-tahun berlalu tapi perasaannya masih sama. Arfan masih tetap mengagumi Kia dan rasa itu semakin bertambah setiap harinya."Ayo, Sayang. Sapa Kakek sama Nenek," ucap Kia mengelus kepala anaknya."Halo, Kek," sapa Bima."Halo, Nek," sapa Bian.Arfan tersenyum dan ikut mengelus kepala dua jagoannya. Abimana Putra Ghaisan dan Abiandra Putra Ghaisan, putra kembar Arfan dan Kia yang sudah berumur empat tahun saat ini."Sekarang aku tau gimana perasaan Ayah dulu waktu jaga aku. Maaf karena aku nakal dan sering biki
Kehidupan rumah tangga yang Arfan inginkan sejak dulu sudah bisa ia rasakan sekarang. Dua bulan setelah resepsi, tidak ada penyesalan di hatinya untuk memutuskan hidup bersama Kia. Arfan bersyukur bisa mengenal keluarga Pak Surya yang berakhir menjadi menantu pria itu. Meskipun Kia dengan sifat uniknya sering membuat kepalanya pusing, tapi justru itu yang membuat hari-harinya menjadi menyenangkan.Seperti saat ini, Arfan terbangun saat mendengar suara gaduh dari lantai bawah. Perlahan dia membuka mata dan melihat jam yang tertempel di dinding. Sudah pukul delapan pagi tapi ia baru membuka mata sekarang. Tidak masalah, hari ini adalah hari sabtu. Dia akan menikmati hari liburnya dengan bersantai.Suara gaduh dari lantai bawah tidak kunjung berhenti. Dengan segera Arfan bangkit dan meraih celana pendeknya yang tergeletak di atas lantai. Tak lupa dia juga mengenakan kaosnya sebelum keluar dari kamar. Saat tidak melihat Kia di sampingnya, Arfan yakin jika wanita itu yang membuat kegaduhan
Kia tersenyum saat melihat pasir putih di hadapannya. Dengan segera dia melepas alas kakinya dan berlari ke tepi pantai. Senyumnya semakin merekah saat merasakan air dingin mulai menyentuh kakinya. Dia terus berlarian tanpa mempedulikan Arfan yang berdiri jauh di belakangnya. Dari kejauhan, Arfan bisa melihat Kia yang tampak bahagia. Dengan dress pantai berwarna kuning, wanita itu semakin terlihat cantik. Pemandangan pantai semakin terlihat indah karena ada Kia di sana. Arfan mulai mengeluarkan ponselnya dan memotret Kia berulang kali. Dia kembali tersenyum saat melihat hasil jepretannya. "Cantik," gumamnya. Arfan dan Kia baru sampai di Pulau Lombok siang tadi. Setelah beristirahat sebentar, mereka memutuskan untuk ke pantai sore ini. Tidak begitu jauh, karena pantai terletak di belakang villa yang mereka tempati. Terlihat cukup sepi dan nyaman. Mereka bisa menikmati matahari terbenam tanpa ada gangguan. "Sini, Mas. Ayo berenang!" ajak Kia. Arfan menggeleng dan duduk di salah sat
Hari resepsi pernikahan telah tiba. Senyum bahagia tidak pernah luntur dari dua bintang utama malam ini, Kia dan Arfan. Sedari tadi mereka terus berdiri untuk menyambut para undangan yang datang. Ucapan selamat tak henti berdatangan untuk mereka. Kia membuka mulutnya tidak percaya saat melihat ada rombongan tamu lagi yang datang. Dia yakin jika mereka bukanlah tamunya. Sampai saat ini Kia masih tidak percaya jika pria pendiam seperti Arfan memiliki banyak teman. Mereka memang menyebar banyak undangan tapi tidak pernah terbesit di pikiran Kia jika akan sebanyak ini. "Mas Arfan temennya banyak banget? Aku kira cupu." "Rata-rata temen bisnis sama orang kantor, sisanya temen kuliah," bisik Arfan. "Banyak orang penting dong di sini?" "Banyak banget," jawab Arfan kembali tersenyum saat beberapa tamu mulai menghampiri mereka. "Selamat Arfan, akhirnya nikah juga," ucap salah satu tamu. "Terima kasih, Pak Ricky." "Cantik istri kamu, Fan. Pantes nolak dijodohin sama anak Ibuk." Kali ini
Perjalanan ke Surakarta berlangsung dengan lancar. Selama dua bulan ini Arfan dan Kia sudah mengurus semua hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan mereka. Setelah disibukkan dengan persiapan resepsi yang juga menguras tenaga, waktu, dan pikiran, akhirnya mereka bisa bersantai. Hari ini mereka memutuskan untuk menjemput Ibu Arfan di desa. "Tutup jendelanya, Ki. Nanti masuk angin," ucap Arfan sambil mengelus kepala istrinya. "Nggak mau, seger banget liat sawahnya," ucap Kia tersenyum sambil melihat hamparan sawah hijau di hadapannya. Arfan tersenyum tipis dan kembali fokus pada jalanan desanya yang tidak rata. Kedatangan mereka kali ini dilakukan secara mendadak dan tanpa kabar. Kia yang memintanya karena dia ingin memberi kejutan untuk Ibu Arfan. Dia tidak sabar untuk bertemu dengan mertuanya. "Sawahnya Bapak yang mana, Mas?" "Di sana, besok aku ajak kamu ke sana." Tunjuk Arfan pada area sawah yang berada jauh darinya. "Ih, nggak sabar!" Kia menutup jendela mobil dan duduk deng
Bereksperimen di dapur adalah hal yang Kia sukai saat ini. Setelah pulang kuliah, dia memutuskan untuk kembali bermain di dapur. Beruntung Mbok Sum tidak berkegiatan di dapur saat ini sehingga Kia bisa bebas memakainya."Kamu siapin warna apa aja, Nduk?" tanya Ibu Arfan.Kia kembali menatap ponselnya untuk melihat Ibu Arfan yang tengah menjahit. Kepalanya bergerak ke segala arah untuk mencari pewarna makanan yang baru saja ia beli. Saat ini Kia memang melakukan panggilan video bersama Ibu Arfan untuk bertanya bagaimana cara membuat cupcake. Lagi-lagi resep andalan keluarga yang ingin ia buat."Warna merah sama hijau, Buk.""Udah beli lilin juga?"Dahi Kia berkerut, "Buat apa, Buk?" tanyanya bingung.Ibu Arfan berhenti menjahit dan mulai melihat Kia."Loh bukannya kamu mau bikin kue buat Arfan?"Kia menggaruk lehernya bingung, "Iya, Buk. Buat Mas Arfan, buat aku, sama Mbok Sum juga. Tapi kenapa pakai lilin?""Kan Arfan ulang tahun hari ini, Ki. Ibuk pikir kamu sengaja mau bikin kue bua
Di depan sebuah cermin, Kia tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Dia kembali memoles bibirnya dengan lip cream yang ia bawa. Sebelum benar-benar keluar dari toilet, dia merapikan penampilannya sekali lagi."Cakep banget gue, pantes Mas Arfan klepek-klepek," gumam Kia terkekeh.Dia keluar dari toilet dan kembali ke mejanya. Dia sana Kia bisa melihat Arfan yang tengah memainkan ponselnya. Dia juga bisa melihat jika makanan yang mereka pesan sudah datang."Wah, kayanya enak nih." Kia duduk sambil mengusap tangannya senang.Arfan memasukkan ponselnya dan menarik piring Kia. Tanpa banyak bicara dia memotong daging di piring Kia menjadi potongan-potongan yang lebih kecil. Melihat itu, Kia tidak bisa menahan senyumnya.Malam ini adalah malam yang istimewa bagi mereka. Setelah disibukkan dengan urusan kantor dan kampus, akhirnya mereka bisa menikmati waktu berdua. Arfan secara mendadak mengajaknya untuk makan malam bersama. Dalam artian benar-benar makan malam romantis dengan lilin di tengah
Arfan tersenyum saat melihat foto tangannya. Dia memasukkan foto itu ke dalam pigura dan meletakkannya di atas meja kerja. Perlahan dia mulai duduk kembali menatap wajah Kia yang saat ini sudah resmi terpajang di meja kerjanya.Sejak malam itu, malam di mana Arfan dan Kia tidur bersama untuk yang pertama kali, hubungan mereka mulai berubah. Arfan yang mulai merobohkan tembok di antara mereka. Jika tidak ada yang bergerak maka hubungan mereka tidak akan berkembang. Keinginan Arfan hanya satu, dia ingin mereka memiliki hubungan suami-istri yang sebenarnya. Sepertinya Kia juga mulai membuka diri dan belajar secara perlahan. Benar kata ibunya, dengan perasaan cinta yang tumbuh di hati mereka, perubahan akan semakin mudah dilakukan.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Arfan. Dia berdeham sebentar dan meminta seseorang di luar sana untuk masuk. Seperti dugaannya, ada Nadia di sana."Selamat pagi, Pak. Saya ingin meminta tanda tangan dan membacakan jadwal Pak Arfan hari ini.""Biar saya
Keadaan dapur malam ini terlihat seperti kapal pecah. Ini karena Kia yang tiba-tiba membantu Mbok Sum untuk memasak. Sebenarnya dia tidak banyak membantu, tapi Mbok Sum menghargai usahanya yang ingin belajar memasak. Jika bersungguh-sungguh, Mbok Sum akan dengan senang hati mengajarinya. "Tambah bubuk kaldunya dikit lagi, Mbak." Kia dengan segera memasukkannya ke dalam sop ayam yang ia buat. "Aduk yang rata." Lagi-lagi Kia menurut. Dia mengikuti perintah Mbok Sum tanpa membantah. Bahkan di sampingnya ada buku catatan yang ia gunakan untuk menulis resep andalan Mbok Sum. "Cobain, Mbok." Kia memberikan sendok berisi kuah pada Mbok Sum. Dia menatapnya dengan harap-harap cemas. "Mantep, Mbak!" "Akhirnya!" Kia bertepuk tangan senang. Sebenarnya tidak sulit untuk membuat sop, hanya saja resep andalan Mbok Sum memiliki bahan tambahan. Kia yang sudah terbiasa dengan masakan Mbok Sum tentu ingin mengetahui resepnya. "Pasti Mas Arfan suka," ucap Mbok Sum. Kia mengangguk dan melepaskan